256 – Nyanyian Aksa.

i liked it so much. watching over you and my heart fluttering. even when I ridiculously jealous to all of those ordinary moments. in the dark eternity, in that long waiting, like sunshine, you fell down to me.


Riuh tepuk tangan menjadi penanda beralihnya satu penampilan ke penampilan yang lain.

Keenam orang itu tampak sangat antusias menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan dari para pelajar di sekolah ini. Sebab penampilan mereka sangatlah memukau.

“Penampilan selanjutnya, sebuah nyanyian istimewa oleh Dimas Aksa Prawira dari kelas 9F”

“Bri, Dimas tampil, Bri!” Suara antusias itu berasal dari Mike yang sedang duduk di samping Bright.

Sedangkan Bright hanya bisa menarik nafas panjang saat nama anak semata wayangnya dipersembangkan dengan begitu membanggakan.

Pria itu mengangguk kepada Mike. Lantas kemudian beralih untuk menatap Kala yang duduk di sampingnya. “Kala.. Dimas tampil..” ucapnya dengan suara yang terdengar bergetar karena rasa gugup dalam hatinya.

Kala menyunggingkan sebuah senyuman. Pria itu bisa melihat dengan jelas bagaimana gugupnya Bright saat ini. “Iya, Mas... akhirnya tampil juga ya” sahutnya sambil terus memberikan senyuman kepada Bright. Berharap bisa membuat perasaan Bright menjadi lebih baik.

“Bri, anaknya naik tuh, lihat deh,” ucap Namtan sambil menunjuk ke arah panggung dimana Dimas sedang berjalan naik ke atasnya.

Bright lantas mengedarkan pandangan ke arah sana.

Dan tepat saat sepasang mata elang miliknya itu menangkap presensi sang buah hati, Bright merasakan pedih yang semakin tak tertahankan.

Melihat jagoannya itu berdiri dengan gagahnya, berbalut pakaian serba indah yang sukses menambah pesonanya, membuat Bright ingin sekali menangis.

Bukan. Bukan tangis sedih yang ingin Bright tunjukan. Namun tangis haru serta kebanggaan untuk Dimas. Karena sampai detik ini, Dimas masih bersedia untuk menahan semuanya, berjuang bersama-sama untuk mengembalikan Kala ke dalam pelukan mereka. Walau Bright tau, semuanya tak pernah mudah bagi Dimas.

Bright tau. Bright tau semua itu.

Bright selalu tau racauan Dimas dalam lelapnya. Bagaimana suara Dimas yang terdengar putus asa saat memanggil sang Papi. Serta bagaimana tangisan anak itu saat menceritakan kepadanya betapa besar rasa rindu yang ia simpan di dalam dada.

Saat Dimas telah berdiri dengan begitu kerennya di atas sana, air mata yang sejak tadi Bright tahan mati-matian akhirnya jatuh juga.

Pria itu lantas menatap lekat wajah sang anak, lalu berucap lewat gestur bibirnya,

“Anak Ayah keren, Ayah bangga sama Dimas” Ucapnya.

Tak perlu waktu lama untuk Dimas menyadari kode dari sang Ayah itu. Anak itu lantas tersenyum seraya membalas ucapan Bright dengan cara yang sama,

“Dimas juga bangga sama Ayah!” Balasnya dengan senyum paling manis yang pernah Bright lihat selama ini.

“Hadirin yang berbahagia, mari kita sambut, penampilan dari Dimas Aksa Prawira!'

Satu helaan nafas panjang terdengar dari mulut Bright saat pembawa acara mempersembahkan penampilan Dimas untuk yang kedua kalinya.

Gemuruh tepuk tangan di seisi aula itu tak sanggup meredam perasaan membuncah dalam hati Bright. Hingga akhirnya, Pria itu hanya bisa membiarkan gugup menguasai dirinya.

“Kala. . .” Panggil Bright.

“Iya, Mas. Kenapa?”

Bright menarik nafas dalam-dalam. Ia lantas menatap wajah Kala yang juga sedang menghadap ke arahnya. “Boleh Mas pegang tangan kamu?” Pintanya, “Mas gugup banget lihat Dimas. . .” ujarnya lagi.

Bright harap-harap cemas. Khawatir jika Kala menganggap permintaan Bright ini berlebihan.

“Tapi kalo Kala nggak mau gapap—”

Bright terhenyak saat Kala menarik sebelah tangannya dengan tiba-tiba.

“Aku mau kok,” sahut Kala sambil tersenyum. “Mas Bright tenang aja, ya? Everything will be okay. Percaya sama Dimas, ya?”

Sebuah senyum penuh kelegaan akhirnya terbit di wajah Bright setelah mendapat afeksi dari Kala. “Terima kasih, Kala..” sahutnya.

Denting piano menjadi dawai pembuka dari pertunjukan Dimas.

Seisi aula seketika senyap ketika tuts pertama itu berdenting. Seolah ada sihir yang memaksa mereka untuk khidmat, untuk menikmati suguhan yang hendak Dimas tampilkan.

Ketika melodi pertama itu mengalun indah di seisi aula, Bright tercekat. Pria itu terkejut lantaran tidak menduga jika Dimas akan menyanyikan lagu ini.

Lagu ini, lagu yang sejak dulu Bright simpan rapat-rapat seorang diri. Lagu yang merepresentasikan doa serta harapannya untuk Kala, semenjak sang belahan hatinya itu melupakan segala hal dalam hidupnya, termasuk Bright.

Lagu yang setiap malam Bright lantunkan layaknya doa. Dengan sejuta harap agar apa yang ia panjatkan dikabulkan oleh sang pemangku alam.

Dan kini Bright dibuat semakin terkejut lantaran tak mengetahui jika selama ini Dimas juga mendengarnya.

Embun di pagi buta, Menebarkan bau asa, Detik demi detik kuhitung, Inikah saat ku pergi?

Suara Dimas mengalun merdu. Menyapa setiap pasang telinga dengan eloknya. Serupa harmoni yang tercipta saat senja menikam langit cakrawala.

Senada dengan nyanyian Dimas, tangis Bright kembali luruh. Basahi wajah tampannya itu, tanpa bisa ia tahan lagi.

Oh Tuhan ku cinta dia, Berikanlah aku hidup, Takkan ku sakiti dia, Hukum aku bila terjadi. . .

Sesak dalam hati Bright semakin tak tertahankan. Pria itu sampai melepas genggaman tangannya dari Kala, untuk membekap mulutnya sendiri. Menahan isak tangis yang tak bisa ia keluarkan saat ini.

Kala seketika menatap Bright. Dan pria itu dibuat tertegun saat melihat Bright yang sudah menangis tersedu-sedu di sampingnya.

Aku tak mudah, untuk mencintai, Aku tak mudah, mengaku ku cinta, Aku tak mudah, mengatakan aku jatuh cinta. . .

Senandungku hanya untuk cinta, Tirakatku hanya untuk cinta, Tiada dusta, Sumpah kucinta, Sampai ku menutup mata, Cintaku, sampai ku menutup mata. . .

Bright kalah.

Pertahanan yang sudah ia bangun dengan kokohnya runtuh seketika. Isak pria itu akhirnya keluar dengan bebasnya. Membuat Kala dan keempat sahabatnya langsung menoleh ke arahnya.

Hati Bright bagai tersayat belati tajam. Pedih nan menyakitkan. Namun tak ada yang bisa mengobatinya. Untuk saat ini.

Tak ingin merusak suasana, Bright lantas beranjak dari kursinya. Lalu melenggang pergi meninggalkan Dimas yang masih bersenandung dengan merdunya di atas sana.

“Mas Bright?” Panggil Kala. Ia khawatir melihat kondisi Bright seperti itu.

Baru saja Kala hendak mengejarnya, ia lebih dulu ditahan oleh Mike. “Udah, gapapa. Biarin dulu ya. Bright gapapa kok. Biar gue sama Mbak Namtan yang ngejar. Kala di sini dulu, ngelihat penampilannya Dimas, oke?” Pinta Mike kepada Kala.

Walau hatinya masih diselimuti kebingungan, Kala akhirnya mengangguk. Pria itu lantas kembali duduk di tempatnya. Membiarkan Mike dan Namtan berlalu pergi mengejar Bright.

Di tempat duduknya itu, Kala memperhatikan lekat-lekat persembahan Dimas.

Oh Tuhan ku cinta dia, Berikanlah aku hidup, Takkan ku sakiti dia, Hukum aku bila terjadi. . .

Kala bisa melihat betapa Dimas menghayati setiap kata yang menguar dari dalam mulutnya.

Seisi aula ini seolah terhipnotis dengan nyanyian Dimas yang membuai setiap hati yang ada di dalam sana. Termasuk Kala.

Kala yakin jika ini pertama kalinya ia mendengar lagu ini. Tapi entah bagaimana sebabnya, Kala merasa jika lagu ini terasa tidak asing di telinganya. Seolah Kala sering mendengar seseorang menyanyikan lagu ini untuknya.

Aku tak mudah, untuk mencintai, Aku tak mudah, mengaku ku cinta, Aku tak mudah, mengatakan aku jatuh cinta. . .

Senandungku hanya untuk cinta, Tirakatku hanya untuk cinta, Tiada dusta, Sumpah kucinta, Sampai ku menutup mata, Cintaku, sampai ku menutup mata. . .

Saat denting terakhir piano itu berbunyi, Dimas langsung disambut dengan gemuruh tepuk tangan dari semua orang yang ada di dalam aula itu.

Kala pun melakukan hal yang sama. Pria itu bangkit dari tempat duduknya, lantas memberikan tepuk tangan dengan segenap rasa bangga dalam hatinya untuk Dimas.

Di atas sana, Dimas menyuguhkan sebuah senyuman kepada Kala. Membuat Kala turut melakukan hal yang sama.

Namun saat pandangan anak itu bergerak ke samping Kala, ada sorot kesedihan yang terlihat jelas di sana. Dan Kala tau, tatap mata itu ditujukan Dimas untuk Bright yang saat ini tidak ada di sana untuk memberi apresiasi terbesar kepadanya.

Kala lantas melirik ke belakang. Mengedarkan pandangan ke belakang sana. Sambil bertanya dalam hati,

Mas Bright kemana ya?


aku tidak akan pernah lupa, saat hatiku berdebar kencang kala menatap wajahmu. bahkan disaat aku sangat cemburu pada semua kenangan yang kau berikan kepadaku. suatu saat kita kan bertemu kembali. dan hari itu akan menjadi hari paling bahagia untuk kita. pada hari itu aku akan datang padamu bagai salju pertama yang turun di musim dingin. . .


Di balik hingar bingar pentas seni itu, ada seorang insan yang sedang menangis tersedu-sedu. Menangisi takdir, Menangisi garis hidupnya sendiri, menangisi kegagalannya untuk bisa menyatukan keluarga kecilnya seperti sedia kala.

Bright merasa gagal. Gagal sekali.

Terlebih saat melihat Dimas menyanyi dengan sepenuh harap yang tampak dari sorot matanya.

Bright yakin, Dimas ingin mengungkapkan kerinduannya kepada Kala lewat lagu ini. Dan kenyataan itu semakin membuat hati Bright hancur lebur.

“Ayah minta maaf, Nak. . . Ayah gagal. . .”

Hanya itu kalimat yang bisa Bright ucapkan sejak tadi di sela isak tangisnya yang terdengar memilukan.

“Bright?”

Bright seketika mengalihkan pandangannya. Memunggungi sumber suara yang sangat ia kenali itu.

“Bright? Hey.. mbak di sini..”

Tangis Bright rasanya ingin semakin meledak saja saat suara Namtan terasa semakin dekat. Maka sebelum ia jatuh dalam jurang tangis tak terbendung, Bright lebih dulu membalikkan badan.

Namtan dan Mike dibuat tertegun dengan penampilan Bright yang kacau balau.

Wajah tegas milik adik kesayangan Namtan itu basah, bermandikan air mata. Serupa dengan sorot matanya yang mengisyaratkan keputusasaan yang begitu dalam. Dan tanpa perlu Bright ceritakan, Namtan dan Mike tau betul apa yang Bright rasakan.

“Mbak, gue gagal lagi, ya?” Pertanyaan yang terlontar dari mulut Bright itu membuat Namtan dan Mike semakin tertegun.

“Bri. . . Enggak gitu,” sahut Namtan. “Kamu nggak gagal, Bri. Sama sekali enggak, jangan mikir gitu dong.. Mbak jadi sedih juga. . .” ujar Namtan lagi.

Namun sepertinya Bright tak mengindahkan ucapan Namtan. Sebab dalam hatinya hanya ada kata gagal sebagai cerminan dirinya sampai detik ini.

“Mbak sama Bang Mike masuk aja. Gue mau nenangin diri dulu. Titip Dimas, ya?” Pintanya pada mereka berdua.

Dan setelahnya, Bright membalikan tubuhnya dari Namtan dan Mike, hendak pergi meninggalkan mereka.

Bright hendak memberontak saat tubuhnya ditarik ke dalam sebuah pelukan. “Nggak apa-apa, Bri. Nangis bukan sebuah kesalahan kok. Lo nggak gagal, sama sekali.”

Bright hafal suara ini. Ini suara Mike.

“Gue tau lo kangen sama Kala. Nggak apa-apa. Lo nggak gagal, jagoan. Sama sekali enggak. Dimas bangga banget sama lo, bangga banget.” Lanjut Mike.

“Gak apa-apa, Bright. Nangis aja. Ada Mbak, ada Mike juga di sini. Nggak apa-apa, jagoan. You did great” bisik Namtan di telinga Bright.

Dan Bright lagi-lagi kalah.

Ia balas pelukan Mike. Lantas menumpahkan seluruh rasa sakit yang selama ini ia pendam rapat-rapat. Ia menangis sejadi-jadinya, Berharap rasa sakitnya memudar lewat tangisannya itu.

Melihat tangisan dari sosok adik yang selama ini terlihat tangguh membuat Namtan turut menitikkan air mata. Wanita itu lantas maju selangkah, menepuk-nepuk punggung Bright yang bergetar hebat. Sembari berharap agar apa yang adiknya itu impikan lekas terkabul.

Yang tanpa mereka sadari, ada sepasang telinga yang sejak tadi menangkap percakapan mereka bertiga. Dan di sana, di balik tembok itu, ia turut menitikkan air mata setelah mendengar semua itu. Ia menangis dalam diam, ia menangis dalam ketidak tahuannya seorang diri.


bwuniverr, 2021