Bincang

part of Rahasia Hati; Alternate Universe


Win salah sangka. Alih-alih mengajaknya berbincang di dalam cafe atau restoran di dalam mall, Bright justru membawanya menuju taman kota. Membumi bersama hiruk-pikuk isi kota di malam hari, ditemani jajanan sederhana yang bisa dibeli dengan mudah disekitarnya.

Namun siapa sangka, keputusan Bright untuk membawa Win ke taman kota justru membuat lelaki manis dengan senyum gigi kelinci itu bernostalgia. Mengenang masa-masa indah dulu, sepuluh tahun yang lalu, saat mereka masih dimabuk asmara.

Diam-diam Win pun merasa jengkel. Karena baginya, datang ke tempat seperti ini dengan suasana yang tidak jauh berbeda seperti dulu hanya membuka luka lama.

Setelah sejenak mengelilingi taman kota sekaligus membeli beberapa jajanan, Bright kemudian mengajak Win untuk duduk di salah satu bangku yang tersedia di sana.

Tidak ada obrolan. Hanya hening serta canggung yang menguasai. Bright tak kunjung buka suara, apalagi Win yang sejak tadi hanya diam saja.

Bukan tanpa alasan, saat ini Win tengah berperang dengan batin dan hati kecilnya sendiri. Menepis segala kebingungan dan gundah yang melintas di benaknya.

Sejujurnya Win tidak ingin bertemu dengan Bright. Enggan sekali. Namun Win juga tidak bisa menampik fakta bahwa ia rindu, rindu sekali akan sosok Bright yang sembilan tahun belakangan ini menghilang begitu saja dari hidupnya.

Mungkin karena rasa rindu itulah, Win mau diajak Bright pergi ke tempat ini. Mungkin, rasa rindu itu pula yang berhasil membayangi kebenciannya terhadap Bright yang selama ini ia rasakan.

“Nih, katanya tadi mau cilor.” Kata Bright sambil menyodorkan sebungkus cilor yang tadi dibelinya bersama Win.

Win menerima cilor itu dengan malas, “udah nggak pengen sekarang.” Katanya ogah-ogahan.

Bright hanya tertawa simpul. Lelaki dua puluh sembilan tahun itu menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku. “Lo gimana kabarnya, Win?”

“Sehat.” Jawab Win singkat. “Lo sendiri gimana Kak?”

“Sehat juga. Kalo nggak sehat gak bakal ada di sini.”

“Haha, iya.” Saut Win sekenanya.

Sejenak, kedua insan itu kembali hanyut dalam buai hening. Tidak ada kata yang terucap, selain desir angin yang seolah menjadi isyarat kata yang tak mampu diucap oleh lisan masing-masing.

“Win?”

“Iya?”

“Gue minta maaf ya.”

Seketika, Win menghentikan segala hal yang ia kerjakan. Cilor yang belum sepenuhnya lembut itu ia telan paksa. Sebelum akhirnya menengadah. Menatap ke arah Bright yang ternyata kini juga melihat dirinya.

Bright merubah posisinya. Membawa tubuhnya untuk condong ke arah Win. “Gue minta maaf ya Win.. gue minta maaf. Buat semua yang udah terjadi, buat sembilan tahun lalu, buat hubungan kita, dan buat semua kesalahan gue ke lo.. gue minta maaf..” Kata lelaki itu sembari memejamkan mata.

Inilah yang Win tidak suka. Win tahu betul jika ia akan sangat lemah jika bertemu kembali dengan Bright. Karena itu, mati-matian Win selalu menolak ajakannya. Walaupun jauh di lubuk hati, Win ingin sekali bertemu dengannya. Alasannya masih sama, karena Win rindu.

Dan kini, dihadapkan secara langsung dengan Bright dalam jarak yang begitu dekat, membuat perasaan Win semakin tidak karuan.

Ingin rasanya Win berteriak. Marah. Memaki. Bahkan menghajar Bright. Sebagai bentuk balas dendam atas kepergiannya yang sangat tiba-tiba sembilan tahun lalu.

Tapi Win tidak bisa.

Di hati kecilnya, Bright lebih dari sekedar kenangan. Bagi Win, Bright adalah cinta pertama dan terakhirnya. Sampai kapanpun itu.

Merasa tidak ada respon dari Win, Bright lantas membuka matanya kembali. “Win.. gapapa kalo lo marah sama gue, gapapa banget. Gue bakal terima apapun yang akan lo lampiasin ke gue. Gue salah.. gue minta maaf..” Katanya lagi.

Demi Tuhan, Win benci situasi seperti ini. Situasi dimana dirinya jadi begitu rapuh dan cengeng. Bright baru mengucap maaf, namun rasanya Win sudah ingin menangis sekecang-kencangnya.

Tidak. Win tidak boleh seperti ini.

Maka akhirnya, Win menarik nafas dalam-dalam. Ia pejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya berbicara. “Lo tau gak sih Kak, kalo gue kangen banget sama lo?”

Bright seketika mengangkat wajah. Terkejut, tidak percaya. “Win..?”

“Asal lo tau Kak, walaupun sembilan tahun lalu lo tiba-tiba pergi ninggalin gue, sampai detik ini pun, Demi Tuhan, gue nggak pernah nganggep hubungan kita berakhir.” Sekuat tenaga Win berupaya agar bisa menuntaskan kalimat itu.

“Win..”

Sekali lagi Win menarik nafas, berusaha mengais sisa kekuatan untuk meneguhkan hati kecilnya. “Buat gue, lo itu adalah cinta pertama, sekaligus cinta terakhir Kak. Gak ada yang lain. Cuma lo doang.” Katanya lagi.

“Buat gue juga, kenal sama lo itu anugerah. Gue jadi bisa senyum bebas, gue jadi bisa ngerasain apa itu bahagia, dan yang paling gue syukuri, gue bisa ngerasain gimana sih dicintai sama orang lain. Karena gue belum pernah dapet itu dari orang lain, Kak.”

Kedua mata Win terasa panas. Pandangannya buram. Ia benci situasi ini. Win benci menangis. Win benci terlihat lemah.

“Win.. gue minta maaf..”

“Waktu lo ilang, hidup gue hancur Kak. Semuanya kacau. Gue bingung, hilang arah. Gak tau harus kemana. Karena cuma lo satu-satunya orang yang bisa gue percaya.” Win menjeda kalimatnya. Lelaki itu memejamkan mata, seiring bulir bening jatuh membasahi pipinya.

“Asal lao tau juga Kak, sembilan tahun ini gue coba mati-matian buat ikhlas. Nganggep kalo lo emang udah bukan bagian dari hidup gue lagi. Walaupun itu susah, susah banget.” Kata Win dengan nada suara yang terdengar jengah. “Bahkan, gue sampe ngelabelin lo sebagai mantan di hadapan temen-temen gue. Supaya gue bisa berusaha ikhlas, ngeikhlasin lo.”

“Belakangan ini gue udah ikhlas Kak. Gue udah ngerelain lo. Eh tiba-tiba lo malah dateng lagi... Kenapa sih Kak? Kenapa lo malah kayak gini..?” Tanya Win sambil mengusap kedua matanya yang basah. “Ah, anjing benci banget gue jadi cengeng gini!”

Melihat Win menangis adalah salah satu hal yang paling Bright benci di dunia ini. Apalagi jika penyebab tangisan itu adalah dirinya.

Maka kemudian, Bright mendekatkan tubuhnya kepada Win. Kemudian tangannya ia pakai untuk mengusap lembut bahu lelaki manis itu.

“Udah gak usah pegang-pegang Kak, malah gue tonjok lo ntar,” kata Win sambil menangis.

“Yaudah enggak, maaf..”

“Lo tuh ngomong apa kek, udah jauh-jauh ke sini ngajak ngobrol, dari tadi cuma maaf-maaf mulu, makin kesel gue jadinya.” Protes Win tidak terima.

“Gue dari tadi udah mau ngomong Win.. tapi kayaknya lo lebih banyak yang pengen diungkapin, makanya gue kasih waktu aja buat lo..”

“Udah, uneg-uneg gue udah keluar semua. Sekarang cepet mau ngobrolin apa. Awas aja kalo gak jadi, gue tusuk nih pake tusuk cilor!” Ancamnya kepada Bright, masih sambil menangis.

“Oke-oke, gue bakal ngomong.” Kata Bright sambil membenahi posisi duduknya. “Sekali lagi, gue minta maaf ya buat semua ini. Maaf banget... Kayaknya sejuta maaf juga gak bakal cukup..”

“Jadi, alasan utama gue sembilan tahun lalu tiba-tiba ilang tuh gara-gara bokap nyokap di mutasi kerja di luar kota. Akhirnya, gue terpaksa ikut mereka pergi.”

“Dimutasi? Kapan?”

“Bokap dapet info malem waktu kita pulang dari sekolah, habis gladi bersih wisuda gue. Nyokap besok subuhnya.”

“Terus kenapa lo gak bilang ke gue?”

“Gue gak ada kesempatan Win..” Kata Bright dengan wajah penuh sesal. “Awalnya gue pengen ngabarin lo besok paginya, waktu gue mau wisuda. Tapi ternyata nyokap malah ikut dimutasi juga. Akhirnya pagi itu juga kita berangkat ke luar kota. Tanpa bawa barang berharga apapun, selain baju.”

“Situasi keluarga gue seketika kacau Win. Gue jadi gak punya akses buat ngasih kabar ke siapapun, termasuk lo. Bahkan temen bokap nyokap sama kakak gue juga gak ada yang tau.”

“Dua tahun kemudian, gue baru bisa dapetin semua akses yang sempet ilang waktu keluarga gue pindah. Selama itu juga gue susah payah nyoba buat ngehubungi lo. Lewat email, nelfon rumah lo, tapi semuanya gak pernah ada hasil..” Lanjut Bright.

Kini sedikit banyak Win bisa memahami situasi Bright. Memang, saat itu kondisi keluarga Bright sedang tidak baik-baik saja. Win tahu betul akan hal itu. Tapi ia tidak menyangka jika situasi mendadak berubah seburuk ini.

Bright tampak menghela nafas panjang, kemudian ia bawa netranya untuk beradu tatap dengan milik Win. “Nggak cuma lo Win.. gue juga hancur. Hidup gue nggak karuan, gue kangen sama lo tapi gak pernah bisa buat nyari tahu kabar lo.. gue hancur banget..”

“Setiap hari, gue selalu berdoa supaya suatu saat gue bisa ketemu sama lo lagi. Karena buat gue, cuma lo Win.. cuma lo orang yang bisa ngisi hati gue. Cuma lo.”

“Kemaren, begitu gue akhirnya bisa balik ke sini, orang pertama yang gue tracking keberadaan dan kondisinya itu lo Win. Gue seneng banget.. gue seneng banget waktu tau lo sehat dan hidup layak..”

Tanpa sadar, air mata turut leleh basahi wajah tampan Bright. Air mata yang selama ini ia tahan susah payah. “Dan tadi.. waktu gue ngelihat lo di mall, gue seneng banget Win.. gue.. gue ngerasa pulang.. Gue pulang Win.. setelah sekian lama, akhirnya gue pulang ke lo lagi..”

Pita suara dua laki-laki itu kaku. Kedua matanya yang meleleh. Sedari tadi dibekukan paksa, tetapi sudah tak bisa lagi. Air mata Bright dan Win kini merdeka. Wajah dua insan itu basah karena linangan air mata.

Tak ada suara, hanya tangis air mata yang merengkuh keduanya.

“Gue benci banget sama lo Kak, tapi gue juga kangen sama lo..” Kata Win terbata-bata. “Ah, brengsek! Gue benci banget nangis gini!”

“Mau dipeluk gak?” Tawar Bright tiba-tiba.

“Kenapa gak nawarin dari tadi sih Kak, rese lo!”

Kata terakhir itu ditutup hening. Disambut oleh sebuah dekap hangat yang mengunci tubuh Bright dan Win dengan rekat.

Mereka saling terbenam dalam peluk masing-masing. Membaui aroma tubuh dengan rakus bak bertemu oase di tengah gurun. Mereka sama-sama rindu. Rindu akan hadir masing-masing, rindu akan hangat yang dulu kekal, rindu akan segala rasa yang pernah singgah di dalam dada.

“Gue minta maaf ya Win...” Bisik Bright sambil mengusap punggung lelaki manis itu.

“Gue boleh request sesuatu gak Kak?” Kata Win.

“Apa?”

“Gue pengen nonjok lo, boleh gak?”

Pelukan itu seketika terlepas. Bright menatap Win bingung, “beneran pengen nonjok gue?”

Win mengangguk, “kalo gak boleh gapapa kok. Gue pengen ngelampiasin aja.” Katanya sambil mengusap kedua matanya.

“Yaudah boleh. Pukul aj—”

Buagh!!!

“Anjir!!” Pekik Bright sembari memegangi perutnya yang seketika terasa ngilu dan perih. “Buset.. kuat juga ya tinju lo..”

“Jangan remehin gue. Gue pernah ikut kursus judo walaupun cuma sehari.” Saut Win dengan bangganya.

“Berarti kita 0-0 nih ya?”

Win mengangguk, “tapi gue gak mau jalin hubungan dulu. Gue mau buktiin, sembilan tahun ini lo jadi bajingan apa enggak.”

“Oke. Setuju.”

Win menghela nafas panjang, begitupun dengan Bright. Seolah beban berat telah sirna dari pundak masing-masing. Sesekali mereka beradu tatap, lalu tertawa bersamaan. Menertawakan betapa konyol wajah masing-masing, serta betapa lucu kisah yang menjalin keduanya.

Malam belum usai. Benang kusut yang menjerat mereka perlahan-lahan terurai. Tinggal menunggu waktu, apakah lembar manis masa lampau bisa terulang kembali, atau justru membuka halaman baru sebagai jalan menuju masa depan.


bwuniverr, 2023