BYUUUUR!!!!

“ANJING! BRENGSEK LO BRIGHT! PANAS GOBLOK SELANGKANGAN GUE!!!”

Gunsmile, salah satu sababat Bright langsung berteriak heboh setelah selangkangannya tersiram oleh kopi hitam yang masih panas dari mulut Bright.

“Aduh, sori-sori, gue gak sengaja,” sahut Bright sambil terbatuk.

“Lu kenapa sih Bri? Tiba-tiba nyembur begitu? Habis baca berita apa lo?” Mike, sahabat Bright yang lain ikut bertanya pada si pelaku penyemprotan kopi yang menimpa Gunsmile itu.

Sambil terus fokus ke arah layar ponselnya, Bright menjawab, “sori, gue agak kaget nih.”

“KAGET YA KAGET AJA ANJIR! Gak usah pake nyembur gue! Brengsek,” sahut Gunsmile penuh amarah.

“Iye-iye, maaf.” Timpal Bright, “bisa lo beresin sendiri, kan? Aman kalo gitu. Bentar, gue mau balesin dulu.” Ucapnya dengan begitu santai.

Gunsmile langsung melotot, “SI ANJING! SEENAKNYA BANGET LO YE, WOY BRIGHT! ASEM, TANGGUNG JAWAB LO!” Teriaknya.

Tapi sayangnya, Bright sama sekali tidak menggubris. Pemuda itu masih terlihat begitu fokus pada layar ponsel miliknya.

Saat tiba di lorong lantai dua asrama, satu-satunya jalan menuju kamarnya, Bright menghentikan langkah.

Pemuda yang acap kali dipanggil sebagai Berandalan kampus itu langsung menatap penuh selidik ke arah depan kamarnya.

Di sana, sedang berdiri seorang laki-laki, dengan postur tubuh yang hampir sama tinggi dengannya.

Laki-laki itu memakai kemeja hitam. Sambil menenteng sebuah totebag warna khaki, serta membawa koper berwarna biru yang ada di samping tubuhnya.

“Ini bukan si Metawin itu?” Monolog Bright sambil menatap lekat figur laki-laki itu.

Kalau dari gaya rambut dan pakaiannya sih, sepertinya betul.

Sebab dari foto yang tadi Bright lihat, ciri-cirinya sama persis kok dengan penampilan laki-laki yang saat ini sedang berdiri di depan kamarnya itu.

“Okeh. Bakal gue samperin.” Ucap Bright Final.

Satu tarikan nafas, sebelum akhirnya Bright berjalan ke arah kamarnya sendiri.

Serius amat dah, ucap Bright di dalam hati saat melihat jika laki-laki ini sejak tadi tidak lepas sedikitpun dari layar ponselnya.

Padahal Bright langkah yang Bright ambil cukup besar. Dan suara yang timbul terdengar nyaring.

Tapi si laki-laki yang Bright duga adalah Metawin itu sama sekali tidak bergeming.

Maka akhirnya, Bright pun memutuskan untuk langsung menghampirinya saja.

Mau memanggil juga bakal sia-sia nantinya. Iya kalau dia benar Metawin. Kalau bukan, malu dong nantinya.

Beberapa saat kemudian, Bright sudah berhenti tepat di belakang laki-laki itu.

Dan dengan segenap keyakinan yang ada dalam hati si berandalan itu, ia pun memutuskan untuk memanggilnya saat ini juga.

Perlahan, Bright angkat tangan kanannya.

Lalu, ia arahkan menuju bahu milik si laki-laki itu. Hendak menepuk bahunya.

Tak perlu waktu lama bagi tangan Bright untuk bisa menggapai bahu milik laki-laki itu.

Hingga kemudian. . . .

Tap. Tap.

“HUAH! ASTAGA!”

“Lo Metaw—”

CPLAKKKK!!!!

“ADUH—ANJINGGG!!!”

Satu tamparan ekstra keras mendarat dengan begitu epik di wajah tampan milik Bright.

Rasa ngilu bercampur kebas dan sensasi panas yang menyengat langsung datang berkunjung di wajah milik Bright.

Sang Berandalan itu langsung meringis, “brengseeeeek, beraninya lo nampar guee!” Ucapnya geram.

Sedangkan si Pelaku penamparan itu terlihat begitu kaget.

Kedua matanya membola. Laki-laki itu langsung membekap mulutnya sendiri. Kemudian menundukkan kepalanya, seakan berusaha menghindari tatapan Bright.

Sedangkan si korban, langsung naik pitam. Emosi sekali.

“BRENGSEK! BERANI BERANINYA LO NAMPAR GUE!” Cecarnya pada lelaki yang kini sudah menunduk di hadapannya itu.

“HEH! JAWAB! SIAPA LO?! KURANG AJAR BANGET LO NAMPAR GUE?!” Pekiknya penuh amarah.

Bagaimana tidak marah? Sang Berandalan itu merasa dibuat malu.

Sebab selama ini, belum pernah ada orang yang menampar wajahnya seperti ini.

Merasa jika emosinya tidak tertahankan, Bright pun maju satu langkah.

Dengan amarah yang sudah siap meledak bagai gunung api purba, Bright pun langsung menarik kerah baju milik laki-laki itu.

“Angkat wajah lo, brengsek!” Titahnya penuh amarah. “Jangan kurang ajar lo! Habis nampar gue malah nunduk! Mau ngehina gue lo?!” Teriaknya.

“WOY, ANJING ANGKAT MUKA LO SEKAR—”

“M-Maaf, Kak. . . .”

Anjir. . . .

Cengkeraman Bright pada kerah baju lelaki itu seketika mengendur.

Seiring dengan kedua mata Bright yang tak mampu berkedip, tepat setelah ia beradu tatap dengan sepasang mata indah milik laki-laki yang sudah menamparnya ini.

“M-Maaf, Kak. . . S-saya nggak sengaja. . .”

Suara laki-laki di hadapan Bright itu mengalun dengan lembut.

Selembut sorot matanya yang telah sukses membuat Bright terpaku. Tidak sanggup melanjutkan aksinya.

Buset... Cakep banget, Anjir..

Ditatap dengan sorot mata seperti itu membuat Bright reflek melepas cengkeramannya.

Pemuda itu mundur selangkah. Dan pada detik ini, Bright seolah abai pada sensasi menyengat di pipi kirinya. Sekaligus amarah yang tadi menguasai dirinya.

Laki-laki yang akhirnya Bright ketahui sebagai Metawin itu buru-buru maju.

Ia pandangi wajah Bright dengan panik. “Kakak nggak apa-apa? Sakit yah pipinya?..” Tanyanya dengan wakah cemas nan khawatir.

Bagai disihir oleh mantra paling kuat se jagad raya, dengan polosnya Bright mengangguk.

Kedua matanya masih tidak bisa lepas dari memandangi Metawin sedikitpun.

Metawin, si pelaku tamparan kejut kepada Bright itu semakin terlihat khawatir.

“Aduh, maaf banget ya Kak.. saya kira tadi orang jahat.. makanya saya reflek nampar.. maaf..” Ucapnya sambil mengusap-usap pipi Bright.

Dan sekali lagi, Bright menurut.

Saat ini, Bright benar-benar merasa jika dirinya sedang aneh.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Bright tidak jadi menghajar orang yang sudah berani menampar wajahnya.

Amarah yang tadi meledak-ledak seketika lenyap entah kemana.

Dengan entengnya, Bright menerima begitu saja permintaan maaf yang disampaikan sang pelaku penamparan yang ternyata memang adalah Metawin.

Orang yang sama dengan orang yang telah menghubunginya lewat imess tadi.

Kini keduanya saling terdiam.

Mereka sama-sama berdiri di ambang pintu kamar 215.

Dengan Bright yang terus mengusap-usap pipinya yang masih terasa panas, serta Metawin yang masih terlihat sangat menyesal atas apa yang sudah ia perbuat.

“Kakak, beneran nggak apa-apa?” Tanya Metawin lagi sambil menggigit bibir bawahnya sendiri.

Bright menghela nafas. Bukannya menjawab, si berandalan itu justru balik bertanya pada Metawin.

“Bener lo bakal tinggal di sini?”

Metawin mengangguk cepat. “Bener Kak..” sahutnya.

“Bohong gak lo?”

Metawin menggeleng, “nggak kok Kak, aku nggak bohong,” jawabnya. “Aku punya buktinya kok. . .” Imbuh lelaki manis itu.

“Bukti? Bukti apaan?”

Metawin buru-buru merogoh saku celananya. Sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah benda dari dalam sana.

“Ini Kak buktinya...” Jawabnya sambil menyerahkan sebuah kunci kepada Bright.

Bright menerima kunci itu dengan tatapan curiga.

Namun kecurigaan dalam hati berandalan itu seketika sirna.

Setelah ia melihat dengan jelas sebaris angka yang tercetak di gantungan kunci milik Metawin itu.

  1. Angka yang persis sama dengan nomor yang tertulis di pintu kamar Bright.

Anjir beneran dia sekamar sama gue, gerutu Bright dalam hati.

“Bener kan Kak, aku nggak bohong?” Tanya Metawin yang dibalas tatapan jengah oleh Bright.

“Gue masih gak percaya,” sahut Bright. “Gue mau ngetes lo.”

Metawin terlihat kaget, “hah? Mau ngetes apa, Kak?” Sahutnya.

“Coba lo jawab. Siapa nama Ibu Asramanya?”

“Ibu Hesti Purwa Dinaga, S.Hum”

Anjrit bener.

“Ada berapa fakultas di sini?”

“9 Kak. 1 Fakultas Baru hasil pemekaran dari Fakultas Hukum.”

Aanjritt bener lagi dong

“Bentar masih ada lagi.” Ucap Bright yang merasa belum puas.

“Iya Kak. Apa?” Sahut Metawin yang justru terlihat antusias.

“Asrama ini ada berapa lantai?”

“Ada 5 Kak. Masing-masing lantai ada 100 kamar. Nah tiap 25 Kamar itu dibag—”

“Dah Dah, Cukup.” Potong Bright. Sebab akhirnya Pemuda itu sadar bahwa Metawin ini memang tidak bohong.

“Ayo masuk. Kita ngobrol di dalem aja.” Ajaknya pada Metawin.

“Gue Bright. Musik 2018.” Ucap Bright memperkenalkan diri setelah keduanya duduk berhadapan di dalam kamar asrama itu.

Metawin tampak sedikit kagum, “waaah berarti Kak Bright bisa main musik, dong?” Tebaknya.

“Gak bisa. Bisanya main dakon,” sahut Bright sambil memutar bola matanya malas. “Ya bisa lah! Lo nih gimana sih gitu aja pake tanya?!”

Metawin hanya bisa membalas dengan cengiran lebar sambil garuk-garuk kepala.

Padahal kan Metawin ini tanya betulan. Kenapa harus begitu sih menjawabnya, sebel.

“Oh iya, berarti lo fix bakal tinggal di sini, kan?”

“Iya Kak, betul. . .” Jawab Metawin.

“Mm.. Oke.” Sahut Bright. “Sebenernya sih, selama ini gue GAK PERNAH MAU nerima orang lain buat tinggal sekamar sama gue,” ucapnya.

Pemuda itu terdiam sejenak, sebelum kembali berbicara, “tapi karena lo udah terlanjur di sini, mau gimana lagi.”

“Gue bakal terima lo di sini.”

“WAH! BENERAN KAN?! YEEE—”

“Dengan satu syarat!”

“Syarat apa, Kak??” Sahut Metawin penasaran.

Bright menghela nafas. “Lo jangan pernah ikut campur urusan gue, dan jangan pernah bikin ribut di kamar ini.” Jawabnya.

“Oke Kak! Pasti bakal aku penuhin kok syaratnya!!” Timpal Metawin begitu antusias. “Yeeeyy!! Terima kasih Kak Bright!!”

Pemuda manis itu lantas mengarahkan tangannya kepada Bright. Yang langsung disambut tatapan bingung olehnya.

“Mau ngapain lo?”

“Mau salaman Kak, biar resmi..”

“Hadeeeh, ada-ada aja sih kelakuan lo,” sahut Bright sambil geleng-geleng kepala.

“Ayooo Kak, kita salaman, Ih! Biar resmi gitu penyambutannya.”

Mau tak mau, Bright pun mengiyakan permintaan Metawin.

Ketika kedua tangan itu bersambut, Bright mengambil segelas air yang tadi sudah ia siapkan di atas meja. Sedangkan Metawin berucap dengan begitu lantang.

“Terima kasih Kak udah mau nerima aku. Semoga kita jadi teman sekamar yang akur, ya. Aamiin..” Ucapnya sambil tersenyum dengan begitu lebarnya.

Awalnya mereka pikir jika momen jabat tangan itu akan berlangsung dengan khidmat. Sampai akhirnya. .

BBRRRPPPPTTT!!!!

“IHHH KAK BRIGHT KOK AKU DISEMBUR SIH?!!!!”

UHUK UHUK!—Salah sendiri Lo pake senyum—UHUK!

Sambil mengusap wajahnya yang basah karena semburan air dari mulut Bright, Metawin menimpali, “IH KAK BRIGHT APAAN SIH ORANG SENYUM KOK GA BOLEH!”

Metawin tidak tahu saja. Sambil terus terbatuk, Bright sejak tadi bergumam tak percaya di dalam hatu. . .

Buset senyumnya.. parah...

Rasanya Bright ingin melempar sebungkus Lele dan Terong penyet yang ia bawa dengan susah payah ke arah Metawin.

Bisa-bisanya ya, anak itu, sudah bikin repot Bright untuk bolak-balik ke warung, giliran sudah dibelikan, malah ketiduran.

Bright menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menahan emosinya yang siap meledak kapan saja.

Bright pun meltakkan sebungkus nasi yang ia belikan untuk Metawin di atas nakas. Lalu berjalan dengan kesal ke sisi tempat Metawin tidur.

“Enak banget ya lo malah tidur. Gue udah repot balik ke warungnya lagi. Sialan!” Gerutu Bright sambil mendelik kepada Metawin.

Demi Tuhan. Bright ingin sekali menyentil, memukul, atau menjawil anak itu agar ia bangun.

Tapi tidak tahu kenapa, Bright merasa tidak tega jika harus melakukannya. Aneh.

Akhirnya, Bright pun hanya berjongkok di samping Metawin sambil menatap wajah penghuni baru kamarnya itu lekat-lekat.

Awalnya Bright hanya ingin melihat sekilas wajah penghuni baru kamarnya itu.

Tapi lama kelamaan, Bright justru menikmati momen memandangi wajah Metawin itu.

Tanpa sadar, Bright sampai mendudukkan diri di samping tubuh Metawin.

Pemuda itu bahkan mendekatkan wajahnya. Seolah ingin melihat wajah Metawin lebih dekat.

Mukanya bersih banget ya, batin Bright dalam hati.

Jujur, Bright belum pernah melihat wajah seorang laki-laki seputih dan sebersih Metawin.

Wajah Metawin ini, bagi Bright, terlihat sungguh sangat sempurna.

Guratnya manis, hidungnya bangir, bibirnya sintal merona.. Oh, sungguh proporsi wajah yang sangat memikat perhatian.

Sekali lagi, sepertinya Bright hilang kesadaran.

Sebab tiba-tiba ia mengarahkan tangannya ke rambut Metawin dan mengusapnya perlahan-lahan.

Sungguh, sepertinya niat awal Bright untuk memaki Metawin telah lenyap entah kemana.

Pemuda itu justru menikmati momen untuk menatap sekaligus menyentuh rambut Metawin yang terasa lembut.

“Hngg. . .” Metawin tiba-tiba merengek dalam tidurnya.

Bukannya menjauh, Bright justu mengusap-usap rambut Metawin sambil berbisik lirih padanya.

Seolah menenangkan Metawin agar bisa kembali terlelap.

Merasa cukup untuk memandangi anak itu, Bright pun beranjak.

Pemuda itu kembali berjongkok, hendak berdiri untuk memakan nasi lele yang ia beli tadi.

Sedetik kemudian, Bright akhirnya berdiri.

Pria itu berjalan selangkah sambil terus menatap wajah Metawin yang masih dibuai mimpi.

Sayangnya, karena hal itu Bright jadi awas diri. Ia tidak sadar kalau di depannya ada tas Metawin yang teronggok di atas lantai.

Bright masih terus saja berjalan dengan kedua matanya yang tidak lepas sedikitpun dari Metawin.

Sampai akhirnya. . .

JDUG!

“ANJ—EH! EH!! EEEHH!!!”

BUGH

Deg! Deg! Deg!

Yap. Karena kecerobohannya sendiri, Bright akhirnya jatuh bebas dan mendarat dengan tepat di atas tubuh Metawin.

Dengan wajahnya yang berhadapan langsung begitu dekat dengannya.

A.. Anj.. jir. . . .