chapter 1


Seandainya jantung Erwin bisa bersuara, maka akan terdengar bunyi rampak bagai tetabuhan yang bergema di medan perang.

Pria itu gugup sekali. Entah apa sebabnya.

Bel rumahnya sudah berbunyi berkali-kali. Namun ia masih enggan beranjak dari tempatnya berdiri.

Sejak tadi, Erwin terus menatap ke arah pintu rumahnya, satu-satunya sekat penghalang yang tersisa sebelum ia bertemu dengan tamu di luar sana.

Ting Tong!

Lagi, bel rumah itu berbunyi.

Dan sepertinya denting nyaring dari arah pintu rumahnya itu semakin membuat nyali Erwin ciut.

Aduh gimana ini ya. . .

Masa iya sih gak gue bukain.. nunggu papi mami aja..

Aih, tapi nanti kalo tamunya tersinggung gimana?

Duh, binguuuuung!

Dalam hati Erwin, perang besar sedang berkecamuk. Dia bingung harus bertindak seperti apa. Sebab semua opsi yang saat ini muncul dalam benaknya punya konsekuensi dan akibat masing-masing.

Erwin melirik jam dinding yang menggantung di salah satu sudut ruang tamu itu.

Tujuh lima belas. Yang artinya sudah hampir sepuluh menit Erwin membiarkan tamunya itu menunggu di luar sana.

“Duh anjir kasian juga ya orangnya..” monolognya sambil menatap cemas ke arah pintu, “tapi gimana huhu gue gugup. . .”

Ting Tong!

Sekali lagi, bel rumah itu berbunyi.

Dan kini, Erwin sepertinya sudah tiba di ujung pergulatan batinnya.

Pemuda itu menarik nafas dalam-dalam, sebelum akhirnya kaki jenjangnya itu membuka langkah. Membawa tubuh tegapnya itu maju dari posisinya yang sejak tadi stagnan.

Di tengah badai rasa gugup yang masih bergemuruh dalam hati, Erwin memutuskan untuk membukakan pintu.

Pemuda itu merasa tidak enak karena telah membuat tamunya menunggu begitu lama.

Sudah semestinya Erwin menyambut mereka. Bukannya terus terjebak dalam gugup dan cemas tak beralasan seperti ini.

Sesampainya di depan pintu, Erwin tidak langsung menarik gagang pintunya itu. Ia berdiam sejenak, berusaha meredam rasa gugup yang masih bergemuruh kencang di dalam hatinya.

Dan setelah sebuah tarikan nafas panjang, Erwin pun melangkah maju.

Dipandanginya gagang pintu itu sejenak, sebelum akhirnya ia raih dengan sisa keraguan yang masih bergejolak di dalam dada.

Ceklek.

Erwin sontak menahan nafas saat pintu gading itu terbuka.

Di hadapannya, Erwin bisa melihat figur dua orang laki-laki yang berdiri bersisian.

Mereka berdua terlihat rapi dengan setelan celana formal, sekaligus sepatu dengan warna senada.

Aduh beneran tamunya nih. . .

Lantas Erwin pun memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Hendak melihat seperti apa paras sang tamu yang sukses membuatnya gugup seharian ini.

“Selamat datang, maaf menunggu lam—”

Kalimat yang sedang Erwin ucapkan itu seolah kembali masuk ke dalam tenggorokannya.

Erwin tak bisa berkata-kata. Pemuda itu ngeblank. Tak mampu menguasai dirinya sendiri.

Sebab saat ini, Erwin dihadapkan pada wajah laki-laki yang terlihat begitu tampan. Begitu menawan, hingga membuat Erwin kehilangan kesadaran.

Ganteng. . . banget. . . ini malaikat apa ya?

“Kamu anaknya Thanat?”

Lamunan Erwin langsung buyar setelah mendengar suara dari salah seorang tamunya dengan wajah yang cukup dewasa.

Pria itu berwajah tegas, cenderung kaku. Dan dari air mukanya, Erwin bisa menebak jika usia pria itu sama dengan Papinya.

“I-iya.. s-saya sendiri,” jawab Erwin gugup.

Setelah kesadaran pemuda itu pulih, ia langsung bergeser. “S-silahkan masuk, Om.. Mas…” Sambutnya pada mereka berdua.

Kedua orang tamunya itu langsung melangkah masuk. Diawali oleh pria dewasa yang tadi bertanya kepadanya, disusul oleh pria kedua. Pria tampan yang sukses membuat Erwin hilang kesadaran.

ANJIR GANTENG BANGET SIH. . .

Senyumnya. . . Ya Tuhan. . . Manis banget. . . Puji Erwin dalam hati setelah tadi sempat mencuri-curi pandang ke arah pria tampan itu.

Dan setelahnya, Erwin pun ikut masuk. Menyusul kedua tamunya, serta berusaha menyambut kehadiran mereka dengan baik. Seperti yang diintruksikan oleh sang mami.

Sambil terus mengingat-ingat senyum manis milik pria tampan itu dengan hati yang berdebar-debar.