HUJAN.
content warning : blood.
Menyesal.
Itulah yang Metawin rasakan saat ini. Cowok itu menyesali keputusannya untuk melanjutkan membaca buku materi yang membuatnya lupa waktu dan berakhir kejebak hujan di kampus saat ini. Udah dingin, gelap, sendirian pula. Lengkap sudah penyesalan Metawin.
Cowok itu selalu bingung setiap kali hujan turun. Karena sejak kecil, Metawin tidak bisa sedikitpun berurusan dengan yang namanya hujan. Kayak kemusuhan gitu deh pokoknya.
Kalau Metawin terpaksa berurusan dengan air hujan, pasti ada aja deh sesuatu yang menimpa dia. Ada aja pokoknya.
Karena itu Metawin selalu bingung kalau udah kejebak hujan kayak begini.
Payung nggak bawa, jas hujan apalagi. Karena Metawin selalu berpikir kalau kampus dan tempat kostnya itu masih relatif dekat. Padahal mah kalau jalan rasanya capek juga.
Mau menghubungi teman juga nggak enak rasanya. Jam segini Khao pasti sudah sampai rumahnya. Jadi nggak mungkin kan kalau Metawin minta dijemput sama dia?
“Gimana ya. . . Masa diterobos hujannya?” Monolog Metawin sambil menatap hujan dari balik pintu kaca fakultasnya.
Metawin berjalan keluar. Cowok itu merentangkan tangan. Diarahkan tangannya itu ke arah air hujan yang sedang turun dengan deras. “Waduh, hujannya deres banget.. nggak bisa ini kalo nerobos.. sampe gang lima aja pasti udah basah..” ucapnya setelah menyadari kalau hujan masih sedang deras-derasnya.
Cowok itu menghela nafas. Akhirnya ia kembali ke balik pintu kaca. Berdiri di sana sambil berharap agar hujan cepat reda. Sebab Metawin capek. Dia ingin segera beristirahat di kosannya.
Kayaknya bukan cuma Metawin yang musuhan sama hujan di sore itu. Di tempat lain, Bright lagi ngomel sendirian karena terpaksa hujan-hujanan dari gor futsal ke parkiran.
Jaraknya lumayan dekat sih. Tapi saking derasnya hujan itu, Bright pun berakhir basah kuyup. Untung saja si ice cold prince itu bawa mobil. Jadi nggak perlu basah-basahan lebih lama lagi.
“Deres banget, tumben,” omel cowok itu sambil mengganti baju olahraganya yang sudah basah dengan kemeja dan celana baru.
Setelah semuanya beres, Bright langsung menyalakan mobilnya.
Tidak perlu menunggu lama untuk akhirnya cowok tampan itu menginjak pedal gas dan membawa mobilnya menyusuri jalanan kampus untuk pulang ke rumah. Menerobos hujan deras yang kayaknya sih masih belum ada tanda bakal reda.
Sambil memandangi beberapa mahasiswa yang sedang lari-larian atau yang sedang sibuk memakai mantel, diam-diam Bright jadi bersyukur. Bersyukur karena dia bisa mendapat fasilitas mobil yang membuatnya lebih sedikit aman dari teman-temannya yang lain.
Coba kalau nggak pakai mobil, pasti Bright bakal lebih ngomel lagi. Karena berurusan sama hujan tuh agak susah rasanya.
Saat mobil Bright berjalan melewati fakultas ilmu budaya, ia dibuat kaget dengan seekor kucing yang tiba-tiba berlari menyeberangi jalan.
“Aduh kucing nih, untung nggak ketabrak,” ucap Bright sambil mengikuti kemana kucing itu pergi.
Sesaat setelah bayang-bayang kucing itu hilang, kedua mata Bright beralih fokus kepada sesuatu yang lain di sana. Di gedung utama FIB.
Bright memicingkan mata. Dari balik kaca mobilnya, Bright bisa melihat seseorang yang sedang berdiri di sana. Di balik pintu kaca, di lobby fakultas itu. Dia berdiri sendirian, sepi, nggak ada teman, kayak orang bingung.
Dari gelagatnya sih Bright seperti kenal ya siapa orang itu. Tapi karena tersamar oleh air hujan yang cukup deras, jadinya Bright sedikit ragu.
Tapi saat orang itu menolehkan wajah, kedua mata Bright terbuka lebar,
“Loh? Metawin?” Ucap Bright spontan setelah melihat dengan jelas wajah orang itu. “Ngapain masih di sini? Udah gelap juga,” gumamnya seorang diri sambil melihat sekeliling, siapa tau Metawin sedang menunggu seseorang.
Tapi untuk beberapa saat kemudian, Bright tidak melihat jika ada orang lain di sekitar fakultas ini. Jadi, Bright menyimpulkan bahwa Metawin ini sedang berteduh, menunggu hujan reda.
Menyadari hal itu, Bright langsung ambil tindakan. Ia jalankan mobilnya untuk mendekat ke arah lobby fakultas. Lalu kemudian cowok itu langsung keluar dari dalam mobil. Bergegas mendatangi Metawin yang masih berteduh di dalam sana.
“Metawin?”
“HUAH! HANTU!” Pekik Metawin sambil terlonjak. Cowok manis itu terlihat kaget sekali saat mendengar suara Bright yang menggema di lobby fakultasnya yang sudah sangat sepi itu.
Bright mendengus, “hantu apaan sih, ini gue,” ucapnya.
Metawin menghembuskan nafas panjang. “Ya ampun kak.. aku kaget banget huhu, aku kira ada hantu..” ucapnya sambil mengusap-usap dada.
“Cih, mana ada hantu ganteng kayak gue,” gerutu Bright.
“Hah? Gimana kak? Aku nggak denger. . .”
Bright mengalihkan pandangannya. “Dah lupain aja,” sahut cowok ganteng itu. Ia lantas melirik ke sekeliling fakultas ilmu budaya yang ternyata sudah sangat sepi. Lalu kembali menatap Metawin yang masih berdiri di sampingnya. “Kenapa belom pulang?”
“Hujan, kak…” sahut Metawin.
“Ya iya. Semua orang juga tau kalo lagi hujan,” timpal Bright. “Gak bawa payung?”
Metawin menggeleng.
“Mantel? Jaket?”
Metawin menggeleng lagi.
Bright menghela nafas. “Lo nih gimana sih, udah jalan dari kosan, gak bawa motor, gak bawa payung, gak bawa mantel. Kalo ternyata besok hujannya baru reda, mau nginep di sini?” Cecar Bright.
“Nggak gitu, Kak. . .” sahut Metawin dengan wajahnya yang sedih. Gimana nggak sedih, udah nunggu hujan dari sore, sekarang ketemu Kak Bright malah diomelin.
“Terus gimana?”
“Ya.. aku kira nggak bakal hujan tadi tuh.. makanya aku nggak inisiatif bawa payung.. eh ternyata malah hujan deras. . .” jelas Metawin.
Bright geleng-geleng kepala. “Emangnya lo tuh BMKG? Pake ngira-ngira nggak bakal hujan,” sahutnya ketus. “Dah, ayo bareng gue.”
“Eh? Engg———”
“Ini perintah, Metawin.” Potong Bright sambil berjalan maju. Membuat Metawin terhimpit di antara tubuh Bright dan dinding kaca lobby fakultasnya itu.
Dalam posisi yang menegangkan itu, Bright memajukan wajahnya. Membuat Metawin menahan nafas, takut. “Sekarang, lo pulang sama gue. Nggak ada penolakan. Ngerti?” Bisik Bright pada Metawin yang dibalas anggukan oleh cowok manis itu.
Bright lantas mengangguk. Pria itu lalu berjalan menuju halaman fakultas. Disusul Metawin di belakangnya.
Metawin memandangi Bright yang sedang memperhatikan rintik air hujan. Keduanya sama-sama tidak membawa payung. Jadi bakal sama saja, kan? Akhirnya Metawin juga bakal hujan-hujanan kalau begini ceritanya.
“Kak Bright pulang duluan aja gapapa. Aku nunggu hujannya reda dulu,” ucap Metawin yang merasa kalau pulang bersama Bright itu hanyalah sia-sia.
Bright menoleh ke arah Metawin, “nggak. Lo pulang sama gue pokoknya, titik.” Sahut Bright sambil mendelik.
“Tapi kan kak Bright nggak bawa payung.. sama aja dong nanti kita kehujanan?” Tanya Metawin balik.
Bukannya menjawab, Bright justru melepaskan jaket denim yang tadi diambilnya dari dalam mobil. Dengan satu gerakan cepat, Bright membentangkan jaket itu di atas tubuhnya, lalu menarik Metawin hingga cowok manis itu masuk ke dalam dekapannya.
Metawin mendelik, kaget dengan apa yang baru saja Bright lakukan.
Belum sempat rasa kaget anak itu hilang, Bright lebih dulu melingkarkan tangannya pada pinggang Metawin yang sukses membuat cowok manis itu terlihat semakin kaget.
“Kak?!”
“Diem. Jangan banyak nanya,” sahut Bright cepat sambil menatap tajam ke arah Metawin.
Merasa tak punya pilihan, Metawin pun akhirnya diam. Membiarkan sosok yang dijuluki sebagai ice cold prince itu mengambil kendali.
Setelah menatap sekeliling, Bright kemudian menarik tubuh Metawin untuk ia bawa lari bersama-sama.
Mereka berdua lantas berlari bersama, menerobos rintik hujan di sore itu, sambil merangkul tubuh satu sama lain. Persis seperti scene film-film Bollywood.
Di sela momen lari-larian bareng itu, diam-diam Metawin mencuri pandang ke arah Bright. Cowok itu, entah bagaimana caranya, bisa tetap terlihat sangat tampan dan bersahaja walau di bawah guyuran hujan seperti ini. Membuat Metawin tak henti mengagumi indah karya tuhan itu.
Tanpa Metawin sadari, Bright pun melakukan hal yang sama. Cowok ganteng itu sesekali melirik lewat ekor matanya. Menangkap bias wajah Metawin yang sejak tadi ia ketahui sedang memperhatikannya lekat-lekat.
Kalau hati seorang manusia bisa tersenyum, maka Bright sudah melakukannya sejak tadi. Ia bahagia. Bahagia sebab bisa berlari bersama Metawin di tengah hujan seperti ini. Sederhana sekali memang, tapi bagi Bright rasanya luar biasa.
Dan dari lirikannya itu, Bright bisa melihat wajah Metawin yang pelan-pelan berubah merah, seperti arbanat yang dijual di pekan raya setiap kali ia memandangi wajahnya.
Lucu banget, untung lagi hujan, gumam Bright dalam hati.
Tak butuh waktu lama, mereka berdua akhirnya sampai di sedan putih yang sehari-hari Bright gunakan untuk berangkat kuliah.
Bright antarkan Metawin untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil, baru kemudian dirinya beranjak masuk. Menyisakan bekas air hujan yang cukup banyak di dalam mobilnya.
“Metawin, aman?” Tanya Bright sambil melempar jaket yang tadi digunakan sebagai payung ke kursi belakang.
Metawin mengangguk, “aman kok, Kak. Kemejaku basah dikit, tapi celananya lumayan basah..” sahutnya sambil melepas tas yang menggantung di punggungnya.
“Oh yaudah kalo git—Loh? Kok muka lo pucet banget?” Sahut Bright setelah melihat wajah Metawin yang terlihat sangat pucat.
Metawin balas menatap Bright, “masa sih kak? Tapi aku nggak apa-apa kok..” sahutnya sambil meraba wajahnya sendiri.
Wajah Bright langsung terlihat panik. Pria itu menengok ke belakang, mencari baju, kain, atau apapun yang bisa dipakai sebagai handuk sementara.
Beruntung masih ada kaos basket miliknya yang belum terpakai di kursi belakang. Maka Bright pun bergegas mengambil kaos itu, kemudian kembali menatap Metawin.
“Nih pake ini dul—ASTAGA METAWIN, LO MIMISAN!” Pekik Bright sambil menunjuk darah segar yang baru saja mengalir dari lubang hidung Metawin.
Metawin terlihat kaget dengan informasi yang baru saja Bright sampaikan. Ia lantas meraba hidungnya sendiri. Dan benar saja, ia mendapati bercak darah di jari-jarinya.
“Ya ampun kok bisa mimisan gini sih?” Tanya Bright yang kini sedang sibuk mengambil tissue, “pusing gak kepala lo? Atau ada yang sakit?”
Metawin menggeleng. Entah bagaimana, Metawin merasa kalau tubuhnya lemas sekali, hingga membuatnya tidak mampu menjawab pertanyaan Bright.
Perlahan, Metawin merasakan jika pandangannya memburam. Tidak fokus, seperti lensa kamera yang tidak bisa menemukan titik fokusnya.
Kepalanya pun mulai terasa pening. Seperti ada tangan tak kasat mata yang meremasnya perlahan-lahan.
“Kak Bright. . .” panggil Metawin lirih.
Namun Bright tak menghiraukannya. Pria itu masih sibuk mencari tissue dalam dashboard mobilnya hingga abai pada Metawin yang terlihat mulai hilang kesadaran.
“Nah ini nih tissuenya!” Sahut Bright saat menemukan tissue yang sejak tadi ia cari.
Dan tepat saat Bright mengangkat wajah, Metawin terpejam.
“Win?! METAWIN, ASTAGA!”
Bugh.
Di hadapan mata Bright, di dalam sedan putih miliknya itu, Metawin terhuyung. Jatuh tidak sadarkan diri ke dalam pelukan Bright dengan darah yang terus mengalir dari dalam hidungnya.