Briefing

Jika hidup selayaknya film, maka sepertinya Rafa tengah hidup dalam genre komedi-tragedi.

Tidak pernah terbayangkan di usianya kini ia harus terlibat dalam sebuah sandiwara konyol yang menyangkut masa depan hidupnya bersama sang atasan.

Kini Rafa menyesali keputusannya. Mestinya sejak awal ia berkata tidak. Tapi apa mau dikata? Waktu tidak bisa ditarik mundur. Mau tak mau Rafa harus menjalaninya. Walau dengan senyum palsu sekalipun.

Setelah menunggu lima belas menit, Hesa akhirnya tiba bersama Jaka, rekan kerja sang SPV yang juga Rafa kenali.

Dari pertemuan pagi ini Rafa akhirnya tahu jika Jaka memiliki andil besar dalam rencana pernikahan palsu ini. Karena itulah Hesa mengajaknya, untuk membantu proses briefing di pagi ini.

Satu jam berlalu, Briefing akhirnya usai. Waktu berlalu dihabiskan untuk sa;ling memperkenalkan diri sekaligus mengetahui latar belakang masing-masing.

Situasi terasa konyol karena sejak sesi Briefing dimulai, Hesa lebih banyak mengetahui tentang Rafa. Sedangkan Rafa tidak banyak, informasi yang ia simpan sebatas data diri seorang atasan, tidak lebih.

Diam-diam, Rafa merasa heran. Bagaimana bisa Hesa tahu banyak sekali hal mengenai dirinya. Padahal baru dua tahun mereka menjalin hubungan kerja.

“Oke. Informasi masing-masing udah dipegang, ya?” Tanya Jaka yang dibalas anggukan oleh dua orang di hadapannya, Hesa dan Rafa.

“Kalo gitu, briefing selesai.” Kata Jaka. Rafa langsung menghembuskan nafas lega. “Menurut gue, informasi tadi udah cukup buat backup kalian selama pertemuan pertama.” Lanjut Jaka.

“Kalau nggak ada lagi yang perlu dibahas, ditutup aja Sa,” kata Jaka kepada Hesa.

“Bentar, ada yang kurang,” saut Hesa.

Hesa beralih tempat duduk. Lelaki itu meraih tas miliknya lalu mencari sesuatu dari dalam sana. Beberapa saat kemudian, Hesa mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil berwarna merah.

“Supaya rencananya kelihatan serius, kayaknya kita berdua perlu pakai cincin ya Raf,” kata Hesa.

Rasanya Rafa ingin melarikan diri saat ini juga. Ia tidak menyangka jika pernikahan palsu ini harus direncakan sebegininya. Kenapa harus pakai cincin segala? Tanya Rafa dalam hati.

Sedetik kemudian Rafa dibuat kaget sekali karena Hesa tiba-tiba meraih tangannya, lalu dengan santainya memakaikan cincin di jari manis Rafa.

Rafa tak bisa berkata-kata. Tubuhnya membeku, tak sanggup merespon. Namun berbanding terbalik dengan wajahnya yang terasa panas sekali.

Cincin telah tersemat. Masih dalam posisi berhadapan yang begitu dekat, Hesa menatap dalam kedua mata Rafa. “Oh iya, Raf. Saya ada satu permintaan.”

“P-permintaan.. apa Pak?” Saut Rafa gugup.

“Tolong panggil saya Mas juga ya. Mas Hesa, gitu. Kayak kamu manggil Jaka.” Pinta Hesa dengan santainya.

Rafa seketika mendelik. Kaget. Dalam hati Rafa komat-kamit, heran akan tingkah atasannya yang satu ini. Bisa pak.. bisa GILA SAYA! Umpat Rafa dalam hati.