Lanjutane Kadel
Bip. Bip. Bip.
Jam dinding di kamar 215 itu berbunyi cukup nyaring saat jarum pendek di dalamnya berhenti di angka enam.
Malam telah beranjak. Bertukar tempat dengan mentari pagi.
Namun, kedua laki-laki di dalam kamar itu masih sama-sama enggan membuka mata.
Mereka masih sibuk memeluk satu sama lain. Seolah tidak ingin lepas dari pelukan nyaman itu.
Metawin mengerjapkan mata.
Berusaha membiasakan pandangannya dengan sinar matahari yang menembus gorden balkon.
Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan milik Bright yang masih berada begitu dekat.
Dengan kedua tangannya yang masih memeluk tubuh kakak tingkatnya itu erat-erat.
“Kak Bright. . .” Panggilnya dengan suara serak khas bangun tidur.
Tidak ada jawaban. Sang berandalan itu justru mempererat pelukan mereka.
“Kakak. . .” Rengek Metawin lagi, “bangun.. udah pagi..” bisiknya.
Sambil memejamkan mata, Bright menggeleng lirih.
Pemuda itu lantas mengusalkan dagunya pada puncak kepala Metawin. Membuat pemiliknya itu tertawa geli.
“Kak Bright.. geli..” ucap Metawin.
Sedetik kemudian, barulah Bright membuka mata.
Ia bawa pandangannya turun. Untuk beradu tatap dengan sorot mata indah milik Metawin di bawah sana.
“Kenapa sih berisik banget, hm?” Sahut Bright dengan suaranya yang terdengar serak-serak basah.
“Udah pagi ini.. ayo bangun..” sahut Metawin.
Bright tersenyum kecil, “nanti dulu. Lima menit lagi,” balasnya.
“Yaudah, janji. Lima menit loh ya?”
Bright mengangguk. “Iya. Lima menit doang. Nggak lebih kok.” Jawabnya.
Sambil terus memandangi wajah Metawin, Bright kembali bertanya, “udah nggak takut sama gue?”
“Enggak,” jawab Metawin. “Takutnya udah kemaren. Sekarang udah enggak.”
Reflek, tangan kiri Bright terangkat untuk mengusap lembut rambut Metawin, “pinter.” Ucapnya sambil tersenyum tipis.
“Gue minta maaf ya kemaren udah bentak lo. Gue lagi emosi. . .”
“Iya. . . Nggak apa-apa kok Kak. . .” Jawab Metawin sambil tersenyum balik.
Mata pemuda manis itu memicing. Seiring salah satu tangannya ia angkat untuk menyentuh hidung Bright.
“Ih hidung Kak Bright merah,” ucapnya memberi tahu. “Kok bisa gini?”
Bright menengok ke arah hidungnya sendiri, “kemarin kena pukul.” Jawabnya.
“Kak Bright kenapa kok berantem? Ada masalah?”
“Biasa lah. Ada yang cari gara-gara.”
“Siapa yang cari gara-gara?”
Bright menghela nafas. Ia eratkan tubuhnya dengan Metawin sebelum akhirnya menjawab, “musuh bebuyutan gue. Anak Teknik.”
“Jadi geng gue tuh punya musuh. Dari Teknik. Junior nama kepala gengnya.” Ujar Bright menjelaskan.
“Kemaren tuh, Guns tiba-tiba diserang. Katanya gak izin pas lewat kantek. Terus yaudah deh, gitu. Akhirnya ribut.”
“Kak Guns gak apa-apa? Apa luka juga?”
“Bonyok dia. Babak belur dihajar.” Sahut Bright sambil tertawa.
“Kalo Kak Bright, gapapa kan?”
“Gapapa gini nih buktinya.” Jawabnya dengan bangga.
“Cuma tangan gue aja tuh, mau ninju muka Junior meleset ke tembok.”
Metawin manggut-manggut paham. Memang sih, sepertinya tidak ada luka lain di bagian tubuh Bright selain di tangannya.
Pemuda manis itu menyandarkan dagunya di dada Bright, “terus sekarang, Kak Bright udah nggak marah?” Tanyanya.
“Enggak.” Sahut Bright sambil tersenyum. “Soalnya udah lo peluk semaleman.”
“Hehehe. Syukur deh kalo udah nggak marah..” balas Metawin.
“Ih Kak, ayo bangun. Udah lima menit ini. . .”
Bright seketika menutup matanya kembali.
“Aduh, bentar lagi deh, lima menit lagi ya.” Ucapnya sambil kembali memeluk Metawin erat-erat.
“Ihh gaboleh.. ayo bangun nanti telat kuliahny—Eh!”
“Kenapa Win?” Sahut Bright bingung.
Metawin menunduk sejenak sebelum akhirnya kembali menatap Bright.
“Kenapa? Ada apa?”
“Itu. . .” Jawab Metawin ragu.
“Itu, itu kenapa sih?”
Metawin terdiam sejenak, hingga akhirnya berkata, “Itu.. rasanya ada yang nusuk-nusuk perutku Kak. .”
ANYING!
Secepat kilat, Bright langsung melepaskan pelukannya pada tubuh Metawin.
Sang Berandalan itu lantas melirik ke bawah sana.
Seiring ia berkata di dalam hati,
Brengsek si Joniiiii!!!
“Kak Bright?” Panggil Metawin gugup.
“Ehm.. Win, g-gue ke kamar mandi dulu ya? Kebelet ini. Bentar ya!”
Sebelum Metawin sempat menjawab, Bright sudah lebih dulu kabur menuju kamar mandi.
Meninggalkan Metawin sendirian di atas kasur dengan wajahnya yang terlihat kebingungan.
Setelah dipaksa oleh Metawin untuk kembali ke dalam kamar, kini Bright sudah tiba di sana.
Mereka berdua duduk berhadapan di antara beberapa lauk dan nasi yang sudah Metawin siapkan untuk sarapan.
“Kak Bright mau lauk apa buat sarapan?” Tawar Metawin.
Bright melihat-lihat lauk di hadapannya, “samain aja sama Lo.”
“Oke!” Sahut Metawin antusias sebelum ia mengambilkan lauk untuk Bright dan dirinya sendiri.
Setelah piring mereka terisi oleh nasi dan lauk, sarapan pagi itu pun dimulai.
Metawin menyantap menu sarapan yang sudah ia masak itu dengan nikmat.
Sedangkan Bright sepertinya mengalami kesulitan.
Ia berulang kali meringis saat hendak menyendokkan makanan itu ke dalam mulutnya.
“Kak Bright kenapa?” Tanya Metawin saat melihat Bright meringis kesakitan.
Bright tidak menjawab. Namun ia meletakkan sendok di genggamannya lalu menatap kedua tangannya bergantian.
“Oh iya, aduh.. itu lukanya belum diobatin!” Ucap Metawin yang baru sadar akan kondisi tangan kakak tingkatnya itu.
“Aku ambil obatnya dulu ya ka—”
“Nggak usah, Win. Nanti aja,” potong Bright cepat.
“Ih terus makannya gimana? Kak Bright kan susah makan jadinya. . .”
Lah, benar juga ya. Kalau tidak diobati sekarang Bright jadi tidak bisa makan.
Tapi kalau diobati sekarang, kasihan Metawin karena sarapannya terganggu.
“Oh, aku tau!” Ucap Metawin tiba-tiba.
Belum sempat Bright bertanya maksud teman sekamarnya itu, Metawin lebih dulu bergerak cepat.
Ia langsung duduk di samping Bright, menyambar piring milik berandalan itu, lalu secepat kilat mengambil sesendok nasi plus lauk.
Dan setelahnya, ia arahkan sendok itu kepada Bright.
Bright terdiam. Ia hanya mengerjapkan mata sambil melihat Metawin.
“Ayo dibuka mulutnya Kak, aku suapin,” ucapnya. “Tangannya Kak Bright kan masih sakit, jadi mending aku suapin aja, hehe.”
Bright kembali mengerjapkan mata.
Anak ini ya. Benar-benar. Bisa saja melakukan hal-hal ajaib yang selalu sukses membuat Bright ngeblank.
“T-tapi kan, lo juga masih makan. Ntar lo gak keny—”
“Sssh, udah gapapa. Nanti aku habisin semua lauk dan nasinya,” sahut Metawin cepat. “Yang penting sekarang Kak Bright dulu. Udah, ayo, aaaa. . . ayo buka mulutnya!”
Merasa tidak punya pilihan lain, akhirnya Bright pun membuka mulutnya perlahan-lahan.
Seiring kemudian, suapan pertama dari Metawin itu mendarat dengan begitu sempurna di mulutnya.
“Yey! Kak Bright pinter banget!” Ucap Metawin yang tampak begitu girang.
Dengan senyum lebar di wajahnya, yang membuat kedua matanya menyipit bak bulan sabit.
Bright tidak bisa berkata-kata.
Saat ini, hatinya terasa penuh. Penuh akan rasa hangat yang ia dapat dari teman sekamarnya ini.
Sungguh, Bright tidak pernah menyangka jika ia akan melewati momen-momen hangat seperti ini bersama dengan Metawin.
Orang yang dulu sempat ia benci sebab telah mengusik ketenangannya selama tinggal di asrama ini.
Tapi, sepertinya rasa benci itu telah pergi dari hatinya. Lenyap entah kemana.
Saking khidmatnya menikmati sarapan pagi lewat suapan Metawin, Bright sampai tidak sadar kalau isi piringnya sudah habis.
“Waah, Kak Bright pinter banget, makannya habis,” ucap Metawin dengan bangga.
“Nih, ayok suapan terakhir, aaaakk…”
Hap. Suapan terakhir itu akhirnya masuk ke dalam mulut Bright.
Seiring kemudian Metawin langsung bersorak senang karena telah berhasil membantu kakak tingkatnya itu menghabiskan sarapan.
Setelahnya Bright pun segera meminum air.
Ia pandangi Metawin yang masih tersenyum di sampingnya. Seraya berkata, “makasih banyak ya Win.”
“Sama-sama Kak,” sahutnya. “Eh bentar, aku mau ngambil obat dulu yah buat Kak Bright.”
“Win, tunggu dulu,” ucap Bright tiba-tiba.
Metawin kembali menolehkan wajahnya, “kenapa Kak?”
“Kenapa lo baik sama gue? Padahal, selama ini gue udah galak sama lo?” Bukannya menjawab, Metawin justru kembali tersenyum.
Sedetik kemudian, Bright dibuat kaget dengan jawaban dan apa yang Metawin lakukan kepadanya.
Pemuda manis itu tiba-tiba berdiri, menyangga tubuhnya dengan lutut, kemudian menepuk lembut rambut Bright sambil berkata,
“Soalnya aku seneng sama Kak Bright, hehe. . .”
Dan setelah mengatakan itu, Metawin langsung berjalan menuju laci untuk mengambil obat.
Meninggalkan Bright yang mematung ditempatnya. Kaget atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.