Narasi Au Baru PART 2


Kamar milik sang berandalan itu dikuasai keheningan. Kendati ada dua orang manusia di dalamnya.

Kedua orang itu, si pemilik kamar dan tamu yang tak diundang, saling beradu tatap.

Namun sampai detik ini, mereka masih diam seribu bahasa.

Bright duduk di atas ranjang. Menatap penuh selidik ke arah Metawin.

Sedangkan si mahasiswa baru sejak tadi masih berdiri di sudut kamar, sambil mencuri-curi pandang dengan tatapan matanya yang masih terlihat takut.

Mereka sama-sama bergelut dengan pikiran masing-masing.

Nih anak ngapain berdiri mulu sih, pikir Bright.

Kakak ini serem banget.. takut. . . pikir Metawin.

“Lo ngapain sih berdiri terus?” Bright akhirnya bersuara.

Lama-lama pemuda itu kesal juga melihat Metawin yang terus berdiri seperti ini. “Duduk sini lo,” titahnya.

Metawin menjawab dengan gelengan singkat.

Pemuda manis itu tampak memilin ujung kemejanya sendiri.

Sambil terus berusaha memandang ke arah lain agar tidak beradu tatap dengan Bright.

Nambeng banget nih anak.

“Kenapa sih lo gak mau duduk? Cepet sini duduk, capek gue lihat lo berdiri.” Ucap Bright lagi dengan intonasi suaranya yang makin tinggi.

Namun lagi-lagi Metawin kembali menggeleng.

Sepertinya, mahasiswa baru yang satu ini memiliki pendirian yang kuat. Tapi hal itu justru membuat Bright naik pitam.

“Lo mau duduk sendiri apa gue paksa?!” Ancamnya sambil berdiri.

Metawin otomatis menatap si pemilik kamar itu. Wajahnya terlihat panik sekali.

“Sekali lagi, duduk sendiri apa gue paksa?!”

“Oke, kalo gitu bakal gue paks—”

“I-iya iya, aku duduk Kak!” Sahut Metawin panik.

Secepat kilat pemuda manis itu langsung duduk di lantai kamar Bright. Mengambil posisi tepat di depan si pemilik kamar.

“Nah gitu dong. Disuruh duduk aja susah amat,” gerutu Bright. “Siapa nama lo tadi? Metawin?”

Metawin mengangguk lirih, “iya Kak.. aku Metawin..” jawabnya.

“Jurusan apa lo?”

“Sastra Inggris, Kak. . .”

“Oh, anak FIB ternyata,” sahut Bright sambil manggut-manggut.

Bright berdehem sejenak. Ia benarkan posisi duduknya sebelum kembali berbicara.

“Gue Bright. Jurusan Musik, angkatan 2018.” Ucapnya memperkenalkan diri.

Metawin balas melirik Bright, “iya.. s-salam kenal Kak Bright. . . halo. . .” Sahut pemuda itu sambil tersenyum kikuk.

Halo katanya. Dikira gue call center kali.

“Oh iya. Kok lo bisa dapet kamar ini gimana ceritanya?” Tanya Bright pada Metawin.

“Itu, Kak.. kemarin kan aku daftar asrama, nah daftarnya itu telat. Dibilangi sama pihak asramanya kalau semua kamar udah penuh.” Ucap Metawin mengawali ceritanya.

Sambil sesekali menatap sekeliling kamar, Metawin melanjutkan ceritanya.

“Eh tadi pagi, aku ditelfon sama bu Hesti, katanya ada satu kamar yang cuma diisi satu orang. . . terus langsung dimasukin ke daftar penghuni sama dikasih kunci deh..”


iki enek tweet teko bright


Bright terdiam. Si berandalan itu terlihat sedang menimbang-nimbang.

Kalau dilihat dari apa yang Metawin sampaikan, sepertinya informasi ini benar adanya. Sebab Metawin menyebut nama Bu Hesti, yang notabene menjabat sebagai pengurus asrama kampus ini.

Dan kalau Bu Hesti sudah memutuskan, maka keputusan itu bersifat final. Tidak bisa diganggu gugat.

“Berarti, lo beneran bakal tinggal sekamar sama gue nih ceritanya?”

Metawin mengangguk, “iya Kak. . . kayaknya begitu. . .”

Bright menghela nafas. Jadi sepertinya mulai saat ini si berandalan itu harus mau berbagi kamar dengan Metawin.

“Oke deh kalo emang itu keputusannya.” Ucap Bright pasrah.

Pemuda itu lantas menatap Metawin lekat-lekat, “kalau lo mau tinggal di sini dengan aman, ada hal-hal yang mesti lo pahami. Bisa?”

Metawin mengangguk.

“Sip.” Sahut Bright. “Yang pertama, itu kasur lo.” Lanjut pemuda itu sambil menunjuk kasur lain di samping ranjang Bright.

“Kasur itu masih bersih, selalu gue bersihin.” Jelasnya. “Cuman karena gak pernah ada yang nempatin, akhirnya gue pake naruh baju sama buku. Nanti bakal gue beresin.”

Metawin manggut-manggut. Pemuda manis itu memperhatikan Bright dengan khidmat sambil sesekali melirik ke arah kasur yang nantinya akan menjadi tempatnya tidur.

“Gue cuma minta satu hal sama lo,” ucap Bright. “Jangan rame dan jangan suka ikut campur urusan gue, bisa kan?”

Metawin mengangguk cepat. “Bisa, Kak.” Jawabnya tegas.

Kini giliran Bright yang mengangguk. “Yaudah kalo gitu. Gue rasa lo udah paham.” Ucapnya.

Si pemilik kamar itu lantas berdiri. Ia meraih dompet, ponsel serta jaketnya. “Gue mau keluar dulu. Cari makan.” Pamitnya sebelum melangkah keluar dari kamar.

“Kak Bright,”

Bright menghentikan langkahnya, “apa lagi?” Sahutnya malas sambil kembali menatap Metawin.

Metawin pun ikut berdiri. Pemuda manis itu mengambil ponselnya dari saku celana, lalu menyerahkannya kepada Bright. “M-mau minta nomernya Kak Bright, boleh?” Pintanya sambil menatap Bright.

Anjir kalo ngelihat gausa begitu bisa gak sih?! Gerutu Bright di dalam hati.

Bright merasa kesal sebab cara Metawin menatapnya itu selalu membuat hatinya berdebar-debar. Aneh.

“Boleh,” sahutnya sambil meraih ponsel Metawin.

Dan setelah mengetik nomor miliknya pada papan dial ponsel Metawin, ia kembalikan ponsel itu pada pemiliknya.

Tidak disangka, Metawin menerima ponsel itu dengan wajah berbinar.

Dipandanginya sejenak nomor milik Bright itu sebelum kembali menatap pemiliknya, “Hehe. . . Makasih banyak Kak Bright. . .” Ucapnya sambil tersenyum lebar.

Deg! Deg! Deg!

Brengsek, senyumnya. . . manis banget anjiiir. . .

Eh, sadar Bright, sadar!

Bright geleng-geleng kepala. Berusaha memulihkan kesadarannya kembali.

Bahaya. Bright tidak pernah menyangka jika melihat senyuman milik seseorang bisa membuat dirinya malfungsi seperti ini.

Tidak ingin terjebak terlalu lama, Bright pun buru-buru berbalik badan, “gue pergi dulu,” ucapnya.

“Iya Kak, hati-hati di jal—”

Cklek.

Yah. . . udah pergi aja. . .