NARASI CHAPTER 2
Saking asyiknya berbincang dengan Genta lewat whatsapp, Erwin sampai tidak sadar jika sahabatnya, Khao, sudah berdiri di belakangnya.
Khao menatap curiga kepada Erwin yang sejak tadi senyum-senyum sendiri saat melihat ke layar ponsel miliknya.
“Hayo!”
“ASTAGA KAGET! Ish.. Khao.. kenapa ngagetin sih?” Sahut Erwin sambil mengusap-usap dadanya setelah kaget mendengar suara Khao.
Sambil tertawa, Khao lantas berjalan ke arah Erwin lalu ikut duduk di samping sahabatnya itu. “Abisnya aku lihat kamu asik banget main hpnya. Lagi chatting sama siapa sih? Erwin punya pacar yaaa?” Goda Khao.
“Pacar apaan sih? Enggak kok,” sahut Erwin dengan wajahnya yang tiba-tiba berubah kemerahan.
Melihat wajah sang sahabat membuat tawa Khao semakin kencang saja.
“Kalo bukan pacar, kenapa mukanya merah banget coba? Pasti pacarnya ini.. yakin aku deh.. soalnya dari tadi senyum-senyum terus,” goda Khao pada Erwin.
“Astaga enggak Khao.. ini bukan pacarku..” jawab Erwin.
“Terus, lagi chat sama siapa coba?”
“Sama Mas Genta. Ituloh, pemilik cafe yang kemarin ngajak aku buat kerja sama. Yang aku ceritain kemarin..”
“Oalah.. yang kamu mau datengin itu ya? Berarti kamu udah ketemu dong sama orangnya?”
Erwin mengangguk. “Udah. Kemaren malem langsung ketemu sama orangnya. Terus barusan tuh aku di chat, diingetin lagi buat nanti malem. Padahal tadi pagi udah chat loh,” tutur Erwin sambil senyum-senyum sendiri.
“Tuh-tuh, senyum-senyum lagi kan.” Ucap Khao.
“Kalo nyeritain Mas Genta nih pasti kamu senyum-senyum sendiri. Kamu suka ya sama dia??”
Erwin mendelik, “apasih, engga kok.” Balasnya panik.
“Aku sama Mas Genta itu cuma klien, Khao. Rekan kerja. Nggak lebih kok.”
“Tapi ganteng nggak Mas Genta?”
Nah loh. Wajah Erwin langsung memerah kembali.
“Iya sih.. ganteng banget orangnya..” jawab Erwin sambil mengalihkan pandangannya.
Tawa sahabat Erwin itu terdengar semakin kencang. “Erwin.. erwin.. lucu banget sih. Kelihatan banget tau kalo kamu lagi suka sama Mas Genta. . .”
“Ish apasih Khao, diem deh,” sahut Erwin sebal.
Erwin lantas mengunci ponselnya. Lalu ia letakkan benda pipih itu di atas sofa.
Beberapa saat kemudian, Erwin teringat akan dua hal yang ia alami tadi malam.
Yang pertama, tentang apa yang sudah ia lihat sendiri di Blue Moon Cafe. Dan yang kedua, tentang apa yang ia lihat dalam mimpinya.
“Eh Khao, waktu kemarin aku ke Blue Moon Cafe, ke cafe Punya Mas Genta, aku tuh ngelihat ada banyak banget hantu di sana.” Ujar Erwin sambil menghadap ke arah Khao.
Dahi Khao tampak mengernyit, “hah? Banyak hantu? Masa sih?” Balasnya tak percaya.
“Iya, sumpah. Ada banyak banget hantu di sana. Tapi mereka tuh nggak kelihatan serem. Kelihatan kayak manusia biasa gitu. Dan mereka tuh duduknya rapi, sopan, nggak bikin heboh, persis kayak pelanggan cafe juga..” jelas Erwin. “Kok bisa ya mereka begitu?”
Khao terdiam sejenak. Hantu remaja laki-laki itu tampak sedang mengawang jauh. Memikirkan sesuatu. “Apa mungkin ya. . .” gumamnya.
“Mungkin apa nih maksudnya?” Sahut Erwin penasaran.
Khao melipat kedua tangannya di depan dada, “apa mungkin cafe itu cafe bulan. . .”
“Hah? Cafe Bulan?”
Khao mengangguk, “Iya. Cafe Bulan, Win.” Jawabnya.
“Jadi, aku pernah dengar cerita. Katanya, ada sebuah cafe yang sering dipake hantu-hantu buat tempat persinggahan. Tapi aku nggak tau cafe itu kayak apa dan tempatnya dimana.” Jelas Khao. “Cuman. . .”
“Cuman apa?”
“Cuma, setau aku lagi nih ya, Cafe Bulan itu adanya di dunia batas. Di perbatasan dunia hidup dan dunia mati. Jadi kayaknya itu bukan Cafe Bulan deh..” ujar Khao.
“Oh, apa karena namanya Blue Moon ya aku jadi mikir kesana. . .”
“Aku baru denger soal hal ini,” timpal Erwin. “Berarti nggak cuma di dunia manusia aja ya yang ada cafenya?”
Khao mengangguk. “Di dunia mati juga ada. Tapi biasanya tempat-tempat kayak begitu punya tujuan khusus, Win. Bukan buat sekedar nongkrong.” Balasnya.
“Oh.. begitu..” sahut Erwin sambil manggut-manggut. “Berarti yang aku lihat kemarin tuh, bisa jadi cuma hantu-hantu penunggu tempat itu yah?”
Khao mengangguk lagi. “Bisa banget kayak begitu.”
“Oke-oke.. paham,” Sahut Erwin. “Oh iya, ada satu lagi Khao. . .”
“Iyah. Kenapa lagi tuh?”
“Semalem, aku mimpi aneh.” Jawab Erwin.
“Aku ngerasa denger suara orang gitu, masih muda sih dari suaranya, dia kayak lagi teriak minta tolong ke aku, Khao.. kira-kira itu siapa yah? Kamu bisa lihat nggak?”
“Teriak minta tolong?” Tanya Khao yang dibalas anggukan oleh Erwin. “Bentar aku coba lihat dulu yah.”
Khao lantas mendekatkan dirinya ke arah Erwin. Hantu remaja laki-laki itu memejamkan mata.
Sebelum kemudian ia gunakan telunjuknya untuk menyentuh pelipis Erwin.
Biasanya, jika Erwin mengalami mimpi buruk atau gangguan dari mahluk halus, Khao selalu melakukan cara ini untuk menemukan pelaku sekaligus menghentikannya.
Untuk beberapa saat, Khao masih belum menemukan apapun.
Dahi sahabat Erwin itu tampak mengernyit kuat. Tidak biasanya Khao kesulitan mencari sesuatu di dalam pikiran sahabatnya ini. Tapi untuk kali ini, rasanya Khao tidak bisa menemukan apapun.
“Aku nggak lihat apapun Win..” ucap Khao sambil melepas telunjuknya dari sana, “nggak ada apa-apa disana..”
“Masa sih?” Sahut Erwin. “Apa jangan-jangan cuma mimpi biasa ya?”
Sahabatnya itu mengangguk, “bisa jadi Win. Lagipula kamu kan kemaren sempet ke cafe tuh, mungkin juga karena kecapekan..”
Erwin manggut-manggut, “bener juga ya. . . mungkin kecapekan doang.”
“Eh ngomong-ngomong soal cafe, aku boleh ikut nggak kalo kamu ke sana lagi? Nggak nanti malem tapi, soalnya aku nanti mau jalan-jalan dulu.. boleh nggak?” Tanya Khao.
Erwin mengangguk, “boleh dong. Kalo aku kesana lagi, aku ajak ya. Kamu mau mastiin ya, apa itu beneran cafe bulan atau bukan?”
“Iya. Siapa tau itu beneran cafe bulan. Kalau pun enggak ya gapapa, hehe. Biar jalan-jalan,” sahut Khao sambil tersenyum.
Ting!
“Eh, kuenya udah mateng, yuk Khao ikut aku ngangkat,” Ajak Erwin pada Khao.
“Ayok, aku bantuin,” sahut Khao penuh semangat sambil langsung mengikuti Erwin yang sudah berjalan cepat menuju dapur.
Yang tidak Erwin sadari adalah ada sepasang mata yang terus mengawasi percakapannya dengan Khao sejak awal.
Dan sepeninggal mereka berdua, sepasang mata itu pun lenyap.
Menyisakan sebuah kelopak bunga berwarna hitam yang jatuh tepat di bawah meja ruang tamu Erwin.
Erwin rasa, ia sudah tidak punya muka untuk bertemu dengan Genta.
Si patissier itu merasa malu, malu sekali.
Sebab karena kecerobohannya sendiri, ia harus membuat Genta repot-repot menjemputnya dari Cafe. Padahal jaraknya masih cukup jauh dari sana.
Sambil menggenggam erat goodie bag yang ia bawa, Erwin menatap sekelilingnya dengan cemas.
Seharusnya ia tidak lupa mengisi saldo dompet digitalnya.
Atau setidaknya, menyempatkan waktu untuk menarik tunai di atm agar ia tidak terjebak dalam situasi yang membingungkan seperti ini.
Tapi ya sudahlah. Erwin sudah terlanjur malu, lanjutkan saja sekalian.
Kalau kata orang, sudah terlanjur basah, mending berenang saja sekalian.
Untungnya Erwin sedikit banyak paham jika sosok Genta ini adalah orang yang baik dan tulus, kelihatannya.
Jadi sepertinya, jika dimintai tolong seperti ini, mungkin Genta tidak akan merasa keberatan.
Angin yang berhembus di malam itu terasa cukup dingin. Membuat Erwin merapatkan jaket yang membalut tubuhnya.
“Sepi banget ya. . .” gumam Erwin seorang diri, “coba tadi ngajak Khao.. pasti lebih asik. Ada yang bisa diajak ngobrol. . .”
Tin! Tin!
Erwin menoleh seketika. Sepasang mata gelapnya mengedarkan pandangan. Mencari di mana suara klakson itu berasal.
“Erwin!”
Nah, dari sana. Di tepi jalan, Erwin bisa melihat seorang pria sedang melambaikan tangan ke arahnya.
Dan pria itu adalah Genta. Orang yang sudah Erwin repotkan untuk menjemput dirinya di tempat ini.
“Erwin, sini!” Panggil Genta lagi dengan sebuah senyuman di wajah tampannya.
Duh, rasanya Erwin semakin malu saja. Padahal, ia sudah membuat Genta repot, tapi kenapa pemilik cafe itu masih bisa tersenyum dengan begitu tampannya?
Tidak ingin berlama-lama di sana seorang diri, Erwin langsung berlari menghampiri Genta yang terus memandangi dirinya dari atas motor.
“Mas Genta, maaf ya. . . saya jadi ngerepotin banget. . .” Ucap Erwin setibanya ia di hadapan Genta.
Genta balas ucapan Erwin dengan sebuah senyum teduh, “nggak apa-apa kok Win.. santai aja,” balasnya.
“Hey, beneran nggak apa-apa, jangan sedih gitu dong mukanya. . .” ujarnya lagi saat menatap wajah Erwin yang terlihat sedih.
“Saya nggak enak Mas.. jadi ngerepotin Mas Genta.. padahal kan saya kliennya Mas..” ucap Erwin sambil menundukkan wajah.
Melihat tingkah Erwin membuat Genta semakin sulit menyembunyikan senyumannya, “nggak apa-apa Erwin.. justru karena kamu Klien saya, saya harus bertanggung jawab sama kamu..” ucap Genta menenangkan.
“Lagian, saya kan yang ngundang kamu ke cafe? Jadi saya harus memastikan kamu sampe di sana dengan selamat.”
Erwin akhirnya mengangkat wajah. Mendengar jawaban Genta membuat Erwin merasa semakin tidak enak saja. “Terima kasih ya Mas.. padahal kerjasamanya belum mulai, tapi saya udah bikin repot aja. . .”
Di saat ini, Genta ingin sekali mencubit pipi kliennya itu. Sebab dia terlihat begitu menggemaskan saat cemberut seperti ini.
Kali ini, Genta tidak membalas ucapan Erwin. Pemilik Cafe itu justru turun dari motornya.
Genta mengambil sebuah helm yang memang dibawanya untuk Erwin.
Dengan cekatan, ia melepas klip pengaman helm itu, lalu berjalan mendekati Erwin.
Tanpa Erwin duga, Genta langsung memakaikan helm itu di kepala Erwin.
Dengan lembut dan hati-hati, Genta benarkan posisi helm yang sudah melekat di kepala kliennya itu. Memasangkan klip pengaman, lalu membenahi rambut Erwin yang tertimpa oleh helm itu.
Hingga tanpa mereka sadari, kini keduanya saling beradu tatap.
Dua pasang mata itu saling mengunci satu sama lain. Membuat mereka terdiam untuk beberapa saat.
Sebelum akhirnya, Erwin dulu yang melepas kontak mata itu. Lantaran hatinya yang tiba-tiba berdebar sangat kencang.
“M-makasih Mas udah dipakein Helmnya..” ucap Erwin kikuk sambil berusaha mengalihkan pandangan matanya dari Genta.
Genta mengedipkan mata, “oh, iya.. hehe. Sama-sama,” sahutnya tidak kalah kikuk setelah sadar akan apa yang baru saja terjadi.
“Ayo naik, kita ke cafe sekarang ya. Dingin disini, keburu makin malem juga,” ajak Genta yang dibalas anggukan canggung oleh Erwin.
Genta dan Erwin pun sama-sama naik ke motor itu.
Genta yang sudah siap di jok depan menunggu Erwin yang masih naik perlahan-lahan ke atas motor.
“Udah siap?” Tanya Genta sambil menyalakan mesin motor itu.
Di belakangnya Erwin mengangguk, “udah, Mas. Ayo berang—EH ASTAGA!” Erwin memekik kaget saat Genta tiba-tiba menarik tangan kirinya untuk dibawa memeluk perut Genta.
“Pegangan yang kenceng ya. Jangan dilepas,” bisik Genta kepada Erwin yang masih setengah kaget sambil tersenyum jahil.
Sedangkan Erwin hanya bisa manggut-manggut. Ia masih kaget sekaligus bingung atas apa yang baru saja terjadi kepadanya.
Setelah melewati drama antar jemput yang cukup menyita waktu, akhirnya mereka berdua sampai di Blue Moon Cafe.
Sesampainya di sana, Genta langsung membawa Erwin untuk duduk di salah satu meja yang memang sejak sore sudah Genta siapkan untuk diskusi malam ini.
Erwin yang merasa sedikit lelah akibat menaiki motor Genta hanya bisa menurut. Ia ikuti langkah Genta lalu akhirnya duduk di kursi yang sudah Genta siapkan.
“Makasih banyak ya Mas. . . maaf saya ngerepotin banget,” ujar Erwin setelah pemuda itu duduk di sana.
Genta kembali tertawa, “kamu udah bilang begitu lima kali loh. Saya sampe hapal,” balas pemilik cafe itu.
Ia lantas melepas jaket yang tadi digunakan untuk menjemput Erwin, lalu ikut duduk di sana untuk membahas proyek malam ini.
Setelah Genta duduk, Erwin langsung mengeluarkan beberapa sampel kue yang dibawanya di dalam goodie bag.
“Ini ada empat sampel kue Mas, yang kemarin Mas Genta suruh bawa.” Ujarnya sambil menyerahkan kotak berisi sampel kue itu kepada Genta.
“Oh iya, kuenya apa aja ini Win?” Genta bertanya sambil menerima kotak itu.
Erwin melirik ke dalam kotak itu, memastikan urutannya, “itu.. yang paling kanan itu cookies rasa coklat, terus di sampingnya ada macaron rasa mocca, terus sampingnya ada fudge brownies, sama yang ujung itu ada banana milk crispy.”
“Wah, macem-macem banget ya? Dan nggak cuma fokus di pastrynya aja ini kayaknya..” Sahut Genta sambil memperhatikan setiap kue itu lekat-lekat.
Erwin mengangguk, “Iya Mas, lebih macam-macam sih. Soalnya waktu awal bikin, saya nggak fokus ke pastry. Based on request aja. Kadang ada yang minta fudge brownies, ada yang minta cookies, macem-macem..” jelas lelaki manis itu.
“Wah. . . Kalo lihat dari bentuknya aja saya yakin udah enak ini. . .” Puji Genta sambil tersenyum.
“Mas Genta bisa aja..” sahut Erwin malu-malu. “Biar lebih percaya, bisa dicoba Mas. Saya rekomendasikan macaronnya. Soalnya nggak terlalu manis.”
“Oke, saya coba ya kalo gitu,” ucap Genta yang dibalas anggukan oleh Erwin.
Genta lantas mengambil satu buah macaron dari dalam kotak itu.
Ia perhatikan sejenak kue kecil dengan bentuk yang mirip seperti burger itu. Lalu kemudian ia gigit untuk mencicipi bagaimana rasa kue tersebut.
Baru gigitan pertama, Genta sudah bisa merasakan sensasi unik dari macaron ini.
Bagian luarnya yang crispy berpadu sempurna dengan krim mocca yang begitu lembut di dalamnya.
Teksturnya terasa sangat pas, tidak terlalu manis, dan menurut Genta, macaron ini sangat cocok dipilih sebagai teman minum kopi.
“Ini enak banget Win macaronnya. . .” Puji Genta sambil membuka mata setelah tadi berusaha menikmati rasa macaron buatan Erwin ini. “Beneran, ini enak banget. Rasanya pas, saya suka. . .” Pujinya lagi.
Erwin tidak bisa menyembunyikan rona bahagia dari wajahnya. “Ah. . . syukurlah kalo Mas Genta suka. . . saya khawatir tadi rasanya kemanisan,” sahut pria itu.
“Enggak. Manisnya pas kok. Apalagi rasa moccanya, nendang banget. Cocok sama saya yang suka kopi.” Jawab Genta.
“Kalo begitu, saya bawa ke belakang ya sampelnya, sekalian biar dicoba sama yang lain,” ucap Genta sambil beranjak dari kursinya.
“Eh-eh Mas Genta, tunggu bentar!” Panggil Erwin pada Genta.
Pemuda itu buru-buru mengambil kotak lain yang masih ada di dalam goodie bagnya, lalu membawanya kepada Genta yang kini sedang menatap bingung ke arahnya.
“Ini, khusus buat Mas Genta sama teman-teman. Bukan sampel, tapi emang saya pengen kasih hehe,” ujar Erwin sambil menyerahkan kotak itu kepada Genta.
Genta tersenyum teduh, “ya ampun.. terima kasih banyak ya Erwin. Pakai repot-repot segala,” ucapnya.
“Nggak repot kok Mas.. kan tadi sekalian bikin.”
“Oke deh. Kalo gitu, terima kasih ya, saya bawa ke belakang dulu. Kamu tunggu di sini sebentar, oke?”
Erwin mengangguk, “oke Mas!” sahutnya bersemangat.
Genta pun berlalu menuju ruang pegawai dimana teman-temannya berada.
Sedangkan Erwin pun kembali duduk di kursinya. Menunggu Genta sambil memandangi sekeliling cafe.
Saat Genta tidak ada, Erwin bisa memperhatikan cafe ini lebih detail.
Ternyata benar. Cafe ini masih sama ramainya seperti kemarin. Ramai karena manusia, serta ramai karena adanya mereka, para hantu.
Erwin bisa melihat jika hantu-hantu yang ada di tempat ini bertingkah selayaknya pengunjung cafe pada umumnya.
Ada yang duduk seorang diri, ada yang duduk berpasang-pasang, ada pula yang sedang bercengkrama dalam satu kelompok kecil. Hingga membuat suasananya tidak jauh berbeda dengan pengunjung manusia.
“Apa bener ini cafe bulan ya. . ?” Gumam Erwin sambil menatap setiap sudut cafe lekat-lekat.
Saat hendak mengambil ponsel di dalam tasnya, Erwin merasakan ada aura kesedihan yang begitu dalam sedang mendekatinya.
Erwin paham betul. Jika tubuhnya merespon sinyal seperti ini, itu artinya, ada makhluk halus yang sedang berusaha berkomunikasi dengannya.
Erwin menarik nafas dalam-dalam. Sekaligus menyiapkan diri dan hatinya, apabila ternyata yang muncul di hadapannya adalah sosok yang menyeramkan.
Aura kesedihan itu terasa semakin kuat, dan berasal dari belakang tempat duduk Erwin.
Sedetik kemudian, pria itu pun membalik badan.
Namun, Erwin tidak terlihat kaget. Patissier itu justru terlihat bingung saat melihat sosok yang kini berdiri di hadapannya.
“Hey. . .” panggil Erwin pada sosok anak laki-laki yang tampak sedang berusaha menahan air mata yang sudah siap jatuh membasahi wajahnya.
Anak itu terlihat memakai seragam sekolah, tingkat menengah pertama sepertinya, tubuhnya masih lengkap. Utuh tidak kurang sedikitpun.
Wajahnya terlihat menggemaskan kendati kini telah berubah tak kasat mata dan lebih mirip dengan hologram.
Anak itu tampak mengepalkan tangannya kuat-kuat. Nafasnya tidak teratur.
Kedua matanya merah, sorotnya tampak putus asa berhiaskan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya.
“Halo? Kamu bisa denger saya kan?” Panggil Erwin lagi pada sosok anak laki-laki itu.
Bukannya menjawab, sosok anak laki-laki itu justru menangis.
Air mata yang sejak tadi ia tahan mati-matian kini telah jatuh membasahi wajahnya.
Erwin pun buru-buru membalikkan badan, “hey hey.. kenapa kok nangis?” Tanya Erwin pada sosok itu. “Kamu bisa denger suara kakak, kan? Iya?”
Sosok itupun akhirnya menangguk.
Ia gunakan tangan kanannya untuk menghalau air mata agar tidak lagi keluar dari matanya.
Di sela tangisannya yang tampak memilukan, ia tatap wajah Erwin lekat-lekat, “Kakak. . .” panggilnya dengan suaranya yang terdengar sangat putus asa.
Hati Erwin bagai disayat sembilu manakala ia mendengar suara anak itu, “iya.. kakak di sini, kakak percaya kamu baik.” Sahut Erwin sambil tersenyum, “Kamu kenapa, hm? Kamu kenapa nangis?”
Tangisan sosok itu semakin kencang setelah mendengar pertanyaan dari Erwin.
Erwin duga, kesedihan yang dialami oleh sosok ini begitu besar. Hingga membuatnya sampai menangis tersedu-sedu seperti ini.
“Kakak. . .” ucap sosok itu lagi, “Tolong. . . aku minta tolong. . .”
Deg!
Suara itu.. Erwin kenal dengan suara itu..
Ya. Tidak salah lagi.. suara ini, suara anak ini yang kemarin Erwin dengar di dalam mimpinya.
Erwin buru-buru menggeser kursinya untuk mendekat ke arah sosok itu.
“Kakak. . . Tolong. . .” Ucap sosok itu lagi sambil terus berderai air mata.
Tidak salah lagi. Memang suara anak inilah yang kemarin sempat berkomunikasi dengan Erwin lewat mimpinya.
Tapi kenapa tadi Khao tidak bisa melihatnya? Padahal sosok ini ada di sini. Bukan berasal dari dunia mati, atau berasal dari arwah jahat yang bergentayangan di sekitar sini.
Kalau sudah seperti ini, insting naluriah Erwin mendorong hatinya untuk membantu sosok ini.
Erwin pun menatap sosok ini lekat-lekat, sebelum berkata kepadanya, “kamu kemarin yang minta tolong ke kakak lewat mim—”
“Loh, Win. Kamu bisa ngomong sama dia?”
Erwin seketika terhenyak. Kali ini bukan sosok anak laki-laki itu penyebabnya. Melainkan si pemilik Blue Moon Cafe. Orang yang mengajaknya bekerja sama, Genta.
“loh? M-mas Genta juga..?”
“Iya, saya juga bisa lihat.”
Anjir. . .