narasi pra-confess.
Sekembalinya ke dalam kamar, Metawin dibuat terperangah.
Maba manis itu hanya bisa melamun, tidak melepaskan pandangannya barang satu detikpun dari wajah Bright.
Sebab saat ini, kakak tingkatnya itu terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dari biasanya.
Padahal, dia hanya memakai pakaian biasa.
Tapi entah mengapa, Bright terlihat jauh lebih tampan malam ini.
“Win?”
Metawin menggeleng, sadar dari lamunannya. “I-iya, Kak?” Sahutnya kikuk.
“Kenapa diem aja? Titipan gue mana?”
Metawin tersenyum tipis, “nggak papa, Kak, hehe. Ini titipannya,” jawab maba manis itu.
Ia lantas mengambil titipan Bright dari dalam kantong plastik lalu menyerahkan dua benda itu kepadanya.
Bright menerima dua benda itu sambil tersenyum, “makasih ya.”
“Iya Kak, sama-sama..” sahut Metawin.
“Eh Win, tunggu bentar,”
Metawin menoleh kembali, “kenapa Kak?”
Bright terdiam sejenak. Ia tampak mengambil satu helaan nafas panjang, sebelum akhirnya tersenyum kembali pada Metawin.
“Ke balkon yuk?”
Metawin memicingkan mata, “balkon?” Sahutnya. “Mau ngapain, Kak?”
“Uhm. . .” Gumam Bright. Sang berandalan itu terlihat gugup sekali saat ini. “Itu. . . gue, mau ngomong sesuatu sama lo. Bisa kan?”
Kini giliran Metawin yang terdiam.
Pemuda manis itu bertanya-tanya dalam hati.
Ada apa ya? Apa yang hendak Kak Bright obrolkan dengannya?
“Bisa kan Win? Bentar doang kok. . .” Pinta Bright lagi.
Sambil menggigit bibir bawahnya, Metawin mengangguk. “Bisa kok Kak. . .” Jawabnya. “Tapi aku ke kamar mandi dulu yah?”
“Oke,” sahut Bright yang terlihat lega. “Gue ke balkon dulu. Nanti langsung ke situ aja,” ucapnya.
Metawin mengangguk paham.
Disusul kemudian mereka berdua berjalan menuju tujuan masing-masing.
Bright melangkah menuju balkon, sedangkan Metawin menuju kamar mandi.
Sambil terus berperang dengan pikiran mereka sendiri. Tentang apa yang akan terjadi malam ini, tentang apa yang akan terjadi pada mereka berdua.