Pertemuan
Kalau ada kesempatan untuk melarikan diri, Rafa ingin melakukannya saat ini juga. Ia takut, takut sekali. Keberadaan Hesa di sampingnya tidak membantu sama sekali.
Kini, dua laki-laki yang menjalankan misi pernikahan palsu itu sedang duduk di ruang tamu kediaman Hesa, tempat Papa dan Mamanya menetap. Keduanya cemas menanti kedua orang tua Hesa yang tidak kunjung menemui mereka.
“Tepat waktu banget kamu.” Suara sang Papa dari arah belakang sukses membuat Hesa dan Rafa terperanjat.
Mereka berdua seketika berdiri, lalu menoleh ke arah Papa Hesa yang saat ini sedang berjalan ke arahnya ditemani sang istri tercinta.
Hakim, Papa Hesa, menatap Rafa penuh selidik. Seperti sedang memeriksa setiap jengkal bagian tubuhnya.
“Duduk.” Titah Hakim pada mereka berdua.
Detik demi detik berlalu dihiasi keheningan. Tak ada yang berani membuka pembicaraan. Hakim seperti sedang memeriksa anak sematawayangnya serta sosok laki-laki di sampingnya.
“Jadi ini pacar kamu?” Tanya Hakim.
Hesa dan Rafa beradu tatap. Sepasang mata yang sedang bertatapan itu seolah berkata “gimana nih, mau dijawab apa?”
Hesa menelan salivanya pahit. Walau sudah direncanakan sedemikian rupa, tetap saja masih ada hal-hal yang membuatnya panik.
Di hati kecilnya, Rafa diam-diam ingin berbuat nekat. Ia berandai-andai menjawab pertanyaan Hakim dengan kata “kita cuma pura-pura”.
Namun keinginan itu Rafa kubur dalam-dalam. Karena Rafa tahu betul, hidupnya bisa berakhir saat ini juga jika sampai keinginannya itu ia laksanakan.
Hesa menatap Rafa sejenak, seperti mencari keyakinan dari staf kepercayaannya itu. Satu helaan nafas panjang, Hesa akhirnya meneguhkan hati untuk menjawab pertanyaan sang Papa.
“Bukan pacar, Pa.” Kata Hesa gugup. Ia menoleh kepada Rafa lagi, lalu menyelesaikan ucapannya. “Ini Rafa, suaminya Hesa. Kita berdua. . . udah nikah.”
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Hesa dan Rafa menanti dengan segenap ketakutan yang melanda. Menanti respon sang Papa. Rania, Mama Hesa, yang duduk di samping Hakim menunjukkan respon serupa.
Baru saja Hesa hendak berbicara, namun ruang tamu keluarga itu lebih dulu dikejutkan oleh suara Hakim.
“NIKAH?! KAMU NIKAH SAMA LAKI-LAKI INI?!”
Bom telah meledak. Ketakutan Hesa dan Rafa terjadi juga. Sebenarnya Rafa sudah menduga respon Papa Hesa akan seperti ini. Tapi tetap saja, saat menghadapinya secara langsung nyali Rafa seakan lenyap tak bersisa.
“JAWAB HESA! KAMU NIKAH SAMA LAKI-LAKI INI?!” Cecar Hakim.
Hesa mengangguk ragu, setengah ketakutan. “I-iya Pa. . . Hesa udah nikah sama Rafa. . .”
“KURANG AJAR!!”
Ya Allah, gue pengen pulang.. Ucap Rafa dalam hati.
Dengan wajah berhias amarah, Hakim bangkit dari tempat duduknya. Kedua matanya menatap Hesa dan Rafa tajam.
“Kamu bikin malu Papa, Hesa! KAMU MENGECEWAKAN PAPA!!”
Suasana ruang tamu itu begitu tegang. Amarah Hakim seakan bisa menghancurkan rumah ini sekejap mata.
Hesa kini menyesali keputusannya. Ia tidak menyangka, status pernikahan palsu justru membawanya pada kesialan seperti ini.
Pandangan Hakim beralih kepada Rafa. Lalu laki-laki itu berjalan mendekatinya.
“Pa, Papa mau ngapain Pa?” Saut Hesa panik setelah melihat bahwa sang Papa hendak mendatangi Rafa.
“Papa, sabar Pa. Jangan emosi, tenang dulu,” ucap Rania.
“Minggir Hesa!” Perintah sang Papa.
“Pa! Jangan Pa! Hesa yang salah, jangan apa-apain Rafa!” Ucap Hesa susah payang menghadang sang Papa.
Rafa hanya bisa merapal doa. Ia serahkan hidupnya pada sang Maha Kuasa. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain pasrah.
“Minggir!!” Tenaga Hakim sangat besar. Tubuh Hesa disingkirkan begitu saja.
Tidak ada lagi Hesa yang melindunginya. Hanya Rafa dan doa-doanya yang tersisa. Serta Hakim yang kini berjalan ke arahnya seperti malaikat maut.
Ya Allah saya mohon ampun.. Teriak Rafa dalam hati.
“Pa jangan Pa!” Pekik Hesa.
Namun sepertinya teriakan Hesa sia-sia. Karena sedetik kemudian. . .
Srett! Hap!!!
“PAPA!” Teriak Rania dan Hesa bersamaan.
Krik.. Krik.. Krik..
Perlahan, Hesa membuka matanya. Ia bingung, kenapa tiba-tiba ruang tamu itu hening.
Tepat saat kedua matanya terbuka, Hesa kaget bukan main. Begitupun dengan Rania yang berdiri di sampingnya.
“Loh...” Kata mereka berdua.
Bagaimana tidak kaget, karena di hadapan mereka, tersaji pemandangan yang sangat amat aneh.
Hakim sedang memeluk Rafa.
“Pa...” Panggil Hesa dengan wajah terheran-heran. Di sana, Hesa bisa melihat Rafa dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.
Sorot mata staf kepercayaannya itu seolah sedang berkata kepadanya, pak tolong saya dong pak.
“Papa kok meluk Rafa? Papa.. nggak marah, sama dia?” Tanya Rania yang tidak kalah bingungnya.
Hakim melepas pelukan itu. Wajahnya berubah drastis. Tak ada lagi amarah, justru senyum merekah di sana.
Hakim tatap wajah Rafa sejenak dengan kedua tangan yang menggenggam erat bahunya. “Kenapa Papa harus marah?” Tanya Hakim balik.
Hakim lantas berbalik menatap Rania dan Hesa. Satu tangannya tetap Hakim gunakan untuk memeluk punggung Rafa. “Maaf ya Papa bikin kalian panik. Tadi Papa marah soalnya kecewa sama Hesa. Bisa-bisanya dia nggak ngabarin kalau udah nikah sama Rafa.”
“Papa.. nggak.. marah?” Tanya Hesa.
“Nggak lah. Papa malah seneng soalnya punya mantu yang cakep dan menggemaskan,” jawab Hakim sambil tersenyum menatap Rafa.
“Selamat datang di keluarga Papa ya Nak. Papa seneng, sekarang Papa punya Pewaris Ganda.” Kata Hakim dengan bangganya.
Menyisakan Rania dan Hesa yang kini melongo, bingung dengan sikap kepala keluarga itu. Serta Rafa yang kini semakin menyesali keputusannya.
Kayaknya gue masuk kandang singa nih. . ., Kata Rafa dalam hati.