Rasanya ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama Win bisa berbelanja banyak hal di supermarket seperti ini.

Dan semua itu berkat uang yang ditemukannya di dalam tote bag pemberian Mbak Jan tadi pagi.

Setelah memasukkan beberapa stok makanan ke dalam troli, Win kini sedang berjalan di lorong minuman.

Hendak membeli beberapa kaleng minuman rasa untuk stok sekaligus untuk temannya menikmati malam ini.

“Kamu udah pernah minum cola belum?” Tanya Win kepada Khao setibanya mereka berdua di lorong minuman kaleng.

Khao menggeleng. “Dulu, waktu aku sekolah, kayak begini tuh belum ada. Palingan yang ada tuh es jeruk, sama es teh.” Jawabnya.

“Yah.. kalo es jeruk sama es teh di warung juga ada,” timpal Win sambil tertawa. “Enaknya beli yang mana ya?” Ucap Win sambil melihat-lihat berbagai jenis minuman cola yang tersedia di sana.

“Beli yang soda biru kayaknya enak ya Kha—Loh, Khao? Khao? Kok tiba-tiba ilang sih..” gerutu Win saat menyadari jika Khao sudah tidak ada di sampingnya.

Win lantas melanjutkan kegiatan pilih-pilihnya. Tidak terlalu peduli dengan Khao yang tiba-tiba hilang.

Sebab Win paham jika sahabatnya itu tiba-tiba pergi, artinya ia sedang merasa tidak nyaman di sini.

Ah! ini aja deh, kayaknya enak.. ucap Win dalam hati saat matanya menangkap sebuah minuman kaleng dengan gambar jeruk pada bagian kalengnya.

“Yah.. tinggal satu,” gumamnya saat menyadari jika hanya tersisa satu minuman kaleng yang ia inginkan di sana. “Yaudah deh gapapa, daripada nggak sama sek—Eh?”

Win seketika menghentikan gerakannya saat sebuah telapak tangan menindih miliknya. Sama-sama hendak mengambil minuman kaleng yang tersisa satu saja di dalam rak itu.

Saat Win menolehkan wajah, ia dibuat kaget bukan main.

Sebab, di belakangnya, dengan jarak yang sudah begitu dekat, telah berdiri seorang pria yang familiar di matanya.

Sosok pria itu adalah pria tampan yang tadi pagi ditemuinya di dalam lift ketika Win akan mengumpulkan berkas lamaran kerja.

“Eh, aduh, maaf..” ucap Win sambil buru-buru mundur agar tidak terjebak dalam posisi yang terasa sangat canggung itu.

Si Pria tampan itu, yang tampak mengenakan setelan jas seperti tadi pagi, masih terus terdiam. Kedua matanya tak lekat sedikitpun memandangi Win.

“Kamu yang tadi di kantor?” Tanya Pria itu pada akhirnya.

Sambil menahan rasa gugup yang mendera hatinya, Win mengangguk. “I-iya Pak.. s-saya yang tadi di lift..” jawabnya.

Pria itu beralih menatap sekaleng minuman yang tersisa di sana lalu kembali menghadap Win. “Kamu mau ambil itu?”

Win mengangguk. “Iya.. saya mau beli itu..”

Pria itu terdengar menghela nafas. Sebelum akhirnya berbicara, “yaudah. Buat kamu aja. Ambil.”

“Eh, nggak apa-apa Pak, buat bapak aj—”

“Buat kamu aja. Ambil. Saya permisi.” Ujar Pria tampan itu sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Win yang tampak masih ingin berbicara kepadanya.

Sepeninggal pria tampan itu, Win justru merutuki dirinya sendiri.

Duh, kenapa sih gue malah manggil Pak.. orangnya kan nggak tua-tua amat. Harusnya gue panggil Mas aja.. rutuknya dalam hati sambil meraih minuman kaleng yang disisakan pria tampan itu untuknya.