SIGN AU NARASI


“Wih. . . baunya harum banget. . .”

Erwin langsung mematikan ponselnya setelah mendengar suara yang sudah sangat familiar di telinganya.

Ponsel itu ia letakkan di atas counter lantas ia pun membalikkan badan. “Enak ya baunya? Khao mau?” Tawar Erwin kepada Khao, sahabatnya dari dunia lain yang sudah ia kenal sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Khao tersenyum lebar. Ia bawa tubuhnya yang tampak seperti hologram itu untuk mendekat ke arah pie susu yang baru saja Erwin keluarkan dari dalam oven.

“Mau banget Win.. baunya enak..” ucap Khao. “Tapi aku mana bisa makan yah. . .” Lanjut Khao dengan wajahnya yang kelihatan sedih.

Erwin tersenyum simpul, “hayo gak boleh sedih. Tenang aja, kamu bisa makan kok. Bentar ya,” ucapnya sebelum berjalan menuju laci dapur.

Erwin tampak membuka laci itu. Mengambil beberapa barang dari dalamnya, lalu bergegas kembali mendekat kepada Khao.

Dengan sigap, Erwin mengambil salah satu pie susu buatannya. Ia letakkan pie susu itu di atas meja. Lalu memasang sebatang dupa lalu menyalakannya tepat di samping pie susu itu.

Khao yang sudah hafal dengan apa yang sedang Erwin lakukan tampak begitu antusias. Senyuman lebar tak henti hiasi wajahnya.

Setelah merapal beberapa doa, Erwin membuka matanya. Ia tiup dupa yang ada di hadapannya itu, hingga sedetik kemudian,

Zip!

Pie susu di atas itu otomatis berlipat ganda.

Dan seperti biasanya, Erwin pun kembali menatap sang sahabat dengan senyum lebar di wajahnya. “Tuh, udah. Ambil gih, katanya kamu pengen coba,” ujar Erwin.

Tanpa perlu menunggu lama, Khao langsung meraih salah satu pie susu yang baru saja muncul berkat apa yang Erwin lakukan.

“Asik! Aku coba ya? Makasih banyak Win!” Ujar Khao antusias.

Hap. Satu gigitan pie susu buatan Erwin langsung melesat masuk ke dalam mulut Khao. Disusul wajahnya yang terlihat sangat amat bahagia.

“Hmmmm.. enak banget Win.. enak banget rasanyaa!” Puji Khao setelah merasakan betapa lezat pie susu yang sahabatnya ini buat.

Erwin tak bisa berhenti tersenyum. Melihat betapa bahagianya Khao saat mencicipi kue buatannya saja sudah membuat hatinya terasa begitu bahagia.

“Sama-sama, Khao. Seneng deh kalo kamu suka sama rasanya,” balas Erwin sambil melipat tangannya di depan dada. “Mau lagi nggak?” Tawarnya lagi pada Khao.

Dengan mulutnya yang penuh, Khao menggeleng, “udah hehe, aku udah seneng soalnya bisa nyobain..” sahutnya kemudian.

“Sekali lagi makasih banyak ya Win.. kamu tuh bener-bener baik. Aku jadi bisa nyobain pie susu hehe. Soalnya dulu belom pernah makan. . .” Tutur Khao.

“Iyaa.. sama-sama. Kalo soal makanan, gausah khawatir. Aku pasti ajak kamu cobain,” sahut Erwin sambil tersenyum. “Oh iya Khao, aku mau diajak kerja sama lho sama orang. . .”

“Kerja sama? Sama siapa Win? Kerja sama dalam bentuk apa?”

“Tadi aku dikasih tau Siwi, katanya ada owner cafe gitu di deket-deket sini yang lagi cari partner pastry buat diajak kerja sama. Nah aku direkomendasiin sama Siwi ke owner cafe itu. Terus yaudah, aku sekarang lagi nunggu chat dari pihak cafenya. . .”

“Waaahh. . . Keren banget! Ih, kan emang rasa kue buatan kamu tuh super enak! Apalagi cookies sama macaroonnya. Pantesan Siwi ngerekomendasiin kamu. Hebat ih, keren banget nih sahabat aku!” Puji Khao yang juga terlihat sangat antusias setelah mendengar informasi dari Erwin.

Erwin tersenyum malu-malu, “hehe, makasih loh buat pujiannya..” sahutnya. “Tapi Khao, aku tuh malah jadi minder gitu. . . nggak percaya diri..”

“Ih minder kenapa sih? Kue kamu loh enak, pasti nanti cocok deh dipasangin sama menu-menu di cafe itu.”

“Iya sih. . .” sahut Erwin ragu. “Masalahnya tuh, aku belum pernah kerja sama kayak begini.. takutnya nanti malah keteteran, atau malah ngerugiin cafe dan diriku sendiri..”

“Hush gak boleh bilang gitu!” Potong Khao cepat. “Justru itu Win, dengan kamu coba ikut kerja sama ini, aku yakin deh kamu bisa dapet pengalaman soal kerja sama kayak begini. Ambil positifnya ajaa. Sekalian promosi buat menu-menu kamu, iya kan?”

Erwin manggut-manggut. “Bener juga sih. . .”

“Udah, gak perlu khawatir Win..” ucap Khao sambil mendekat ke arah sahabatnya itu. “Mau gimanapun keadaannya, mau kayak gimana sulitnya nanti, aku yakin, Erwin pasti bisa lewatin itu. Aku aja yakin sama kamu kok. Masa kamu enggak yakin sama dirimu sendiri?”

Erwin menghela nafas. Benar juga apa yang baru saja Khao katakan.

Sepertinya untuk saat ini, Erwin perlu membuang jauh-jauh rasa mindernya itu. Ia harus yakin pada dirinya sendiri. Seperti dulu, saat ia yakin jika dirinya bisa membuka usaha kue sendiri.

“Iya deh. Aku bakal percaya sama diriku sendiri,” ucap Win sambil mengangkat wajahnya dengan yakin.

“Harus dong! Harus percaya diri, okey? Ada aku di sini hehe. Aku pasti dukung Erwin,” timpal Khao sambil tersenyum.

Erwin otomatis ikut tersenyum, “makasih ya Khao udah support. Nggak tau lagi deh kalo nggak ada kamu gimana jadinya.. pasti aku bakal bingung terus. . .” sahut Erwin.

“Sama-sama Win, tenang aja.”

Drrt. Drrt.

“Eh, Win, hp kamu nyala tuh. . .” ujar Khao sambil menunjuk ke arah ponsel milik Erwin yang ada di atas counter.

“Eh, iya dong. Bentar yah, aku cek dulu,” sahut Erwin.

“Kalo gitu, aku ke depan dulu ya Win, mau lihat anak-anak main bola.”

“Oh, iya deh. Tapi jangan digangguin ya mereka, kasihan nanti takut.”

“Hehehe, enggak kok. Tenang aja. Dadah Erwin, makasih pie susunyaa!” Pamit Khao sebelum akhirnya sosok itu hilang menembus tembok dapur.

Menyisakan Erwin yang tersenyum sambil geleng-geleng kepala, lalu mengalihkan atensinya ke arah layar ponselnya yang sudah menyala.


Malam itu, Genta seperti orang linglung. Bingung sendiri, tidak tahu apa yang sedang ia bingungkan.

Sejak tadi, Genta sibuk mencuri-curi pandang ke arah pintu cafe. Padahal, malam ini pelanggan sedang ramai. Tapi tetap saja, Genta terus mencuri pandang ke arah sana.

Owner Blue Moon Cafe itu tampak sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang ke cafenya ini.

“Woy, Ta.”

“Eh buset! Aduh.. kaget banget gue bang,” sahut Genta setelah mengetahui jika barusan Mike lah yang mengagetkan dirinya. “Kenapa bang?”

Bukannya menjawab, Mike justru menatap tajam ke arah pemilik cafe sekaligus sahabat dekatnya itu. “Elu yang kenapa,” ucapnya.

Sebelah alis Genta terangkat, bingung. “Lah. . . kok balik nanya bang? Emang gue kenapa? Perasaan gak kenapa-napa deh. . .” Sahut Genta sambil menggaruk pelipisnya.

“Hadeh Genta. . . Genta. . . Elu tuh dari tadi ya, gue lihat kayak orang bingung tau gak. Nerima orderan nggak fokus, ngeracik kopi salah-salah mulu. Sibuk ngeliat pintu mulu dari tadi. Nungguin siapa sih lu?” Tanya Mike sambil melipat tangannya di depan dada.

“Oh. . .” Sahut Genta sambil cengar-cengir setelah sadar akan apa yang terjadi kepadanya. “Itu bang, gue lagi nunggu si Erwin. Orang pastry yang lo rekomendasiin..”

“Lah, emang dia mau kesini sekarang?”

Genta mengangguk. “Tadi gue udah whatsapp dia. Gue tanya bisa kesini gak malem ini, terus katanya sih bisa,” jawab Genta.

Pria itu lantas melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjuk ke angka delapan. “Tapi sampe sekarang kok belum dateng.. makanya gue tungguin dari tadi.”

“Ya sabar dulu, kali aja orangnya masih di jalan,” sahut Mike. “Tapi tetep aneh tau gak. Lo tuh bingungnya gak kayak biasanya. Ini kelihatan bingung, cemas, khawatir gitu. Kenapa sih sampe kayak gitu? Gue aja yang lihat lo ikut bingung.”

Genta tertawa, “gue juga gatau bang. Tapi ya, jujur, dari tadi waktu gue chat si Erwin ini tuh, rasanya tiba-tiba excited gitu. Heboh sendiri bawaannya. Gatau kenapa.”

“Yeee. Elu. Dikasih partner cewek biasa aja. Giliran ama partner cowok jadi begini,” ledek Mike sambil tertawa.

Genta kembali menggaruk pelipisnya sendiri. Sebab ia sendiri pun sebenarnya tidak mengerti, kenapa ia bisa jadi seperti ini.

Ting! Ting!

“Nah, ada tamu tuh,” ucap Mike sambil melongok ke arah pintu, “itu bukan si Erwin?” Tanyanya pada Genta.

“Masa sih udah dateng,” sahut Genta. Pemuda itu lantas meletakkan sendok yang baru saja ia gunakan untuk mengaduk gula, lalu berbalik badan.

Tepat saat sepasang mata elang milik Genta memandang ke arah pintu, owner Blue Moon Cafe itu seketika terpaku.

Bagaimana tidak? Saat ini, tepat di depan matanya, sedang berjalan seorang pria dengan paras yang begitu menawan.

Genta berani sumpah. Ia belum pernah melihat sosok laki-laki dengan proporsi tubuh dan wajah yang sedemikian sempurna seperti ini.

Tubuhnya yang tinggi semampai, wajahnya yang manis, putih bersih serupa kain satin dengan kualitas terbaik di dunia.

Belum lagi sorot matanya. Sepasang mata berwarna hitam kelam yang seolah mampu memenjara setiap hal yang masuk dalam pandangannya.

Dan karena itulah, kini Genta terdiam. Tidak bisa berkutik.

Sang Owner Cafe itu terhipnotis. Terhipnotis oleh paras tampan milik seorang tamu yang tidak pernah ia duga.

“Permisi, saya mau ketemu sama Mas Genta, ada janji dengan beliau. . .” Ujar Sang Tamu berparas rupawan itu setibanya ia di depan meja tempat Genta dan Mike berdiri.

“Oh, ini Erwin ya?” Sahut Mike yang juga terlihat antusias.

Sosok itu, yang tak lain adalah Erwin, mengangguk sopan. “Iya, saya sendiri..” jawabnya. “Mas Gentanya ada?”

“Ada, ini orangnya,” jawab Mike sambil menunjuk Genta yang masih mematung sambil terus memandang ke arah Erwin.

“Ta, Genta, itu tuh si Erwin udah dateng,” bisik Mike pada Genta. Namun si pemilik cafe itu tidak merespon. Ia masih terdiam. Masih terus menatap ke arah Erwin, tidak berkedip sedikitpun.

Sadar jika sahabatnya ini sedang berada dalam mode error, Mike pun langsung mencubit pinggang sahabatnya itu.

“Aduh! Apaan sih bang? Kenapa nyubit-nyubit?” Protes Genta saat ia merasakan sensasi nyeri di pinggangnya.

Mike langsung melotot ke arah Genta, “apaan-apaan, itu, si Erwin udah dateng, dia nyariin lo tuh!” Bisik Mike setengah emosi.

Baru setelah itu, Genta sadar akan apa yang terjadi.

Ia buru-buru menoleh ke arah Erwin yang tampak sedang menatap bingung ke arah dua orang pria di hadapannya ini.

Ya Tuhan cakep banget, batin Genta dalam hati.

“Eh, ini Erwin ya? Aduh maaf ya, saya tadi ngelamun bentar,” ujar Genta pada Erwin.

“Salam kenal ya Erwin, saya Genta. Owner cafe ini, yang tadi siang hubungi kamu lewat whatsapp,” ujar Genta memperkenalkan diri sambil mengajak Erwin untuk berjabat tangan.

Erwin langsung menyambut tangan Genta, “Salam kenal juga, Mas Genta, saya Erwin. . . maaf ya terlambat datang soalnya tadi sempet ketinggalan bis,” jawab Erwin sambil tersenyum.

Genta menelan salivanya susah payah. Kacau. Erwin ini benar-benar sukses membuat hati Genta kelabakan.

Tidak ingin hanyut semakin dalam pada pesona Erwin, Genta buru-buru melepas jabat tangan itu. “Ehm, k-kalo gitu, silahkan duduk dulu ya,” ucapnya. “Bang, tolong anterin Erwin duduk ya, gue mau siapin minum,” pintanya kepada Mike.

Mike yang sejak tadi bisa membaca ekspresi Genta hanya bisa geleng-geleng kepala. “Oke. Ayo Erwin, saya anter ke tempat duduk,” ajak pria itu kepada Erwin.

Dan setelahnya, Erwin pun mengangguk sejenak kepada Genta. Kemudian melangkah pergi mengikuti Mike yang sedang mengajaknya menuju tempat duduk.

Menyisakan Genta yang berkali-kali mengedipkan mata. Masih tidak percaya akan apa yang baru saja ia lihat.

Genta sering mendengar tentang istilah cinta pada pandangan pertama.

Selama ini, Genta tidak mempercayai hal itu. Sebab baginya, tidak mungkin seseorang merasakan cinta hanya dengan sekali pandang saja.

Namun sepertinya Genta akan membantah prinsipnya sendiri.

Sebab saat ini, Genta telah merasakan. Bahwa ia bisa merasakan cinta lewat sebuah pandangan pertama.

Ya. Malam itu, Genta menyadari. Bahwa ia, jatuh hati kepada Erwin. Pada pandangan pertama.


Hiruk pikuk yang memenuhi Blue Moon Cafe di malam itu tidak mampu meredam debaran dalam hati kedua insan yang sedang duduk berhadapan di salah satu meja di ujung cafe ini.

Setelah tadi menyiapkan minum dan snack untuk teman diskusi mereka, Genta langsung datang menghampiri Erwin, lalu duduk di hadapannya.

Sudah hampir sepuluh menit berlalu tetapi keduanya masih dikuasai keheningan. Tidak ada percakapan lagi setelah tadi mereka bertukar identitas.

Mereka sama-sama merasa gugup. Rasa gugup aneh yang mereka sendiri tidak tahu apa penyebabnya.

Yang pasti, rasanya jantung mereka berdebar-debar setiap kali mereka tidak sengaja beradu tatap.

“Ehm. . . jadi.. Erwin ini jalanin bisnis sourinya sendirian, ya?” Tanya Genta pada akhirnya. Setelah ia menghabiskan sembilan menit untuk mengontrol hatinya sendiri.

Di hadapannya, Erwin mengangguk, “Iya, Mas. Saya jalanin sendiri.” Jawabnya.

“Awalnya iseng sih, coba-coba bikin kue terus saya kirim ke temen-temen kuliah. Eh, feedbacknya bagus. Terus sama mereka disuruh coba open order. Dan akhirnya, jadi berkembang seperti sekarang ini. . .” Jelas Erwin sambil tersenyum.

Genta manggut-manggut. “Berarti bisa dibilang souri ini brand bisnis pribadi ya?”

“Iya, Mas. Bisa dibilang begitu sih kayaknya. . .”

Genta terlihat takjub, “Wah, keren ini. Masih muda udah punya brand bisnis pribadi kayak begini. Mana bisnisnya pastry lagi, hebat banget.”

“Hehe, Mas Genta bisa aja,” sahut Erwin dengan wajahnya yang tampak tersipu malu. “Mas Genta juga keren loh. Bisa punya cafe sebesar ini, terkenal juga,” puji Erwin balik.

Kini giliran Genta yang tersipu malu. “Kalo saya sih dibantu bang Mike.. makanya bisa jadi kayak begini. Kalo Erwin kan bener-bener berdikari. Lebih keren Erwin lah,” pujinya lagi.

Duh, rasanya wajah Erwin bisa meledak saking panasnya jika terus dipuji seperti ini.

“Hmm.. soal tawaran partnership sama cafe ini, gimana menurut Erwin?”

Erwin tampak menimbang-nimbang, “sejujurnya ya Mas, saya tuh belum pernah sama sekali bikin kerja sama atau kolaborasi seperti ini. Jadi, waktu saya dikasih tau teman saya kalau ada tawaran partnership sama Blue Moon, saya malah minder. . .” jawab Erwin sambil cengar-cengir.

“Loh, kenapa minder? Erwin tuh keren loh punya bisnis pribadi, apanya yang bikin minder?”

“Ya.. karena saya nggak punya pengalaman apapun soal partnership itu sih Mas.” Jawab Erwin. “Kan selama ini saya tuh jalanin apa-apa sendiri, jadi rasanya khawatir gitu kalau harus berbagi tanggung jawab sama orang lain.. takut malah merugikan. . .”

“Ah, saya rasa nggak akan seperti itu,” sahut Genta yakin. “Buktinya, Erwin aja bisa bertanggung jawab sama bisnisnya sendiri. Saya yakin, nggak sulit kok buat kamu jalin kerja sama dengan orang lain,” imbuh Genta meyakinkan Erwin.

Erwin tersenyum simpul, “iya sih Mas.. tapi namanya orang kan, pasti ada aja takutnya. Apalagi ini kerja sama bareng cafe besar.. jadi makin takut deh,” timpalnya.

“Nggak perlu takut hey. Nanti kita belajar bareng-bareng kok,” sahut Genta sambil tertawa.

“Kalo gitu, gimana. Kira-kira Erwin mau nggak ambil projek partnership antara Souri & Blue Moon Cafe?”

Erwin terdiam sejenak.

Ia sudah jauh-jauh menempuh jarak sampai ke sini. Seharian ini, Erwin pun sudah berusaha meyakinkan diri. Terlebih, ia teringat apa yang Khao sampaikan padanya.

Erwin harus percaya diri.

Lagipula, sepertinya Genta ini adalah orang yang suportif dan sangat mengayomi. Sedikit banyak, Erwin tidak merasa khawatir jika harus bekerja sama dengan Genta.

Merasa jika dirinya sudah yakin, Erwin pun mengangguk mantap. “Oke, Mas Genta. Saya ambil proyek partnershipnya.” Tandasnya.

Wajah Genta langsung dipenuhi kebahagiaan. “Oke, mantap. Kalo gitu, Erwin bisa tanda tangan di sini, sebagai bukti awal perjanjian kita, oke?”

“Oke, Mas. Siap.” Sahut Erwin tak kalah semangatnya.

Genta lantas menyerahkan sebuah map berisi kertas perjanjian kerja sama antara dirinya dan Erwin yang nantinya bisa digunakan sebagai bukti proyek partnership mereka.

Genta merasa sangat senang. Selain akhirnya ia bisa mendapat rekan untuk proyeknya ini, ia juga merasa senang karena dengan kerja sama ini Genta bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Erwin.

Sosok yang sudah mencuri hatinya pada pandangan yang pertama.

“Sudah, Mas. . .” Ucap Erwin setelah usai menandatangani surat itu sambil tersenyum begitu manis.

“Oke, makasih ya. Duh, manis banget senyumnya. . .”

“Hah? Gimana Mas?” Sahut Erwin kaget.

Anjir Genta goblok banget!

“Eh! Aduh, salah! Aduh.. itu.. ehm.. anu, m-maksudnya, bagus banget tanda tangannya Erwin,” jawab Genta panik setelah menyadari kecerobohannya. “Aduh, maaf ya Erwin, s-saya tadi salah ngomong, kurang fokus. . .”

Erwin rasanya ingin tertawa saja melihat tingkah Genta yang panik seperti ini. “Iya Mas, nggak apa-apa kok.. minum dulu biar fokus..”

“Iya ya minum dulu ya,” sahut Genta sambil menggaruk pelipisnya.

Si Pemilik cafe itu lantas mengambil segelas ice coffee yang ada di hadapannya, lalu buru-buru meminumnya.

Wajah Genta terlihat bingung saat ia tidak bisa merasakan ice coffee itu masuk ke dalam tenggorokannya. “Ini sedotan buntu apa gimana sih,” gerutunya.

Sedangkan di hadapannya, Erwin tengah tertawa terbahak-bahak.

“Mas Genta. . .” Panggil Erwin sambil tertawa.

“Iya, kenapa?”

“Pantes nggak bisa keluar itu es kopinya, orang Mas Genta nyedot sendok, bukan sedotan. . .” Jawab Erwin sambil kembali tertawa.

Genta langsung melirik ke arah gelasnya.

Oh Tuhan. . . benar apa yang Erwin katakan. Pantas saja, Genta sudah menyedot dengan sekuat tenaga tapi es kopi itu sama sekali tidak keluar.

Duh, rasanya Genta ingin mengubur diri saja. Malu banget, woy!

“Oalah.. iya ya.. pantesan nggak keluar esnya, hehe,” sahut Genta sambil cengar-cengir, berusaha menahan malu sih lebih tepatnya.

“Mas Genta lucu banget sih,” puji Erwin sambil menghapus air mata yang keluar karena terlalu asik menertawakan Genta.

Aduh, Erwin, plis jangan muji gue atau lo gue sayang!

Genta lantas menelan seteguk es kopi itu dengan nikmat. Pria itu menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengatur dirinya agar tidak dikuasai gugup dan berakhir konyol seperti barusan.

“Oke, kalo gitu, besok Erwin bisa dateng lagi kesini nggak sama bawa sample produk souri?”

“Bisa, Mas. Tapi saya bisanya malem sih, kayak tadi. Soalnya kalau pagi sampe sore, saya nyiapin orderan..” jawab Erwin.

“Oh, iya nggak masalah. Yang penting ada waktu buat dateng ke sini,” sahut Genta. “Berarti besok bisa, ya?”

“Siap, bisa Mas.”

“Oke deh.. kalo gitu, terima kasih banyak ya Erwin udah mau repot-repot dateng ke sini, mana malem-malem juga. Saya nggak enak jadi ganggu waktu istirahatnya,” ujar Genta.

Erwin tersenyum, “nggak masalah kok Mas. Lagipula saya juga nggak ada kerjaan lain, jadi bisa ke sini deh, hehe.” Ucapnya. “Kalo gitu, saya pamit pulang ya Mas?” Ucap Erwin sambil berdiri.

“Oh, iya-iya,” sahut Genta yang turut berdiri. “Eh, Erwin tunggu sini sebentar ya,” ucap Genta sebelum langsung berlari meninggalkan Erwin.

Sepeninggal Genta, Erwin pun menatap ke sekeliling cafe.

Blue Moon Cafe ini terasa begitu nyaman, walaupun sejak awal Erwin menginjakkan kaki di tempat ini, ia bisa melihat bahwa banyak sekali dari mereka yang juga sedang menikmati momen di cafe ini.

Rame juga ya cafe ini, batin Erwin dalam hati.

“Nih, oleh-oleh buat Erwin,” ucap Genta sambil menyerahkan sebuah bingkisan untuk Erwin.

“Aduh, Mas Genta, saya jadi ngerepotin gini..” balas Erwin tidak enak.

“Nggak ngerepotin kok. Orang cuma minuman. Caramel Macchiato sama Strawberry Frappe. Buat nemenin malem ini, hehe.”

Erwin pun menerima pemberian Genta dengan senyuman lebar. “Terima kasih banyak buat jamuannya ya Mas Genta.. berkesan banget buat saya,” ucapnya.

“Sama-sama Erwin. Semoga suka sama minumannya,” balas Genta. “Yuk, saya antar keluar?” Ajak Genta kepada Erwin.

Dan setelahnya, mereka berdua pun berjalan beriringan menuju pintu cafe. Menutup lembar awal perjalanan bisnis mereka berdua, serta menutup malam yang indah dimana hati Genta telah tercuri oleh seorang pemilik pastry dengan parasnya yang rupawan, Erwin.


bwuniverr