z

“Eh, Kak Bright udah balik..” sambut Metawin kepada si pemilik kamar yang baru saja tiba di sana.

Bright mengangguk singkat sambil menutup pintu kamarnya.

“Sini sini, Kak. Ayo makan bareng. Udah aku siapin tadi, hehe..” ucap Metawin lagi sambil mengajak Bright untuk duduk bersama di samping kasur.

Karena perutnya yang memang sudah terasa lapar, Bright pun langsung ikut duduk di sana untuk menyantap makan malam.

Bright melirik beberapa hidangan yang sudah tersaji di hadapannya.

Pemuda itu lantas mengambil sendok yang Metawin siapkan, lalu mulai menyantap hidangan itu satu per satu.

Bright menikmati makanan itu dengan tenang. Merasakan betapa lezat setiap gigitan udang balado yang kini sedang berada di dalam mulutnya.

Namun di sela momen makan malamnya itu, Bright sedikit merasa terganggu.

Sebab sejak tadi, Metawin terus saja menatap ke padanya sambil tersenyum.

Dan jujur, hal itu membuat Bright menjadi tidak merasa tenang saat menyantap makanan ini.

“Eh lo kenapa sih kok senyum-senyum begitu?” Tanya Bright sambil meletakkan sendoknya.

Metawin buru-buru menelan makanan di dalam mulutnya. Lantas menjawab pertanyaan Bright. “Hehe nggak apa-apa, Kak. Seneng aja gitu bisa makan bareng sama Kak Bright. . .”

Bright menelan salivanya.

Pemuda itu sedikit kaget dengan jawaban yang Metawin beri kepadanya.

Belum lagi, Bright bisa melihat dengan jelas betapa tulus ucapan Metawin dari raut wajahnya itu.

“Jangan senyum-senyum mulu. Lanjutin makannya dulu. Ntar keselek,” sahut Bright sambil memalingkan wajah.

“Dah sana lanjut makan.” Titah pemuda itu yang disambut anggukan oleh Metawin.

Makan malam itu pun kembali berlanjut.

Namun kondisinya masih sama.

Bright yang masih fokus menikmati seporsi nasi dengan lauk udang balado sambil terus melirik ke arah Metawin yang masih saja senyum-senyum sendiri.

Awalnya, Bright merasa jengah dengan tingkah roommatenya itu.

Bukannya fokus menikmati makanan, malah senyum-senyum dari tadi. Kan aneh.

Tapi, lama-kelamaan, Bright justru terus melihat tingkah Metawin itu.

Diam-diam, senyum Metawin itu menjadi sebuah candu yang membuat Bright enggan untuk melepas pandangannya barang sedetik dari sana.

Alhasil, sejak terakhir kali ia menegur Metawin, ia justru terus melihat pemuda manis itu.

Belum lagi wajah Metawin yang terlihat sangat lucu saat makan, membuat Bright semakin sigap untuk mencuri pandang ke sana.

Kedua pipinya yang menggembung karena makanan di dalamnya.

Sepasang matanya yang berubah bagai bulan sabit di angkasa.

Serta rona merah di wajahnya yang timbul sebagai efek kunyah-kunyah telan yang dilakukan oleh Metawin.

Sungguh, apa yang terlihat di hadapan Bright saat ini selayaknya pemandangan paling memukau sekaligus menggemaskan yang belum pernah Bright lihat sebelumnya.

Lucu banget anjir kayak mochi, gumam Bright dalam hati.

“Kak Bright?”

“Kak Bright?!”

“KAKAK!!”

“Eh anjir! Eh—iya, k-kenapa Win? Ada apa?” Sahut Bright yang baru saja tersentak karena suara Metawin yang begitu kencang.

Metawin menatap bingung ke arah sang berandalan itu, “kak Bright dari tadi ngelamun terus, kenapa Kak?” Tanyanya.

“Oh, nggak papa kok. Biasa lagi ngelamun doang.” Sahutnya kikuk. “Kenapa lo manggil gue?”

Metawin meletakkan sendoknya, “itu.. aku mau tanya..”

“Tanya apaan?” Sahut Bright.

Metawin menggigit bibir bawahnya. Pemuda manis itu melirik ke arah sebungkus rokok yang ada di atas nakas. Lantas kembali menatap wajah Bright.

“Kak Bright, ngerokok yah?”

Bright terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk, “iya. Kenapa emangnya?” Sahutnya.

Kini giliran Metawin yang terdiam setelah mengetahui jawaban Bright yang terdengar begitu yakin.

Bright menghela nafas, “kenapa? Lo gak bisa hirup asap rokok?” Tebak pemuda itu.

Metawin mengangkat wajahnya malu-malu. Sebelum akhirnya mengangguk lirih.

“Kenapa gak bisa? Lo punya astma?”

Metawin menggeleng lagi.

“Terus kenapa kok gak bisa?”

Pemuda manis itu menatap wajah Bright lekat-lekat.

“Nggak tau.. nggak bisa aja, Kak. Soalnya selalu batuk kalo hirup asap rokok,” jawabnya.

Bright terdengar menghela nafas.

Sang berandalan itu membuang muka sebelum akhirnya kembali menatap wajah Metawin.

“Dah gausah khawatir. Gue gak bakal ngerokok di kamar kok.” Ucap Bright.

Sebuah senyuman langsung merekah di wajah manis Metawin.

Pemuda manis itu terlihat sangat senang dengan apa yang baru saja Bright sampaikan kepadanya.

“Makasih ya Kak...” ucap Metawin sambil tersenyum.

Bright balas ucapan Metawin itu dengan sebuah anggukan singkat.

“Eh, Kak Bright mau mandi sekarang kah?” Tanya Metawin.

“Belum. Masih belum beres makan. Lo aja duluan,” jawab Bright.

“Oke, kalo gitu aku mandi duluan ya kak,” pamit Metawin.

Pemuda manis itu lantas buru-buru membereskan bekas makan malamnya untuk bersiap mandi.

Meninggalkan Bright yang masih asik menikmati menu makan malamnya yang masih belum habis.

Suasana kamar 215 itu jadi tidak enak sekali saat Bright kembali ke sana.

Bukan karena hal serius, melainkan karena Bright yang merasa malu sekali untuk kembali ke sana.

Si Joni sudah berhasil teratasi. Sehingga pemuda itu pun memutuskan untuk kembali.

Yaa, walaupun rasa malu masih menghantui hati dan pikirannya.

Dan disini lah dia sekarang.

Mondar-mandir di dalam kamarnya sendiri. Berteman resah dan cemas.

Disaksikan oleh Metawin yang kini menatap bingung ke arah sang pemilik kamar itu.

“Kak Bright?” Panggil Metawin yang membuat Bright menghentikan langkah.

“Mana odolnya? Tadi katanya mau beli odol?” Tanyanya.

Ck. Masih inget aja nih bocah, sahut Bright di dalam hati.

“Gak jadi beli. Nggak bisa pake e-wallet ternyata.” Jawab Bright sambil berkacak pinggang.

“Tuhkan apa aku bilang.. lagian dompetnya nggak dibawa sih..” sahut Metawin. “Eh tapi Kak, tadi aku cek odolnya Kak Bright masih ada tuh.. masih banyak juga. Terus beli lagi buat apa?”

Nah loh, mau jawab apa Bright?

“Yaa beli aja, b-buat cadangan,” jawab Bright dengan cukup ngegas.

“Lagian kenapa sih lo nanya-nanya? Urusan gue kali mau beli odol apa enggak.” Nah kan, malah sewot.

Metawin menghela nafas, “iya-iya maaf.. habisnya aku penasaran aja. Soalnya Kak Bright tuh buru-buru pergi banget. Kayak habis lihat penampakan..” sahut Metawin.

Iya emang... elu penampakannya Metawinnnn, gerutu Bright di dalam hati.

“Udah ah jangan dibahas lagi,” ucap Bright yang dibalas anggukan oleh Metawin.

Pemuda itu melirik jam yang menempel di dinding kamarnya itu, “udah malem nih. Lo nggak tidur?” Tanyanya pada Metawin.

“Iya.. ini tadi udah mau tidur..” jawab Metawin.

“Lah kenapa belum tidur?”

“Nungguin Kak Bright balik. . .”

Untuk beberapa saat, Bright terhenyak.

Sedikit kaget dengan apa yang baru saja Metawin katakan.

Namun pemuda itu buru-buru menggeleng, “dih, ngapain sih pake nungguin gue. Kalo ngantuk ya tidur aja.” Sahutnya.

“Udah sana tidur. Udah ngantuk banget tuh mata lo.” Titahnya sambil menunjuk area mata Metawin yang terlihat lelah.

Merasa jika memang tubuhnya sudah terasa lelah, Metawin pun mengangguk.

“Ya udah kalo gitu aku tidur duluan ya, Kak?” Pamitnya.

“Hmm. Tidur aja sana.”

“Kak Bright nggak tidur juga?”

“Nanti,” sahut Bright. “Gue masih belum ngantuk. Ntar malah gak bisa tidur kalo dipaksa.” Jawabnya.

Dan setelahnya, Metawin pun bergegas merebahkan diri di atas kasur.

Sementara Bright mengambil sesuatu dari dalam laci lalu berjalan menuju arah balkon.

“Kak Bright,” panggil Metawin yang membuat Bright menahan langkah.

“Apa?”

Metawin terdiam sejenak sebelum akhirnya mengarahkan telunjuknya ke arah celana yang Bright kenakan.

“Itu. . . Kok Celananya Kak Bright basah?”

Bright seketika mendelik.

Pemuda itu buru-buru melihat ke arah celananya.

Dan, Ya. Benar sekali.

Saking gugup dan paniknya Bright tadi, ia sampai tidak sadar jika si Joni sudah meninggalkan jejak di celana yang ia pakai.

Dan jejak yang ditinggalkan oleh Joni itu terlihat jelas sekali.

Jadi wajar saja jika Metawin bisa melihatnya dari jarak cukup jauh.

Brengseeeek, umpat Bright frustasi.

“Kak? Kak Bright habis kecipratan air yah?” Tebak Metawin yang tidak kunjung mendapat jawaban.

“Iya. Tadi kecipratan motor.” Sahut Bright singkat sambil menahan rasa malunya yang luar biasa.

“Oh.. tapi kak Bright gapap—”

“Tidur, Metawin. Jangan banyak nanya.” Potong Bright.

Metawin mendengus, “iya-iya. Aku tidur.” Sahutnya terdengar kesal. “Selamat tidur Kak Bright.”

“Hm. Selamat tidur.” Balas Bright sambil berjalan cepat ke balkon.

Setelah momen sebats enjoynya harus tertunda karena Metawin yang merasa tidak nyaman, Bright pun memutuskan untuk mandi saja.

Sebab rasanya, tidak ada hal lain yang bisa pemuda itu lakukan malam ini.

Jadi lebih baik dirinya mandi, sekaligus membersihkan jejak si Joni, lalu bergegas tidur.

Toh hari esok masih banyak hal yang perlu Bright lakukan. Seperti nongkrong contohnya.

Setelah berganti baju dan menutup pintu balkon, Bright pun ikut berbaring di atas kasur.

Ia menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Metawin.

Pemuda itu mengambil posisi terlentang. Menatap langit-langit kamar.

Berbeda dengan Metawin yang menghadap ke arah balkon.

Sehingga tubuhnya otomatis memunggungi Bright yang sudah ada di sampingnya.

Sedetik kemudian, Bright pun menolehkan wajah.

Mengarahkan sepasang mata elangnya untuk menatap punggung Metawin yang terlihat naik turun.

Tidak ada dengkuran.

Metawin seakan tidur dalam ketenangan yang hakiki.

Dan entah bagaimana ceritanya, kini Bright sudah ikut membalikkan badan. Membuat tubuhnya satu arah dengan Metawin.

Berteman temaram lampu yang ada di dalam kamar 215 itu, kini Bright meletakkan atensinya secara penuh untuk menatap Metawin.

Dari posisinya itu, Bright bisa membayangkan bagaimana ekspresi teman sekamarnya itu saat sedang tertidur.

Dan anehnya, membayangkan hal sepele seperti itu saja membuat sebuah senyum tipis merekah di wajah tampannya.

Sebab wajah Metawin sudah muncul sendiri dalam benak Bright.

“Lo tuh aneh banget tau gak,” monolog Bright lirih. Lirih sekali.

“Belom dua hari lo tinggal di sini, adaa aja hal-hal ajaib yang nimpa gue.”

Bright tertawa lirih, “Lo tuh punya jurus apa sih kok gue mau-mauan nerima lo di sini? Pelet dari mana? Dapet di gunung mana?” Oceh pemuda tampan itu.

Ia lantas kembali tertawa. Menertawakan dirinya sendiri yang sudah konyol karena mengajak ngobrol orang yang sedang tidur.

Bright lipat lengan kanannya, lalu ia gunakan sebagai bantal.

Sepertinya pemuda itu benar-benar menikmati momen memandangi Metawin yang sedang tidur ini.

Padahal kan Metawin membelakanginya, tapi Bright justru tampak sangat antusias.

Sambil memandangi rambut hitam berkilau milik Metawin, Bright pun kembali berceloteh, “Metawin.. Metawin.. lo tuh lucu banget sih,” ucapnya sambil terus senyum-senyum sendiri.

Saat sedang asyik menikmati indah cipta karya Tuhan yang kini sedang memunggunginya itu, Bright dibuat kaget.

Sebab sang objek pemandangannya itu tiba-tiba bergerak.

Dan yang membuat Bright semakin terhenyak adalah posisi Metawin yang saat ini sudah menghadap ke arahnya.

Kini, Bright dan Metawin saling menghadap satu sama lain.

Dengan Metawin yang masih terpejam, serta Bright yang sedikit mendelik karena kaget.

Bright sontak menahan nafas.

Sebab posisi wajahnya dengan Metawin berada begitu dekat.

Dari posisi seperti ini, Bright bisa melihat dengan jelas proporsi wajah manis milik Metawin itu.

Dan hal itu membuat Bright sukses menelan salivanya.

Wajah itu masih sama bersihnya, masih sama indahnya, masih sama menawannya, seperti saat pertama kali Bright melihatnya kemarin.

Membuat berandalan itu tak berkedip sedikitpun.

Dan pada saat inilah, Bright menyadari bahwa ia sudah hilang kendali atas tubuhnya sendiri.

Bagaimana tidak, tiba-tiba saja, tangan kirinya terangkat.

Lantas, tangan itu mendarat dengan sangat lembut di rambut hitam milik Metawin.

Tidak sampai di situ saja, Bright pun tiba-tiba mengusap lembut sisi wajah pemuda manis itu.

Sembari berkata dalam hati,

Lo cakep banget, Win. . .

Bright sudah tidak perduli dengan hatinya yang berdebar begitu kencang.

Saat ini, yang ia perdulikan hanya Metawin, serta pesona pemuda manis itu yang sudah berhasil mengusik nuraninya.

Bright terus memberi usapan lembut pada sisi wajah Metawin.

Seiring secara perlahan, Bright pun mendekatkan wajahnya ke arah teman sekamarnya itu.

Hingga jarak yang tersisa di antara mereka tidak lebih dari satu kepalan tangan.

Bright bisa merasakan hangat nafas Metawin yang masih terlelap itu.

Kini, pandangannya telah beralih.

Tidak lagi fokus pada wajahnya yang masih dibuai damai.

Namun sudah berpindah ke arah bibir sintal dengan rona merah yang ada di wajah manis itu.

Bright pandangi lekat-lekat benda kenyal nan merona itu. Seiring ia menelan salivanya susah payah.

Dan entah kenapa, ada desir aneh yang seakan mendorongnya untuk semakin mendekat ke sana.

Dan sepertinya, Bright benar-benar sudah hilang akal.

Sebab pemuda itu menuruti desir aneh yang ada dalam hatinya.

Ia pangkas sisa jarak yang masih membentang diantaranya dan Metawin.

Memajukan wajahnya ke milik yang lebih muda.

Hanya tinggal sejengkal lagi sebelum Bright bisa merasakan benda kenyal itu di wajahnya.

Tapi kemudian, sang berandalan itu tersadar.

Ia menahan tubuhnya.

Nafasnya tercekat saat ia menyadari betapa dekat posisinya dengan wajah Metawin saat ini.

Anjir Bright lo ngapain sih. . . Gumamnya di dalam hati.

Pemuda tampan itu pun menggeleng ribut, sebelum akhirnya mundur untuk kembali ke posisinya yang semula.

Bright memejamkan mata. Merutuki betapa bodoh tingkahnya saat ini.

Hampir saja. Hampir saja Bright melewati batas.

Bright pun bergegas membalik badan.

Ia sengaja memunggungi Metawin agar bayang-bayang wajah teman sekamarnya itu tidak lagi menghantui dan merenggut akal sehatnya.

Walau masih terus terbayang akan kejadian yang hampir saja terjadi kepadanya, Bright pun memutuskan untuk tidur saja.

Sang Berandalan kampus itu pun memejamkan mata.

Memaksa agar kesadarannya lekas hilang dan berlalu ke alam mimpi.

Di sela usahanya untuk tidur, Bright menyadari sesuatu,

Bahwa saat ini, Metawin adalah satu-satunya hal yang sukses menghantui hati dan pikirannya.

Bahwa saat ini, perhatiannya telah berpusat pada satu orang, yakni Metawin.

Bahwa saat ini, sang Berandalan itu telah jatuh.

Jatuh sedalam-dalamnya pada telaga cinta yang dibangun oleh sosok manis, teman sekamarnya, yang tidak lain tidak bukan adalah Metawin.

“Guns,”

“Apa? Udah gak kesurupan lagi lo? Udah sembuh?”

“Gue gak kesurupan anjir!” Sahut Bright sambil menoyor kepala sahabatnya itu.

Guns tertawa, “lagian muka lo kayak kesambet setan warkop,” balasnya. “Kenape lo manggil gue?”

“Ntar malem, gue boleh tidur di kosan lo gak?”

Guns mendelik seketika, “hah? Nginep?? Gak Gak! Gak Bisa!” tolaknya.

“Ah elah Guns, semalem doang, besok juga udah balik kok. Boleh ya? Plis..” pinta Bright melas.

Tapi Guns lagi-lagi menggeleng. “Gak. Sorry. Kosan gue bukan lossmen. Gak bisa sembarangan nerima orang.” Jawabnya ketus.

“Lagian kenapa sih pake nginep? Orang punya kamar sendiri. Bagus pula. Aneh.”

“Gue lagi malu Guns. . .”

“Ah elah, punya malu emang lo? Berandalan kok punya malu. Tjih.” Ejek sahabatnya itu.

“Anjing gak usah pake ngeledek juga lo, brengsek,” sahut Bright tidak terima.

“Ayodong Guns, malem ini doang.. gak lebih..” pintanya lagi.

“Gak Bisa.” Jawab Guns.

“Pokoknya gue gak bakal nerima lo di kosan gue. Kosan gue sempit. Sumpek. Dah gue mau kelas dulu.” Ujarnya sambil buru-buru pergi meninggalkan Bright.

“Woy Guns! Guns! Ah elah sianjir punya sahabat kayak tai semua brengseeeek!” Omel Bright seorang diri sambil memukul meja warkop.

Setelah serangkaian drama yang Bright lewati di hari ini, akhirnya pria itu sudah tiba di kamarnya.

Di sana, ia disambut oleh Metawin yang sedang berbaring sambil asyik menonton film dari laptopnya.

“Nonton apaan sih lo? Fokus banget kayaknya,” ucap Bright sambil meletakkan sekantong makanan di atas nakas.

Metawin lantas mendongak, “eh Kak Bright udah balik..” sapanya, “ini lohh aku lagi nonton film horror.” Jawabnya.

“Gak jelas banget nonton film horor,” cibir Bright lirih. “Lo gak makan? Nih lauknya udah ada,”

Metawin menggeleng singkat, “nanti aja kak, nanggung.” Katanya.

Maka akhirnya Bright pun meninggalkan makanan itu di atas nakas.

Pemuda itu pun berjalan ke arah kasur lalu ikut membaringkan tubuhnya di samping Metawin.

Sambil sesekali melirik tayangan film horor di laptop milik Metawin.

Kamar itu hening. Tidak ada obrolan yang terjalin di antara mereka berdua.

Metawin masih sibuk menikmati film horor di laptopnya.

Sementara Bright sedang asyik bermain game online di ponselnya.

Sesekali, Bright melirik ke samping.

Melihat bagaimana Metawin menutupi wajahnya sendiri dengan selimut manakala adegan di film horor itu sedang intens.

Kadang Bright dibuat geleng-geleng kepala saat Metawin berjengit kaget karena jumpscare di film itu.

Diam-diam, si berandalan itu menertawakan Metawin dalam hati.

Aneh banget. Udah sadar kalau takut malah terus ditonton. Kata Bright dalam hati.

Namun, keheningan di kamar itu seketika sirna saat sebuah gambar menyeramkan muncul di layar laptop milik Metawin.

Melihat wujud menakutkan dari film horor di laptopnya itu, membuat Metawin berteriak.

“HUWA! ASTAGA SEREM BANGET!” Pekiknya dengan kencang.

Disusul tubuhnya yang reflek langsung memeluk Bright di sampingnya.

Sedangkan Bright pun dibuat mendelik saat Metawin merangkul tubuhnya.

Ia kaget, shock bukan main. Sebab pelukan itu ternyata