bwuniverr

NEXT

#NEXT


Seharusnya pagi hari itu dipenuhi oleh senyum serta semangat. Tapi nyatanya, Win justru berjalan sempoyongan, loyo. Pemuda itu kehabisan tenaga setelah harus mengejar bis terakhir yang meninggalkannya pagi ini.

Padahal, Win harus sudah datang di kantor tempat Mix bekerja sebelum pukul sepuluh pagi untuk mengumpulkan surat lamaran yang ditawarkan oleh sahabat karibnya itu kemarin malam.

Namun apa daya. Nasi sudah jadi bubur. Bis terakhir itu sudah melesat pergi. Dan setidaknya Win harus menunggu sampai pukul sebelas siang jika ia ingin naik bis untuk menuju kantor Mix. Yang artinya, ia bakal terlambat datang di sana. Dan jujur, Win tidak mau jika hal itu itu sampai terjadi.

Akhirnya, Win memutuskan untuk berjalan kaki. Menempuh trotoar jalanan mengikuti navigasi yang diberikan oleh maps sesuai lokasi yang dibagikan oleh Mix.

Dengan tenaga yang sudah terkuras habis, langkah Win terasa semakin berat saja. Belum lagi, rasa lapar dan haus yang terasa semakin menyiksa dirinya. Membuat Win mau tak mau harus berdamai dengan kondisinya saat ini agar ia bisa sampai di kantor Mix tepat waktu.

Semakin tungkai jenjangnya itu melangkah, semakin habis saja rasanya energi yang ada di tubuh Win. Biasanya Win bisa berkompromi dengan lelah dan lapar, tapi saat ini, rasanya Win ingin menyerah saja.

Kruuuuuuk. . .

Win memegangi perutnya erat-erat. Rasanya lapar. Lapar sekali. Kalau saja tadi pagi Win sempat menikmati sarapan, setidaknya sepotong roti atau satu telur dadar, Win pasti masih punya tenaga untuk mengejar bis terakhir itu.

Tapi sayangnya, Win tidak memiliki kesempatan itu.

Semalam Win lupa untuk membeli stok makanan lebih. Ia terlalu lelah dengan kegiatannya mencari kerja yang tidak kunjung membuahkan hasil. Dan berujung membuat dirinya tidak punya stok makanan untuk sarapan pagi tadi.

Halte keempat sudah Win lewati. Langkah pemuda itu semakin terlihat sempoyongan. Loyo. Tubuhnya yang jenjang itu kini tampak seperti pohon layu yang tidak mendapat cukup asupan air.

Win ingin sekali minum. Tenggorokannya haus bukan main. Tapi Win tidak mau mengulur waktu dengan pergi ke minimarket atau sekedar mencari toko untuk membeli air mineral.

Ketika tenaganya sudah berada di ujung batas, Win melihat ada sebuah bangku di dalam kompleks taman kecil di pinggir jalan. Di sana, ada seorang wanita yang sedang duduk seorang diri. Menyisakan ruang yang sepertinya bisa Win manfaatkan untuk beristirahat sejenak.

Ke sana kali ya.. capek banget rasanya.. Gumam Pemuda itu dalam hati sebelum akhirnya ia melangkah menuju ke bangku itu.

“Permisi, boleh saya duduk di sini?” Ujar Win meminta izin kepada si Wanita yang lebih dulu sudah duduk di sana.

Wanita dengan setelan gaun berwarna merah itu mengangkat wajahnya. Menyuguhkan parasnya yang begitu rupawan.

Cantik banget. . . Ucap Win di dalam hati ketika dirinya terpukau dengan kecantikan wanita itu.

Wanita dengan gaun merah itu tersenyum. Membuat kedua sudut bibirnya yang merah merona terangkat. “Boleh, silahkan,” jawabnya sambil menggeser tubuhnya sendiri. Memberi ruang lebih kepada Win.

“Terima kasih,” sahut Win sambil tersenyum.

Dan setelahnya, Win langsung duduk di sebelah wanita itu. Ia lepaskan ransel yang sejak tadi terasa menambah beban tubuhnya, kemudian melonggarkan ikatan dasi di lehernya.

Hahhhh…” Win berusaha meraup nafas dalam-dalam. Berharap limpahan oksigen itu mampu mengganti sebagian besar tenaganya yang sudah menguap entah kemana.

Win menelan ludahnya berkali-kali. Membasahi kerongkongan kecilnya yang terasa sudah sekering gurun sahara.

Saat Win sedang menikmati momen istirahatnya itu, tiba-tiba si Wanita bergaun merah yang ada di sampingnya beranjak pergi.

Wanita itu tampak sedang tergesa. Sebab barusan, Win bisa mendengar dering ponsel yang diikuti sebuah percakapan singkat.

Hingga akhirnya, Wanita itu pun pergi. Berjalan cepat, meninggalkan Win yang masih mengais tenaga dari alam di sekitarnya, serta sebuah tote bag milik wanita itu yang masih tergeletak di kursi yang tadi ia duduki.

Win otomatis memasang mode siaga. Waduh tasnya ketinggalan, ucapnya dalam hati.

Win langsung menyambar tote bag milik wanita itu. Lalu berlari sekuat tenaga mengejar wanita bergaun merah yang sudah berada jauh di depan sana.

“Mbak! Mbak! Tas nya ketinggalan!” Teriak Win kepada Wanita itu sambil terus berusaha mengejar langkahnya yang terasa begitu cepat.

Anjir ini cewek jalannya cepet banget dah.

“Mbak! Mbak! Berhenti!”

Wanita bergaun merah itu melepas ponsel yang melekat di telinga kirinya sebelum akhirnya menoleh ke arah Win,

Wajah Win langsung terlihat lega setelah menyadari jika Wanita itu mendengar panggilannya. Dan akhirnya, Win pun mempercepat langkahnya. Berusaha menggapai sang wanita yang kini sedang berdiri sambil menatap penuh tanya ke arahnya.

“Mbak.. huh.. huh.. i-ini.. tasnya ketinggalan.. huh.. huh..” Ucap Win susah payah di sela rongga dadanya yang terasa kian sesak sambil menyerahkan tote bag itu kepada pemiliknya.

Wajah Wanita itu tampak terkejut dengan apa yang saat ini Win bawa. “Wah.. iya, aduh maaf ya, saya lupa. Jadi ngerepotin kamu gini..” sahut Wanita itu.

Win hanya tersenyum sambil menggeleng singkat, “nggak apa-apa kok, Mbak..” jawabnya sambil masih berusaha mengatur nafasnya.

“Kamu baik banget deh.. sampe capek-capek ngejar saya. Padahal lagi capek banget kan ya?” Ucap Wanita itu. “Pasti kamu belum sarapan, ya?” Tebaknya lagi sambil merogoh tas yang menggantung di bahunya.

Kok dia tau.. kelihatan banget ya kalo gue kayak musafir.. gumam Win di dalam hati.

Pemuda itu lantas tersenyum pahit, “hehehe, belum Mbak.. nggak sempat tadi,” sahut Win. “Kalau gitu, saya permis—”

“Eh tunggu bentar,” potong Wanita itu cepat.

Ia tampak memasukkan sesuatu ke dalam tote bag yang tadi dikembalikan oleh Win kepadanya. Kemudian ia serahkan tote bag itu kepada Win. “Nih, buat kamu.”

Sebelah alis Win terangkat naik, bingung. “Eh, nggak usah Mbak.. saya ikhlas bantuin kok. Kan itu tas punya Mbak..” sahut Win.

“Aduh tapi saya maksa loh ini,” jawab Wanita itu. “Lagipula nolak rejeki itu nggak baik, kan?” Imbuhnya diiringi sebuah senyum lebar di wajahnya yang cantik jelita. “Ayo, ambil. Gapapa kok. Anggap aja sebagai ucapan terima kasih saya. Oke?”

Setelah terdiam sejenak, Win akhirnya mengangguk. Lagi pula benar juga kata wanita itu. Tidak baik untuk menolak rejeki, apapun bentuknya.

“Terima kasih banyak, Mbak..” ujar Win sambil menerima tote bag pemberian wanita itu.

“Sama-sama,” sahutnya sambil tersenyum. “Nama kamu siapa?”

Win mengangkat wajah tampannya. “Win. Metawin Arkan Nagara,” jawabnya sambil tersenyum.

Wanita bergaun merah itu turut tersenyum setelah mendengar Win memperkenalkan diri. “Namanya bagus. Cakep, kayak orangnya.” ujarnya sambil tersenyum.

“Nama saya Jan. Jannita.” Tuturnya memperkenalkan diri.

“Oh iya.. terima kasih banyak Mbak Jan. . .” sahut Win.

“Sama-sama Win. Dimakan ya itu yang di dalam tote bag. Saya permisi dulu ya?” Pamit Wanita itu kepada Win.

“Iya Mbak, silahkan.. sekali lagi terima kasih bany—”

Belum usai Win menjawab, Jan lebih dulu melangkah. Wanita bergaun merah itu menepuk lembut bahu Win. Yang otomatis membuat Win terdiam.

Dan setelahnya, Jan mengarahkan kepalanya tepat di belakang wajah Win. Lalu membisikkan sesuatu di sana.

“Semoga lamaran kerja kamu kali ini diterima ya. Semangat anak baik. Terima kasih udah bertahan sampai sekarang. Sampai ketemu lagi.”

Belum sempat Win mencerna situasi, Jan lebih dulu tersenyum simpul sebelum akhirnya wanita itu melenggang pergi. Meninggalkan Win yang masih kaget sekali atas apa yang baru saja ia dengarkan tadi.

“Kok.. dia tau gue mau ngelamar kerja..” monolog Win sambil menatap sosok Jan yang kemudian menghilang pada belokan di ujung sana.

Setelah kepergian Jan, Win pun membuka tote bag pemberian wanita itu. Wajah lelahnya langsung tampak berseri-seri setelah melihat isi di dalamnya. “Astaga.. nasi kotak.. sandwich.. susu.. jus.. banyak banget..” gumamnya seorang diri.

“Emang rejeki tuh gak bakal kemana ya..” ucap Win yang kemudian berjalan kembali ke arah bangku untuk mengambil ransel serta menikmati sarapan pemberian Jan.

Setelah tadi mengkonfirmasi kehadirannya di kantor ini pada resepsionis, Win diberi arahan untuk langsung menuju lantai 8 untuk menemui Pak Mike, selaku penanggung jawab lowongan kerja.

Maka Win pun bergegas mencari lift untuk menuju lantai 8.

Tepat di ujung lorong di belakang resepsionis, ada dua buah lift yang siap digunakan. Dengan salah satu lift yang sedang terbuka dan dalam keadaan sepi.

Tak menunggu waktu lama, Win pun bergegas menuju ke lift itu, lalu masuk ke dalamnya. Agar ia bisa segera menyerahkan berkas lamarannya itu di lantai 8.

Setibanya di dalam lift, Win langsung menekan tombol bertuliskan angka delapan. Tujuannya kali ini.

Beberapa detik kemudian, bunyi bising terdengar lirih di telinga Win. Seiring kemudian pintu lift itu mulai tertutup perlahan-lahan.

Saat jarak yang tersisa dari kedua belah besi itu tinggal sedikit, sebuah telapak tangan tiba-tiba masuk dan seolah menahan agar pintu besi itu tidak tertutup.

Kedua mata Win terbelalak. Pemuda itu buru-buru menekan tombol agar pintu lift itu kembali terbuka. Ia khawatir jika orang itu sampai terjepit pintu lift ini.

Setelah pintu lift itu terbuka kembali, Win berjalan. Ia ingin tahu siapa orang yang hampir menjepitkan tangannya sendiri di pintu lift ini.

“Permisi, anda baik-baik aj—”

Woah. . . .

Win mematung di tempatnya. Pemuda itu tertegun.

Dihadapannya, di balik pintu besi lift yang tadi hampir menyebabkan insiden itu, berdiri seorang pria.

Seorang pria yang terlihat sangat bersahaja di dalam balutan jas berwarna dongker.

Tatapan pria itu tajam bak belati yang baru selesai diasah. Garis wajahnya tegas, serupa tebing karang yang tak gentar walau diterjang kerasnya ombak.

Sosok pria itu terlihat tampan. Tampan sekali. Hingga membuat Win tak sanggup bergerak walau sedikitpun.

Saat ini, Win sadar betul jika dirinya sedang terhipnotis. Terhipnotis oleh ketampanan pria di hadapannya itu.

Ganteng banget. . . . gumamnya dalam hati.

“Boleh saya masuk?”

Win terperanjat. Tersadar dari lamunannya setelah suara barito milik pria tampan di hadapannya itu tertangkap oleh indera pendengarnya.

Win buru-buru menggeser tubuhnya, “b-boleh.. s-silahkan. . .” jawabnya gugup.

Dan setelahnya, pria tampan itu langsung melangkah masuk ke dalam lift. Ia tekan salah satu tombol bertuliskan angka lima belas, sebelum akhirnya berdiri di samping Win. Menunggu lift itu sampai membawa mereka ke tujuan masing-masing.

Ruangan besi berukuran dua kali dua meter itu dikuasai keheningan.

Kedua orang yang sedang berada di dalamnya saling terdiam. Membiarkan hening menguasai mereka. Tak ada percakapan. Sama sekali.

Sejak pintu lift itu tertutup, Win sudah membuang wajahnya. Berusaha agar tidak melakukan kontak mata dengan pria tampan yang sempat menghipnotisnya itu.

Sambil terus berusaha mengendalikan hatinya yang berdebar begitu kencang bagai genderang perang.

Aduh sumpah gue deg-degan banget.. udah ganteng, wangi pula.. oceh Win dalam hati sambil mencuri-curi pandang ke arah pria di sampingnya itu.

Yang Win tidak ketahui adalah, sejak tadi, sejak pertama kali kedua mata mereka beradu tatap, pria itu, pria yang wajah tampannya mampu menghipnotis Win, telah meletakkan atensinya secara penuh kepada Win.

Sejak tadi, Pria itu merasakan sensasi aneh setiap kali ia memandang ke arah Win.

Ada sekelebat bayangan yang muncul dalam benaknya setiap kali ia melihat wajah Win. Bayang-bayang samar yang tampak seperti kilas kejadian yang terasa belum pernah ia alami.

Jangan. . .

Tolong. . .

Pria itu bisa mendengar rintihan seseorang dalam benaknya setiap kali matanya menatap ke arah Win.

Sedikit banyak, wajah Win itu terasa familiar baginya. Entah apa sebabnya.

Dan karena itulah, pria itu tidak menoleh sedikitpun. Sepasang mata elangnya sejak tadi mengunci pandang ke arah lempeng besi yang berada di hadapannya. Ia tidak ingin kilas-kilas itu mengganggu pikirannya.

Ting!

Alarm penanda lift itu telah berbunyi. Kedua pintu besi itu terbuka. Menyuguhkan pemandangan lantai delapan gedung ini yang penuh dengan lalu lalang pekerja kantor.

Win sudah tiba di tujuannya. Namun kakinya terasa berat sekali untuk diajak pergi. Seolah ada sesuatu yang menahan agar ia tidak keluar dari dalam lift itu.

Namun Win tidak bisa terus seperti ini. Ia harus keluar. Berkas lamarannya itu harus ia serahkan kepada Pak Mike jika ia ingin mendapat pekerjaan di kantor ini.

Maka akhirnya, Win pun melangkah. Keluar dari dalam lift ini. “S-saya duluan, permisi,” pamit Win kepada pria itu yang dibalas anggukan lirih olehnya.

Dan setelahnya, Win langsung keluar dari dalam lift itu.

Ia hentikan sejenak langkahnya lalu membalik badan. Dengan segenap rasa yang baru saja Win rasakan, ia suguhkan sebuah senyuman kepada pria tampan yang masih berdiri di dalam lift itu.

Dan tepat saat senyuman manis di wajah Win merekah, si pria tampan di dalam lift itu terbelalak.

Dari sana, dari simpul senyum serupa sabit muda di langit malam, serta dari binar sepasang obsidian milik lelaki di luar lift itu, si pria tampan melihat sesuatu. Sesuatu yang sukses mengguncang sanubarinya.

Di sana, di dalam pupil kelam milik Win, si pria tampan melihat refleksi dirinya sendiri yang sedang menangis sambil menatap penuh sesal. Entah menangisi sesuatu.

Sejujurnya ia ingin ikut keluar, hendak memeriksa apakah yang baru saja ia lihat ini benar atau tidak.

Tapi sayangnya, pintu lift itu lebih dulu tertutup. Membuat dirinya harus terpisah dengan pria manis yang sudah membukakan pintu lift itu untuknya.

Win rasa, hari itu menjadi sangat kelabu untuknya. Bagaimana tidak? Sejak pagi saja Win sudah ditimpa kesialan ganda. Dan sekarang, Win harus dihadapkan pada kenyataan yang selama ini menghantuinya.

Pemuda itu merasa sedih. Sedih akan hidupnya sendiri. Hidupnya yang sampai saat ini masih dipenuhi beragam tanda tanya serta usaha yang tak kunjung membawanya pada muara.

Ah, kalau sudah overthinking seperti ini, Win jadi tidak semangat menjalankan apapun. Rasanya ia hanya ingin diam, meratapi semuanya. Atau kabur, pergi sejauh mungkin dari semua beban ini, kalau ia bisa.

Tapi sepertinya, kabur pun tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada, Win justru bakal dihadapkan pada berbagai persoalan baru yang timbul dari masalah-masalah yang belum sempat dituntaskan.

Win tidak pernah mengira, kesulitannya untuk mendapat kerja bisa membuat pikirannya melayang jauh seperti ini. Membuat Win semakin lelah saja.

“Awiiiiinnnnnn!!!”

Win seketika mengangkat wajah saat suara itu, suara yang begitu ia kenali, suara sahabat karibnya terdengar oleh telinganya.

“Khao? Lo dimana?” Sahut Win sambil menatap sekeliling. Mencari keberadaan sang sahabat karib yang belum juga muncul di hadapannya.

Tap. Win langsung menoleh saat merasakan sentuhan super lembut di bahu sebelah kirinya.

Dan wajah pemuda manis itu langsung tampak sumringah setelah sepasang matanya menangkap figur sang sahabat karib yang kini berdiri di hadapannya.

“Aku di sini, hehe,” ucap Khao, sahabat Win yang sudah dikenalnya sejak lima tahun lalu, lewat sebuah pertemuan yang tak pernah Win sangka dalam hidupnya.

“Kangen banget ih, kemana aja gapernah kelihatan?” Tanya Win sambil menggeser tubuhnya. Memberi tempat agar Khao bisa duduk di sana.

Khao lantas bergerak. Tubuhnya yang tampak serupa hologram itu melayang lembut di udara sebelum akhirnya menapak tepat di samping tubuh Win.

Pada detik berikutnya, bagian bawah tubuh Khao yang tampak tidak berbentuk itu perlahan menampakkan sepasang kaki lengkap dengan sepatu berwarna coklat muda, sepatu yang masih sama seperti pertama kali Win melihatnya.

Dan setelah perubahan itu usai, Khao langsung duduk di samping Win. “Hehe, maaf aku kemaren lagi sering jalan-jalan..” jawab Khao sambil tersenyum. “Kamu lagi ngapain? Kenapa kok mukanya sedih gitu?”

Diingatkan soal kesedihan yang sedang ia rasakan membuat wajah Win kembali murung. “Lagi kepikiran aja Khao.. biasa lah..” jawabnya.

“Lagi susah ya keadaannya?” Tebak hantu remaja laki-laki yang ditemui Win di sebuah sekolah terbengkalai saat ia tersesat dulu.

Win mengangguk. Kemudian sebuah tawa yang terdengar getir menguar dari mulut pemuda itu. “Kapan sih hidupku nggak susah, Khao.. perasaan susah terus deh..” jawabnya.

“Ih Awin gaboleh gitu ih!” Sahut Khao dengan wajahnya yang terlihat ikut sedih. “Kan aku udah bilang.. Awin tuh harus banyak bersyukur.. soalnya Awin tuh masih dikasih kesempatan hidup. Banyak tau temen-temenku yang pengen ngerasain hidup tapi udah nggak bisa..” tutur Khao pada Win.

Kali ini, Win tidak lagi menjawab. Pemuda itu berusaha mencerna apa yang baru saja dinasihatkan Khao kepadanya.

Win sering merasa malu jika sedang bersama Khao. Sebab justru Khao lah yang lebih sering memberinya petuah dan nasihat tentang hidup. Padahal, Khao sudah tidak lagi menyandang gelar sebagai mahluk hidup.

“Tuhkan malah ngelamun kan,” ucap Khao kecewa. “Awin nggak asik, ih. Aku dateng ke sini jauh-jauh masa didiemin doang..”

Win tertawa singkat, “iya-iya maaf. Aku tadi masih mikir omongan kamu. Banyak benernya ternyata,” ujar Win.

“Emang lagi mikirin apa sih Win kok kayaknya beban banget kamunya?” Tanya Khao.

“Aku lagi cari kerja. Tapi capek rasanya. Sampe hari ini nggak ada yang lolos. Semuanya gagal.” Jawab Win sambil tersenyum.

“Semuanya? Masa sih?”

“Ya nggak semua sih.. tapi kebanyakan gagal. Ini ada satu lowongan yang cukup aku harapin. Semoga aja diterima ya?”

“Aamiin..” Sahut Khao antusias. “Kamu yang sabar ya Win. Aku yakin kok kamu pasti bakal diterima. Tapi kamu harus sabar dulu, oke?”

“Iya.. aku bakal sabar kok. Tapi semoga batas sabarku nggak habis, hehe.” Sahut Win sambil mengusahakan senyuman terbaiknya. Senyum yang ia wujudkan dengan sisa-sisa harapan yang ada dalam hatinya.

Khao pun manggut-manggut. Sejujurnya ia ingin sekali memeluk sahabat karibnya yang sedang dirundung sedih saat ini. Tapi Khao sadar. Sampai kapanpun, ia tidak bisa menembus dinding kaca yang sudah membelenggunya sampai di akhir masa.

Maka yang bisa Khao lakukan hanya memberi Win semangat seperti ini. Berharap dengan kalimat penyemangat yang ia berikan, Win akan terus bertahan untuk hadapi dunia yang penuh rintangan ini.

“Eh, Win, ini apa?” Tanya Khao saat perhatiannya tertuju pada sebuah tali yang keluar dari dalam ransel milik Win.

Win ikut menolehkan wajah. “Eh, iya apa ya ini?” Sahut Win sambil melepaskan ransel di punggungnya.

“Ooh.. ini tuh talinya tote bag. Tadi pagi aku dikasih sama mbak-mbak. Namanya Jan. Baik banget deh Khao orangnya..” ujar Win.

“Emang apa isinya?”

“Tadi tuh ada nasi kotak, ada minuman, ada susu, ada kue, pokoknya makanan semua,” jawab Win sambil mengambil tote bag itu dari dalam tasnya.

“Terus sekarang masih ada isinya nggak?” Tanya Khao lagi.

“Enggak ada. Tadi udah aku makan semuanya..”

“Masa sih? Coba cek lagi, siapa tau masih ada isinya?”

Win menghela nafas. Soal urusan penasaran, sahabatnya ini juaranya. Dan rasa penasarannya itu tidak akan berhenti sampai Win menuruti permintaannya.

Maka akhirnya, Win pun mengeluarkan tote bag itu sepenuhnya. Sambil menghela nafas, Win pun merogoh ke dalam tote bag yang sejak tadi belum sempat ia periksa.

Dan ketika tangannya sampai di dalam sana, kedua mata Win terbelalak.

Win buru-buru menunduk. Membuka lebar-lebar tote bag itu lalu mengarahkannya tepat di hadapan wajahnya. “ASTAGA!!” Teriaknya yang membuat Khao ikut terperanjat.

“Kenapa Win? Apa isinya??”

Dengan tubuhnya yang tampak bergetar, Win ambil sesuatu yang ia temukan di dalam tote bag itu. Sejumlah uang kertas yang total nominalnya cukup banyak. Cukup untuk Win gunakan sebagai cadangan hidup selama satu minggu ke depan.

“Ada uangnya Khao. . .” ujar Win dengan suaranya yang bergetar sambil mengangkat uang itu di depan wajahnya.

“Loh? Uang? Uang dari mana?”

“Gatau. . .” jawab Win sambil geleng-geleng kepala. “Apa jangan-jangan dari Mbak Jan ya?” Tebak Win. “Ih, bener nih, jangan-jangan dari Mbak Jan.. soalnya tadi aku lihat Mbak Jan tuh kayak ngambil sesuatu gitu dari tasnya. . .”

Masih dengan wajahnya yang tampak tidak mengerti, Khao menimpali, “mungkin.. bisa jadi.. yang pasti itu rejeki kamu, Win..”

“Iya.. ini rejeki banget..” sahut Win. “Ah.. aku bisa makan sama nyiapin sesuatu malam ini..” ujarnya setelah teringat akan momen penting yang akan terjadi malam ini.

Pemuda itu lantas berbalik menatap Khao. “Kamu mau ikut aku ke supermarket?” Tawarnya.

“Mau!” Jawab Khao dengan antusias.

Wajah yang sejak tadi terlihat murung itu kini dipenuhi oleh senyum bahagia, “oke! Kalo gitu, kita ke supermarket yah habis ini. Terus baru kita pulang. Yuk?!” Ajaknya pada Khao.

Sosok serupa hologram itu mengangguk penuh semangat. Lantas ia pun mengikuti Win yang lebih dulu melangkah pergi ke supermarket. Setelah mendapat rejeki nomplok yang Win sendiri tidak yakin dari mana asalnya.

Rasanya ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama Win bisa berbelanja banyak hal di supermarket seperti ini. Dan semua itu berkat uang yang ditemukannya di dalam tote bag pemberian Mbak Jan tadi pagi.

Setelah memasukkan beberapa stok makanan ke dalam troli, Win kini sedang berjalan di lorong minuman. Hendak membeli beberapa kaleng minuman rasa untuk stok sekaligus untuk temannya menikmati malam ini.

“Kamu udah pernah minum cola belum?” Tanya Win kepada Khao setibanya mereka berdua di lorong minuman kaleng.

Khao menggeleng. “Dulu, waktu aku sekolah, kayak begini tuh belum ada. Palingan yang ada tuh es jeruk, sama es teh.” Jawabnya.

“Yah.. kalo es jeruk sama es teh di warung juga ada,” timpal Win sambil tertawa. “Enaknya beli yang mana ya?” Ucap Win sambil melihat-lihat berbagai jenis minuman cola yang tersedia di sana.

“Beli yang soda biru kayaknya enak ya Kha—Loh, Khao? Khao? Kok tiba-tiba ilang sih..” gerutu Win saat menyadari jika Khao sudah tidak ada di sampingnya.

Win lantas melanjutkan kegiatan pilih-pilihnya. Tidak terlalu peduli dengan Khao yang tiba-tiba hilang. Sebab Win paham jika sahabatnya itu tiba-tiba pergi, artinya ia sedang merasa tidak nyaman di sini.

Ah! ini aja deh, kayaknya enak.. ucap Win dalam hati saat matanya menangkap sebuah minuman kaleng dengan gambar jeruk pada bagian kalengnya.

“Yah.. tinggal satu,” gumamnya saat menyadari jika hanya tersisa satu minuman kaleng yang ia inginkan di sana. “Yaudah deh gapapa, daripada nggak sama sek—Eh?”

Win seketika menghentikan gerakannya saat sebuah telapak tangan menindih miliknya. Sama-sama hendak mengambil minuman kaleng yang tersisa satu saja di dalam rak itu.

Saat Win menolehkan wajah, ia dibuat kaget bukan main.

Sebab, di belakangnya, dengan jarak yang sudah begitu dekat, telah berdiri seorang pria yang familiar di matanya. Sosok pria itu adalah pria tampan yang tadi pagi ditemuinya di dalam lift ketika Win akan mengumpulkan berkas lamaran kerja.

“Eh, aduh, maaf..” ucap Win sambil buru-buru mundur agar tidak terjebak dalam posisi yang terasa sangat canggung itu.

Si Pria tampan itu, yang tampak mengenakan setelan jas seperti tadi pagi, masih terus terdiam. Kedua matanya tak lekat sedikitpun memandangi Win.

“Kamu yang tadi di kantor?” Tanya Pria itu pada akhirnya.

Sambil menahan rasa gugup yang mendera hatinya, Win mengangguk. “I-iya Pak.. s-saya yang tadi di lift..” jawabnya.

Pria itu beralih menatap sekaleng minuman yang tersisa di sana lalu kembali menghadap Win. “Kamu mau ambil itu?”

Win mengangguk. “Iya.. saya mau beli itu..”

Pria itu terdengar menghela nafas. Sebelum akhirnya berbicara, “yaudah. Buat kamu aja. Ambil.”

“Eh, nggak apa-apa Pak, buat bapak aj—”

“Buat kamu aja. Ambil. Saya permisi.” Ujar Pria tampan itu sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Win yang tampak masih ingin berbicara kepadanya.

Sepeninggal pria tampan itu, Win justru merutuki dirinya sendiri. Duh, kenapa sih gue malah manggil Pak.. orangnya kan nggak tua-tua amat. Harusnya gue panggil Mas aja.. rutuknya dalam hati sambil meraih minuman kaleng yang disisakan pria tampan itu untuknya.