bwuniverr

a minwon au.

***

Setelah melewati perdebatan yang cukup sengit antara Wonwoo dan Mingyu, akhirnya dua laki-laki yang saat ini berstatus sebagai housemate itu bisa duduk dengan tenang di meja makan sembari menyantap hidangan mereka.

Beginilah keadaannya. Selalu ada drama pendek atau keributan kecil setiap kali Wonwoo dan Mingyu bertemu di dalam rumah.

Dan momen-momen seperti itu telah berjalan hampir dua bulan lamanya. Dua bulan. Sejak Mingyu resmi menjadi teman serumah Wonwoo.

Sungguh waktu bergulir begitu cepat. Padahal rasanya baru kemarin Wonwoo mengenal sosok Mingyu dari sang Kakak.

Awalnya Wonwoo pikir tidak akan ada bedanya walaupun ada orang lain yang tinggal serumah dengan dirinya.

Nyatanya, banyak hal-hal kecil dan sederhana yang berubah semenjak Mingyu hadir di dalam rumah ini. Momen makan bersama ini salah satunya.

Di atas meja makan itu, Mingyu sedang asyik menikmati setiap sendok nasi goreng yang dipesan lewat Wonwoo.

Tidak jauh berbeda. Di sudut meja yang lain, Wonwoo tengah sibuk menyuap mie tektek yang tadi sekalian ia pesan sambil membelikan Mingu nasi goreng.

“Nih mas, cobain. Nasi gorengnya enak,” tawar Mingyu sambil menyodorkan satu sendok nasi goreng.

Wonwoo menggeleng, “nggak, makasih. Ini aja gue gak tau bakal bisa ngehabisin atau enggak.”

“Bisa-bisa, tinggal sedikit itu,” jawab Mingyu. “Nih cobain dulu nih, aaaaaa! Ayo buka mulutnya..”

Wonwoo menghela nafas. Kalau situasinya sudah begini, ia hanya bisa mengalah.

Karena kalau Wonwoo tetap bersikeras menolak, ia justru akan terjebak dalam perdebatan panjang tak berujung dengan Mingyu.

Maka akhirnya, Wonwoo pun membuka mulut. Membiarkan pria yang lebih muda darinya itu untuk menyuapkan satu sendok nasi goreng kepadanya.

“Naaah, gitu dong Mas. Gimana? Enak kan nasi gorengnya?” Kata Mingyu sambil tersenyum puas.

“Biasa aja.”

“Yeee, emang dasar lo aja yang nggak suka nasi goreng, padahal mah enak banget.”

“Terserah deh,” saut Wonwoo. Ia letakkan sendoknya di atas piring, lalu menutup bungkus mie tek tek yang isinya masih setengah itu.

“Lah Mas, kok udahan?”

“Kenyang. Disimpen aja buat sarapan besok.” Kata Wonwoo sambil berdiri.

“Yaelah tungguin dulu dong, punya gue udah mau habis ini..”

“Yaampun Gyu, kayak anak kecil aja sih lo pake minta ditemenin segala.” Jawab Wonwoo. “Udah lanjutin aja, gue mau cuci piring bentar.”

Mingyu hanya bisa mendengus. “Iya deh iya.” Katanya.

a minwon au.

—-

Jauh di dalam lubuk hati, sebenarnya Bright tidak ingin mengusik ketenangan Win di akhir pekan ini. Terlebih kemarin Win baru saja menyelesaikan projek besar yang sepertinya sudah menghantui beberapa minggu ini.

Tapi takdir berkata lain.

Karena sudah kepepet tidak bisa memasang gas lpg untuk memasak sarapan pagi, maka dengan berat hati Bright terpaksa membangunkan Win.

“Win? Udah bangun belom?” Tanya Bright sambil mengetuk pintu kamar tidur Win.

Seharian itu, Rasya habiskan dengan bersantai diri. Atau sebenarnya, tidak bisa dibilang demikian.

Jauh di dalam lubuk hati, sebenarnya Bright tidak ingin mengusik ketenangan Win di akhir pekan ini. Terlebih kemarin Win baru saja menyelesaikan projek besar yang sepertinya sudah menghantui beberapa minggu ini.

Tapi takdir berkata lain.

Karena sudah kepepet tidak bisa memasang gas lpg untuk memasak sarapan pagi, maka dengan berat hati Bright terpaksa membangunkan Win.

“Win? Udah bangun belom?” Tanya Bright sambil mengetuk pintu kamar tidur Win.

Seharian itu, Rasya habiskan dengan bersantai diri.

There’s a holding hands between them. It’s hide under blanket.

“Eh win, lo dari mana deh? Kok baru kelihatan gini?”

content warning! : minor graphic of abusive relationship, mentioning past-traumatic


Sejujurnya Bright dan Win sudah lelah sekali. Seharian menghabiskan waktu di Ba Na Hills rupanya sukses menguras habis hampir seluruh tenaga yang mereka miliki. Tapi bukannya istirahat, mereka berdua justru kembali berjalan-jalan menikmati malam kota Da Nang sambil menikmati makanan yang tersaji di sepanjang jalan.

Sambil menikmati gorengan telur dengan topping Udang khas Vietnam yang biasa disebut Bahn Can, Bright dan Win bersantai menikmati pemandangan di pasar malam ini.

“Perasaan dari tadi ada yang mau bilang mau cerita deh,” kata Bright.

Win yang sedang menikmati sepotong gorengan itu langsung memalingkan wajah. “Waduh, siapa tuh..” katanya.

“Tau deh. Amnesia kali.”

Win tertawa mendengar respon dan reaksi Bright. “Iya iya.. gue cerita.” Kata Win pada akhirnya. “Sebenernya bukan cerita yang penting-penting amat sih Kak. Sekedar sharing doang. Rasanya gue perlu kasih tau gimana hidup gue sejauh ini.”

“Okay-okay. Cerita aja. I’m all ears.”

“Tapi nanti setelah gue selesai cerita, gue pengen lo jawab satu pertanyaan gue dengan sejujur-jujurnya. Bisa?”

“Pertanyaan apa dulu nih?”

“Ya ntar lah dikasih taunya.. gue cerita dulu. Gimana?”

Deal.” Jawab Bright sambil meletakkan gelas minumannya. “So, mau cerita apa?”

Win menarik nafas panjang. Ia merasa sedikit gugup. Sebelumnya, Win tidak pernah menceritakan hal ini kepada orang lain kecuali sahabat dekatnya seperti Mix dan Khao. Awalnya Win pun merasa tidak perlu menceritakan hal ini kepada Bright. Toh hubungan mereka saat ini hanya sebatas mantan kekasih yang tidak sengaja bertemu di Vietnam.

Tapi entah kenapa, dua hari belakangan ini hati kecil Win seolah terdorong untuk menceritakan kisahnya ini kepada Bright. Karena pada akhirnya Win sadar jika ia bisa mempercayai Bright lagi. Sama seperti dulu.

Dua belas hari yang dihabiskan bersama Bright membuat Win perlahan merasakan sesuatu di dalam hatinya. Sebuah rasa yang dulu sekali Win sudah pernah rasakan, ketika menjalin hubungan dengan Bright. Dan kini, Win ingin membiarkan rasa itu tumbuh kembali.

“Oke..” kata Win setelah terdiam cukup lama. “Jadi ini cerita tentang Win Metawin selama sepuluh tahun ke belakang.”

Kini giliran Bright yang terdiam. Ia melipat kedua tangannya di atas meja sembari menatap Win lekat-lekat.

“Dua tahun setelah putus sama lo waktu SMA dulu, gue ngelanjutin kuliah di Jakarta. Ngambil jurusan multimedia Kak, kayak yang pernah gue bilangin ke lo dulu. Nah, pada masa kuliah ini lah akhirnya gue ketemu sama mantan pacar gue.”

“Okay.. terus?”

“Singkat cerita, kuliah gue udah beres dan kami berdua resmi pacaran nih. Waktu itu masih nggak ada yang aneh soal dirinya Kak. Semuanya keliatan normal banget. Nggak kurang satu apapun.” Ucap Win melanjutkan ceritanya.

“Tapi semuanya berubah waktu hubungan kita berjalan tiga tahun.”

“Berubah kayak gimana tuh?”

“Di tahun ketiga itu kan gue udah mulai aktif nih ikut kegiatan fotografi atau sinematografi gitu, nah dari situ tingkah mantan pacar gue yang ini mulai aneh Kak. Dia tuh tiba-tiba jadi cemburuan, tiba-tiba sering emosi, tiba-tiba sering marah, pokoknya tiba-tiba tantrum lah.

Awalnya gue masih fine aja. Gue kira dia jadi begitu karena quality time sama guenya berkurang, efek kebanyakan kegiatan gitu. Tapi ternyata dia ini emang orangnya tempramen parah.

Bodohnya gue, gue masih menganggap itu hal yang lumrah Kak. Ada kayaknya setahun lebih gue bertahan, nyabar-nyabarin diri. Sampe akhirnya gue sadar tuh karena dia mulai main tangan.”

“Hah? Jangan bilang lo dipukul?”

“Secara langsung sih enggak Kak, tapi dia tuh sering kayak ngelempar barang ke sembarang arah kalo lagi marah. Yang kadang kena di badan gue juga.”

Bright seketika melotot, “Anjing, kurang ajar banget itu orang!”

Haha, iya Kak. Emang dia tuh kurang ajar. Tapi gue yang bodoh karena masih kejebak di lingkaran setan itu.” Kata Win sambil tersenyum.

“Terus gimana caranya lo bisa lepas?”

“Waktu itu gue putusin dia secara paksa. Itupun setelah gue dikasih siraman rohani habis-habisan sama Mix dan Khao.”

“Dia mau?”

“Ya jelas enggak lah. Kita bertengkar heboh banget waktu itu. Udah kayak perang ama pasukan Thanos. Mana dia segala pake ngancem ini lah itu lah. Tapi gue akhirnya bodo amat, dan langsung gue tinggal gitu aja.”

“Tapi lo gapapa kan? Maksud gue, lo gak kena pukul atau apa?”

“Untungnya sih enggak. Jadi gue bisa kabur tanpa kurang satu apapun. Eh, enggak sih. Ada satu yang berkurang, mental gue haha. Sejak saat itu gue jadi trauma banget kalo harus mulai hubungan baru sama orang.”

Hati Bright rasanya seperti diiris belati saat mendengar kisah cinta mantan kekasihnya ini. “Ya ampun.. i’m sorry to hear that..”

“Gapapa Kak, namanya juga hidup. Hidup kan kayak roda, kadang di bawah, kadang bocor.”

“Anjir lagi momen seru juga malah ngelawak.”

Win tertawa, “lagian serius amat sih. Udah lewat juga kok momennya. Santai aja lah. Kita seneng-seneng sekarang.”

“Iya sih..” saut Bright. “Terus mantan lo yang brengsek itu gimana? Masih ngehubungi lo atau gimana?”

“Enggak. Setelah gue putusin itu, gue block semua kontak dan akses yang berhubungan sama dia. Dan dianya juga udah gak pernah reach out gue lagi.”

“Untung ya lo nggak sampe yang dikejar-kejar gitu..”

“Iya Kak. Gue seneng dan lega sih karena bisa mudah lepas dari dia.”

“Setuju. Bersyukur banget dia nggak sampe ngejar-ngejar lo.” Timpal Bright. “Tapi sekarang lo gimana?”

“Apanya?”

“Ya.. perasaan lo? Hubungan kayak gitu jelas ninggalin trauma Win..”

“Sekarang gue udah gapapa kok. Ya masih ada traumanya, tapi udah nggak separah dulu.” Jawab Win. “Karena itu juga Kak, kemarin-kemarin waktu lo gombal atau modus ke gue, gue gak pernah kasih respon. Soalnya gue masih takut.”

“Oh pantesan.. kirain emang lo udah gak mau lagi berhubungan sama gue,”

“Ya itu juga termasuk sih.”

“Anjir yang bener dong Win?”

Hahaha, enggak-enggak Kak, serius amat jadi orang.”

“Sialan, emang hobi banget nih bikin orang panik.” Saut Bright sambil menatap sang mantan kekasih dengan kesal. “Apa yang lo lakuin biar lo nggak dihantui sama masalah itu Win?”

“Nah, coping mechanism yang gue lakuin supaya pelan-pelan lupa sama mantan gue adalah ikut kegiatan fotografi. Karena itu Kak, gue sering banget pergi ke luar negeri, pindah-pindah negara. Supaya nemu suasana baru sekaligus sebagai salah satu cara ngelupain mantan gue.”

Bright manggut-manggut, “make sense sih. Kayaknya dengan pindah ke tempat baru, ngerasain suasana baru, kita jadi gampang buat ngelupain sesuatu.”

“Iya bener. Karena itu lah gue jadi nomaden, kayak homo sapiens.”

“Anjir manusia purba dong,” saut Bright sambil tertawa. “Terus sekarang apa yang bikin lo mulai bisa nerima masa lalu dan gak takut lagi?”

“Mau jawaban jujur apa bohong nih?”

“Jujur lah.”

Win tertawa sejenak. Ia memalingkan wajahnya sebentar lalu kembali menatap Bright. “Karena lo.”

“Hah? Gue?”

“Iya. Karena lo.” Jawab Win sambil tersenyum. “Sejujurnya gue udah mulai trust issue sama cinta-cintaan. Ya gara-gara mantan gue yang brengsek itu. Tapi setelah ketemu lo lagi di sini, rasanya gue kayak.. punya harapan baru? Ah gatau deh, susah ngejelasinnya. Yang pasti gue ngerasa kalau gue pengen jatuh cinta lagi setelah nyusun skenario fake dating sama lo.”

“Waduh, serius nih? Gue tiba-tiba merasa congkak.”

“Yee, emang dasarnya aja sombong.”

Bright tertawa, “kalo emang keadaannya gitu, gue ikut seneng sih. Artinya gue punya kontribusi buat bantu lo sembuh dari kisah cinta lo yang dulu, walaupun dikit banget, haha.”

“Alah gak masalah Kak. Dengan adanya lo di sini aja gue udah seneng banget.” Win lantas menatap wajah Bright lekat-lekat, “makasih banyak ya Kak udah mau berusaha reach out gue dan gak capek gangguin gue, ya walaupun sebenernya lo ngeselin sih.”

“Sama-sama Win. Gue juga seneng karena bisa sama lo lagi. Seneng banget.”

Bright bisa melihat rona merah yang mulai menghiasi pipi Win. Win yang memang merasa malu hanya bisa menundukkan wajah atau membuang muka ke sembarang arah agar tidak melakukan kontak mata secara langsung dengan Bright.

“Ah udah cukup deh kayaknya soal gue,” kata Win mengalihkan pembicaraan. “Sekarang giliran gue mau tanya sama lo. Tadi lo udah janji ya bakal ngasih jawaban sejujur-jujurnya.”

“Iya. Mana pernah gue nggak nepatin janji sih?”

“Ya gak pernah sih..”

Haha, yaudah mau tanya apa?”

“Selain karena emang mau lanjut ngejar cita-cita, ada nggak sih kak alasan lain yang akhirnya bikin lo ngajak gue putus waktu itu?”

Bukannya menjawab, Bright justru tertawa lirih.

“Dih, malah ketawa.. jawab ih pertanyaan gue.” Rengek Win.

“Maaf-maaf,” kata Bright sambil masih tertawa. “Ini jujur se jujur-jujurnya ya. Kalau alasan lain tuh nggak ada, sama sekali. Cuman waktu itu guenya aja yang ngerasa cupu.”

“Cupu?”

“Iya. Di detik-detik wisuda itu, lo inget kan gue sempet uring-uringan banget. Suka marah gak jelas, suka tiba-tiba ilang. Nah itu karena gue lagi ngerasa takut.”

“Takut karena apa? Gue kan bukan monster?”

“Yaelah bukan takut sama lo.”

Hahaha, terus takut kenapa?”

“Jadi gini, sebelum wisuda, gue dikasih kabar sama papa mama kalo gue sekeluarga bakal pindah ke luar kota. Ngikut di tempat dinas papa yang baru. Nah abis itu, mama tuh kayak ngasih kode ke gue kalau beliau pengen gue nerusin karir papa sebagai pilot. Alhasil, gue sendiri mutusin buat ambil sekolah penerbangan dan profesi pilot aja setelah lulus.”

“Oke, terus?”

“Sejak saat itulah gue takut kalo harus ngejalani hubungan sama lo Win. Gue tuh takut kalau gue nanti bakal ldr sama lo, gue takut kalo gak bisa ngelihat lo setiap hari, gue takut kalo gak bisa ketemu lo kapanpun. Jujur gue takut banget.”

Sebelah alis Win terangkat, bingung. “lah terus kenapa malah ngajak putus?”

“Ya itu tadi, karena ketakutan gue tuh terlalu besar, akhirnya gue milih buat putus aja sama lo. Karena di pikiran gue waktu itu, lebih baik putus daripada harus berhubungan jarak jauh. . .”

“Demi Tuhan kenapa kocak banget sih Kak pikiran lo..” saut Win bingung, “kenapa lo nggak tanya gue dulu waktu itu? Kan kita sama-sama bisa bikin kesepakatan, mungkin.. supaya hubungan bisa tetep jalan..”

“Udah nggak kepikiran Win. Waktu itu kita masih muda banget. Jelas nggak akan punya pikiran kayak sekarang ini kan?”

“Iya juga sih..”

“Nah yaudah kan setelah putus sama lo, semuanya baik-baik aja. Lo juga kayaknya nggak ada hurt feeling gitu sama gue. Eh, bener apa enggak nih?”

“Iya, bener kok. Gue sama sekali nggak merasa galau atau sakit hati. Kayak.. yaudah. Baru pas udah agak gede tuh kepikiran, kenapa kok putus gitu aja ya.”

“Sama banget. Pasca putus sama lo, gue gak mikir tuh. Kayak yaudah semuanya kembali seperti semula. Tapi sejak gue mulai masuk asrama pendidikan, gue mulai kepikiran sama lo. Gue kangen banget anjir sama lo. Kayak, tiap hari tuh gue pengen pulang. Pengen ketemu sama lo. Pengen pacaran sama lo lagi.”

“Sumpah gue bener-bener nggak habis pikir deh Kak sama pikiran lo..”

“Jangankan lo, gue aja gak habis pikir.” Kata Bright sambil tertawa. “Gue sendiri yang mutusin, gue sendiri yang nyesel. Ah elah, ada-ada aja emang hidup anak remaja.”

“Kocak emang Kak. Aneh maksimal.” Saut Win sambil geleng-geleng kepala. “Terus sekarang gimana, masih nyesel nggak?”

“Ya jelas enggak dong!”

“Buset, kenceng banget..”

Hehehe, maaf. Soalnya gue beneran udah nggak nyesel semenjak ketemu sama lo.”

“Idih idih, mulai nih otw ngegombal nih.”

“Loh.. serius ini mah. Gue seneng banget sekarang. Nggak ada penyesalan sedikitpun karena udah pergi ke Vietnam. Pokoknya, Bright Chivaree 2023 sudah tidak menyesal. Saya, Bright Chivaree menyatakan siap balikan dengan mantan pacar saya, Win Metawin.” Kata Bright penuh semangat.

“Emang guenya mau?”

Bright langsung terlihat sedih, “yaah.. gak mau beneran kah…”

Win terdiam sejenak. Pria manis itu tampak seperti sedang berpikir. “Hmm, gimana ya..” katanya sambil meletakkan piring kecil sisa gorengan itu di atas meja.

“Tolong jangan digantung, gue bukan cable car.”

“Eh sebelum gue jawab, gue punya satu pertanyaan lagi.”

“Apa? Mau tanya apa??”

“Soal rencana fake dating kita ini gimana Kak? Udahan apa gimana? Kan Mama juga nggak di sini.”

“Gue juga bingung…” saut Bright. “Dipikirin besok aja lah.”

“Dih.. gak jelas banget..”

“Jadi gimana.. masa lo gak mau balikan sama gue?”

Mmm.. sini-sini,” ucap Win sambil mengisyaratkan agar Bright mendekat ke arahnya. Win lantas mengarahkan bibirnya ke telinga Bright. “Jawabannya… besok!” Katanya sambil langsung berlari meninggalkan Bright.

“EH WIN GAK BOLEH GITU! Ah Anjirr ngeselin banget,” saut Bright sambil buru-buru mengejar Win yang sudah lebih dulu meninggalkannya. “Tungguin!!”


bwuniverr, 2023

Jeon Wonwoo (28) sedang mencari teman untuk tinggal bersamanya, alias housemate. Kemudian Wonwoo dipertemukan dengan Kim Mingyu (27), seorang perantau yang baru saja dimutasi kerja dan kebetulan sedang mencari tempat tinggal. Karena sama-sama ingin menghemat keuangan di tengah kondisi ekonomi yang cekak, akhirnya Wonwoo setuju untuk tinggal bersama Mingyu dan menerimanya sebagai housemate.

And this is where everything’s got more complicated.

Jeon Wonwoo (28) sedang mencari teman untuk tinggal bersamanya, alias housemate. Kemudian Wonwoo dipertemukan dengan Kim Mingyu (27), seorang perantau yang baru saja dimutasi kerja dan kebetulan sedang mencari tempat tinggal. Karena sama-sama ingin menghemat keuangan di tengah kondisi ekonomi yang cekak, akhirnya Wonwoo setuju untuk tinggal bersama Mingyu dan menerimanya sebagai housemate.

And this is where everything’s got more complicated.

part of Rahasia Hati; Alternate Universe


Win salah sangka. Alih-alih mengajaknya berbincang di dalam cafe atau restoran di dalam mall, Bright justru membawanya menuju taman kota. Membumi bersama hiruk-pikuk isi kota di malam hari, ditemani jajanan sederhana yang bisa dibeli dengan mudah disekitarnya.

Namun siapa sangka, keputusan Bright untuk membawa Win ke taman kota justru membuat lelaki manis dengan senyum gigi kelinci itu bernostalgia. Mengenang masa-masa indah dulu, sepuluh tahun yang lalu, saat mereka masih dimabuk asmara.

Diam-diam Win pun merasa jengkel. Karena baginya, datang ke tempat seperti ini dengan suasana yang tidak jauh berbeda seperti dulu hanya membuka luka lama.

Setelah sejenak mengelilingi taman kota sekaligus membeli beberapa jajanan, Bright kemudian mengajak Win untuk duduk di salah satu bangku yang tersedia di sana.

Tidak ada obrolan. Hanya hening serta canggung yang menguasai. Bright tak kunjung buka suara, apalagi Win yang sejak tadi hanya diam saja.

Bukan tanpa alasan, saat ini Win tengah berperang dengan batin dan hati kecilnya sendiri. Menepis segala kebingungan dan gundah yang melintas di benaknya.

Sejujurnya Win tidak ingin bertemu dengan Bright. Enggan sekali. Namun Win juga tidak bisa menampik fakta bahwa ia rindu, rindu sekali akan sosok Bright yang sembilan tahun belakangan ini menghilang begitu saja dari hidupnya.

Mungkin karena rasa rindu itulah, Win mau diajak Bright pergi ke tempat ini. Mungkin, rasa rindu itu pula yang berhasil membayangi kebenciannya terhadap Bright yang selama ini ia rasakan.

“Nih, katanya tadi mau cilor.” Kata Bright sambil menyodorkan sebungkus cilor yang tadi dibelinya bersama Win.

Win menerima cilor itu dengan malas, “udah nggak pengen sekarang.” Katanya ogah-ogahan.

Bright hanya tertawa simpul. Lelaki dua puluh sembilan tahun itu menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku. “Lo gimana kabarnya, Win?”

“Sehat.” Jawab Win singkat. “Lo sendiri gimana Kak?”

“Sehat juga. Kalo nggak sehat gak bakal ada di sini.”

“Haha, iya.” Saut Win sekenanya.

Sejenak, kedua insan itu kembali hanyut dalam buai hening. Tidak ada kata yang terucap, selain desir angin yang seolah menjadi isyarat kata yang tak mampu diucap oleh lisan masing-masing.

“Win?”

“Iya?”

“Gue minta maaf ya.”

Seketika, Win menghentikan segala hal yang ia kerjakan. Cilor yang belum sepenuhnya lembut itu ia telan paksa. Sebelum akhirnya menengadah. Menatap ke arah Bright yang ternyata kini juga melihat dirinya.

Bright merubah posisinya. Membawa tubuhnya untuk condong ke arah Win. “Gue minta maaf ya Win.. gue minta maaf. Buat semua yang udah terjadi, buat sembilan tahun lalu, buat hubungan kita, dan buat semua kesalahan gue ke lo.. gue minta maaf..” Kata lelaki itu sembari memejamkan mata.

Inilah yang Win tidak suka. Win tahu betul jika ia akan sangat lemah jika bertemu kembali dengan Bright. Karena itu, mati-matian Win selalu menolak ajakannya. Walaupun jauh di lubuk hati, Win ingin sekali bertemu dengannya. Alasannya masih sama, karena Win rindu.

Dan kini, dihadapkan secara langsung dengan Bright dalam jarak yang begitu dekat, membuat perasaan Win semakin tidak karuan.

Ingin rasanya Win berteriak. Marah. Memaki. Bahkan menghajar Bright. Sebagai bentuk balas dendam atas kepergiannya yang sangat tiba-tiba sembilan tahun lalu.

Tapi Win tidak bisa.

Di hati kecilnya, Bright lebih dari sekedar kenangan. Bagi Win, Bright adalah cinta pertama dan terakhirnya. Sampai kapanpun itu.

Merasa tidak ada respon dari Win, Bright lantas membuka matanya kembali. “Win.. gapapa kalo lo marah sama gue, gapapa banget. Gue bakal terima apapun yang akan lo lampiasin ke gue. Gue salah.. gue minta maaf..” Katanya lagi.

Demi Tuhan, Win benci situasi seperti ini. Situasi dimana dirinya jadi begitu rapuh dan cengeng. Bright baru mengucap maaf, namun rasanya Win sudah ingin menangis sekecang-kencangnya.

Tidak. Win tidak boleh seperti ini.

Maka akhirnya, Win menarik nafas dalam-dalam. Ia pejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya berbicara. “Lo tau gak sih Kak, kalo gue kangen banget sama lo?”

Bright seketika mengangkat wajah. Terkejut, tidak percaya. “Win..?”

“Asal lo tau Kak, walaupun sembilan tahun lalu lo tiba-tiba pergi ninggalin gue, sampai detik ini pun, Demi Tuhan, gue nggak pernah nganggep hubungan kita berakhir.” Sekuat tenaga Win berupaya agar bisa menuntaskan kalimat itu.

“Win..”

Sekali lagi Win menarik nafas, berusaha mengais sisa kekuatan untuk meneguhkan hati kecilnya. “Buat gue, lo itu adalah cinta pertama, sekaligus cinta terakhir Kak. Gak ada yang lain. Cuma lo doang.” Katanya lagi.

“Buat gue juga, kenal sama lo itu anugerah. Gue jadi bisa senyum bebas, gue jadi bisa ngerasain apa itu bahagia, dan yang paling gue syukuri, gue bisa ngerasain gimana sih dicintai sama orang lain. Karena gue belum pernah dapet itu dari orang lain, Kak.”

Kedua mata Win terasa panas. Pandangannya buram. Ia benci situasi ini. Win benci menangis. Win benci terlihat lemah.

“Win.. gue minta maaf..”

“Waktu lo ilang, hidup gue hancur Kak. Semuanya kacau. Gue bingung, hilang arah. Gak tau harus kemana. Karena cuma lo satu-satunya orang yang bisa gue percaya.” Win menjeda kalimatnya. Lelaki itu memejamkan mata, seiring bulir bening jatuh membasahi pipinya.

“Asal lao tau juga Kak, sembilan tahun ini gue coba mati-matian buat ikhlas. Nganggep kalo lo emang udah bukan bagian dari hidup gue lagi. Walaupun itu susah, susah banget.” Kata Win dengan nada suara yang terdengar jengah. “Bahkan, gue sampe ngelabelin lo sebagai mantan di hadapan temen-temen gue. Supaya gue bisa berusaha ikhlas, ngeikhlasin lo.”

“Belakangan ini gue udah ikhlas Kak. Gue udah ngerelain lo. Eh tiba-tiba lo malah dateng lagi... Kenapa sih Kak? Kenapa lo malah kayak gini..?” Tanya Win sambil mengusap kedua matanya yang basah. “Ah, anjing benci banget gue jadi cengeng gini!”

Melihat Win menangis adalah salah satu hal yang paling Bright benci di dunia ini. Apalagi jika penyebab tangisan itu adalah dirinya.

Maka kemudian, Bright mendekatkan tubuhnya kepada Win. Kemudian tangannya ia pakai untuk mengusap lembut bahu lelaki manis itu.

“Udah gak usah pegang-pegang Kak, malah gue tonjok lo ntar,” kata Win sambil menangis.

“Yaudah enggak, maaf..”

“Lo tuh ngomong apa kek, udah jauh-jauh ke sini ngajak ngobrol, dari tadi cuma maaf-maaf mulu, makin kesel gue jadinya.” Protes Win tidak terima.

“Gue dari tadi udah mau ngomong Win.. tapi kayaknya lo lebih banyak yang pengen diungkapin, makanya gue kasih waktu aja buat lo..”

“Udah, uneg-uneg gue udah keluar semua. Sekarang cepet mau ngobrolin apa. Awas aja kalo gak jadi, gue tusuk nih pake tusuk cilor!” Ancamnya kepada Bright, masih sambil menangis.

“Oke-oke, gue bakal ngomong.” Kata Bright sambil membenahi posisi duduknya. “Sekali lagi, gue minta maaf ya buat semua ini. Maaf banget... Kayaknya sejuta maaf juga gak bakal cukup..”

“Jadi, alasan utama gue sembilan tahun lalu tiba-tiba ilang tuh gara-gara bokap nyokap di mutasi kerja di luar kota. Akhirnya, gue terpaksa ikut mereka pergi.”

“Dimutasi? Kapan?”

“Bokap dapet info malem waktu kita pulang dari sekolah, habis gladi bersih wisuda gue. Nyokap besok subuhnya.”

“Terus kenapa lo gak bilang ke gue?”

“Gue gak ada kesempatan Win..” Kata Bright dengan wajah penuh sesal. “Awalnya gue pengen ngabarin lo besok paginya, waktu gue mau wisuda. Tapi ternyata nyokap malah ikut dimutasi juga. Akhirnya pagi itu juga kita berangkat ke luar kota. Tanpa bawa barang berharga apapun, selain baju.”

“Situasi keluarga gue seketika kacau Win. Gue jadi gak punya akses buat ngasih kabar ke siapapun, termasuk lo. Bahkan temen bokap nyokap sama kakak gue juga gak ada yang tau.”

“Dua tahun kemudian, gue baru bisa dapetin semua akses yang sempet ilang waktu keluarga gue pindah. Selama itu juga gue susah payah nyoba buat ngehubungi lo. Lewat email, nelfon rumah lo, tapi semuanya gak pernah ada hasil..” Lanjut Bright.

Kini sedikit banyak Win bisa memahami situasi Bright. Memang, saat itu kondisi keluarga Bright sedang tidak baik-baik saja. Win tahu betul akan hal itu. Tapi ia tidak menyangka jika situasi mendadak berubah seburuk ini.

Bright tampak menghela nafas panjang, kemudian ia bawa netranya untuk beradu tatap dengan milik Win. “Nggak cuma lo Win.. gue juga hancur. Hidup gue nggak karuan, gue kangen sama lo tapi gak pernah bisa buat nyari tahu kabar lo.. gue hancur banget..”

“Setiap hari, gue selalu berdoa supaya suatu saat gue bisa ketemu sama lo lagi. Karena buat gue, cuma lo Win.. cuma lo orang yang bisa ngisi hati gue. Cuma lo.”

“Kemaren, begitu gue akhirnya bisa balik ke sini, orang pertama yang gue tracking keberadaan dan kondisinya itu lo Win. Gue seneng banget.. gue seneng banget waktu tau lo sehat dan hidup layak..”

Tanpa sadar, air mata turut leleh basahi wajah tampan Bright. Air mata yang selama ini ia tahan susah payah. “Dan tadi.. waktu gue ngelihat lo di mall, gue seneng banget Win.. gue.. gue ngerasa pulang.. Gue pulang Win.. setelah sekian lama, akhirnya gue pulang ke lo lagi..”

Pita suara dua laki-laki itu kaku. Kedua matanya yang meleleh. Sedari tadi dibekukan paksa, tetapi sudah tak bisa lagi. Air mata Bright dan Win kini merdeka. Wajah dua insan itu basah karena linangan air mata.

Tak ada suara, hanya tangis air mata yang merengkuh keduanya.

“Gue benci banget sama lo Kak, tapi gue juga kangen sama lo..” Kata Win terbata-bata. “Ah, brengsek! Gue benci banget nangis gini!”

“Mau dipeluk gak?” Tawar Bright tiba-tiba.

“Kenapa gak nawarin dari tadi sih Kak, rese lo!”

Kata terakhir itu ditutup hening. Disambut oleh sebuah dekap hangat yang mengunci tubuh Bright dan Win dengan rekat.

Mereka saling terbenam dalam peluk masing-masing. Membaui aroma tubuh dengan rakus bak bertemu oase di tengah gurun. Mereka sama-sama rindu. Rindu akan hadir masing-masing, rindu akan hangat yang dulu kekal, rindu akan segala rasa yang pernah singgah di dalam dada.

“Gue minta maaf ya Win...” Bisik Bright sambil mengusap punggung lelaki manis itu.

“Gue boleh request sesuatu gak Kak?” Kata Win.

“Apa?”

“Gue pengen nonjok lo, boleh gak?”

Pelukan itu seketika terlepas. Bright menatap Win bingung, “beneran pengen nonjok gue?”

Win mengangguk, “kalo gak boleh gapapa kok. Gue pengen ngelampiasin aja.” Katanya sambil mengusap kedua matanya.

“Yaudah boleh. Pukul aj—”

Buagh!!!

“Anjir!!” Pekik Bright sembari memegangi perutnya yang seketika terasa ngilu dan perih. “Buset.. kuat juga ya tinju lo..”

“Jangan remehin gue. Gue pernah ikut kursus judo walaupun cuma sehari.” Saut Win dengan bangganya.

“Berarti kita 0-0 nih ya?”

Win mengangguk, “tapi gue gak mau jalin hubungan dulu. Gue mau buktiin, sembilan tahun ini lo jadi bajingan apa enggak.”

“Oke. Setuju.”

Win menghela nafas panjang, begitupun dengan Bright. Seolah beban berat telah sirna dari pundak masing-masing. Sesekali mereka beradu tatap, lalu tertawa bersamaan. Menertawakan betapa konyol wajah masing-masing, serta betapa lucu kisah yang menjalin keduanya.

Malam belum usai. Benang kusut yang menjerat mereka perlahan-lahan terurai. Tinggal menunggu waktu, apakah lembar manis masa lampau bisa terulang kembali, atau justru membuka halaman baru sebagai jalan menuju masa depan.


bwuniverr, 2023

part of Rahasia Hati; Alternate Universe


Win salah sangka. Alih-alih mengajaknya berbincang di dalam cafe atau restoran di dalam mall, Bright justru membawanya menuju taman kota. Membumi bersama hiruk-pikuk isi kota di malam hari, ditemani jajanan sederhana yang bisa dibeli dengan mudah disekitarnya.

Namun siapa sangka, keputusan Bright untuk membawa Win ke taman kota justru membuat lelaki manis dengan senyum gigi kelinci itu bernostalgia. Mengenang masa-masa indah dulu, sepuluh tahun yang lalu, saat mereka masih dimabuk asmara.

Diam-diam Win pun merasa jengkel. Karena baginya, datang ke tempat seperti ini dengan suasana yang tidak jauh berbeda seperti dulu hanya membuka luka lama.

Setelah sejenak mengelilingi taman kota sekaligus membeli beberapa jajanan, Bright kemudian mengajak Win untuk duduk di salah satu bangku yang tersedia di sana.

Tidak ada obrolan. Hanya hening serta canggung yang menguasai. Bright tak kunjung buka suara, apalagi Win yang sejak tadi hanya diam saja.

Bukan tanpa alasan, saat ini Win tengah berperang dengan batin dan hati kecilnya sendiri. Menepis segala kebingungan dan gundah yang melintas di benaknya.

Sejujurnya Win tidak ingin bertemu dengan Bright. Enggan sekali. Namun Win juga tidak bisa menampik fakta bahwa ia rindu, rindu sekali akan sosok Bright yang sembilan tahun belakangan ini menghilang begitu saja dari hidupnya.

Mungkin karena rasa rindu itulah, Win mau diajak Bright pergi ke tempat ini. Mungkin, rasa rindu itu pula yang berhasil membayangi kebenciannya terhadap Bright yang selama ini ia rasakan.

“Nih, katanya tadi mau cilor.” Kata Bright sambil menyodorkan sebungkus cilor yang tadi dibelinya bersama Win.

Win menerima cilor itu dengan malas, “udah nggak pengen sekarang.” Katanya ogah-ogahan.

Bright hanya tertawa simpul. Lelaki dua puluh sembilan tahun itu menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku. “Lo gimana kabarnya, Win?”

“Sehat.” Jawab Win singkat. “Lo sendiri gimana Kak?”

“Sehat juga. Kalo nggak sehat gak bakal ada di sini.”

“Haha, iya.” Saut Win sekenanya.

Sejenak, kedua insan itu kembali hanyut dalam buai hening. Tidak ada kata yang terucap, selain desir angin yang seolah menjadi isyarat kata yang tak mampu diucap oleh lisan masing-masing.

“Win?”

“Iya?”

“Gue minta maaf ya.”

Seketika, Win menghentikan segala hal yang ia kerjakan. Cilor yang belum sepenuhnya lembut itu ia telan paksa. Sebelum akhirnya menengadah. Menatap ke arah Bright yang ternyata kini juga melihat dirinya.

Bright merubah posisinya. Membawa tubuhnya untuk condong ke arah Win. “Gue minta maaf ya Win.. gue minta maaf. Buat semua yang udah terjadi, buat sembilan tahun lalu, buat hubungan kita, dan buat semua kesalahan gue ke lo.. gue minta maaf..” Kata lelaki itu sembari memejamkan mata.

Inilah yang Win tidak suka. Win tahu betul jika ia akan sangat lemah jika bertemu kembali dengan Bright. Karena itu, mati-matian Win selalu menolak ajakannya. Walaupun jauh di lubuk hati, Win ingin sekali bertemu dengannya. Alasannya masih sama, karena Win rindu.

Dan kini, dihadapkan secara langsung dengan Bright dalam jarak yang begitu dekat, membuat perasaan Win semakin tidak karuan.

Ingin rasanya Win berteriak. Marah. Memaki. Bahkan menghajar Bright. Sebagai bentuk balas dendam atas kepergiannya yang sangat tiba-tiba sembilan tahun lalu.

Tapi Win tidak bisa.

Di hati kecilnya, Bright lebih dari sekedar kenangan. Bagi Win, Bright adalah cinta pertama dan terakhirnya. Sampai kapanpun itu.

Merasa tidak ada respon dari Win, Bright lantas membuka matanya kembali. “Win.. gapapa kalo lo marah sama gue, gapapa banget. Gue bakal terima apapun yang akan lo lampiasin ke gue. Gue salah.. gue minta maaf..” Katanya lagi.

Demi Tuhan, Win benci situasi seperti ini. Situasi dimana dirinya jadi begitu rapuh dan cengeng. Bright baru mengucap maaf, namun rasanya Win sudah ingin menangis sekecang-kencangnya.

Tidak. Win tidak boleh seperti ini.

Maka akhirnya, Win menarik nafas dalam-dalam. Ia pejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya berbicara. “Lo tau gak sih Kak, kalo gue kangen banget sama lo?”

Bright seketika mengangkat wajah. Terkejut, tidak percaya. “Win..?”

“Asal lo tau Kak, walaupun sembilan tahun lalu lo tiba-tiba pergi ninggalin gue, sampai detik ini pun, Demi Tuhan, gue nggak pernah nganggep hubungan kita berakhir.” Sekuat tenaga Win berupaya agar bisa menuntaskan kalimat itu.

“Win..”

Sekali lagi Win menarik nafas, berusaha mengais sisa kekuatan untuk meneguhkan hati kecilnya. “Buat gue, lo itu adalah cinta pertama, sekaligus cinta terakhir Kak. Gak ada yang lain. Cuma lo doang.” Katanya lagi.

“Buat gue juga, kenal sama lo itu anugerah. Gue jadi bisa senyum bebas, gue jadi bisa ngerasain apa itu bahagia, dan yang paling gue syukuri, gue bisa ngerasain gimana sih dicintai sama orang lain. Karena gue belum pernah dapet itu dari orang lain, Kak.”

Kedua mata Win terasa panas. Pandangannya buram. Ia benci situasi ini. Win benci menangis. Win benci terlihat lemah.

“Win.. gue minta maaf..”

“Waktu lo ilang, hidup gue hancur Kak. Semuanya kacau. Gue bingung, hilang arah. Gak tau harus kemana. Karena cuma lo satu-satunya orang yang bisa gue percaya.” Win menjeda kalimatnya. Lelaki itu memejamkan mata, seiring bulir bening jatuh membasahi pipinya.

“Asal lao tau juga Kak, sembilan tahun ini gue coba mati-matian buat ikhlas. Nganggep kalo lo emang udah bukan bagian dari hidup gue lagi. Walaupun itu susah, susah banget.” Kata Win dengan nada suara yang terdengar jengah. “Bahkan, gue sampe ngelabelin lo sebagai mantan di hadapan temen-temen gue. Supaya gue bisa berusaha ikhlas, ngeikhlasin lo.”

“Belakangan ini gue udah ikhlas Kak. Gue udah ngerelain lo. Eh tiba-tiba lo malah dateng lagi... Kenapa sih Kak? Kenapa lo malah kayak gini..?” Tanya Win sambil mengusap kedua matanya yang basah. “Ah, anjing benci banget gue jadi cengeng gini!”

Melihat Win menangis adalah salah satu hal yang paling Bright benci di dunia ini. Apalagi jika penyebab tangisan itu adalah dirinya.

Maka kemudian, Bright mendekatkan tubuhnya kepada Win. Kemudian tangannya ia pakai untuk mengusap lembut bahu lelaki manis itu.

“Udah gak usah pegang-pegang Kak, malah gue tonjok lo ntar,” kata Win sambil menangis.

“Yaudah enggak, maaf..”

“Lo tuh ngomong apa kek, udah jauh-jauh ke sini ngajak ngobrol, dari tadi cuma maaf-maaf mulu, makin kesel gue jadinya.” Protes Win tidak terima.

“Gue dari tadi udah mau ngomong Win.. tapi kayaknya lo lebih banyak yang pengen diungkapin, makanya gue kasih waktu aja buat lo..”

“Udah, uneg-uneg gue udah keluar semua. Sekarang cepet mau ngobrolin apa. Awas aja kalo gak jadi, gue tusuk nih pake tusuk cilor!” Ancamnya kepada Bright, masih sambil menangis.

“Oke-oke, gue bakal ngomong.” Kata Bright sambil membenahi posisi duduknya. “Sekali lagi, gue minta maaf ya buat semua ini. Maaf banget... Kayaknya sejuta maaf juga gak bakal cukup..”

“Jadi, alasan utama gue sembilan tahun lalu tiba-tiba ilang tuh gara-gara bokap nyokap di mutasi kerja di luar kota. Akhirnya, gue terpaksa ikut mereka pergi.”

“Dimutasi? Kapan?”

“Bokap dapet info malem waktu kita pulang dari sekolah, habis gladi bersih wisuda gue. Nyokap besok subuhnya.”

“Terus kenapa lo gak bilang ke gue?”

“Gue gak ada kesempatan Win..” Kata Bright dengan wajah penuh sesal. “Awalnya gue pengen ngabarin lo besok paginya, waktu gue mau wisuda. Tapi ternyata nyokap malah ikut dimutasi juga. Akhirnya pagi itu juga kita berangkat ke luar kota. Tanpa bawa barang berharga apapun, selain baju.”

“Situasi keluarga gue seketika kacau Win. Gue jadi gak punya akses buat ngasih kabar ke siapapun, termasuk lo. Bahkan temen bokap nyokap sama kakak gue juga gak ada yang tau.”

“Dua tahun kemudian, gue baru bisa dapetin semua akses yang sempet ilang waktu keluarga gue pindah. Selama itu juga gue susah payah nyoba buat ngehubungi lo. Lewat email, nelfon rumah lo, tapi semuanya gak pernah ada hasil..” Lanjut Bright.

Kini sedikit banyak Win bisa memahami situasi Bright. Memang, saat itu kondisi keluarga Bright sedang tidak baik-baik saja. Win tahu betul akan hal itu. Tapi ia tidak menyangka jika situasi mendadak berubah seburuk ini.

Bright tampak menghela nafas panjang, kemudian ia bawa netranya untuk beradu tatap dengan milik Win. “Nggak cuma lo Win.. gue juga hancur. Hidup gue nggak karuan, gue kangen sama lo tapi gak pernah bisa buat nyari tahu kabar lo.. gue hancur banget..”

“Setiap hari, gue selalu berdoa supaya suatu saat gue bisa ketemu sama lo lagi. Karena buat gue, cuma lo Win.. cuma lo orang yang bisa ngisi hati gue. Cuma lo.”

“Kemaren, begitu gue akhirnya bisa balik ke sini, orang pertama yang gue tracking keberadaan dan kondisinya itu lo Win. Gue seneng banget.. gue seneng banget waktu tau lo sehat dan hidup layak..”

Tanpa sadar, air mata turut leleh basahi wajah tampan Bright. Air mata yang selama ini ia tahan susah payah. “Dan tadi.. waktu gue ngelihat lo di mall, gue seneng banget Win.. gue.. gue ngerasa pulang.. Gue pulang Win.. setelah sekian lama, akhirnya gue pulang ke lo lagi..”

Pita suara dua laki-laki itu kaku. Kedua matanya yang meleleh. Sedari tadi dibekukan paksa, tetapi sudah tak bisa lagi. Air mata Bright dan Win kini merdeka. Wajah dua insan itu basah karena linangan air mata.

Tak ada suara, hanya tangis air mata yang merengkuh keduanya.

“Gue benci banget sama lo Kak, tapi gue juga kangen sama lo..” Kata Win terbata-bata. “Ah, brengsek! Gue benci banget nangis gini!”

“Mau dipeluk gak?” Tawar Bright tiba-tiba.

“Kenapa gak nawarin dari tadi sih Kak, rese lo!”

Kata terakhir itu ditutup hening. Disambut oleh sebuah dekap hangat yang mengunci tubuh Bright dan Win dengan rekat.

Mereka saling terbenam dalam peluk masing-masing. Membaui aroma tubuh dengan rakus bak bertemu oase di tengah gurun. Mereka sama-sama rindu. Rindu akan hadir masing-masing, rindu akan hangat yang dulu kekal, rindu akan segala rasa yang pernah singgah di dalam dada.

“Gue minta maaf ya Win...” Bisik Bright sambil mengusap punggung lelaki manis itu.

“Gue boleh request sesuatu gak Kak?” Kata Win.

“Apa?”

“Gue pengen nonjok lo, boleh gak?”

Pelukan itu seketika terlepas. Bright menatap Win bingung, “beneran pengen nonjok gue?”

Win mengangguk, “kalo gak boleh gapapa kok. Gue pengen ngelampiasin aja.” Katanya sambil mengusap kedua matanya.

“Yaudah boleh. Pukul aj—”

Buagh!!!

“Anjir!!” Pekik Bright sembari memegangi perutnya yang seketika terasa ngilu dan perih. “Buset.. kuat juga ya tinju lo..”

“Jangan remehin gue. Gue pernah ikut kursus judo walaupun cuma sehari.” Saut Win dengan bangganya.

“Berarti kita 0-0 nih ya?”

Win mengangguk, “tapi gue gak mau jalin hubungan dulu. Gue mau buktiin, sembilan tahun ini lo jadi bajingan apa enggak.”

“Oke. Setuju.”

Win menghela nafas panjang, begitupun dengan Bright. Seolah beban berat telah sirna dari pundak masing-masing. Sesekali mereka beradu tatap, lalu tertawa bersamaan. Menertawakan betapa konyol wajah masing-masing, serta betapa lucu kisah yang menjalin keduanya.

Malam belum usai. Benang kusut yang menjerat mereka perlahan-lahan terurai. Tinggal menunggu waktu, apakah lembar manis masa lampau bisa terulang kembali, atau justru membuka halaman baru sebagai jalan menuju masa depan.


bwuniverr, 2023