bwuniverr

Dalam banyak hal, ada segala bentuk kemungkinan yang terasa sulit untuk digapai. Seperti mimpi, contohnya.

Berbekal ingatan singkat serta suara yang susah payah diraba-raba, Metawin berjalan menuju rumah tempatnya hendak tinggal. Bertegur sapa bersama, sebelum akhirnya merajut masa depan di kota tempat merantau ia.

I love you, baby. I will always do.

Kalimat itu terucap begitu saja. Serupa dawai ringan yang sengaja dilagukan sebagai pengiring senyuman


bakiak itu indah

aksubss


Kalau ada kesempatan untuk melarikan diri, Rafa ingin melakukannya saat ini juga. Ia takut, takut sekali. Keberadaan Hesa di sampingnya tidak membantu sama sekali.

Kini, dua laki-laki yang menjalankan misi pernikahan palsu itu sedang duduk di ruang tamu kediaman Hesa, tempat Papa dan Mamanya menetap. Keduanya cemas menanti kedua orang tua Hesa yang tidak kunjung menemui mereka.

“Tepat waktu banget kamu.” Suara sang Papa dari arah belakang sukses membuat Hesa dan Rafa terperanjat.

Mereka berdua seketika berdiri, lalu menoleh ke arah Papa Hesa yang saat ini sedang berjalan ke arahnya ditemani sang istri tercinta.

Hakim, Papa Hesa, menatap Rafa penuh selidik. Seperti sedang memeriksa setiap jengkal bagian tubuhnya.

“Duduk.” Titah Hakim pada mereka berdua.

Detik demi detik berlalu dihiasi keheningan. Tak ada yang berani membuka pembicaraan. Hakim seperti sedang memeriksa anak sematawayangnya serta sosok laki-laki di sampingnya.

“Jadi ini pacar kamu?” Tanya Hakim.

Hesa dan Rafa beradu tatap. Sepasang mata yang sedang bertatapan itu seolah berkata “gimana nih, mau dijawab apa?”

Hesa menelan salivanya pahit. Walau sudah direncanakan sedemikian rupa, tetap saja masih ada hal-hal yang membuatnya panik.

Di hati kecilnya, Rafa diam-diam ingin berbuat nekat. Ia berandai-andai menjawab pertanyaan Hakim dengan kata “kita cuma pura-pura”.

Namun keinginan itu Rafa kubur dalam-dalam. Karena Rafa tahu betul, hidupnya bisa berakhir saat ini juga jika sampai keinginannya itu ia laksanakan.

Hesa menatap Rafa sejenak, seperti mencari keyakinan dari staf kepercayaannya itu. Satu helaan nafas panjang, Hesa akhirnya meneguhkan hati untuk menjawab pertanyaan sang Papa.

“Bukan pacar, Pa.” Kata Hesa gugup. Ia menoleh kepada Rafa lagi, lalu menyelesaikan ucapannya. “Ini Rafa, suaminya Hesa. Kita berdua. . . udah nikah.”

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Hesa dan Rafa menanti dengan segenap ketakutan yang melanda. Menanti respon sang Papa. Rania, Mama Hesa, yang duduk di samping Hakim menunjukkan respon serupa.

Baru saja Hesa hendak berbicara, namun ruang tamu keluarga itu lebih dulu dikejutkan oleh suara Hakim.

“NIKAH?! KAMU NIKAH SAMA LAKI-LAKI INI?!”

Bom telah meledak. Ketakutan Hesa dan Rafa terjadi juga. Sebenarnya Rafa sudah menduga respon Papa Hesa akan seperti ini. Tapi tetap saja, saat menghadapinya secara langsung nyali Rafa seakan lenyap tak bersisa.

“JAWAB HESA! KAMU NIKAH SAMA LAKI-LAKI INI?!” Cecar Hakim.

Hesa mengangguk ragu, setengah ketakutan. “I-iya Pa. . . Hesa udah nikah sama Rafa. . .”

“KURANG AJAR!!”

Ya Allah, gue pengen pulang.. Ucap Rafa dalam hati.

Dengan wajah berhias amarah, Hakim bangkit dari tempat duduknya. Kedua matanya menatap Hesa dan Rafa tajam.

“Kamu bikin malu Papa, Hesa! KAMU MENGECEWAKAN PAPA!!”

Suasana ruang tamu itu begitu tegang. Amarah Hakim seakan bisa menghancurkan rumah ini sekejap mata.

Hesa kini menyesali keputusannya. Ia tidak menyangka, status pernikahan palsu justru membawanya pada kesialan seperti ini.

Pandangan Hakim beralih kepada Rafa. Lalu laki-laki itu berjalan mendekatinya.

“Pa, Papa mau ngapain Pa?” Saut Hesa panik setelah melihat bahwa sang Papa hendak mendatangi Rafa.

“Papa, sabar Pa. Jangan emosi, tenang dulu,” ucap Rania.

“Minggir Hesa!” Perintah sang Papa.

“Pa! Jangan Pa! Hesa yang salah, jangan apa-apain Rafa!” Ucap Hesa susah payang menghadang sang Papa.

Rafa hanya bisa merapal doa. Ia serahkan hidupnya pada sang Maha Kuasa. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain pasrah.

“Minggir!!” Tenaga Hakim sangat besar. Tubuh Hesa disingkirkan begitu saja.

Tidak ada lagi Hesa yang melindunginya. Hanya Rafa dan doa-doanya yang tersisa. Serta Hakim yang kini berjalan ke arahnya seperti malaikat maut.

Ya Allah saya mohon ampun.. Teriak Rafa dalam hati.

“Pa jangan Pa!” Pekik Hesa.

Namun sepertinya teriakan Hesa sia-sia. Karena sedetik kemudian. . .

Srett! Hap!!!

“PAPA!” Teriak Rania dan Hesa bersamaan.

Krik.. Krik.. Krik..

Perlahan, Hesa membuka matanya. Ia bingung, kenapa tiba-tiba ruang tamu itu hening.

Tepat saat kedua matanya terbuka, Hesa kaget bukan main. Begitupun dengan Rania yang berdiri di sampingnya.

“Loh...” Kata mereka berdua.

Bagaimana tidak kaget, karena di hadapan mereka, tersaji pemandangan yang sangat amat aneh.

Hakim sedang memeluk Rafa.

“Pa...” Panggil Hesa dengan wajah terheran-heran. Di sana, Hesa bisa melihat Rafa dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

Sorot mata staf kepercayaannya itu seolah sedang berkata kepadanya, pak tolong saya dong pak.

“Papa kok meluk Rafa? Papa.. nggak marah, sama dia?” Tanya Rania yang tidak kalah bingungnya.

Hakim melepas pelukan itu. Wajahnya berubah drastis. Tak ada lagi amarah, justru senyum merekah di sana.

Hakim tatap wajah Rafa sejenak dengan kedua tangan yang menggenggam erat bahunya. “Kenapa Papa harus marah?” Tanya Hakim balik.

Hakim lantas berbalik menatap Rania dan Hesa. Satu tangannya tetap Hakim gunakan untuk memeluk punggung Rafa. “Maaf ya Papa bikin kalian panik. Tadi Papa marah soalnya kecewa sama Hesa. Bisa-bisanya dia nggak ngabarin kalau udah nikah sama Rafa.”

“Papa.. nggak.. marah?” Tanya Hesa.

“Nggak lah. Papa malah seneng soalnya punya mantu yang cakep dan menggemaskan,” jawab Hakim sambil tersenyum menatap Rafa.

“Selamat datang di keluarga Papa ya Nak. Papa seneng, sekarang Papa punya Pewaris Ganda.” Kata Hakim dengan bangganya.

Menyisakan Rania dan Hesa yang kini melongo, bingung dengan sikap kepala keluarga itu. Serta Rafa yang kini semakin menyesali keputusannya.

Kayaknya gue masuk kandang singa nih. . ., Kata Rafa dalam hati.

Jika hidup selayaknya film, maka sepertinya Rafa tengah hidup dalam genre komedi-tragedi.

Tidak pernah terbayangkan di usianya kini ia harus terlibat dalam sebuah sandiwara konyol yang menyangkut masa depan hidupnya bersama sang atasan.

Kini Rafa menyesali keputusannya. Mestinya sejak awal ia berkata tidak. Tapi apa mau dikata? Waktu tidak bisa ditarik mundur. Mau tak mau Rafa harus menjalaninya. Walau dengan senyum palsu sekalipun.

Setelah menunggu lima belas menit, Hesa akhirnya tiba bersama Jaka, rekan kerja sang SPV yang juga Rafa kenali.

Dari pertemuan pagi ini Rafa akhirnya tahu jika Jaka memiliki andil besar dalam rencana pernikahan palsu ini. Karena itulah Hesa mengajaknya, untuk membantu proses briefing di pagi ini.

Satu jam berlalu, Briefing akhirnya usai. Waktu berlalu dihabiskan untuk sa;ling memperkenalkan diri sekaligus mengetahui latar belakang masing-masing.

Situasi terasa konyol karena sejak sesi Briefing dimulai, Hesa lebih banyak mengetahui tentang Rafa. Sedangkan Rafa tidak banyak, informasi yang ia simpan sebatas data diri seorang atasan, tidak lebih.

Diam-diam, Rafa merasa heran. Bagaimana bisa Hesa tahu banyak sekali hal mengenai dirinya. Padahal baru dua tahun mereka menjalin hubungan kerja.

“Oke. Informasi masing-masing udah dipegang, ya?” Tanya Jaka yang dibalas anggukan oleh dua orang di hadapannya, Hesa dan Rafa.

“Kalo gitu, briefing selesai.” Kata Jaka. Rafa langsung menghembuskan nafas lega. “Menurut gue, informasi tadi udah cukup buat backup kalian selama pertemuan pertama.” Lanjut Jaka.

“Kalau nggak ada lagi yang perlu dibahas, ditutup aja Sa,” kata Jaka kepada Hesa.

“Bentar, ada yang kurang,” saut Hesa.

Hesa beralih tempat duduk. Lelaki itu meraih tas miliknya lalu mencari sesuatu dari dalam sana. Beberapa saat kemudian, Hesa mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil berwarna merah.

“Supaya rencananya kelihatan serius, kayaknya kita berdua perlu pakai cincin ya Raf,” kata Hesa.

Rasanya Rafa ingin melarikan diri saat ini juga. Ia tidak menyangka jika pernikahan palsu ini harus direncakan sebegininya. Kenapa harus pakai cincin segala? Tanya Rafa dalam hati.

Sedetik kemudian Rafa dibuat kaget sekali karena Hesa tiba-tiba meraih tangannya, lalu dengan santainya memakaikan cincin di jari manis Rafa.

Rafa tak bisa berkata-kata. Tubuhnya membeku, tak sanggup merespon. Namun berbanding terbalik dengan wajahnya yang terasa panas sekali.

Cincin telah tersemat. Masih dalam posisi berhadapan yang begitu dekat, Hesa menatap dalam kedua mata Rafa. “Oh iya, Raf. Saya ada satu permintaan.”

“P-permintaan.. apa Pak?” Saut Rafa gugup.

“Tolong panggil saya Mas juga ya. Mas Hesa, gitu. Kayak kamu manggil Jaka.” Pinta Hesa dengan santainya.

Rafa seketika mendelik. Kaget. Dalam hati Rafa komat-kamit, heran akan tingkah atasannya yang satu ini. Bisa pak.. bisa GILA SAYA! Umpat Rafa dalam hati.


aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


Ditemani semilir angin serta dedaunan yang menari-nari di atas sana, Bayu harap-harap cemas menunggu kedatangan Alvin.

Lelaki itu duduk di ayunan yang sejak dulu menjadi tempat favorit Alvin untuk menghabiskan waktu setiap kali pemuda itu datang ke rumahnya.

Walau merasa sedikit ragu, Bayu tetap berusaha meyakinkan diri.

Apapun yang terjadi, hari ini, semua masalah yang selama ini menjadi dinding pemisah tak kasat mata antara ia dan Alvin, harus dilenyapkan. Harus.

“Mas Bayu?”

Ah, itu dia orangnya. Sang pemuda manis yang sejak tadi sudah Bayu tunggu-tunggu kehadirannya.

“Sini Vin, di ayunan!” Kata Bayu setengah berteriak, memberi instruksi kepada Alvin agar segera datang kemari.

Tidak menunggu waktu lama, Alvin sudah tiba di hadapannya.

Dan seperti dugaan Bayu, wajah pemuda itu terlihat bingung. Sepasang mata hitam indah miliknya itu seperti sedang mencurigai Bayu yang tiba-tiba mengajaknya untuk datang kemari.

“Sini Vin,” ucap Bayu sambil berdiri dari ayunan. Memberi tempat agar mantan kekasihnya itu bisa duduk di sana.

Alvin mendengus, “kan tadi aku udah bilang kalo gak mau main ayunan..”

“Enakan main aja tau, siang-siang gini paling enak main ayunan,” saut Bayu sambil tersenyum. “Dah-dah, sini duduk.”

Tak ingin mengulur waktu, Bayu segera menarik Alvin agar pemuda itu duduk di ayunan. Alvin yang tadi bilang tidak mau, akhirnya hanya bisa pasrah saat Bayu memaksanya untuk duduk di sana.

Memang ya, si Alvin ini, malu-malu kucing sekali.

Setelahnya, Bayu berpindah tempat. Lelaki itu berdiri di belakang ayunan. Hendak mendorong Alvin, seperti biasanya.

“Jangan kenceng-kenceng,”

“Apanya?”

“Ihh, dorong ayunannya jangan kenceng-kenceng!”

Bayu tertawa, “iya-iya. Padahal belom didorong loh ini..” katanya.

Bayu pun mulai mendorong ayunan itu. Perlahan-lahan, tidak terlalu kencang, sesuai dengan request yang Alvin minta.

Alvin menikmati dorongan Bayu sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya di udara. Dari sini, ia bisa melihat pohon-pohon di belakang rumah Bayu yang sedang menari dengan indahnya. Suasana yang sangat Alvin sukai sejak dulu.

Yang tidak bisa Alvin lihat adalah, bagaimana saat ini Bayu tersenyum saat memandang ke arahnya.

Senyum yang sama seperti dulu. Saat dulu Bayu dan Alvin menghabiskan waktu bersama di tempat ini. Di ayunan yang sama seperti saat ini.

Beberapa saat berlalu, keduanya dikuasai hening. Tak suara yang menghiasi taman kecil itu selain hembus angin serta gemerisik daun dari atas sana.

Namun hal itu tak bertahan lama. Saat akhirnya. . .

“Sepupuku, Vin.” Kata Bayu tiba-tiba.

Alvin seketika menoleh, “hah? Sepupu apa?” Tanyanya bingung.

“Caterine itu, sepupuku.”

Alvin terdiam. Raut wajahnya sarat akan rasa kaget setelah mendengar apa yang Bayu katakan.

“Caterine, cewek yang kamu lihat waktu itu, dia sepupuku Vin.” Ucap Bayu lagi. Ia sedang berusaha meyakinkan Alvin.

“Berhenti dulu Mas,” saut Alvin. Meminta agar dorongan pada ayunan itu berhenti.

Setelahnya, Alvin pun berdiri dari ayunan itu. Ia berbalik, agar bisa menatap wajah Bayu lebih jelas. “Sepupunya Mas Bayu?” Saut Alvin.

“Iya, Vin. Demi apapun, aku berani sumpah, dia itu sepupuku..” Jawab Bayu sambil mengangguk yakin.

“Kalo dia sepupunya Mas Bayu, kenapa gak cerita dari dulu?”

“Aku mau banget cerita Vin, tapi waktu itu kamu tau sendiri kan keadaan lagi kayak gimana? lagi hectic banget dan kita berdua sama-sama nggak punya waktu yang cukup..” Jawab Bayu. “Aku boleh jelasin ya? Kamu mau dengerin kan?”

Alvin terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia mengangguk.

Bayu menarik nafas dalam-dalam, sebelum akhirnya mulai berbicara, “sebelumnya aku mau minta maaf dulu sama kamu soal waktu itu, Vin. Aku sadar banget kalau aku salah karena hampir tiga bulan ninggalin kamu tanpa kabar.”

“Waktu itu aku bener-bener stress sama tugas akhir plus proyek kerjaanku di Malang yang lagi dapet masalah saat itu. Aku bener-bener kacau, kayak orang bingung, jangankan buat main sosmed, buka hp aja aku nggak ada waktu..”

Alvin tertegun. Ia sama sekali tidak tau tentang kondisi Bayu saat itu.

Memang, waktu itu Bayu tiba-tiba menghilang. Tanpa kabar sedikitpun. Dan hal itu benar-benar membuat Alvin bingung.

“Aku juga mau minta maaf soal hubungan kita,” kata Bayu lagi. “Aku sadar, harusnya aku nggak biarin hubungan kita renggang cuma karena aku lagi stress kayak gitu.”

“Aku berusaha beresin semua masalahku secepatnya supaya bisa ketemu kamu, ngobrol sama kamu, dan nyelesaiin semuanya Vin..”

“Mas Bayu tau nggak kalo aku selalu nyariin kamu?”

“Tau Vin, tau banget.” Jawab Bayu yakin. “Aku sering nggak sengaja lihat kamu mondar-mandir di deket gedung jurusan, atau di kos. Tapi aku bener-bener belum siap ketemu sama kamu..”

“Terus kenapa Mbak Caterine tiba-tiba ada di sana?”

“Caterine dateng buat ngasih tau perkembangan masalah proyek di Malang, Vin. Mamah yang minta dia buat dateng. Soalnya mamah tau, aku pasti kelimpungan kalo nggak ada yang bantu atau dampingin.” Jawabnya.

“Tapi aku juga baru sadar kalau kedatangan Caterine itu bukan waktu yang tepat..”

Bayu menghembuskan nafas. Lelaki itu memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya melangkah mendekat kepada Alvin.

“Aku inget banget Vin. Waktu itu, aku lagi ngobrol sama Caterine. Minta saran dia, harus ngelakuin apa supaya bisa perbaiki hubungan kita yang udah renggang. Tapi sayangnya, waktu itu kamu lebih dulu dateng dan lihat kita berdua ngobrol.”

“Aku langsung sadar kalau aku ngerusak semuanya waktu itu. Aku langsung ngejar kamu, berusaha buat jelasin semuanya, tapi akhirnya kamu minta buat putus. . .”

Angin berhembus cukup kencang. Mengisi jeda rumpang yang muncul di antara mereka berdua setelah obrolan panjang nan berat itu.

Alvin menggigit bibirnya sendiri. Hari ini, banyak sekali fakta yang baru Alvin dengar tentang hubungan mereka. Yang selama ini belum pernah ia ketahui.

Ia lantas menatap wajah Bayu lekat-lekat.

Dari sana, ia bisa melihat dengan jelas bahwa Bayu benar-benar menyesali perbuatannya. Alvin bisa melihat semua penyesalan itu.

“Kenapa waktu itu Mas Bayu setuju pas aku ngajak putus?”

“Karena aku tau, kamu udah sakit hati sama aku Vin. Nggak ada alasan apapun yang bisa aku sampaikan ke kamu.” Kata Bayu.

“Dan waktu itu, aku mikir kalau emang dengan putus bisa bikin kamu bahagia, aku rela ngelakuin itu. Karena sejak dulu, aku cuma pengen lihat kamu bahagia Vin. Senyum setiap hari, ketawa setiap hari, walau nggak sama aku, gapapa. Aku ikhlas. . .”

Kedua mata Alvin terasa memanas. Hatinya bagai remuk redam saat mendengar penjelasan Bayu.

Ia sungguh tak menyangka jika selama ini Bayu mencintainya sebegitu besar. Sangat besar, hingga Alvin tak bisa melihatnya.

“Aku minta maaf ya Vin. Maaf kalau aku sering bikin kamu sakit hati, Maaf..” Ucap Bayu.

Lelaki itu lantas menengadah. Berusaha mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh.

Berbeda dengan Alvin. Yang kini sedang menangis dalam diam. Ia biarkan air mata itu luruh membasahi wajahnya.

Sambil menghapus bulir air mata yang menghiasi pelupuk matanya, Bayu kembali berkata, “sekali lagi maaf ya Vin.. aku gagal bikin kamu bahagia..”

“Mas Bayu. . .” Panggil Alvin dengan suaranya yang bergetar.

“Iya?”

Alvin menatap wajah Bayu lekat-lekat. Lantas dengan segenap rasa yang ada dalam hati kecilnya, Alvin pun berkata,

Can I hug you, Mas?”

Kini giliran Bayu yang tertegun.

Untuk beberapa saat, ia tak bisa berkata-kata. Kaget dengan permintaan Alvin.

Namun akhirnya, Bayu pun mengangguk, “sure, go ahead, Vin..” katanya.

Disaksikan hembus angin di taman belakang rumah itu, Bayu dan Alvin kembali berpelukan. Untuk pertama kalinya, setelah dua tahun lamanya mereka berpisah.

Alvin merengkuh tubuh Bayu kuat-kuat. Menyandarkan wajahnya pada bahu lelaki itu, sembari menumpahkan tangisannya di sana.

Bayu balas pelukan itu dengan tak kalah erat. Air mata yang sejak tadi mati-matian Bayu tahan, akhirnya jatuh juga.

I’m sorry, Vin.. I'm sorry..” bisik Bayu.

Alvin menggeleng lirih, “no.. Mas Bayu nggak salah..” ucapnya susah payah di sela tangisannya. “Aku juga minta maaf ya Mas.. Maaf kalau aku udah egois.. nggak pernah tau masalahnya Mas Bayu waktu itu..”

It’s okay, it’s okay..” balas Bayu sambil mengusap-usap punggung Alvin.

Alvin melepas pelukan itu. Membawa wajahnya di hadapan wajah Bayu.

Sambil terus berlinangan air mata, Alvin akhirnya mengucapkan sebuah kalimat yang selama ini tak pernah bisa ia sampaikan kepada Bayu,

I miss you, Mas Bayu.. aku kangen sama Mas Bayu..”

Bayu lagi-lagi dibuat menangis. Detik ini, Bayu dilambungkan oleh haru.

Setelah dua tahun memendam rindu dan rasa bersalah kepada Alvin, hari ini, ajaibnya, Bayu bisa mendengar kembali kalimat itu.

Bayu menangkup kedua sisi wajah Alvin. Diusapnya dengan lembut wajah manis itu, seraya berkata, “I miss you too, Muffin. . .”

Seiring kemudian satu kecupan lembut Bayu berikan di dahi Alvin.

Sebagai hadiah, sebagai bentuk kebahagiaan karena semesta alam telah memberikan mereka kesempatan untuk mengurai benang kusut yang selama ini memisahkan mereka berdua.


bwuniverr, 2022


aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


Ditemani semilir angin serta dedaunan yang menari-nari di atas sana, Bayu harap-harap cemas menunggu kedatangan Alvin.

Lelaki itu duduk di ayunan yang sejak dulu menjadi tempat favorit Alvin untuk menghabiskan waktu setiap kali pemuda itu datang ke rumahnya.

Walau merasa sedikit ragu, Bayu tetap berusaha meyakinkan diri.

Apapun yang terjadi, hari ini, semua masalah yang selama ini menjadi dinding pemisah tak kasat mata antara ia dan Alvin, harus dilenyapkan. Harus.

“Mas Bayu?”

Ah, itu dia orangnya. Sang pemuda manis yang sejak tadi sudah Bayu tunggu-tunggu kehadirannya.

“Sini Vin, di ayunan!” Kata Bayu setengah berteriak, memberi instruksi kepada Alvin agar segera datang kemari.

Tidak menunggu waktu lama, Alvin sudah tiba di hadapannya.

Dan seperti dugaan Bayu, wajah pemuda itu terlihat bingung. Sepasang mata hitam indah miliknya itu seperti sedang mencurigai Bayu yang tiba-tiba mengajaknya untuk datang kemari.

“Sini Vin,” ucap Bayu sambil berdiri dari ayunan. Memberi tempat agar mantan kekasihnya itu bisa duduk di sana.

Alvin mendengus, “kan tadi aku udah bilang kalo gak mau main ayunan..”

“Enakan main aja tau, siang-siang gini paling enak main ayunan,” saut Bayu sambil tersenyum. “Dah-dah, sini duduk.”

Tak ingin mengulur waktu, Bayu segera menarik Alvin agar pemuda itu duduk di ayunan. Alvin yang tadi bilang tidak mau, akhirnya hanya bisa pasrah saat Bayu memaksanya untuk duduk di sana.

Memang ya, si Alvin ini, malu-malu kucing sekali.

Setelahnya, Bayu berpindah tempat. Lelaki itu berdiri di belakang ayunan. Hendak mendorong Alvin, seperti biasanya.

“Jangan kenceng-kenceng,”

“Apanya?”

“Ihh, dorong ayunannya jangan kenceng-kenceng!”

Bayu tertawa, “iya-iya. Padahal belom didorong loh ini..” katanya.

Bayu pun mulai mendorong ayunan itu. Perlahan-lahan, tidak terlalu kencang, sesuai dengan request yang Alvin minta.

Alvin menikmati dorongan Bayu sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya di udara. Dari sini, ia bisa melihat pohon-pohon di belakang rumah Bayu yang sedang menari dengan indahnya. Suasana yang sangat Alvin sukai sejak dulu.

Yang tidak bisa Alvin lihat adalah, bagaimana saat ini Bayu tersenyum saat memandang ke arahnya.

Senyum yang sama seperti dulu. Saat dulu Bayu dan Alvin menghabiskan waktu bersama di tempat ini. Di ayunan yang sama seperti saat ini.

Beberapa saat berlalu, keduanya dikuasai hening. Tak suara yang menghiasi taman kecil itu selain hembus angin serta gemerisik daun dari atas sana.

Namun hal itu tak bertahan lama. Saat akhirnya. . .

“Sepupuku, Vin.” Kata Bayu tiba-tiba.

Alvin seketika menoleh, “hah? Sepupu apa?” Tanyanya bingung.

“Caterine itu, sepupuku.”

Alvin terdiam. Raut wajahnya sarat akan rasa kaget setelah mendengar apa yang Bayu katakan.

“Caterine, cewek yang kamu lihat waktu itu, dia sepupuku Vin.” Ucap Bayu lagi. Ia sedang berusaha meyakinkan Alvin.

“Berhenti dulu Mas,” saut Alvin. Meminta agar dorongan pada ayunan itu berhenti.

Setelahnya, Alvin pun berdiri dari ayunan itu. Ia berbalik, agar bisa menatap wajah Bayu lebih jelas. “Sepupunya Mas Bayu?” Saut Alvin.

“Iya, Vin. Demi apapun, aku berani sumpah, dia itu sepupuku..” Jawab Bayu sambil mengangguk yakin.

“Kalo dia sepupunya Mas Bayu, kenapa gak cerita dari dulu?”

“Aku mau banget cerita Vin, tapi waktu itu kamu tau sendiri kan keadaan lagi kayak gimana? lagi hectic banget dan kita berdua sama-sama nggak punya waktu yang cukup..” Jawab Bayu. “Aku boleh jelasin ya? Kamu mau dengerin kan?”

Alvin terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia mengangguk.

Bayu menarik nafas dalam-dalam, sebelum akhirnya mulai berbicara, “sebelumnya aku mau minta maaf dulu sama kamu soal waktu itu, Vin. Aku sadar banget kalau aku salah karena hampir tiga bulan ninggalin kamu tanpa kabar.”

“Waktu itu aku bener-bener stress sama tugas akhir plus proyek kerjaanku di Malang yang lagi dapet masalah saat itu. Aku bener-bener kacau, kayak orang bingung, jangankan buat main sosmed, buka hp aja aku nggak ada waktu..”

Alvin tertegun. Ia sama sekali tidak tau tentang kondisi Bayu saat itu.

Memang, waktu itu Bayu tiba-tiba menghilang. Tanpa kabar sedikitpun. Dan hal itu benar-benar membuat Alvin bingung.

“Aku juga mau minta maaf soal hubungan kita,” kata Bayu lagi. “Aku sadar, harusnya aku nggak biarin hubungan kita renggang cuma karena aku lagi stress kayak gitu.”

“Aku berusaha beresin semua masalahku secepatnya supaya bisa ketemu kamu, ngobrol sama kamu, dan nyelesaiin semuanya Vin..”

“Mas Bayu tau nggak kalo aku selalu nyariin kamu?”

“Tau Vin, tau banget.” Jawab Bayu yakin. “Aku sering nggak sengaja lihat kamu mondar-mandir di deket gedung jurusan, atau di kos. Tapi aku bener-bener belum siap ketemu sama kamu..”

“Terus kenapa Mbak Caterine tiba-tiba ada di sana?”

“Caterine dateng buat ngasih tau perkembangan masalah proyek di Malang, Vin. Mamah yang minta dia buat dateng. Soalnya mamah tau, aku pasti kelimpungan kalo nggak ada yang bantu atau dampingin.” Jawabnya.

“Tapi aku juga baru sadar kalau kedatangan Caterine itu bukan waktu yang tepat..”

Bayu menghembuskan nafas. Lelaki itu memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya melangkah mendekat kepada Alvin.

“Aku inget banget Vin. Waktu itu, aku lagi ngobrol sama Caterine. Minta saran dia, harus ngelakuin apa supaya bisa perbaiki hubungan kita yang udah renggang. Tapi sayangnya, waktu itu kamu lebih dulu dateng dan lihat kita berdua ngobrol.”

“Aku langsung sadar kalau aku ngerusak semuanya waktu itu. Aku langsung ngejar kamu, berusaha buat jelasin semuanya, tapi akhirnya kamu minta buat putus. . .”

Angin berhembus cukup kencang. Mengisi jeda rumpang yang muncul di antara mereka berdua setelah obrolan panjang nan berat itu.

Alvin menggigit bibirnya sendiri. Hari ini, banyak sekali fakta yang baru Alvin dengar tentang hubungan mereka. Yang selama ini belum pernah ia ketahui.

Ia lantas menatap wajah Bayu lekat-lekat.

Dari sana, ia bisa melihat dengan jelas bahwa Bayu benar-benar menyesali perbuatannya. Alvin bisa melihat semua penyesalan itu.

“Kenapa waktu itu Mas Bayu setuju pas aku ngajak putus?”

“Karena aku tau, kamu udah sakit hati sama aku Vin. Nggak ada alasan apapun yang bisa aku sampaikan ke kamu.” Kata Bayu.

“Dan waktu itu, aku mikir kalau emang dengan putus bisa bikin kamu bahagia, aku rela ngelakuin itu. Karena sejak dulu, aku cuma pengen lihat kamu bahagia Vin. Senyum setiap hari, ketawa setiap hari, walau nggak sama aku, gapapa. Aku ikhlas. . .”

Kedua mata Alvin terasa memanas. Hatinya bagai remuk redam saat mendengar penjelasan Bayu.

Ia sungguh tak menyangka jika selama ini Bayu mencintainya sebegitu besar. Sangat besar, hingga Alvin tak bisa melihatnya.

“Aku minta maaf ya Vin. Maaf kalau aku sering bikin kamu sakit hati, Maaf..” Ucap Bayu.

Lelaki itu lantas menengadah. Berusaha mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh.

Berbeda dengan Alvin. Yang kini sedang menangis dalam diam. Ia biarkan air mata itu luruh membasahi wajahnya.

Sambil menghapus bulir air mata yang menghiasi pelupuk matanya, Bayu kembali berkata, “sekali lagi maaf ya Vin.. aku gagal bikin kamu bahagia..”

“Mas Bayu. . .” Panggil Alvin dengan suaranya yang bergetar.

“Iya?”

Alvin menatap wajah Bayu lekat-lekat. Lantas dengan segenap rasa yang ada dalam hati kecilnya, Alvin pun berkata,

Can I hug you, Mas?”

Kini giliran Bayu yang tertegun.

Untuk beberapa saat, ia tak bisa berkata-kata. Kaget dengan permintaan Alvin.

Namun akhirnya, Bayu pun mengangguk, “sure, go ahead, Vin..” katanya.

Disaksikan hembus angin di taman belakang rumah itu, Bayu dan Alvin kembali berpelukan. Untuk pertama kalinya, setelah dua tahun lamanya mereka berpisah.

Alvin merengkuh tubuh Bayu kuat-kuat. Menyandarkan wajahnya pada bahu lelaki itu, sembari menumpahkan tangisannya di sana.

Bayu balas pelukan itu dengan tak kalah erat. Air mata yang sejak tadi mati-matian Bayu tahan, akhirnya jatuh juga.

I’m sorry, Vin.. I'm sorry..” bisik Bayu.

Alvin menggeleng lirih, “no.. Mas Bayu nggak salah..” ucapnya susah payah di sela tangisannya. “Aku juga minta maaf ya Mas.. Maaf kalau aku udah egois.. nggak pernah tau masalahnya Mas Bayu waktu itu..”

It’s okay, it’s okay..” balas Bayu sambil mengusap-usap punggung Alvin.

Alvin melepas pelukan itu. Membawa wajahnya di hadapan wajah Bayu.

Sambil terus berlinangan air mata, Alvin akhirnya mengucapkan sebuah kalimat yang selama ini tak pernah bisa ia sampaikan kepada Bayu,

I miss you, Mas Bayu.. aku kangen sama Mas Bayu..”

Bayu lagi-lagi dibuat menangis. Detik ini, Bayu dilambungkan oleh haru.

Setelah dua tahun memendam rindu dan rasa bersalah kepada Alvin, hari ini, ajaibnya, Bayu bisa mendengar kembali kalimat itu.

Bayu menangkup kedua sisi wajah Alvin. Diusapnya dengan lembut wajah manis itu, seraya berkata, “I miss you too, Muffin. . .”

Seiring kemudian satu kecupan lembut Bayu berikan di dahi Alvin.

Sebagai hadiah, sebagai bentuk kebahagiaan karena semesta alam telah memberikan mereka kesempatan untuk mengurai benang kusut yang selama ini memisahkan mereka berdua.


bwuniverr, 2022


“Ini, susu buat kamu.”

Adalah kalimat pertama yang terucap dari mulut Bayu setelah ia kembali dari gerbong makanan dan duduk bersama Alvin.

Tidak seperti yang Bayu kira. Ternyata sangat sulit untuk membuka obrolan jika menyangkut hal penting seperti ini.

Bayu kagok. Lidahnya kelu. Tidak bisa diajak kompromi.

Padahal tadi saat sedang berjalan kembali ke gerbong ini, Bayu sudah menyusun skenario runtut mulai dari kata pembuka sampai akhir kalimat yang ingin disampaikan kepada Alvin.

Tapi begitu netranya beradu tatap dengan sang mantan kekasih, skenario yang ada dalam otaknya itu langsung buyar. Kacau. Lenyap entah kemana.

Sehingga Bayu berakhir diam seribu bahasa.

Lelaki itu hanya duduk di kursinya, sambil berperang dengan batinnya sendiri. Mencari solusi agar bisa lekas membuka obrolan dengan Alvin.

Sambil terus mencuri pandang ke arah samping. Dimana Alvin juga tampak terdiam sejak tadi. Seolah sedang sama bingungnya dengan Bayu.

Alvin menoleh ragu-ragu. Sambil berusaha tersenyum, ia terima susu vanilla dari tangan Bayu. “Makasih, Mas.” Katanya singkat.

Dan sedetik kemudian, Alvin kembali menatap ke arah jendela. Tidak menghiraukan Bayu yang makin dibuat bingung karenanya.

Yang Bayu tidak ketahui, sebenarnya saat ini Alvin sama-sama merasa panik.

Jujur, Alvin merasa tidak siap dengan apa yang nanti Bayu jelaskan kepadanya.

Alvin takut jika kenyataan kembali menampar dirinya. Seperti saat itu, dua tahun yang lalu. Ketika akhirnya Alvin melihat dengan mata kepalanya sendiri, alasan mengapa Bayu, sang kekasih hati, perlahan hilang dari pelukannya.

Alvin menggenggam erat sekotak susu vanilla itu.

Hati kecilnya bergemuruh. Membayangkan jika semua ketakutannya, semua bayang-bayangnya yang selama ini menghantuinya, ternyata benar.

Ah, sungguh. . . rasanya Alvin ingin sekali memutar waktu. Agar ia bisa menahan diri untuk tidak mengirimkan bubble chat itu.

Kalau sudah seperti ini, hancur sudah euforia yang Alvin bangun untuk berlibur ke kota Malang. Satu, karena duduk dengan Bayu. Dua, karena ia akan mendengar alasan dari Bayu tentang kandasnya hubungan mereka berdua.

“Vin, kita harus ngobrol.” Ucap Bayu sambil menghembuskan nafas berat.

Ah.. ini saatnya ya? Gumam Alvin dalam hati.

Alvin menoleh ke arah Bayu, “ng-ngobrol apa, Mas?” Sautnya sambil tertawa.

Masa bodoh mau dianggap seperti apa. Alvin hanya berusaha mengulur waktu, sebab ia benar-benar belum siap dengan obrolan ini.

Bayu memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya kembali berkata, “Soal hubungan kita, Vin…

Gulp. Alvin menelan salivanya pahit.

Diantara rasa gelisah yang mengusik hatinya itu, Alvin mengangguk samar. Memberi sinyal kepada Bayu untuk melanjutkan ucapannya.

Bayu menangkap sinyal itu. Lelaki itu lantas merubah posisinya untuk menghadap Alvin secara penuh.

Satu tarikan nafas panjang ia ambil sebelum kembali berkata, “sebelumnya aku mau minta maaf ya Vin. Maaf banget karena setelah sekian lama aku baru bisa jelasin soal ini.” Katanya.

Ia lantas memandang wajah Alvin lekat-lekat. “Jadi Vin, sebenernya, dua tahun yang lal—”

“Eh Mas bentar!” Potong Alvin yang membuat Bayu tampak sedikit terkejut.

“Kenapa?” Tanya Bayu.

Sambil tersenyum kikuk, Alvin mengangkat sekotak susu vanilla itu hingga berada di hadapannya dengan Bayu. “Aku mau buka susu bentar, hehe..”

“Astaga, kirain kenapa..” Saut Bayu, “yaudah gih, minum aja.”

Masih dengan senyum kikuknya, Alvin pun segera membuka susu kotak rasa vanilla itu dan menghabiskan satu tegukan dari sana.

Sebenarnya Alvin sengaja sih melakukan ini. Karena Alvin merasa gugup sekali. Ia khawatir jika nanti malah tidak fokus mendengar penjelasan Bayu karena rasa gugupnya sendiri.

Setelah tegukan kedua, Alvin pun kembali tersenyum kepada Bayu. “Boleh dilanjut, Mas..” Katanya.

“Oke, aku lanjutin ya.” Balas Bayu.

“Jadi Vin, sebenernya.. dua tahun yang lalu, kita itu cuma. . . salah paham.”

Salah paham? Saut Alvin dalam hati.

Bayu terdiam sejenak. Ia menunggu respon dari Alvin. Namun nihil. Mantan kekasihnya itu tidak merespon selain menunjukan perubahan air muka yang cukup jelas di sana.

Merasa jika Alvin sedang menunggu, Bayu pun melanjutkan ceritanya, “sekali lagi aku bilang, waktu itu, kita cuma salah paham, Vin. Bener-bener salah paham..”

“Aku ngaku salah Vin karena udah berbulan-bulan ilang dari kamu, ngeghosting kamu, ngasih harapan yang nggak jelas, aku tau aku salah dan bodoh banget waktu itu.. dan aku bener-bener maklum kalau kamu marah. . .”

Ya jelas lah marah anjir, siapa yang nggak bingung kalo pacarnya berbulan-bulan ngilang, susah dihubungi, jadi kang ghosting, gerutu Alvin di dalam hati.

“Saat itu, waktu aku sadar kalau aku salah, aku bener-bener berusaha buat reach out kamu, Vin.. aku pengen jelasin semuanya, segalanya, supaya hubungan kita nggak sampai rusak. Tapi. . .”

“Tapi Mas Bayu malah sama Mbak Caterine, gitu?” Potong Alvin.

No! No! Bukan gitu, Vin.. sumpah..” Sanggah Bayu.

“Ya terus apa dong Mas? Aku rasa mataku normal kok waktu itu, nggak ada yang bermasalah,” kata Alvin. “Jelas banget waktu itu aku berkali-kali lihat Mas Bayu berduaan sama Mbak Caterine. Terus apa artinya kalo kalian nggak lagi deket?”

Alvin akhirnya punya setitik keberanian untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu.

Pertanyaan yang sukses menjadi momok menakutkan bagi dirinya selama dua tahun belakangan ini.

Pertanyaan yang berhasil membuat Alvin hidup dalam bayang-bayang kebingungan pasca hubungannya dengan Bayu kandas di tengah jalan.

Sebab sampai detik ini, dalam hati kecilnya, Alvin masih terus berharap jika pertanyaan itu tidak benar.

Beruntung saat ini Alvin masih bisa mengendalikan emosinya. Sehingga ia tidak sampai tersulut amarah dan berakhir kesulitan mengendalikan diri.

Bayu mengusap wajahnya kasar. Lelaki itu tampak susah payah meyakinkan Alvin. “Serius, Vin, aku berani sumpah. Aku sama Caterine itu nggak ada hubungan apa-apa..” Katanya.

Kedua alis Alvin bertaut. Bingung. Ucapan Bayu terasa sulit untuk bisa dipercaya.

“Terus hubungan kalian apa dong?”

Ini dia. Pertanyaan keramat bagi Alvin.

Pertanyaan yang menjadi kunci, apakah statusnya dengan Bayu sebagai mantan kekasih bisa diubah atau tidak.

Bayu menatap Alvin lekat-lekat. Ini saatnya gue beresin semuanya sama Alvin. Harus. Semuanya harus jelas. Katanya dalam hati.

Bayu menarik nafas dalam-dalam, sebelum akhirnya berkata. “Oke, aku bakal jelasin. Tapi beneran, aku nggak ada hubungan apapun dengan Caterine,” ucapnya.

Satu tarikan nafas lagi, dan Bayu sudah siap mengatakan segalanya.

“Caterine itu adal—”

Teng Neng Teng Neng

Mohon perhatian. Sesaat lagi rangkaian kereta api Malabar akan tiba di pemberhentian terakhir, stasiun Kota Malang. Harap periksa kembali barang-barang bawaan anda. Kami himbau agar tetap berada di kursi sampai kerta benar-benar berhenti. Terima kasih telah menggunakan layanan kami dan sampai jumpa di perjalanan berikutnya.

Teng Neng Teng Neng

Bayu dan Alvin sama-sama terdiam. Mereka sama-sama melihat ke arah sound di dalam gerbong yang baru saja mengumumkan informasi tersebut.

“Kita udah sampe Malang, Mas?” Tanya Alvin.

Bayu mengangguk, “nggak kerasa banget, tiba-tiba udah sampe,” jawabnya sambil tersenyum kikuk.

“Eh, terus yang tadi itu giman—”

“Kita obrolin nanti ya Mas? Kan masih bisa ketemu di Malang,” Saut Alvin cepat. “Sekarang, kita siap-siap turun dulu… ya?”

Bayu menghela nafas. Sungguh momen yang tidak tepat sekali. Padahal sudah satu langkah lagi Bayu menjelaskan semuanya.

Tapi tak apa lah. Benar kata Alvin. Sepertinya masih ada banyak kesempatan untuk menjelaskan semua itu di Malang.

“Oke deh. Ayo kita siap-siap turun,” kata Bayu sebelum akhirnya membantu Alvin menyiapkan barang-barang bawaannya.


bwuniverr, 2022

Setelah berpamitan dan diberi tahu lokasi toilet terdekat oleh Khao, Alvin pun segera pergi ke sana.

Ia berjalan santai sambil memandangi kantor barunya ini.

Alvin merasa bahagia. Karena akhirnya ia bisa mendapat pekerjaan baru di sini.

Dan jujur, Alvin sudah merasa betah di kantor barunya ini, padahal belum genap satu hari ia bekerja.

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Alvin tiba di toilet kantornya.

eh, anjir.. wanginya..

Langkah Alvin terhenti saat ia tiba di bibir toilet itu, karena ia mencium wangi yang terasa familiar di indera penciumannya.

Wangi ini, wangi maskulin ini, Alvin seolah kenal dengan aroma ini.

Ah, tapi kayaknya gak mungkin deh..

Ah elah Alvin, pabrik parfum gak cuma produksi satu doang kali,

Yap. Benar. Sudah pasti ini cuma perasaan Alvin saja.

Setelahnya, Alvin pun bergegas menuju urinoir untuk menuntaskan keperluannya.

Tidak lupa Alvin mencuci tangannya terlebih dahulu di wastafel sebelum akhirnya berjalan keluar dari toilet itu.

Ia berjalan buru-buru. Takut lupa dengan posisi kantinnya. Sekaligus tidak ingin terkecoh dengan wangi yang masih semerbak di dalam toilet itu.

Yang tidak ia sadari, ada seseorang yang baru saja keluar dari salah satu bilik toilet tepat sebelum Alvin keluar dari toilet itu.

Diam-diam, orang itu memperhatikan lekat-lekat figur Alvin yang melangkah pergi.

Bukan tanpa alasan, karena orang itu merasa tidak asing dengan figur Alvin, walau ia hanya melihat dari belakang saja.


Laptop sudah menyala, dan mereka sudah bersama.

Bright merebahkan diri di atas ranjang.

Metawin pun melakukan hal yang sama.

Hanya saja, pemuda manis itu mengambil posisi yang kelihatan lebih nyaman.

Dengan menyandarkan diri di dada kekasihnya.

Momen hangat keduanya itu ditemani oleh serial A Business Proposal yang Metawin putar di laptopnya.

Namun sepertinya, tayangan itu tidak cukup menarik.

Sebab sejak tadi, Bright sama sekali tidak melihat serial itu.

Si Berandalan itu justru sibuk memandangi kekasih manisnya.

Sambil memainkan rambut hitam lembut milik oknum yang tengah bersandar di dadanya.

Ctik!

Tiba-tiba Metawin menghentikan tayangan di laptopnya itu.

Ia lantas mendudukkan diri, sambil menatap Bright lekat-lekat.

“Kenapa? Kok dimatiin netflixnya?” Tanya Bright bingung.

Metawin menghela nafas, “nggak asik.” Sahutnya sambil cemberut.

“Loh.. nggak asik kenapa, hm?”

“Kakak yang nggak asik.” Sahut Metawin dengan bibirnya yang masih cemberut.

Bright tertawa, “haha, kok kakak yang nggak asik?” Sahutnya.

Pria itu lantas ikut mendudukkan diri, “nggak asik kenapa, hm?” Tanyanya sambil memegang tangan kekasihnya itu.

Metawin justru memalingkan wajah.

Dan Bright bisa mendengar hembusan nafas dari pacarnya itu.

“Sayang. . . Cimol sayang. . .” Panggil Bright sambil tertawa, “iya deh iya.. kakak minta maaf kalo nggak asik.”

Metawin masih diam. Enggan menggubris ucapan Bright.

“Hey, sayang. . .” Panggil Bright lagi. “Sini dong lihat kakak,”

Ia lantas menyentuh pipi kesayangannya.

Lalu ia gerakkan secara perlahan agar kembali menghadap ke arahnya.

Bright makin sulit menahan senyumannya saat melihat wajah Metawin yang kini sedang cemberut.

Tingkat kelucuannya seolah meningkat berkali-kali lipat.

“Coba dijawab dong, sayang.. kakak nggak asik kenapa?” Tanyanya sambil mengusap pipi bersih itu.

Dengan wajah yang masih kelihatan kesal, akhirnya Metawin menjawab, “katanya mau diajak nonton netflix. Tapi kakak malah nggak nonton sama sekali. Aku doang yang nonton. Nyebelin.”

Bright tidak bisa menahan tawanya.

Lucu. Lucu sekali pacarnya ini.

Bright baru tahu jika Metawin bisa jengkel dan merajuk hanya karena masalah seperti ini.

“Ih Kakak kok malah ketawa sih!” Ucap Metawin.

“Haha, iya-iya, maaf… habisnya kamu lucu banget sih, kakak gak bisa nahan ketawa jadinya..” sanggahnya.

Pria itu lantas menghentikan tawanya.

Kemudian, ia pun memajukan tubuhnya. Untuk membawa Metawin ke dalam pelukannya.

“Kakak minta maaf yaaa kalau nggak asik dan bikin kamu sebel begini,” bisik Bright di telinga sang kekasih.

“Tapi kakak punya alasan kok kenapa jadi nggak fokus nonton,” ucapnya lagi sambil melepas pelukan itu.

Dahi Metawin berkerut, “apa alasannya?” Sahutnya.

Bright kembali tersenyum.

Tiba-tiba, tangan kanannya terangkat untuk mencubit gemas pipi Metawin.

“Soalnya, kamu lebih menarik daripada netflixnya, sayang.. makanya kakak nggak fokus ke sana. Fokusnya kakak, cuma kamu, hehe.”

“Ih males banget kak Bii gombal,” balas Metawin sambil menepis tangan itu.

“Loh, beneran ini. Kamu tuh jauuuuh lebih menarik daripada netflix.”

Walau kesal dengan jawaban Bright, Metawin tetap tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang tersipu malu.

“Tuh tuh pipinya merah, ciyeeee cimolnya mau mateng ini..” goda Bright sambil menoel pipi gembil itu.

“Kak Bii jelek, wleee.” Balas Metawin sambil menjulurkan lidah.

Keduanya lantas sama-sama tertawa.

Menertawakan tingkah masing-masing yang sama-sama menggemaskan.

Sesaat kemudian, Metawin merebahkan dirinya.

Meletakkan kepalanya di paha milik Bright.

“Emang kakak punya bukti?” Tanya Metawin sambil meraih dagu Bright dengan tangannya.

Bright menatap wajah kekasihnya, “bukti? Bukti apa?” Tanyanya.

Metawin menggigit bibir bawahnya.

“Bukti apa, sayang?” Bright mengulangi.

“Bukti kalo aku lebih menarik dari netflix, hehe. . .” Jawab Metawin sambil tersenyum jahil.

Melihat senyuman di wajah kekasihnya itu, Bright seketika paham.

Maka, Bright pun mulai bergerak, menundukkan wajahnya.

Kedua matanya tidak lepas sedikitpun untuk memandangi Metawin.

Ia menahan wajahnya saat jarak yang tersisa hanya satu jengkal saja.

Jarak itu begitu dekat. Hingga membuat keduanya sama-sama bisa merasakan nafas masing-masing.

“Ini buktinya,” bisik Bright lembut.

Bright kembali bergerak. Mengikis habis jarak yang tersisa, dan akhirnya. . .

Cuuuuppp!

Lagi. Kedua bibir itu bertemu.

Untuk menyalurkan rasa yang ada dalam hati mereka.

Ciuman itu bertahan cukup lama.

Lembut, panas, dan terasa memabukkan di saat yang bersamaan.

Dan tautan bibir itu baru terlepas saat Metawin memukul lirih bahu Bright.

Memberi isyarat bahwa ia kehabisan nafas.

Bright lantas mengangkat wajah. Menyuguhkan sebuah senyuman kepada Metawin.

“Gimana.. terbukti nggak, hm?” Tanya Bright sambil mengusap bibir Metawin dengan lembut.

Metawin mengangguk, “terbukti, hehe. . .” Jawabnya.

“Mau bukti lagi?”

“Hehe, mau. . .”

Mereka sama-sama tersipu malu.

Sedetik kemudian, Bright mengangkat tubuh Metawin.

Ia merebahkan tubuh kekasihnya itu di atas kasur, lalu mulai merangkak di atasnya.

Bright menumpukan kedua tangannya di samping bahu Metawin.

Membuatnya bisa leluasa menatap wajah kekasihnya.

Dipandanginya wajah manis itu.

Wajah milik seorang laki-laki yang sukses meluluhkan hatinya yang keras bagai batu.

Sambil terus tersenyum, Bright berbisik lembut, “terima kasih ya, sayang…”

“Kakak sayang sama cimol. . .”

Di bawahnya, Metawin ikut tersenyum.

Ia usap pipi lembut milik Bright, seraya berkata, “aku juga sayang sama Kak Bii..”

Senyum di wajah Bright terlihat begitu lebar.

Ia tampak bahagia sekali saat ini.

Akhirnya, Bright menggerakkan tubuhnya.

Mengikis habis semua jarak yang tersisa di antara mereka.

Hendak memagut bibir sang kekasih dengan penuh cinta, penuh rasa, dan penuh kebahagiaan.

– fin