bwuniverr


Waktu terasa bergulir begitu cepat.

Menyulap gelap malam menjadi pagi yang cerah.

Walau begitu, ada satu hal yang masih sama.

Yakni perasaan bahagia yang ada di antara mereka berdua, Bright dan Metawin.

Sepasang kekasih yang baru saja saling menyatakan cinta kemarin malam.

Dan disinilah mereka sekarang.

Tidur berhadapan sambil memeluk tubuh satu sama lain.

Abai pada sang mentari yang sudah duduk di singgasananya.

Metawin menggeliat saat merasakan hangat yang berasal dari sinar mentari pagi.

Perlahan, pemuda manis itu membuka mata.

Hanya untuk mendapati Bright, kekasihnya, yang masih memejamkan mata.

Dengan posisi yang sangat dekat, tentunya.

Seulas senyum tipis muncul di wajah Metawin.

Seiring kemudian, ia gunakan tangan kirinya untuk mengusap wajah Bright yang terlihat begitu damai.

“Mmm. . .” Gumam Bright saat merasakan sentuhan di wajahnya.

Senyum di wajah Metawin tampak semakin lebar.

Ia lantas menusuk-nusuk pipi kekasihnya itu dengan telunjuknya.

“Kakak. . .” Panggil Metawin dengan lembut, “ayo bangun.. waktunya kuliah..” ucapnya.

Bukannya menjawab, Bright justru menarik Metawin.

Membawa tubuh mereka semakin dekat.

“Nanti dulu,” jawab Bright.

“Ih, ayo bangun.. nanti aku telat kuliahnya. . .” Rengek Metawin.

“Lima menit lagi.”

“Sekaraaang. . .” Rengeknya lagi.

Akhirnya, Bright pun membuka mata.

Wajah berandalan itu langsung dihiasi senyuman saat melihat wajah kekasihnya.

“Kenapa buru-buru sih? Masih jam segini, sayang. . .”

Ada sensasi menggelitik yang datang di tubuh Metawin saat Bright memanggilnya dengan sebutan sayang.

Maklum sih. Mereka kan baru jadian. Jadi mungkin belum terbiasa.

Metawin memajukan bibirnya, “kalo nggak siap-siap sekarang, nanti telat..”

Bright kembali tersenyum.

Ia cubit pipi gembil milik kekasihnya itu dengan lembut.

“Yaudah, iya. Siap-siap sekarang aja,” ucapnya sambil melepas pelukan itu.

Metawin pun kembali tersenyum.

Saat pelukan itu terlepas, tiba-tiba Metawin mendekatkan wajahnya ke arah Bright.

“Apa sayang?” Sahut Bright bingung.

Namun kebingungannya itu langsung hilang saat tiba-tiba Metawin menggerakkan wajahnya.

Cup! Cup! Cup!

Bright mendelik, “sayang? Kok.. nakal banget cium-cium..” ucapnya.

“Biarin, aku mau balas dendam,” sahut Metawin. “Soalnya kemarin Kakak nyium aku terus.”

Bright tertawa, “Astaga.. kamu nih ya, lucu bang—”

Cup! Cup! Cup!

“—EH, Sayang! Udah-udah.. eh uda—”

Cup! Cup! Cup!

“—hahaha, Sayang, udaaah, udah ih stop!”

Metawin menahan wajahnya.

Ia tatap wajah Bright lekat-lekat sebelum akhirnya mengarahkan bibirnya pada milik Bright.

Cupppp!

Dan, ciuman itu terjadi lagi.

Namun kali ini, ciuman itu terasa lebih lembut dan hangat dari yang kemarin.

Mereka berdua menikmati ciuman itu.

Meresapi setiap geletar indah yang hadir di dalam dada.

Namun sepertinya, momen itu tidak bertahan lama.

Karena tiba-tiba, Bright melepas ciuman itu secara paksa. Hingga membuat Metawin kebingungan.

“Kenapa, Kak?” Tanya Metawin setelah melihat wajah Bright yang tampak panik.

Bright menggeleng lirih, “gapapa, m-mending kamu siap-siap, ya? Mandi sekarang aja.. sun nya, jangan diterusin.. hehe.”

“Tumben.. kenapa emangnya?”

Bright terdiam. Cowok itu salah tingkah.

Karena, ada satu alasan yang membuatnya seperti ini.

Dan alasan itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah Joni.

“Kak.. kenapa?.. Ada masalah?” Tanya Metawin lagi.

Bright kembali menggeleng, “nggak ada masalah kok. Tapi. . .”

“Tapi? Tapi apa?”

“Tapi nanti takut si Joni bangun. . . hehe.”

“Joni?” Alis Metawin bertaut, “Joni siapa?”

Bukannya menjawab, Bright justru membawa tubuhnya dan Metawin untuk duduk.

Kemudian, Bright mengajak kekasihnya itu untuk berjalan menuju kamar mandi.

“Dah, kamu m-mandi dulu aja, ya? Udah mau jam tujuh, nanti kamu telat, oke? Habis itu gantian kakak yang mandi,” ujarnya sambil mengarahkan Metawin untuk masuk ke kamar mandi.

Menyisakan dirinya yang kini menarik nafas dalam-dalam, meredakan sensasi paniknya yang hadir karena ulah si Joni.

Serta Metawin yang kini kebingungan di dalam kamar mandi.


“Eh, Win, udah selesai?” Sapa Bright saat melihat kehadiran Metawin di ambang pintu.

Pemuda manis itu menangguk. “Udah Kak..” jawabnya.

“Duduk sini gih,” ajak Bright sambil menggeser tubuhnya.

Memberi ruang untuk Metawin agar bisa duduk di sana.

Metawin pun segera duduk di sana. Sambil sesekali melirik Bright yang kelihatannya tenang sekali.

Berbeda dengannya yang saat ini sedang gugup bukan main.

Untuk beberapa saat, balkon kamar 215 itu dilanda keheningan.

Belum ada percakapan yang terjadi diantara mereka berdua.

Mereka masih sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga kemudian,

“Metawin,”

“Kak Bright,”

Keduanya sama-sama terkejut. Sebab mereka berbicara bersamaan.

“Eh, K-kak Bright aja dulu yang ngomong. . .” Ujar Metawin mempersilahkan.

Bright menggeleng, “nggak, lo duluan aja gapapa.” Sahutnya.

“Nggak-nggak, Kak Bright dulu aja.. nanti habis Kak Bright, baru aku.. ya?” Tawar metawin lagi.

Bright kembali menggeleng, “kalau gitu, barengan aja. Gimana?” Tawarnya balik.

Mereka kembali terdiam.

Metawin semakin gugup saja setelah mendengar tawaran Bright.

Sebenarnya ia ingin sekali mengatakan langsung kepada kakak tingkatnya itu.

Tentang apa yang ia rasakan, tentang bagaimana perasaan suka terhadapnya itu tumbuh perlahan-lahan di dalam hati.

Tapi, Metawin tidak punya nyali.

Ia takut jika nantinya, Bright justru merasa terusik dengan isi hatinya itu.

Tapi jika tidak diutarakan, sampai kapanpun Metawin tidak akan pernah mengetahui isi hati kakak tingkatnya itu.

Di hadapannya, Bright pun merasakan hal yang sama.

Sejak tadi pagi, Bright sudah berusaha membulatkan tekad.

Ia sudah sangat yakin untuk mengatakan perasaannya pada Metawin.

Tapi entah mengapa, saat sekarang sudah berhadapan langsung dengan orang yang sukses mengobrak-abrik hatinya, nyali Bright justru menciut.

Ia takut jika nantinya Bright akan mendapat jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan.

Walau demikian, Bright tidak ingin mundur.

Bright sudah yakin, bahwa ia akan menyampaikan isi hatinya.

Masa bodoh dengan apa yang akan terjadi nanti.

Yang penting, Bright bisa merasa lega. Itu saja.

“Gimana, Win? Barengan aja ya ngomongnya?” Tawar Bright lagi.

Metawin sepertinya tidak punya pilihan.

Lagipula, tawaran Bright ini cukup menguntungkan. Sebab Metawin tidak perlu merasa malu seorang diri nantinya.

Dan akhirnya, setelah merasa yakin dengan hatinya sendiri, Metawin pun mengangguk.

“Iya, Kak. Kalo gitu, ayo barengan. . .” Jawabnya.

“Okey, hitungan ketiga, ya?” Balas Bright.

Sang berandalan itu menarik nafas panjang, sebelum memulai hitungan mundur,

“Tiga. . .”

Jantung Metawin rasanya ingin meledak saja. Ia gugup bukan main.

“Dua. . .”

Oh Tuhan, rasanya Bright ingin lari sejauh mungkin. . . rasanya sangat tidak enak..

“Satu!”

Oke, ini saatnya.

Bright dan Metawin sama-sama memejamkan mata, hingga akhirnya,

“Gue suka sama Lo!”

“Aku suka sama Kak Bright!”

. . . . . . . . .

“HAH?!!” Sahut keduanya bersamaan.

Mereka saling terbelalak. Sama-sama kaget dengan apa yang baru saja terucap dari bibir masing-masing.

“K-kak Bright?... Aku nggak salah denger?” Sahut Metawin panik.

Bright menggeleng ribut, “g-gue juga gak salah denger???” Timpal berandalan itu tak kalah panik.

Rasanya konyol sekali.

Setelah susah payah berusaha menenangkan hati, mereka justru dihadapkan dengan fakta yang sungguh di luar ekspektasi.

“Win..” panggil Bright sambil mendekatkan tubuhnya pada Metawin, “lo.. beneran? B-barusan yang lo bilang itu, beneran??” Tanyanya lagi.

Ia masih tidak percaya. Khawatir jika apa yang barusan ia dengar hanya halusinasinya saja.

Tapi kemudian, Metawin mengangguk.

Yang artinya, apa yang Bright dengar barusan, memang benar-benar terjadi.

“Tadi, yang Kak Bright bilang itu.. beneran kah?” Tanya Metawin balik.

“Beneran, Win.. astaga.. kenapa jadi gini sih anjir,” gerutunya sambil geleng-geleng kepala.

Bright lantas kembali menatap wajah Metawin lekat-lekat, “gue beneran Win.. gue suka sama lo..” ucapnya lagi.

Ia lantas meraih pundak Metawin dengan kedua tangannya, “maaf kalau ini terkesan konyol, atau kerasa nggak masuk akal. Tapi, gue beneran Win. Gue beneran suka sama lo. Gue beneran naksir berat sama lo Win. . .”

Metawin masih linglung. Ia terlihat sangat kaget dengan apa yang sedang terjadi.

“Gue minta maaf ya Win kalau selama ini gue udah jahat sama lo, gue udah sering bertingkah aneh sama lo,” lanjut Bright, “tapi semua itu gue lakuin karena gue masih belum bisa nerima kalo gue suka sama lo. . .”

Metawin menatap wajah Bright.

Memandangi sepasang mata elang yang kini sedang menatapnya lekat-lekat.

Bright menarik nafas sejenak, sebelum kembali berbicara pada Metawin, “tapi sekarang, gue udah sadar, Win. Gue suka sama lo. Gue seneng kalo lagi sama lo, gue… pokoknya, gue bener-bener jatuh hati sama lo, Win.. lo percaya kan sama gue?”

Metawin menggigit bibir bawahnya.

Ia masih merasa kaget dengan apa yang tengah terjadi saat ini.

Sungguh, semua ini diluar ekspektasinya.

Metawin pikir, Bright akan menolak mentah-mentah perasaannya itu.

Tapi sekarang, Metawin justru melihat bahwa Bright merasakan hal yang sama dengannya.

Bahkan mungkin, perasaan yang Bright miliki itu terasa lebih besar.

“Win..” panggil Bright lagi. “Lo percaya kan, sama gue..?” Tanya sang berandalan itu penuh harap.

Metawin menghembuskan nafas, “aku masih kaget kak. . .” Jawab pemuda itu pada akhirnya. “Rasanya.. kayak, sulit dipercaya..”

“Tapi.. lo juga suka kan sama gue?”

Metawin mengangguk yakin, “suka Kak.. suka banget..” jawabnya malu-malu. “Tapi, yaitu tadi.. aku masih sulit percaya. Kayak.. nggak nyangka gitu kalau Kak Bright juga sama..”

“Apa yang bisa bikin lo percaya sama gue, Win?” Tanya Bright. “Bilang aja.. bakal gue lakuin..”

Metawin kembali terdiam.

Kalau ditanya seperti ini, Metawin malah semakin bingung.

Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana agar ia percaya dengan Bright.

Tapi sedetik kemudian, sebuah ide terlintas dalam benak Metawin.

“Aku.. mau coba satu hal..” ucap Metawin.

“Apa Win? Mau coba apa?” Sahut Bright. “Bilang aja, bakal gue lakuin kok supaya lo percay—”

Cup. . .

Belum usai berbicara, Bright sudah dibuat mendelik.

Sebab secara tiba-tiba, Metawin menjatuhkan sebuah kecupan di bibirnya.

Sedangkan Metawin memejamkan mata.

Berusaha mencari rasa sebagai jawaban atas kebimbangannya.

Awalnya, Metawin hanya ingin mengecup bibir Bright.

Ia ingin mencari jawaban dari sana. Dari ciuman di antara mereka.

Namun karena hanyut dalam suasana, ciuman itu pun berlanjut.

Membuat kedua insan itu akhirnya memagut rasa yang ada dalam hati mereka.

Menghadirkan sensasi hangat nan menggelitik lewat friksi yang mereka bagi.

Setelah beberapa saat, ciuman itu terlepas.

Bright tak lagi membelalak. Sorot matanya dipenuhi oleh kemilau yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

“Win. . .” Panggil Bright lirih. “Yang barusan itu ap—”

“Aku percaya sama Kakak,” potong Metawin cepat.

Bright mendongak, hanya untuk melihat Metawin yang kini sedang tersenyum ke arahnya.

“Maaf ya Kak aku tiba-tiba nyium Kak Bright,” ucap Metawin. “Aku cuma pengen memastikan kalau semua ini bukan bohongan..”

“Dan sekarang, aku bisa percaya sama Kakak,” tuturnya disertai senyum begitu lebar.

Hati Bright seperti dilambungkan tinggi ke angkasa.

Dadanya terasa hangat. Seolah dipenuhi oleh perasaan haru dan bahagia yang begitu banyak.

Sambil menahan segenap rasa yang membuncah di dalam dada, Bright raih tangan Metawin untuk ia genggam erat-erat.

Ia lantas memandang wajah sang mahasiswa baru itu dengan teduh. Sebelum akhirnya mengutarakan isi hatinya,

“Metawin.. will you be my boyfriend?”

Dalam hening yang menyelinap di antara percakapan itu, Metawin akhirnya menjawab dengan sebuah anggukan singkat.

Malu-malu, si maba manis itu memberi jawaban, “iya Kak. . . Aku mau. . .”

“AAAAAAAAA METAWIN, MAKASIH BANYAK!”

Metawin dibuat kaget saat Bright tiba-tiba berteriak dengan begitu kencang.

Tidak sampai di situ, sang berandalan itu langsung menarik tubuh Metawin.

Membawanya ke dalam dekapannya, untuk ia peluk erat-erat.

“HUHUHU METAWINNN, MAKASIH YA.. MAKASIH BANYAK UDAH MAU NERIMA GUE.. HUHU ANJIR GUE SENENG BANGET..”

Ucap sang berandalan itu sambil memeluk Metawin sekuat tenaga.

Sedangkan Metawin hanya bisa tersenyum malu melihat tingkah kakak tingkatnya itu.

“Iyaaa, sama-sama Kak..” sahutnya sambil tertawa.

Bright lantas melepas pelukan itu.

Ia tatap wajah Metawin yang kini telah menjadi kekasihnya itu sambil terus tersenyum.

“Makasih ya Win.. Aaaah anjiiiir gue seneng banget, pacar gue gemes, cakep bangeeet,” pujinya yang membuat Metawin merasa semakin malu.

“Gue sayang banget sama lo!”

Cup! Cup!

“Pacar gue gemes banget!”

Cup! Cup!

“Cakep! Metawin cakep banget punya gue doang!”

Cup! Cup! Cup! Cup!

“Kakaaaakk, udahh, geliii.. jangan diciumin semua..” rengek Metawin saat Bright terus menghujani wajahnya dengan kecupan.

Bright menahan wajahnya, sebelum kemudian menjatuhkan satu kecupan lagi di pipi kekasihnya itu.

Cuuuuppp!!

“Hehehe, maaf ya? Habisnya pacar aku cakep banget, aku nggak tahan mau cium,” ucapnya sambil tersenyum begitu lebar.

“Iyah, dimaafin.. tapi jangan banyak-banyak kalau cium.. geli..” sahut Metawin.

“Oke bos!” Sahut Bright. “Kita masuk yuk? Dingin di sini.. enakan di dalem.. Yuk?”

Metawin mengangguk setuju.

Setelahnya, Bright pun mengajak Metawin untuk berjalan bersama kembali ke dalam kamar.

Dengan tangan yang tak lepas sedikitpun menggenggam milik Metawin.

Dan malam itu, akhirnya perasaan yang keduanya simpan telah terucap.

Tidak ada yang pernah menyangka, jika sang berandalan dan si maba manis ini memiliki perasaan yang sama satu sama lain.

Dan kini, tak ada lagi yang perlu mereka tutupi.

Semuanya sudah jelas. Bahwa Bright mencintai Metawin sepenuh hati, begitu pula sebaliknya.


bwuniverr, 2022


Sekembalinya ke dalam kamar, Metawin dibuat terperangah.

Maba manis itu hanya bisa melamun, tidak melepaskan pandangannya barang satu detikpun dari wajah Bright.

Sebab saat ini, kakak tingkatnya itu terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dari biasanya.

Padahal, dia hanya memakai pakaian biasa.

Tapi entah mengapa, Bright terlihat jauh lebih tampan malam ini.

“Win?”

Metawin menggeleng, sadar dari lamunannya. “I-iya, Kak?” Sahutnya kikuk.

“Kenapa diem aja? Titipan gue mana?”

Metawin tersenyum tipis, “nggak papa, Kak, hehe. Ini titipannya,” jawab maba manis itu.

Ia lantas mengambil titipan Bright dari dalam kantong plastik lalu menyerahkan dua benda itu kepadanya.

Bright menerima dua benda itu sambil tersenyum, “makasih ya.”

“Iya Kak, sama-sama..” sahut Metawin.

“Eh Win, tunggu bentar,”

Metawin menoleh kembali, “kenapa Kak?”

Bright terdiam sejenak. Ia tampak mengambil satu helaan nafas panjang, sebelum akhirnya tersenyum kembali pada Metawin.

“Ke balkon yuk?”

Metawin memicingkan mata, “balkon?” Sahutnya. “Mau ngapain, Kak?”

“Uhm. . .” Gumam Bright. Sang berandalan itu terlihat gugup sekali saat ini. “Itu. . . gue, mau ngomong sesuatu sama lo. Bisa kan?”

Kini giliran Metawin yang terdiam.

Pemuda manis itu bertanya-tanya dalam hati.

Ada apa ya? Apa yang hendak Kak Bright obrolkan dengannya?

“Bisa kan Win? Bentar doang kok. . .” Pinta Bright lagi.

Sambil menggigit bibir bawahnya, Metawin mengangguk. “Bisa kok Kak. . .” Jawabnya. “Tapi aku ke kamar mandi dulu yah?”

“Oke,” sahut Bright yang terlihat lega. “Gue ke balkon dulu. Nanti langsung ke situ aja,” ucapnya.

Metawin mengangguk paham.

Disusul kemudian mereka berdua berjalan menuju tujuan masing-masing.

Bright melangkah menuju balkon, sedangkan Metawin menuju kamar mandi.

Sambil terus berperang dengan pikiran mereka sendiri. Tentang apa yang akan terjadi malam ini, tentang apa yang akan terjadi pada mereka berdua.


Sudah satu minggu Bright habiskan untuk berpikir.

Memikirkan apa yang Metawin katakan seminggu yang lalu, memikirkan semua yang Mike katakan kepadanya, sekaligus memikirkan perasaannya sendiri.

Selama satu minggu itu pula, hubungan Bright dengan Metawin semakin lengket saja.

Terhitung sudah lima hari ini mereka berdua berangkat bersama ke kampus.

Bright dan Metawin juga lebih sering menghabiskan waktu bersama.

Sekadar ngobrol sambil menikmati angin sore di taman kampus, makan street food di sekitar alun-alun kota, atau bernyanyi bersama di dalam kamar.

Tanpa Bright sadari, selama satu minggu itu, hidupnya perlahan berubah.

Bright tidak lagi menghabiskan waktu seharian untuk nongkrong bersama gengnya.

Bright juga lebih jarang terlibat cekcok dengan musuh-musuhnya.

Dan yang paling penting, intensitas Bright untuk merokok sangat jauh berkurang sebab waktunya lebih banyak dihabiskan dengan Metawin.

Selama satu minggu ini pula, diam-diam, Bright menyimpan foto Metawin di dalam galeri ponselnya.

Awalnya, Bright iseng memotret Metawin saat anak itu sedang sibuk mengantri street food.

Niatnya sih mau di upload di twitter.

Tapi, saat Bright melihat foto itu, entah kenapa terbesit perasaan tidak enak jika foto itu sampai ia upload di media sosialnya.

Akhirnya, Bright pun menyimpan foto-foto itu di galerinya.

Ia sampai membuat folder khusus bernama buntelan gemas hanya untuk menyimpan foto-foto Metawin.

Yap. Isi folder itu yang awalnya hanya satu, kini sudah berkembang pesat.

Sudah tersimpan puluhan foto Metawin di sana. Yang Bright ambil diam-diam, tanpa Metawin sadari. Belakangan ini, setiap kali Bright merasa suntuk, ia akan membuka galeri ponselnya.

Dan secara naluriah, Bright akan membuka folder bernama buntelan gemas.

Ia pandangi foto-foto di dalam folder itu, seiring senyum tipis mengembang di wajah tampannya.

Seperti sekarang ini.

Bright sedang duduk di warung Bu Tut. Menunggu jam kelasnya dimulai setelah mengantar Metawin ke fakultasnya.

Sang Berandalan itu terlihat senyum-senyum sendiri sambil memandangi ponselnya.

Tidak, lebih tepatnya, memandangi foto Metawin yang tersimpan di galerinya.

Andai semua orang tau, pasti Bright akan ditertawakan.

Sebab rasanya sangat lucu, jika sang Berandalan, si mahasiswa tampan yang sejak dulu ditakuti seisi kampus, kini justru sering tersenyum seorang diri. Seperti orang gila, hanya karena melihat potret wajah mahasiswa baru yang jadi teman sekamarnya.


Bip. Bip. Bip.

Jam dinding di kamar 215 itu berbunyi cukup nyaring saat jarum pendek di dalamnya berhenti di angka enam.

Malam telah beranjak. Bertukar tempat dengan mentari pagi.

Namun, kedua laki-laki di dalam kamar itu masih sama-sama enggan membuka mata.

Mereka masih sibuk memeluk satu sama lain. Seolah tidak ingin lepas dari pelukan nyaman itu.

Metawin mengerjapkan mata.

Berusaha membiasakan pandangannya dengan sinar matahari yang menembus gorden balkon.

Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan milik Bright yang masih berada begitu dekat.

Dengan kedua tangannya yang masih memeluk tubuh kakak tingkatnya itu erat-erat.

“Kak Bright. . .” Panggilnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Tidak ada jawaban. Sang berandalan itu justru mempererat pelukan mereka.

“Kakak. . .” Rengek Metawin lagi, “bangun.. udah pagi..” bisiknya.

Sambil memejamkan mata, Bright menggeleng lirih.

Pemuda itu lantas mengusalkan dagunya pada puncak kepala Metawin. Membuat pemiliknya itu tertawa geli.

“Kak Bright.. geli..” ucap Metawin.

Sedetik kemudian, barulah Bright membuka mata.

Ia bawa pandangannya turun. Untuk beradu tatap dengan sorot mata indah milik Metawin di bawah sana.

“Kenapa sih berisik banget, hm?” Sahut Bright dengan suaranya yang terdengar serak-serak basah.

“Udah pagi ini.. ayo bangun..” sahut Metawin.

Bright tersenyum kecil, “nanti dulu. Lima menit lagi,” balasnya.

“Yaudah, janji. Lima menit loh ya?”

Bright mengangguk. “Iya. Lima menit doang. Nggak lebih kok.” Jawabnya.

Sambil terus memandangi wajah Metawin, Bright kembali bertanya, “udah nggak takut sama gue?”

“Enggak,” jawab Metawin. “Takutnya udah kemaren. Sekarang udah enggak.”

Reflek, tangan kiri Bright terangkat untuk mengusap lembut rambut Metawin, “pinter.” Ucapnya sambil tersenyum tipis.

“Gue minta maaf ya kemaren udah bentak lo. Gue lagi emosi. . .”

“Iya. . . Nggak apa-apa kok Kak. . .” Jawab Metawin sambil tersenyum balik.

Mata pemuda manis itu memicing. Seiring salah satu tangannya ia angkat untuk menyentuh hidung Bright.

“Ih hidung Kak Bright merah,” ucapnya memberi tahu. “Kok bisa gini?”

Bright menengok ke arah hidungnya sendiri, “kemarin kena pukul.” Jawabnya.

“Kak Bright kenapa kok berantem? Ada masalah?”

“Biasa lah. Ada yang cari gara-gara.”

“Siapa yang cari gara-gara?”

Bright menghela nafas. Ia eratkan tubuhnya dengan Metawin sebelum akhirnya menjawab, “musuh bebuyutan gue. Anak Teknik.”

“Jadi geng gue tuh punya musuh. Dari Teknik. Junior nama kepala gengnya.” Ujar Bright menjelaskan.

“Kemaren tuh, Guns tiba-tiba diserang. Katanya gak izin pas lewat kantek. Terus yaudah deh, gitu. Akhirnya ribut.”

“Kak Guns gak apa-apa? Apa luka juga?”

“Bonyok dia. Babak belur dihajar.” Sahut Bright sambil tertawa.

“Kalo Kak Bright, gapapa kan?”

“Gapapa gini nih buktinya.” Jawabnya dengan bangga.

“Cuma tangan gue aja tuh, mau ninju muka Junior meleset ke tembok.”

Metawin manggut-manggut paham. Memang sih, sepertinya tidak ada luka lain di bagian tubuh Bright selain di tangannya.

Pemuda manis itu menyandarkan dagunya di dada Bright, “terus sekarang, Kak Bright udah nggak marah?” Tanyanya.

“Enggak.” Sahut Bright sambil tersenyum. “Soalnya udah lo peluk semaleman.”

“Hehehe. Syukur deh kalo udah nggak marah..” balas Metawin.

“Ih Kak, ayo bangun. Udah lima menit ini. . .”

Bright seketika menutup matanya kembali.

“Aduh, bentar lagi deh, lima menit lagi ya.” Ucapnya sambil kembali memeluk Metawin erat-erat.

“Ihh gaboleh.. ayo bangun nanti telat kuliahny—Eh!”

“Kenapa Win?” Sahut Bright bingung.

Metawin menunduk sejenak sebelum akhirnya kembali menatap Bright.

“Kenapa? Ada apa?”

“Itu. . .” Jawab Metawin ragu.

“Itu, itu kenapa sih?”

Metawin terdiam sejenak, hingga akhirnya berkata, “Itu.. rasanya ada yang nusuk-nusuk perutku Kak. .”

ANYING!

Secepat kilat, Bright langsung melepaskan pelukannya pada tubuh Metawin.

Sang Berandalan itu lantas melirik ke bawah sana.

Seiring ia berkata di dalam hati,

Brengsek si Joniiiii!!!

“Kak Bright?” Panggil Metawin gugup.

“Ehm.. Win, g-gue ke kamar mandi dulu ya? Kebelet ini. Bentar ya!”

Sebelum Metawin sempat menjawab, Bright sudah lebih dulu kabur menuju kamar mandi.

Meninggalkan Metawin sendirian di atas kasur dengan wajahnya yang terlihat kebingungan.


Setelah dipaksa oleh Metawin untuk kembali ke dalam kamar, kini Bright sudah tiba di sana.

Mereka berdua duduk berhadapan di antara beberapa lauk dan nasi yang sudah Metawin siapkan untuk sarapan.

“Kak Bright mau lauk apa buat sarapan?” Tawar Metawin.

Bright melihat-lihat lauk di hadapannya, “samain aja sama Lo.”

“Oke!” Sahut Metawin antusias sebelum ia mengambilkan lauk untuk Bright dan dirinya sendiri.

Setelah piring mereka terisi oleh nasi dan lauk, sarapan pagi itu pun dimulai.

Metawin menyantap menu sarapan yang sudah ia masak itu dengan nikmat.

Sedangkan Bright sepertinya mengalami kesulitan.

Ia berulang kali meringis saat hendak menyendokkan makanan itu ke dalam mulutnya.

“Kak Bright kenapa?” Tanya Metawin saat melihat Bright meringis kesakitan.

Bright tidak menjawab. Namun ia meletakkan sendok di genggamannya lalu menatap kedua tangannya bergantian.

“Oh iya, aduh.. itu lukanya belum diobatin!” Ucap Metawin yang baru sadar akan kondisi tangan kakak tingkatnya itu.

“Aku ambil obatnya dulu ya ka—”

“Nggak usah, Win. Nanti aja,” potong Bright cepat.

“Ih terus makannya gimana? Kak Bright kan susah makan jadinya. . .”

Lah, benar juga ya. Kalau tidak diobati sekarang Bright jadi tidak bisa makan.

Tapi kalau diobati sekarang, kasihan Metawin karena sarapannya terganggu.

“Oh, aku tau!” Ucap Metawin tiba-tiba.

Belum sempat Bright bertanya maksud teman sekamarnya itu, Metawin lebih dulu bergerak cepat.

Ia langsung duduk di samping Bright, menyambar piring milik berandalan itu, lalu secepat kilat mengambil sesendok nasi plus lauk.

Dan setelahnya, ia arahkan sendok itu kepada Bright.

Bright terdiam. Ia hanya mengerjapkan mata sambil melihat Metawin.

“Ayo dibuka mulutnya Kak, aku suapin,” ucapnya. “Tangannya Kak Bright kan masih sakit, jadi mending aku suapin aja, hehe.”

Bright kembali mengerjapkan mata.

Anak ini ya. Benar-benar. Bisa saja melakukan hal-hal ajaib yang selalu sukses membuat Bright ngeblank.

“T-tapi kan, lo juga masih makan. Ntar lo gak keny—”

“Sssh, udah gapapa. Nanti aku habisin semua lauk dan nasinya,” sahut Metawin cepat. “Yang penting sekarang Kak Bright dulu. Udah, ayo, aaaa. . . ayo buka mulutnya!”

Merasa tidak punya pilihan lain, akhirnya Bright pun membuka mulutnya perlahan-lahan.

Seiring kemudian, suapan pertama dari Metawin itu mendarat dengan begitu sempurna di mulutnya.

“Yey! Kak Bright pinter banget!” Ucap Metawin yang tampak begitu girang.

Dengan senyum lebar di wajahnya, yang membuat kedua matanya menyipit bak bulan sabit.

Bright tidak bisa berkata-kata.

Saat ini, hatinya terasa penuh. Penuh akan rasa hangat yang ia dapat dari teman sekamarnya ini.

Sungguh, Bright tidak pernah menyangka jika ia akan melewati momen-momen hangat seperti ini bersama dengan Metawin.

Orang yang dulu sempat ia benci sebab telah mengusik ketenangannya selama tinggal di asrama ini.

Tapi, sepertinya rasa benci itu telah pergi dari hatinya. Lenyap entah kemana.

Saking khidmatnya menikmati sarapan pagi lewat suapan Metawin, Bright sampai tidak sadar kalau isi piringnya sudah habis.

“Waah, Kak Bright pinter banget, makannya habis,” ucap Metawin dengan bangga.

“Nih, ayok suapan terakhir, aaaakk…”

Hap. Suapan terakhir itu akhirnya masuk ke dalam mulut Bright.

Seiring kemudian Metawin langsung bersorak senang karena telah berhasil membantu kakak tingkatnya itu menghabiskan sarapan.

Setelahnya Bright pun segera meminum air.

Ia pandangi Metawin yang masih tersenyum di sampingnya. Seraya berkata, “makasih banyak ya Win.”

“Sama-sama Kak,” sahutnya. “Eh bentar, aku mau ngambil obat dulu yah buat Kak Bright.”

“Win, tunggu dulu,” ucap Bright tiba-tiba.

Metawin kembali menolehkan wajahnya, “kenapa Kak?”

“Kenapa lo baik sama gue? Padahal, selama ini gue udah galak sama lo?” Bukannya menjawab, Metawin justru kembali tersenyum.

Sedetik kemudian, Bright dibuat kaget dengan jawaban dan apa yang Metawin lakukan kepadanya.

Pemuda manis itu tiba-tiba berdiri, menyangga tubuhnya dengan lutut, kemudian menepuk lembut rambut Bright sambil berkata,

“Soalnya aku seneng sama Kak Bright, hehe. . .”

Dan setelah mengatakan itu, Metawin langsung berjalan menuju laci untuk mengambil obat.

Meninggalkan Bright yang mematung ditempatnya. Kaget atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.


Dengan sekuat tenaga, Bright berlari cepat kilat melewati jalanan dan lorong-lorong kampus.

Wajah pemuda itu terlihat panik sekali.

Tubuhnya melesat cepat, membuat seisi kampus menatap bingung ke arahnya.

Tapi berkat usahanya itu, tidak butuh waktu lama bagi Bright untuk tiba di sana.

BRAKK!!

Pintu Klinik itu Bright dorong sekuat tenaga setelah ia sampai di sana.

Ia langsung menatap sekeliling. Mencari tanda-tanda keberadaan Metawin.

Sedetik kemudian, Bright bisa melihat seseorang yang kini tengah berjalan ke arahnya.

“Kak Bright, ya? Saya Khao. Temennya Metawin,” sapa pemuda bertubuh mungil itu kepada Bright.

“Metawin mana?” Todong Bright dengan nafasnya yang masih terengah-engah.

Khao bisa melihat dengan jelas air muka sang berandalan yang kini terlihat sangat panik, “Kak Bright tenang dulu ya, Metawin ga—”

“Metawin dimana?!”

Khao menelan ludah.

Akhirnya ia bisa melihat sendiri betapa seramnya sosok Bright yang terkenal sebagai berandalan itu.

Akhirnya, Khao pun menunjuk ke belakang sana.

Ke tempat yang dibatasi oleh tirai putih.

“Metawin ada di sana, Kak. . .” Tunjuk Khao.

Tanpa basa-basi, Bright langsung melesat ke sana.

Meninggalkan Khao yang masih terheran-heran dengan sosok kakak tingkatnya itu.

Jantung Bright berdebar semakin kencang.

Lantas dengan segenap rasa panik yang ada di dalam dada, Bright tarik tirai putih itu kuat-kuat.

Srakk!

“Metaw—Lah??”

“Loh? Kak Bright? Ngapain di sini?”

“Lah? Kok lo gak pingsan?” Tanya Bright bingung saat melihat Metawin yang terlihat baik-baik saja.

Pemuda itu malah duduk di atas ranjang klinik sambil bermain ponsel.

Tidak ada selang infus, perban, kompres, atau luka sedikitpun di tubuhnya. Metawin benar-benar terlihat seperti orang waras.

Dan hal itu membuat Bright bingung.

“Lo kok duduk sih? Kok gak pingsan?” Tanya Bright lagi.

“Ih Kak Bright kok malah nyuruh pingsan sih,” sahut Metawin, “aku loh nggak apa-apa.”

Wajah Bright langsung terlihat emosi, “lah tadi kenapa temen lo ngechat gue, katanya lo masuk klinik?”

“Yah. . kan bener kak aku di klinik. .” Sahut Metawin bingung.

“Oh iya juga ya jir. . .” Gerutu Bright. “Maksud gue lo kenapa masuk klinik?!”

“Dia gak papa Kak..” Khao, yang baru saja ikut masuk ke bilik Klinik tempat Metawin beristirahat, ikut menanggapi.

“Gak papa gimana? Ini ada apaan sih sebenernya?! Jangan bilang kalau cuma prank?!!” Cecar Bright kepada Khao.

Khao tersenyum kikuk, “beneran kak.. anaknya nggak apa-apa.. tadi dia habis keselek siomay..”

“Hah?! Keselek Siomay?!” Sahut Bright tidak percaya, “jadi. . . lo ngechat gue tuh cuma gara-gara Metawin keselek siomay?!”

“Enggak-enggak. . .” sahut Khao panik.

“Tadi niatnya emang mau kasih kabar Kak Bright.. tapi beneran kok Metawin tadi sempet masuk angin. Terus minta aku kerokin, makanya aku bawa ke sini. Terus abis itu aku beliin siomay, nah anaknya masih pusing, makan nggak fokus, akhirnya keselek deh. . .” Jelas sahabat Metawin itu.

Bright hanya bisa melongo mendengar penjelasan Khao itu.

Sedangkan Metawin tampak kebingungan dengan situasi yang ada di hadapannya saat ini.

Bright lantas menoleh ke arah Metawin. Ia pandangi teman sekamarnya itu sejenak, sebelum akhirnya bertanya, “beneran habis masuk angin?” Tanyanya.

Metawin mengangguk, “iyah. Tadi aku dikerokin sama Khao. Ini buktinya,” jawabnya sambil membalik badan.

Ia lantas menarik kemejanya ke atas.

Menyuguhkan punggung Metawin yang sudah dipenuhi garis-garis merah bekas kerokan.

Dan akhirnya, Bright hanya bisa terdiam.

Sambil sedikit menyesali kelakuannya sendiri yang sudah susah payah membelah kampus hanya untuk melihat punggung bekas kerokan seperti ini.

***

Cklek!

Metawin langsung bangkit dari atas ranjang saat pintu kamar itu terbuka.

Ia langsung berjalan cepat. Hendak menyambut Bright yang baru tiba di sana.

“Kak Bright dari mana aj—a. . . .”

Sapaan Metawin itu seketika pudar setelah ia melihat wajah Bright yang terlihat sangat marah.

Sorot matanya begitu tajam. Ada noda debu yang menghiasi wajahnya. Tidak ada senyuman, hanya rahang tegas bak dinding beton yang tersisa di sana.

Metawin menelan salivanya. Kini ia sadar jika kakak tingkatnya ini sedang marah besar.

“Kak Bright?” Sapa Metawin lagi.

Bright akhirnya mengangkat wajah.

Mempertemukan sepasang mata elang miliknya yang langsung menatap tajam Metawin. Membuat si pemuda manis bergidik ngeri.

“Gue abis berantem.” Jawab sang berandalan itu singkat, padat, dan super dingin.

“Berantem?” Sahut Metawin, “b-berantem sama siapa, Kak? Kak Bright nggapapa ka—”

“Bisa gak gausah banyak nanya?!”

Deg!

Metawin seketika mendelik. Kini, ia merasa takut sekali.

Sambil menunduk, Metawin pun mengangguk lirih. “A-aku permisi dulu, Kak. . .” Pamitnya sebelum berlalu pergi menuju kamar mandi.

Meninggalkan Bright yang kini berjalan menuju balkon kamar. Hendak mencari pelarian agar pikirannya tidak terus-terusan kacau.

***

Sambil mengusap jejak air mata yang sempat membasahi pipinya, Metawin membuka pintu kamar mandi itu perlahan-lahan.

Dan tepat saat pintu itu terbuka, Bright sudah ada di sana.

Berdiri di depan pintu, dengan ekspresi wajah yang sudah berubah. Tidak semenakutkan tadi.

Walau begitu, rasa takut dalam hati Metawin tidak berkurang sedikitpun.

Terlebih saat ini, Bright hanya diam seribu bahasa.

“Kak?. . .” Panggil Metawin ragu-ragu.

Melihat Bright yang masih terdiam, Metawin pun kembali berbicara, “k-katanya tadi udah nggak marah. . .”

“Peluk gue.”

“Hah?!” Sahut Metawin kaget.

Bright lantas mengangkat wajah. Menyuguhkan sorot matanya yang terlihat lelah sekali.

Lantas, sang berandalan itu kembali berbicara, “gue mau tidur dipeluk sama lo. Boleh?”

Metawin menggigit bibir bawahnya, ragu. “B-boleh, Kak. . .” Jawabnya lirih.

Satu helaan nafas panjang terdengar dari mulut Bright. Seiring dengan bahunya yang tampak langsung merosot.

Sesaat setelahnya, Bright langsung meraih tangan Metawin, “ayo tidur sekarang.” Ajaknya

Metawin pun hanya bisa mengangguk.

Dan akhirnya, keduanya pun sama-sama beranjak menuju kasur.

Sama-sama merebahkan diri di sana.

Kemudian, Bright langsung berbalik badan. Diraihnya tubuh Metawin untuk ia bawa ke dalam pelukannya.

Metawin pun melakukan hal yang sama.

Ia peluk tubuh kakak tingkatnya itu erat-erat, sambil menyandarkan wajahnya pada dada bidang milik Bright.

Tidak ada lagi rasa takut dalam hati Metawin.

Yang tersisa hanya tanda tanya besar, mengapa Kak Bright tiba-tiba jadi seperti ini.

Sebab selama ini, Metawin belum pernah melihat Bright menunjukan sikap seperti saat ini.

“Kak. . . Kak Bright gapapa?” Tanya Metawin sambil menengadah.

Dengan kedua mata terpejam, Bright menjawab, “sekarang udah gapapa.” Ucapnya. “Peluk gue yang kenceng ya?” Dalam pelukan Bright itu, Metawin mengangguk.

Ia eratkan pelukannya pada tubuh Bright. Sebelum akhirnya ikut memejamkan mata. Dan sama-sama berlayar menuju alam mimpi.

z

“Eh, Kak Bright udah balik..” sambut Metawin kepada si pemilik kamar yang baru saja tiba di sana.

Bright mengangguk singkat sambil menutup pintu kamarnya.

“Sini sini, Kak. Ayo makan bareng. Udah aku siapin tadi, hehe..” ucap Metawin lagi sambil mengajak Bright untuk duduk bersama di samping kasur.

Karena perutnya yang memang sudah terasa lapar, Bright pun langsung ikut duduk di sana untuk menyantap makan malam.

Bright melirik beberapa hidangan yang sudah tersaji di hadapannya.

Pemuda itu lantas mengambil sendok yang Metawin siapkan, lalu mulai menyantap hidangan itu satu per satu.

Bright menikmati makanan itu dengan tenang. Merasakan betapa lezat setiap gigitan udang balado yang kini sedang berada di dalam mulutnya.

Namun di sela momen makan malamnya itu, Bright sedikit merasa terganggu.

Sebab sejak tadi, Metawin terus saja menatap ke padanya sambil tersenyum.

Dan jujur, hal itu membuat Bright menjadi tidak merasa tenang saat menyantap makanan ini.

“Eh lo kenapa sih kok senyum-senyum begitu?” Tanya Bright sambil meletakkan sendoknya.

Metawin buru-buru menelan makanan di dalam mulutnya. Lantas menjawab pertanyaan Bright. “Hehe nggak apa-apa, Kak. Seneng aja gitu bisa makan bareng sama Kak Bright. . .”

Bright menelan salivanya.

Pemuda itu sedikit kaget dengan jawaban yang Metawin beri kepadanya.

Belum lagi, Bright bisa melihat dengan jelas betapa tulus ucapan Metawin dari raut wajahnya itu.

“Jangan senyum-senyum mulu. Lanjutin makannya dulu. Ntar keselek,” sahut Bright sambil memalingkan wajah.

“Dah sana lanjut makan.” Titah pemuda itu yang disambut anggukan oleh Metawin.

Makan malam itu pun kembali berlanjut.

Namun kondisinya masih sama.

Bright yang masih fokus menikmati seporsi nasi dengan lauk udang balado sambil terus melirik ke arah Metawin yang masih saja senyum-senyum sendiri.

Awalnya, Bright merasa jengah dengan tingkah roommatenya itu.

Bukannya fokus menikmati makanan, malah senyum-senyum dari tadi. Kan aneh.

Tapi, lama-kelamaan, Bright justru terus melihat tingkah Metawin itu.

Diam-diam, senyum Metawin itu menjadi sebuah candu yang membuat Bright enggan untuk melepas pandangannya barang sedetik dari sana.

Alhasil, sejak terakhir kali ia menegur Metawin, ia justru terus melihat pemuda manis itu.

Belum lagi wajah Metawin yang terlihat sangat lucu saat makan, membuat Bright semakin sigap untuk mencuri pandang ke sana.

Kedua pipinya yang menggembung karena makanan di dalamnya.

Sepasang matanya yang berubah bagai bulan sabit di angkasa.

Serta rona merah di wajahnya yang timbul sebagai efek kunyah-kunyah telan yang dilakukan oleh Metawin.

Sungguh, apa yang terlihat di hadapan Bright saat ini selayaknya pemandangan paling memukau sekaligus menggemaskan yang belum pernah Bright lihat sebelumnya.

Lucu banget anjir kayak mochi, gumam Bright dalam hati.

“Kak Bright?”

“Kak Bright?!”

“KAKAK!!”

“Eh anjir! Eh—iya, k-kenapa Win? Ada apa?” Sahut Bright yang baru saja tersentak karena suara Metawin yang begitu kencang.

Metawin menatap bingung ke arah sang berandalan itu, “kak Bright dari tadi ngelamun terus, kenapa Kak?” Tanyanya.

“Oh, nggak papa kok. Biasa lagi ngelamun doang.” Sahutnya kikuk. “Kenapa lo manggil gue?”

Metawin meletakkan sendoknya, “itu.. aku mau tanya..”

“Tanya apaan?” Sahut Bright.

Metawin menggigit bibir bawahnya. Pemuda manis itu melirik ke arah sebungkus rokok yang ada di atas nakas. Lantas kembali menatap wajah Bright.

“Kak Bright, ngerokok yah?”

Bright terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk, “iya. Kenapa emangnya?” Sahutnya.

Kini giliran Metawin yang terdiam setelah mengetahui jawaban Bright yang terdengar begitu yakin.

Bright menghela nafas, “kenapa? Lo gak bisa hirup asap rokok?” Tebak pemuda itu.

Metawin mengangkat wajahnya malu-malu. Sebelum akhirnya mengangguk lirih.

“Kenapa gak bisa? Lo punya astma?”

Metawin menggeleng lagi.

“Terus kenapa kok gak bisa?”

Pemuda manis itu menatap wajah Bright lekat-lekat.

“Nggak tau.. nggak bisa aja, Kak. Soalnya selalu batuk kalo hirup asap rokok,” jawabnya.

Bright terdengar menghela nafas.

Sang berandalan itu membuang muka sebelum akhirnya kembali menatap wajah Metawin.

“Dah gausah khawatir. Gue gak bakal ngerokok di kamar kok.” Ucap Bright.

Sebuah senyuman langsung merekah di wajah manis Metawin.

Pemuda manis itu terlihat sangat senang dengan apa yang baru saja Bright sampaikan kepadanya.

“Makasih ya Kak...” ucap Metawin sambil tersenyum.

Bright balas ucapan Metawin itu dengan sebuah anggukan singkat.

“Eh, Kak Bright mau mandi sekarang kah?” Tanya Metawin.

“Belum. Masih belum beres makan. Lo aja duluan,” jawab Bright.

“Oke, kalo gitu aku mandi duluan ya kak,” pamit Metawin.

Pemuda manis itu lantas buru-buru membereskan bekas makan malamnya untuk bersiap mandi.

Meninggalkan Bright yang masih asik menikmati menu makan malamnya yang masih belum habis.

Suasana kamar 215 itu jadi tidak enak sekali saat Bright kembali ke sana.

Bukan karena hal serius, melainkan karena Bright yang merasa malu sekali untuk kembali ke sana.

Si Joni sudah berhasil teratasi. Sehingga pemuda itu pun memutuskan untuk kembali.

Yaa, walaupun rasa malu masih menghantui hati dan pikirannya.

Dan disini lah dia sekarang.

Mondar-mandir di dalam kamarnya sendiri. Berteman resah dan cemas.

Disaksikan oleh Metawin yang kini menatap bingung ke arah sang pemilik kamar itu.

“Kak Bright?” Panggil Metawin yang membuat Bright menghentikan langkah.

“Mana odolnya? Tadi katanya mau beli odol?” Tanyanya.

Ck. Masih inget aja nih bocah, sahut Bright di dalam hati.

“Gak jadi beli. Nggak bisa pake e-wallet ternyata.” Jawab Bright sambil berkacak pinggang.

“Tuhkan apa aku bilang.. lagian dompetnya nggak dibawa sih..” sahut Metawin. “Eh tapi Kak, tadi aku cek odolnya Kak Bright masih ada tuh.. masih banyak juga. Terus beli lagi buat apa?”

Nah loh, mau jawab apa Bright?

“Yaa beli aja, b-buat cadangan,” jawab Bright dengan cukup ngegas.

“Lagian kenapa sih lo nanya-nanya? Urusan gue kali mau beli odol apa enggak.” Nah kan, malah sewot.

Metawin menghela nafas, “iya-iya maaf.. habisnya aku penasaran aja. Soalnya Kak Bright tuh buru-buru pergi banget. Kayak habis lihat penampakan..” sahut Metawin.

Iya emang... elu penampakannya Metawinnnn, gerutu Bright di dalam hati.

“Udah ah jangan dibahas lagi,” ucap Bright yang dibalas anggukan oleh Metawin.

Pemuda itu melirik jam yang menempel di dinding kamarnya itu, “udah malem nih. Lo nggak tidur?” Tanyanya pada Metawin.

“Iya.. ini tadi udah mau tidur..” jawab Metawin.

“Lah kenapa belum tidur?”

“Nungguin Kak Bright balik. . .”

Untuk beberapa saat, Bright terhenyak.

Sedikit kaget dengan apa yang baru saja Metawin katakan.

Namun pemuda itu buru-buru menggeleng, “dih, ngapain sih pake nungguin gue. Kalo ngantuk ya tidur aja.” Sahutnya.

“Udah sana tidur. Udah ngantuk banget tuh mata lo.” Titahnya sambil menunjuk area mata Metawin yang terlihat lelah.

Merasa jika memang tubuhnya sudah terasa lelah, Metawin pun mengangguk.

“Ya udah kalo gitu aku tidur duluan ya, Kak?” Pamitnya.

“Hmm. Tidur aja sana.”

“Kak Bright nggak tidur juga?”

“Nanti,” sahut Bright. “Gue masih belum ngantuk. Ntar malah gak bisa tidur kalo dipaksa.” Jawabnya.

Dan setelahnya, Metawin pun bergegas merebahkan diri di atas kasur.

Sementara Bright mengambil sesuatu dari dalam laci lalu berjalan menuju arah balkon.

“Kak Bright,” panggil Metawin yang membuat Bright menahan langkah.

“Apa?”

Metawin terdiam sejenak sebelum akhirnya mengarahkan telunjuknya ke arah celana yang Bright kenakan.

“Itu. . . Kok Celananya Kak Bright basah?”

Bright seketika mendelik.

Pemuda itu buru-buru melihat ke arah celananya.

Dan, Ya. Benar sekali.

Saking gugup dan paniknya Bright tadi, ia sampai tidak sadar jika si Joni sudah meninggalkan jejak di celana yang ia pakai.

Dan jejak yang ditinggalkan oleh Joni itu terlihat jelas sekali.

Jadi wajar saja jika Metawin bisa melihatnya dari jarak cukup jauh.

Brengseeeek, umpat Bright frustasi.

“Kak? Kak Bright habis kecipratan air yah?” Tebak Metawin yang tidak kunjung mendapat jawaban.

“Iya. Tadi kecipratan motor.” Sahut Bright singkat sambil menahan rasa malunya yang luar biasa.

“Oh.. tapi kak Bright gapap—”

“Tidur, Metawin. Jangan banyak nanya.” Potong Bright.

Metawin mendengus, “iya-iya. Aku tidur.” Sahutnya terdengar kesal. “Selamat tidur Kak Bright.”

“Hm. Selamat tidur.” Balas Bright sambil berjalan cepat ke balkon.

Setelah momen sebats enjoynya harus tertunda karena Metawin yang merasa tidak nyaman, Bright pun memutuskan untuk mandi saja.

Sebab rasanya, tidak ada hal lain yang bisa pemuda itu lakukan malam ini.

Jadi lebih baik dirinya mandi, sekaligus membersihkan jejak si Joni, lalu bergegas tidur.

Toh hari esok masih banyak hal yang perlu Bright lakukan. Seperti nongkrong contohnya.

Setelah berganti baju dan menutup pintu balkon, Bright pun ikut berbaring di atas kasur.

Ia menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Metawin.

Pemuda itu mengambil posisi terlentang. Menatap langit-langit kamar.

Berbeda dengan Metawin yang menghadap ke arah balkon.

Sehingga tubuhnya otomatis memunggungi Bright yang sudah ada di sampingnya.

Sedetik kemudian, Bright pun menolehkan wajah.

Mengarahkan sepasang mata elangnya untuk menatap punggung Metawin yang terlihat naik turun.

Tidak ada dengkuran.

Metawin seakan tidur dalam ketenangan yang hakiki.

Dan entah bagaimana ceritanya, kini Bright sudah ikut membalikkan badan. Membuat tubuhnya satu arah dengan Metawin.

Berteman temaram lampu yang ada di dalam kamar 215 itu, kini Bright meletakkan atensinya secara penuh untuk menatap Metawin.

Dari posisinya itu, Bright bisa membayangkan bagaimana ekspresi teman sekamarnya itu saat sedang tertidur.

Dan anehnya, membayangkan hal sepele seperti itu saja membuat sebuah senyum tipis merekah di wajah tampannya.

Sebab wajah Metawin sudah muncul sendiri dalam benak Bright.

“Lo tuh aneh banget tau gak,” monolog Bright lirih. Lirih sekali.

“Belom dua hari lo tinggal di sini, adaa aja hal-hal ajaib yang nimpa gue.”

Bright tertawa lirih, “Lo tuh punya jurus apa sih kok gue mau-mauan nerima lo di sini? Pelet dari mana? Dapet di gunung mana?” Oceh pemuda tampan itu.

Ia lantas kembali tertawa. Menertawakan dirinya sendiri yang sudah konyol karena mengajak ngobrol orang yang sedang tidur.

Bright lipat lengan kanannya, lalu ia gunakan sebagai bantal.

Sepertinya pemuda itu benar-benar menikmati momen memandangi Metawin yang sedang tidur ini.

Padahal kan Metawin membelakanginya, tapi Bright justru tampak sangat antusias.

Sambil memandangi rambut hitam berkilau milik Metawin, Bright pun kembali berceloteh, “Metawin.. Metawin.. lo tuh lucu banget sih,” ucapnya sambil terus senyum-senyum sendiri.

Saat sedang asyik menikmati indah cipta karya Tuhan yang kini sedang memunggunginya itu, Bright dibuat kaget.

Sebab sang objek pemandangannya itu tiba-tiba bergerak.

Dan yang membuat Bright semakin terhenyak adalah posisi Metawin yang saat ini sudah menghadap ke arahnya.

Kini, Bright dan Metawin saling menghadap satu sama lain.

Dengan Metawin yang masih terpejam, serta Bright yang sedikit mendelik karena kaget.

Bright sontak menahan nafas.

Sebab posisi wajahnya dengan Metawin berada begitu dekat.

Dari posisi seperti ini, Bright bisa melihat dengan jelas proporsi wajah manis milik Metawin itu.

Dan hal itu membuat Bright sukses menelan salivanya.

Wajah itu masih sama bersihnya, masih sama indahnya, masih sama menawannya, seperti saat pertama kali Bright melihatnya kemarin.

Membuat berandalan itu tak berkedip sedikitpun.

Dan pada saat inilah, Bright menyadari bahwa ia sudah hilang kendali atas tubuhnya sendiri.

Bagaimana tidak, tiba-tiba saja, tangan kirinya terangkat.

Lantas, tangan itu mendarat dengan sangat lembut di rambut hitam milik Metawin.

Tidak sampai di situ saja, Bright pun tiba-tiba mengusap lembut sisi wajah pemuda manis itu.

Sembari berkata dalam hati,

Lo cakep banget, Win. . .

Bright sudah tidak perduli dengan hatinya yang berdebar begitu kencang.

Saat ini, yang ia perdulikan hanya Metawin, serta pesona pemuda manis itu yang sudah berhasil mengusik nuraninya.

Bright terus memberi usapan lembut pada sisi wajah Metawin.

Seiring secara perlahan, Bright pun mendekatkan wajahnya ke arah teman sekamarnya itu.

Hingga jarak yang tersisa di antara mereka tidak lebih dari satu kepalan tangan.

Bright bisa merasakan hangat nafas Metawin yang masih terlelap itu.

Kini, pandangannya telah beralih.

Tidak lagi fokus pada wajahnya yang masih dibuai damai.

Namun sudah berpindah ke arah bibir sintal dengan rona merah yang ada di wajah manis itu.

Bright pandangi lekat-lekat benda kenyal nan merona itu. Seiring ia menelan salivanya susah payah.

Dan entah kenapa, ada desir aneh yang seakan mendorongnya untuk semakin mendekat ke sana.

Dan sepertinya, Bright benar-benar sudah hilang akal.

Sebab pemuda itu menuruti desir aneh yang ada dalam hatinya.

Ia pangkas sisa jarak yang masih membentang diantaranya dan Metawin.

Memajukan wajahnya ke milik yang lebih muda.

Hanya tinggal sejengkal lagi sebelum Bright bisa merasakan benda kenyal itu di wajahnya.

Tapi kemudian, sang berandalan itu tersadar.

Ia menahan tubuhnya.

Nafasnya tercekat saat ia menyadari betapa dekat posisinya dengan wajah Metawin saat ini.

Anjir Bright lo ngapain sih. . . Gumamnya di dalam hati.

Pemuda tampan itu pun menggeleng ribut, sebelum akhirnya mundur untuk kembali ke posisinya yang semula.

Bright memejamkan mata. Merutuki betapa bodoh tingkahnya saat ini.

Hampir saja. Hampir saja Bright melewati batas.

Bright pun bergegas membalik badan.

Ia sengaja memunggungi Metawin agar bayang-bayang wajah teman sekamarnya itu tidak lagi menghantui dan merenggut akal sehatnya.

Walau masih terus terbayang akan kejadian yang hampir saja terjadi kepadanya, Bright pun memutuskan untuk tidur saja.

Sang Berandalan kampus itu pun memejamkan mata.

Memaksa agar kesadarannya lekas hilang dan berlalu ke alam mimpi.

Di sela usahanya untuk tidur, Bright menyadari sesuatu,

Bahwa saat ini, Metawin adalah satu-satunya hal yang sukses menghantui hati dan pikirannya.

Bahwa saat ini, perhatiannya telah berpusat pada satu orang, yakni Metawin.

Bahwa saat ini, sang Berandalan itu telah jatuh.

Jatuh sedalam-dalamnya pada telaga cinta yang dibangun oleh sosok manis, teman sekamarnya, yang tidak lain tidak bukan adalah Metawin.

“Guns,”

“Apa? Udah gak kesurupan lagi lo? Udah sembuh?”

“Gue gak kesurupan anjir!” Sahut Bright sambil menoyor kepala sahabatnya itu.

Guns tertawa, “lagian muka lo kayak kesambet setan warkop,” balasnya. “Kenape lo manggil gue?”

“Ntar malem, gue boleh tidur di kosan lo gak?”

Guns mendelik seketika, “hah? Nginep?? Gak Gak! Gak Bisa!” tolaknya.

“Ah elah Guns, semalem doang, besok juga udah balik kok. Boleh ya? Plis..” pinta Bright melas.

Tapi Guns lagi-lagi menggeleng. “Gak. Sorry. Kosan gue bukan lossmen. Gak bisa sembarangan nerima orang.” Jawabnya ketus.

“Lagian kenapa sih pake nginep? Orang punya kamar sendiri. Bagus pula. Aneh.”

“Gue lagi malu Guns. . .”

“Ah elah, punya malu emang lo? Berandalan kok punya malu. Tjih.” Ejek sahabatnya itu.

“Anjing gak usah pake ngeledek juga lo, brengsek,” sahut Bright tidak terima.

“Ayodong Guns, malem ini doang.. gak lebih..” pintanya lagi.

“Gak Bisa.” Jawab Guns.

“Pokoknya gue gak bakal nerima lo di kosan gue. Kosan gue sempit. Sumpek. Dah gue mau kelas dulu.” Ujarnya sambil buru-buru pergi meninggalkan Bright.

“Woy Guns! Guns! Ah elah sianjir punya sahabat kayak tai semua brengseeeek!” Omel Bright seorang diri sambil memukul meja warkop.

Setelah serangkaian drama yang Bright lewati di hari ini, akhirnya pria itu sudah tiba di kamarnya.

Di sana, ia disambut oleh Metawin yang sedang berbaring sambil asyik menonton film dari laptopnya.

“Nonton apaan sih lo? Fokus banget kayaknya,” ucap Bright sambil meletakkan sekantong makanan di atas nakas.

Metawin lantas mendongak, “eh Kak Bright udah balik..” sapanya, “ini lohh aku lagi nonton film horror.” Jawabnya.

“Gak jelas banget nonton film horor,” cibir Bright lirih. “Lo gak makan? Nih lauknya udah ada,”

Metawin menggeleng singkat, “nanti aja kak, nanggung.” Katanya.

Maka akhirnya Bright pun meninggalkan makanan itu di atas nakas.

Pemuda itu pun berjalan ke arah kasur lalu ikut membaringkan tubuhnya di samping Metawin.

Sambil sesekali melirik tayangan film horor di laptop milik Metawin.

Kamar itu hening. Tidak ada obrolan yang terjalin di antara mereka berdua.

Metawin masih sibuk menikmati film horor di laptopnya.

Sementara Bright sedang asyik bermain game online di ponselnya.

Sesekali, Bright melirik ke samping.

Melihat bagaimana Metawin menutupi wajahnya sendiri dengan selimut manakala adegan di film horor itu sedang intens.

Kadang Bright dibuat geleng-geleng kepala saat Metawin berjengit kaget karena jumpscare di film itu.

Diam-diam, si berandalan itu menertawakan Metawin dalam hati.

Aneh banget. Udah sadar kalau takut malah terus ditonton. Kata Bright dalam hati.

Namun, keheningan di kamar itu seketika sirna saat sebuah gambar menyeramkan muncul di layar laptop milik Metawin.

Melihat wujud menakutkan dari film horor di laptopnya itu, membuat Metawin berteriak.

“HUWA! ASTAGA SEREM BANGET!” Pekiknya dengan kencang.

Disusul tubuhnya yang reflek langsung memeluk Bright di sampingnya.

Sedangkan Bright pun dibuat mendelik saat Metawin merangkul tubuhnya.

Ia kaget, shock bukan main. Sebab pelukan itu ternyata


Setelah serentetan drama yang Bright alami hari ini, pemuda itu akhirnya tiba di kamarnya sendiri.

Di sana, ia disambut oleh Metawin yang sedang sibuk bergelung di atas kasur sambil menonton film di laptopnya.

Dengan sisa rasa malu yang masih tersimpan di dalam dada, Bright meletakkan sekantong lauk miliknya dan Metawin di atas nakas.

“Eh, Kak Bright udah dateng,” sapa Metawin yang membuat Bright sedikit berjengit.

Bright mengangguk kikuk. “Nih. Lauk lo. Makan gih, keburu dingin,” ucapnya.

“Nanti aja kak, nanggung. Filmnya udah mau selesai,” sahut Metawin.

Bright menghela nafas. Melihat Metawin yang tampak tidak memikirkan apapun membuatnya semakin salah tingkah.

Maka akhirnya Bright pun berkata, “yaudah kalo gitu. Lauknya di sini. Gue mau mandi dulu.” Pamitnya.

Metawin mengangkat wajah. Tersenyum sejenak kepada Bright, “okay Kak,” jawabnya sambil membuat gestur oke kepada Bright.

Dan setelahnya, Bright pun buru-buru mengambil handuk serta pakaian ganti dari almari sebelum akhirnya melesat cepat ke kamar mandi.

***

Bright kira, Mandi bisa menghilangkan rasa malu serta bayang-bayang kejadian kemarin malam dari pikirannya.

Tapi ternyata tidak.

Di bawah guyuran shower, ingatan Bright soal kejadian semalam justru semakin jelas saja.

Bayang-bayang wajah damai Metawin saat tidur, bibir sintal miliknya, seolah terpampang dengan begitu jelas di benaknya.

“Anjrit lah gue mikir apaan sih..” gerutu Bright seorang diri sambil menggosok rambutnya yang kini dipenuhi busa shampo.

Namun semakin Bright berusaha mengelak, bayang-bayang itu justru terasa makin jelas saja.

Sebenarnya kalau cuma terbayang sih tidak masalah, ya.

Yang jadi masalah itu, Bright selalu merasakan sensasi aneh setiap kali teringat dengan wajah Metawin.

Tubuhnya seperti dialiri listrik tegangan kecil. Semriwing.

Apalagi saat membayangkan bibir sintal itu.. Fyuh, rasanya tubuh Bright bisa melayang ke udara.

“Anjrit! Stop mikir yang enggak-enggak!” Monolog Bright sambil membuka mata.

Sang berandalan itu lantas menengok ke bawah, “Joni! Gak usah macem-macem lo! Diem gak?!” Hardiknya pada si Joni.

Lucu ya. Padahal sedang mandi, tapi Bright malah terlihat seperti orang gila yang berbicara sendiri.

***

Setelah usai membilas bersih busa shampo yang menutupi kepalanya, Bright beralih mengambil sabun untuk membersihkan badannya.

Baru saja ia menuangkan sabun cair itu ke telapak tangannya, tiba-tiba. . .

Cklek!

“Kak Bright!”

“ANJING METAWIN NGAPAIN LO MASUK KE SINI?!”

“ADUH YA AMPUN MAAF KAK AKU GAK TAU KALO KAK BRIGHT BELUM SELESAI MANDI!”

Dengan santainya, Metawin membuka pintu kamar mandi itu.

Padahal Bright masih dalam posisi telanjang bulat. Tanpa ada sekat sedikitpun untuk menutupi tubuhnya.

“LO NG-NGAPAIN BUKA PINTU HEH?! GUE MASIH MANDI!” Teriak Bright sambil berusaha menutupi Joni dengan tangannya.

Sedangkan Metawin langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan, “IH MAAF KAK AKU GAK TAU KALO MASIH BELUM SELESAI.. HABIS KAK BRIGHT LAMA BANGET MANDINYA..” Ucapnya tak kalah panik.

“Lo mau ngapain hah?!”

“Itu.. hpnya Kak Bright tadi bunyi terus, ada telfon masuk, aku nggak berani ngangkat.. makanya aku samperin kak Bright,” ucap Metawin sambil terus menutupi wajahnya.

Bright berdecak, “ya kan lo bisa ngetuk pintu dulu.. astaga..” sahutnya. “EH ANJIR JANGAN NGINTIP LO!” Teriaknya saat melihat salah satu jari Metawin terbuka.

“NGGAK NGINTIP IH! Aku cuma lihat doang..”

“SAMA AJA ANJIR! KELUAR LO!” Usir Bright.

“Iya-iyaa aku keluar kok, jangan marah ih!” Sahut Metawin sebal.

Sebelum akhirnya pemuda itu berjalan cepat meninggalkan pintu kamar mandi yang masih terbuka.

“Wey, Metawin! Tutup pintunya Wey! Brengsek malah dibiarin ngebuka!”

Akhirnya Bright pun berjalan mengendap-endap untuk menutup pintu.

Dan setelah pintu itu tertutup, Bright pun menyandarkan kepalanya pada dinding kamar mandi.

Wajahnya terlihat shock sekali. Sebab baru kali ini ia mengalami kejadian super konyol seperti ini.


strangers into lovers, travelling, romance, fluff 1000% with happy ending.


Kita memang tidak pernah tau apa yang kita rindukan sampai sesuatu itu tiba di depan mata. Kita tak pernah menyadari ketidaklengkapan hingga bersua dengan kepingan diri yang sempat terjebak dalam distorsi ruang dan waktu.

Dan kini, Metawin mempercayai hal itu.

Baginya, pertemuan tak ubahnya sebuah sanksi yang terpaksa kita lalui tanpa tahu kesalahan apa yang telah kita perbuat. Manis, indah, namun membawa luka di setiap akhirnya. Namun bagaimana jika pertemuan itu justru membawa jawaban atas pencariannya


Orang bilang, bepergian menjadi salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk melepas penat yang melanda. Atau sekadar menghibur akal yang mungkin kalut tidak karuan.

Tapi bagaimana jika pergi menjadi sebuah cara untuk mengasingkan diri?

Mungkin itulah prinsip yang dipegang teguh oleh Metawin.

Seorang pelancong, tidak, lebih tepatnya seorang backpacker yang rela terbang jauh ke sisi lain bumi ini hanya untuk mencari tempat dimana ia bisa mengasingkan diri dari segala hal yang menjadi beban di bahunya.

Bagi Metawin, hidup adalah perjalanan.

Dan karena itu, backpacker menjadi jalan keluar yang akhirnya menjadi pilihannya.

Berbekal insting yang ia sendiri rasa tidak terlalu kuat, peta digital yang terpasang di ponselnya, serta sejumlah uang yang ia kumpulkan hasil kerja kerasnya sendiri, Metawin memutuskan pergi.

Meninggalkan rumahnya untuk mencari sebuah jawaban atas resah yang belakangan kerap mengusiknya.

Apa semua itu mudah? Tentu tidak.

Menjadi backpacker tak ubahnya mempertaruhkan diri sendiri pada dunia.

Tak ada jaminan pasti yang bisa menyelamatkan kita, kecuali diri sendiri pada akhirnya.

Dan Metawin berani mengambil langkah itu.

Lewat internet dan jejaring sosial, Metawin mengurus segala keperluan yang ia butuhkan seorang diri.

Hingga akhirnya setelah melalui berbagai proses yang memuakkan, Metawin mampu menggenggam visa dan paspor sebagai syarat utama agar rencana pelariannya mampu berjalan dengan lancar.

Ada banyak hal baru yang Metawin dapat dari perjalanan kesendiriannya itu. Berbagai hal menakjubkan ia temui seiring kakinya melangkah.

Ada yang membuatnya terpana kagum, ada yang membuat nyalinya menciut, ada yang membuat air matanya luruh tak terbendung, bahkan ada yang membuatnya terheran-heran.

Walau demikian, Metawin justru merasa bahagia. Sebab dengan memilih pergi seperti ini, ia jadi belajar dari hal-hal baru yang ditemuinya sepanjang perjalanan.

Menjadi seorang backpacker ternyata juga sukses memperbaiki kualitas dirinya.

Dari berbagai tempat yang telah ia kunjungi, Metawin mengamati banyak hal. Pandangannya tentang sesuatu pun turut berubah.

Metawin kini menyadari, tak semua hal bisa sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Dan Melalui perjalanan panjang ini pula, Metawin bertemu dengan sesuatu yang menjadi hal yang paling berkesan dalam hidupnya.

Semua bermula dari keputusannya untuk mengunjungi Istanbul pada bulan November tahun lalu.

Di sana, saat sedang asyik menyantap kestanye ditemani aroma khas kacang bakar serta hembus angin musim dingin, Metawin bertemu dengan seseorang yang sukses merubah hidupnya.

Di bawah sorot lampu jalanan, tepat saat ia bersandar pada pagar pembatas, menatap ke arah selat Bosporus yang penuh dengan lalu-lalang kapal ferry, seorang pria datang menghampirinya.

Pria yang ternyata pernah singgah dalam hidupnya, walau hanya satu detik saja, yang tidak begitu Metawin sadari.

Saat itu, pertemuan mereka dihiasi rasa canggung dan bingung yang luar biasa. Namun setelah pria itu mengenalkan diri, kilas balik dari memori masa lalu yang tersimpan dalam ingatannya kembali.

Membawa secercah pandangan tentang siapa pria itu. Yang ternyata adalah orang yang sama dengan orang yang pernah mengunjungi Bioluminescent Bay, La Parguera, Amerika Selatan, lima tahun silam.

Seorang Pria yang dulu maupun sekarang sukses mencuri perhatiannya. Seorang Pria tampan dengan kamera analog yang selalu menggantung di lehernya. Seorang Fotografer alam, yang kini merupakan kekasihnya, Bright Vachirawit.


Tak terhitung berapa banyak roll film yang ia habiskan dalam tur vakansi yang ia buat seorang diri.

Mengunjungi berbagai tempat asing yang tak banyak didatangi orang, hanya untuk mengambil berbagai lanskap unik sebagai koleksinya sendiri.

Mulai dari memotret gerombolan serigala gunung sambil mempertaruhkan nyawanya dengan bersembunyi di balik gundukan es di Islandia, membenamkan diri ke dalam kubangan lumpur demi mendapat potret terbaik seekor singa jantan di Uganda, atau bahkan berkamuflase dengan ranting pohon demi memperoleh suasana terbaik saat sepasang Burung Rangkong berparuh emas yang begitu langka duduk bersisian di ujung dahan pohon di pedalaman hutan Chiang Rai, Thailand.

Bagi kebanyakan orang, apa yang dilakukan oleh Bright itu tak ada artinya.

Terlebih jika harus melakukan segala hal berat seperti itu tanpa ada kompensasi dan jaminan dari pihak manapun.

Namun bagi Bright, memotret menjadi panggilan alam yang harus ia penuhi.

Siapa sangka, lewat hobi fotografinya ini, Bright dibawa oleh semesta untuk menempuh perjalanan panjang dengan hadiah nyata di garis finishnya.

Lima tahun lalu, saat ia sedang menikmati indahnya malam di Bioluminescent Bay, La Parguera, kota kecil di bagian barat Puerto Rico, ia dipertemukan secara tak sengaja oleh seorang Pria, yang berhasil mencuri tempat di dalam roll filmnya.

Menggeser posisi flora dan fauna yang selama ini menjadi daftar utama pengisi bingkai potret miliknya.

Saat itu, Bright tak sengaja membidik ke sembarang arah, hendak mengambil sirkus plankton di tepian pantai yang menghasilkan nyala biru neon yang begitu indah. Namun tak disangka, sosok seorang pria turut terambil ke dalam jepretan kamera analognya.

Bright yang awalnya acuh, seketika terpana setelah melihat hasil foto yang ia ambil malam itu.

Ia pun memutuskan kembali menuju bibir pantai pada malam berikutnya, berharap agar bisa bertemu pria itu lagi.

Dan benar saja, pria itu ada di sana.

Sedang asik bermain riak air yang menyala-nyala. Yang rupanya membuat Bright jatuh semakin dalam pada pesonanya.

Namun pada saat itu, Bright tak berani berbuat lebih. Terlebih ia tahu bahwa pria itu berasal dari grup pelancong yang sama dengannya. Yang ternyata membuka fakta bahwa ia pun berasal dari tempat yang sama dengan Bright.

Barulah, lima tahun berikutnya, Bright berani melangkah.

Di tengah deru angin musim dingin yang merengkuh kota Istanbul, Bright dipertemukan kembali dengan pria itu.

Segalanya masih sama. Parasnya yang rupawan, senyumnya yang menawan, serta kilatan matanya yang berkilauan, masih sukses mencuri perhatiannya.

Dan pada saat itu, setelah mengamati sosok itu dalam diam selama lima tahun, Bright memberanikan diri untuk membuka percakapan. Yang ternyata membawa mereka berdua dalam sebuah jalinan cinta yang tak pernah mereka duga sebelumnya.

Sosok pria bernama Win Metawin itu akhirnya jatuh ke dalam hati Bright. Begitupun sebaliknya.

Mereka berdua tidak menyangkal, tidak pula menolak. Sebab rasa yang tumbuh dalam hati masing-masing pun sudah sama besarnya.

Berawal dari percakapan singkat di samping kedai kastanye, rasa itu akhirnya terungkap.

“Aku kok merasa kalo Kak Bright sering ngikutin aku ya?” tanya Metawin sambil melahap sedikit demi sedikit kastanye hangat di tangannya.

“Ngikutin gimana maksudnya?”

“Ya.. ngikutin aja. Waktu aku jalan-jalan di Beatles Story, kak Bright kayak ada di sana. Terus waktu aku main di Arc de Triomphe, aku lihat orang main musik yang kelihatan mirip banget sama kakak,”

Bright pun membalas ucapan Metawin dengan sebuah gelak tawa.

“Kok malah ketawa?” sahut Metawin tidak terima.

Dengan seulas senyum, Bright menjawab, “kalo ternyata itu emang aku, gimana?”

“Hah? Maksudnya?!”

Bright pun berpaling menghadap Metawin. Pria itu melipat kedua tangannya di depan dada. Dan sambil menyuguhkan senyum tampan miliknya itu, ia pun menjawab, “iya, selama ini kakak ngikutin kamu, dan yang kamu lihat itu emang aku.”

Dari percakapan itulah, benih kasih sayang yang memang sudah bersemai dalam hati keduanya, akhirnya merekah.

Menjadikan keduanya bersatu dalam sebuah jalinan cinta. Mereka pun menyatukan visi. Sama-sama berbagi kisah satu sama lain, hingga akhirnya memutuskan untuk bertualang bersama. Menjelajah bagian lain dunia ini demi menemukan jawaban atas pencarian masing-masing.


Kyle of Lochalsh – Skotlandia

Bertemu dan menjalin kasih dengan Bright ternyata membuat Metawin seolah bertemu dengan apa yang ia cari.

Perjalanan panjang yang ia lalui seorang diri, rupanya bermuara pada seorang Bright Vachirawit.

Dan setelah pertemuan itu, Metawin memutuskan untuk menghentikan pencariannya. Ia telah merangkai cita-cita baru bersama sang kekasih, menikmati waktu bersama, menjelajah tempat baru bersama.

Begitupun dengan Bright. Pria itu memilih mengikuti langkah Metawin, sambil terus membiarkan alam untuk memberinya potret-potret indah sebagai koleksinya.

Usai melepas penat setelah perjalanan panjang dari Austria ke Edinburgh, kini keduanya sudah berada dalam sebuah mini bus, bergabung dengan sekelompok pelancong yang kebetulan sedang menuju ke tempat yang sama dengan mereka.

Berawal dari transaksi identitas singkat yang terjadi di pintu keluar bandara, Bright dan Metawin mendapat teman baru dalam perjalanan itu. Dan sekarang, kendaraan yang mereka naiki sedang meniti jalan.

Menembus batas-batas kota untuk menuju Kyle of Lochalsh.

Mendatangi pertemuan tiga danau besar, tempat di mana harta karun yang mereka cari berada.

Perjalanan yang mereka lalui, tidaklah singkat.

Sudah hampir dua jam mereka duduk manis di kursi penumpang. Saling berbagi obrolan sambil sesekali melirik keluar jendela. Melihat pemandangan yang ada di luar sana.

Untuk paruh pertama perjalanan mereka, apa yang terlihat masih sama seperti sebelumnya. Deretan gedung-gedung tinggi, jajaran rumah penduduk, serta orang-orang yang hilir-mudik menuju tujuannya masing-masing.

Namun, di waktu-waktu berikutnya, semuanya berubah menjadi menakjubkan.

“Kak! Kak! Lihat deh!” Seru Metawin antusias.

Bright yang sedang sibuk mengecek ponselnya, langsung menoleh ke arah Metawin, “kenapa hmm?”

“Tuh, lihat, bagus banget!”

Bright lantas mengikuti telunjuk Metawin.

Oh Tuhan.. Bright seketika dibuat terperangah oleh apa yang tersaji di hadapannya.

Jajaran gedung pencakar langit telah berubah menjadi barisan pepohonan kering dengan daun yang telah gugur di sepanjang jalan. Diterbangkan kesana-kemari oleh hembus angin akibat laju mobil di jalanan.

Barisan pohon itu tampak sempurna, bak pagar yang dibuat alam sebagai pembatas wilayah yang tak seharusnya dijamah oleh Manusia.

Kemudian, barisan pagar alami itu lenyap, digantikan lahan polos berisi rumput berwarna jingga kecoklatan yang menari dengan eloknya karena tiupan angin. Indah dan tak tersentuh.

Tak ada rekam jejak manusia selain partisipasi Bright, Metawin, dan para pelancong di dalam mini bus itu.

“Kak..”

“Apa sayang?”

“Kalau seandainya kita tinggal di sini, gimana rasanya ya?” Metawin melontarkan tanya kepada Bright sambil memandang keluar jendela.

“Hmm..” Bright tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab, “mungkin rasanya bakal sepi. Tapi.. kalau kita bisa nikmatin apa yang ada, mungkin kita bisa bahagia juga.”

Metawin menyahuti jawaban Bright dengan anggukan singkat. Ia lantas kembali tenggelam menikmati pemandangan yang ada.

Di beberapa detik berikutnya, padang savana yang sejak tadi membentang luas berubah menjadi gugusan bukit kecil yang menyembul di sepanjang jalan.

Bukit-bukit itu berdiri dengan indahnya, seolah siap untuk didaki.

Andai saja mereka punya kesempatan untuk berhenti, mungkin waktu mereka akan habis untuk berhenti di sepanjang jalan. Bagaimana tidak? Banyak sekali pemandangan indah yang tak ingin mereka lewatkan.

Mereka kira, bukit-bukit itu menjadi hal paling menakjubkan yang mereka temui di perjalanan kali ini.

Namun ternyata mereka salah.

Tak berselang lama, di balik bebukitan itu, tampak siluet gunung-gunung tinggi yang begitu gagah berhias selimut salju di pucuk-pucuknya. Sungguh pemandangan yang berhasil membuat mereka tak mengedipkan mata barang sedikitpun.

Jalanan yang mereka lalui kini berkelok. Mengikuti lengkung bagai sabuk yang mengikat sebuah danau di tengah-tengahnya.

Danau dengan riak air yang bergerak seirama angin, berpagarkan gunung berselimut salju yang menjulang tinggi sejauh mata memandang.

Melihat betapa agung ciptaan sang pemangku alam membuat Bright dan Metawin tak hentinya menyuguhkan senyum. Mereka kini tak menyesali sama sekali keputusan untuk menjelajahi Skotlandia jika hadiah dari alam rupanya seindah ini.

***

Ada alasan konyol yang membuat Bright dan Metawin memutuskan pergi ke Skotlandia.

Ingin melihat monster LochNess secara langsung. Konyol sekali bukan?

Tapi siapa sangka, lewat alasan konyol itu, justru keduanya berhasil tiba di sini. Menjejakkan kaki tepat di tepian danau besar sambil memandangi Eilean Donan Castle, kastil kuno yang masih berdiri kokoh di ujung Kyle of Lochalsh, Skotlandia.

Cekrek!

Bright menurunkan kamera analog yang baru saja ia gunakan untuk memotret sang kekasih. Ia lantas tersenyum saat melihat Metawin yang sedang berdiri dengan wajah yang berseri-seri disana.

“Sini kak, gantian aku fotoin,” ujar Metawin sambil berlari kecil ke arahnya.

“Emang bisa pake analog?”

“Ih bisa tau, aku pernah belajar,” sahut Metawin dengan bangga.

Melihat kepercayaan diri yang muncul dari diri Metawin, Bright tak kuasa mengusak surai hitam milik pria manis itu.

Ia lantas menyerahkan kamera analog kesayangannya itu pada Metawin. Membiarkan kekasihnya mencoba mengambil gambar.

Setelah mencoba beberapa kali, Metawin pun akhirnya menyerah.

Rasa percaya diri yang ia miliki tak sebanding dengan kemampuannya menggunakan kamera analog.

Bright pun tak kuasa menahan tawa saat melihat kekasihnya itu manyun-manyun sendiri karena ketidakmampuannya.

“Udah sayang, gapapa. Kita selfie aja ya?” ujar Bright yang mencoba menenangkannya.

Setelah mendapat persetujuan dari Metawin, mereka berdua lantas berdiri bersama membelakangi Eilean Donan Castle.

Beruntung, saat mereka hendak mengambil gambar, senja datang menikam cakrawala. Menghadirkan gradasi warna paling indah sebagai latar belakang potret mereka berdua.

***

“Gimana sayang, abis ini mau kemana lagi?” Bright bertanya kepada Metawin setelah keduanya puas menikmati momen sunset yang menakjubkan di tepi danau LochNess.

“Terserah, aku ikut kemana aja.”

Bright terdiam sejenak. Ia tampak menimbang sesuatu, sebelum akhirnya ia tersenyum, seolah menemukan destinasi berikutnya yang harus mereka kunjungi.

“Gimana kalo kita pulang?”

“Pulang?” dahi Metawin mengernyit.

“Iya, pulang. Kita udah terlalu lama pergi dari rumah. Kayaknya ini momen yang pas deh buat kita pulang.”

“Tapi.. kenapa pulang?”

“Ya karena itu rumah kita sayang. Siapa tau ada kejutan besar yang lagi nungguin kita,” jawab Bright, “gimana? Kamu mau?”

Metawin terdiam.

Bright bisa melihat, ada gurat tak setuju yang menghiasi wajah kekasihnya itu. Sebenarnya Bright tak memaksa keinginannya. Ia hanya merasa, sudah waktunya bagi mereka untuk pulang.

“Iya deh, aku mau.”

Bright langsung menoleh pada Metawin, “beneran, sayang?”

“Iya, beneran kak.”

Senyum bahagia tak dapat Bright sembunyikan dari wajahnya. Ia begitu bahagia saat sang kekasih menyetujui keinginannya.

“Emangnya kita mau kemana sih kak di Indonesia?”

“Kemana yaaa..? Nanti juga kamu tau,” jawab Bright sambil mencubit pipi gemas milik sang kekasih.

“Awas ya kalo nggak spesial,”

“Iya, tenang aja. Yang satu ini pasti spesial banget kok,” jawab Bright.

Setelah sama-sama sepakat, Bright dan Metawin kembali menikmati momen yang tersisa di danau LochNess.

Duduk bersisian, berbagi kasih dan sayang sambil memandangi sang surya yang bergulir di ufuk barat, bertukar tempat dengan gelap yang tak lama lagi mengungkung langit Skotlandia.


Gunung Ijen – Banyuwangi

Udara di pagi buta itu terasa menyesakkan.

Keduanya saling berpegangan tangan seerat mungkin. Saling menjaga kesadaran satu sama lain yang kian melemah seiring oksigen yang semakin menipis. Ditambah aroma belerang yang begitu pekat menusuk pernafasan, menambah beratnya perjalanan yang mereka tempuh.

Metawin tak tau, jika kejutan semacam ini yang disiapkan oleh Bright di Indonesia.

Ia bahkan baru tahu jika mereka hendak melihat api biru di gunung Ijen setelah keduanya mendarat di Soekarno-Hatta, tepat saat berada di dalam taksi menuju rumah Metawin.

Pemuda itu langsung terkejut manakala Bright menceritakan kemana tujuan mereka selanjutnya.

Padahal Metawin kira, ia akan berpetualang menyusuri gugusan pulau indah di Raja Ampat, atau menyelam bersama ribuan jenis ikan yang indah di Bunaken.

Namun ternyata, Bright membawanya mendarat di Jawa Timur untuk menyaksikan lava biru, fenomena super langka yang hanya bisa mereka saksikan di dua tempat di bumi ini. Dan salah satunya adalah Taman Wisata Alam Kawah Ijen di Banyuwangi Jawa Timur.

“Sayang, kamu gapapa?” Bright bertanya pada Metawin yang sedang menggenggam tangannya erat-erat.

“Gapapa kak, lanjut aja,” sahutnya.

“Oke, bilang ya kalau nggak kuat.”

Mereka pun meneruskan langkah walau tubuh sudah terasa sangat lelah.

Waktu masih menunjukkan pukul dua pagi. Dan mereka berdua sudah menantang semesta, berjalan melewati pekatnya malam, berteman dinginnya angin yang begitu menusuk, hanya untuk menyaksikan api biru yang langka.

Sebenarnya Metawin masih sanggup melewati semua ini. Hanya saja, ia selalu kalah dengan hawa dingin yang menusuk seperti ini.

Seingatnya, terakhir kali ia merasa sedingin ini adalah saat ia terjebak hujan salju di kompleks kuil kuno di wilayah Kyoto, Jepang.

Saat itu, tak ada yang bisa ia lakukan selain memeluk dirinya erat-erat. Mengais rasa hangat seorang diri.

Tapi sekarang ini, semuanya sudah berubah.

Ia tidak perlu takut. Sebab sudah ada Bright yang setia menemani dan melindunginya setiap saat.

***

Perjalanan sejauh kurang lebih tiga kilometer itu ditempuh hampir dua setengah jam.

Sebenarnya bisa lebih cepat, hanya saja banyak sekali halang rintang yang menghadang. Mulai dari gelapnya jalanan, kabut yang mengganggu pandangan, hingga asap belerang yang menyesakkan dada.

Namun semua itu terbayar lunas tatkala mereka tiba di bibir kawah gunung Ijen.

Mereka pikir ada jalanan berat yang harus ditempuh lagi untuk melihat api biru yang terkenal itu. Tapi ternyata tidak.

Tepat setelah mereka tiba di puncak, api biru yang menyala terang begitu indah itu menampakkan wujudnya.

Nyalanya begitu terang, dengan warna biru yang sangat amat indah.

Bright pun tak ingin melewatkan kesempatan untuk mengabadikan momen luar biasa itu dalam roll filmnya.

Tanpa sadar, Metawin menitikkan air mata.

Bukan. Bukan karena rasa lelah yang melanda, namun lebih karena rasa bahagia yang memenuhi hatinya.

Dulu, keinginannya untuk melancong, melarikan diri dari negeri ini membawanya bertemu banyak hal menakjubkan. Namun semua itu membuatnya lupa bahwa ada hal-hal yang tak kalah luar biasa di tempat asalnya.

Dan Metawin bersyukur, ia masih diberi kesempatan untuk melihat berbagai keajaiban itu, bersama Bright tentunya.

Bright dan Metawin memandang satu sama lain. Mengeratkan genggaman, lantas menikmati api biru yang nyalanya menjilat gelap malam, sebagai hadiah dari semesta atas perjalanan panjang yang mereka tempuh.

***

Hari itu, Metawin telah menemukan jawaban atas pencariannya.

Semua yang telah ia lakukan membawa Metawin bermuara pada satu hal, yakni kasih sayang. Ia tak pernah menduga bahwa pertemuannya dengan Bright menjadi jembatan menuju jawaban yang ia cari.

Kepergiannya saat itu, pelariannya dari segala beban yang menyesakkan dada, telah mengajarkannya banyak hal, termasuk perihal menerima dan mengikhlaskan.

Berteman sang Mentari yang mulai merangkak di ufuk timur, Metawin menyandarkan kepalanya pada bahu Bright.

Menambatkan hatinya pada pelabuhan paling nyaman yang ia miliki, saling berpegang tangan, sambil menikmati suguhan nan apik dari sang pemangku alam.

“Terima kasih ya kak..” ucap Metawin.

Bright menoleh pada sang kekasih, “terima kasih karena?”

“Karena udah nemuin aku,” jawabnya sambil tersenyum.

Bright tak kuasa menahan senyumannya manakal wajah manis sang kekasih berkilauan ditimpa sinar mentari pagi. Indah nan memabukkan.

Ia usap wajah sang kekasih dengan lembut, seiring ia bubuhkan sebuah kecupan singkat di dahinya.

“Makasih juga udah mau bagi ceritanya sama kakak ya, Awin sayang...”

Metawin tertawa geli. Ia eratkan pelukannya pada pinggang Bright, seolah tak ingin lepas dari dermaga cintanya itu.

“Sayang, kalo diingat-ingat, perjalanan apa yang paling berkesan buat kamu?”

“Mm.. apa ya?” tanya Metawin, “Oh, itu.. waktu kita di Lhasa!” jawabnya penuh semangat.

“Oh.. hahaha, yang kita nyobain susu Yak itu ya?”

“Iyaaa bener banget. Ih aku masih inget rasanya kaya mentega busuk.”

“Iya, nggak enak emang rasanya,” sahut Bright. “Tapi kamu abis duluan gitu minumnya,” imbuhnya.

“Abisnya di sana dingin banget, aku kan butuh yang anget-anget,” jawab Metawin. “Kalo kakak, perjalanan mana yang paling berkesan?”

Bright tersenyum singkat, wajahnya tampak mengingat sesuatu, sebelum akhirnya menjawab, “awalnya aku paling suka waktu kita rebutan tempat di Agra, waktu mau lihat Taj Mahal. Abisnya itu rame banget, jadi ngerasa tertantang, hehe. Tapi kalo sekarang.. udah ada jawaban lain,” tandasnya.

“Jawaban lain? Apa emangnya?”

“Buat sekarang, aku paling suka sama perjalanan pagi ini,” jawabnya sambil tersenyum pada Metawin. “Karena perjalanan pagi ini tuh lengkap. Ada suka ada duka. Ada perjuangan yang harus ditempuh buat lihat hadiah indah dari alam. Dan yang terpenting, karena ada kamu di sini. Itu yang bikin perjalanan kita ini kerasa indah,” pungkasnya diselingi cubitan di hidung Metawin.

Metawin tak sanggup menahan senyumannya.

“Hehe, aku juga seneng sama perjalanan hari ini. Berkesan banget buat aku,” jawab Metawin. “Dan sekarang aku udah tau, apa yang aku cari..”

“Oh iya? Apa emangnya?”

“Kedamaian.”

“Kedamaian? Maksudnya?”

“Selama ini aku lari dari masalah hidupku kak. Berjalan jauh kemana-mana, sibuk nyari sesuatu yang kurang. Padahal ternyata aku Cuma butuh kedamaian. Damai sama masalahku, damai sama diriku sendiri, damai sama keputusanku, dan damai sama apa yang Tuhan kasih buat aku. Itu aja.”

“Berarti sekarang udah damai dong sama diri sendiri?”

“Udah. Makanya aku sekarang udah bahagia banget rasanya. Mungkin karena ada kakak juga kayaknya ya..”

Bright mencubit pipi kekasihnya itu, “bisa aja kamu ya, pagi-pagi udah ngegombal. Nggak malu sama matahari, hm?”

“Ih ngapain malu, kan aku ngegombal sama pacarku sendiri,” sahut Metawin.

Hahaha, yaudah deh, terserah kamu,” ujar Bright, “nggak kerasa ya, udah hampir enam tahun kita barengan..” lanjutnya.

Metawin mengangguk, “iya, nggak kerasa banget kak. Soalnya kita jalan-jalan mulu sih,” sahutnya.

“Iya juga,” ujar Bright. Pria itu lantas memandang ke arah sang kekasih, menatapnya dengan teduh sebelum berkata, “semoga kita selalu bersama ya sayang..”

Di tengah momen terindah di gunung Ijen, saat fajar menyingsing, menyinari lembut gunung itu, Bright dan Metawin sekali lagi bertukar rasa. Berbagai kasih sayang yang mereka miliki satu sama lain.

Bright mengecup dahi Metawin dengan penuh kasih sayang sambil berbisik, “I Love You.. Metawin.”

“I Love You too, Kak,” jawab Metawin sambil memejamkan mata.

Tak ada yang menyangka, keputusan Metawin untuk melarikan diri dari kenyataan, justru membawanya pada kebahagiaan terbesar yang pernah ia dapatkan.

Begitupun dengan Bright. Hobi yang ia tekuni beberapa tahun belakangan ini rupanya menjanjikan sebuah kado istimewa yang tak terbayangkan olehnya. Win Metawin. Seorang backpacker yang telah mencuri hatinya sejak lima tahun yang lalu.

Benar kata pepatah, hujan emas dinegri orang, hujan batu di negeri sendiri. Seberat apapun masalah yang kita hadapi, sejauh manapun kita melangkah, rumah masih menjadi tempat terbaik untuk kita pulang. Melepas penat, mengisi kembali energi yang terkuras habis.

Dan Metawin kini menyadari hal itu.

Bahwa pelariannya selama ini hanyalah sebuah cara yang ia tempuh untuk akhirnya kembali pulang.

Dan kini, rumah tempatnya berlabuh terasa semakin lengkap dengan hadirnya Bright Vachirawit, seorang fotografer yang ia temui secara tidak sengaja, yang kini menjadi dermaga untuknya menepi dari segala beban dunia.

Begitupun dengan Bright. Ia kini telah menemukan potret terbaik dalam hidupnya. Seorang lelaki yang ia temui lewat sebuah perjalanan. Seorang lelaki yang kini mengisi roll filmnya. Seorang Lelaki manis bernama Win Metawin.


“Kak Bright?” Panggil Metawin sambil mengintip ke arah sang kekasih yang sedang sibuk membuat omelet untuk sarapan mereka pagi ini.

Bright pun langsung menoleh. Tidak mengurangi sedikitpun fokusnya dari telur yang sedang menari diatas teflon itu. “Iya sayang, kenapa?” Sahutnya.

“Eum. . . Tujuan next trip kita, mau kemana ya kira-kira?”

“Kemana ya enaknya?” Sahut Bright bingung, “Kakak juga bingung nih mau kemana. Kok perasaan udah pernah semua dikunjungin,” imbuhnya sambil tertawa.

“Sebenernya, aku punya ide loh, hehe,” timpal Metawin sambil tertawa.

“Ide apa tuh?”

“Tunggu bentar,” ucap Metawin sambil melangkah pergi.

Pemuda manis itu terlihat berjalan menuju rak buku yang ada di ruang tamu. Mengambil selembar kertas yang terlihat seperti booklet, lalu kemudian membawa benda itu ke arah Bright yang baru saja mematikan kompor di dalam dapur.

Sambil tersenyum lebar, Metawin pun menunjukkan booklet itu kepada Bright. “Tadaa!” Ucapnya antusias.

Bright memandangi informasi serta gambar yang tertera di dalam booklet itu. “Bukchon Hanok?” Tebak Bright sambil tersenyum. “Seoul?”

Metawin mengangguk antusias, “he’eum! Seoul. Aku pengen banget ke sana. Pengen foto pakai hanbok, hehe.” Jawabnya.

Melihat tingkah kekasihnya itu membuat Bright tidak sanggup menyembunyikan senyumannya. Maka ia pun maju selangkah, lantas menghadiahi pipi gembil milik sang kekasih itu dengan sebuah kecupan hangat. “Oke, Sayang. Tujuan berikutnya, Seoul. Sama kamu, sama cinta kita.”

Fin.


bwuniverr, 2022

BYUUUUR!!!!

“ANJING! BRENGSEK LO BRIGHT! PANAS GOBLOK SELANGKANGAN GUE!!!”

Gunsmile, salah satu sababat Bright langsung berteriak heboh setelah selangkangannya tersiram oleh kopi hitam yang masih panas dari mulut Bright.

“Aduh, sori-sori, gue gak sengaja,” sahut Bright sambil terbatuk.

“Lu kenapa sih Bri? Tiba-tiba nyembur begitu? Habis baca berita apa lo?” Mike, sahabat Bright yang lain ikut bertanya pada si pelaku penyemprotan kopi yang menimpa Gunsmile itu.

Sambil terus fokus ke arah layar ponselnya, Bright menjawab, “sori, gue agak kaget nih.”

“KAGET YA KAGET AJA ANJIR! Gak usah pake nyembur gue! Brengsek,” sahut Gunsmile penuh amarah.

“Iye-iye, maaf.” Timpal Bright, “bisa lo beresin sendiri, kan? Aman kalo gitu. Bentar, gue mau balesin dulu.” Ucapnya dengan begitu santai.

Gunsmile langsung melotot, “SI ANJING! SEENAKNYA BANGET LO YE, WOY BRIGHT! ASEM, TANGGUNG JAWAB LO!” Teriaknya.

Tapi sayangnya, Bright sama sekali tidak menggubris. Pemuda itu masih terlihat begitu fokus pada layar ponsel miliknya.

Saat tiba di lorong lantai dua asrama, satu-satunya jalan menuju kamarnya, Bright menghentikan langkah.

Pemuda yang acap kali dipanggil sebagai Berandalan kampus itu langsung menatap penuh selidik ke arah depan kamarnya.

Di sana, sedang berdiri seorang laki-laki, dengan postur tubuh yang hampir sama tinggi dengannya.

Laki-laki itu memakai kemeja hitam. Sambil menenteng sebuah totebag warna khaki, serta membawa koper berwarna biru yang ada di samping tubuhnya.

“Ini bukan si Metawin itu?” Monolog Bright sambil menatap lekat figur laki-laki itu.

Kalau dari gaya rambut dan pakaiannya sih, sepertinya betul.

Sebab dari foto yang tadi Bright lihat, ciri-cirinya sama persis kok dengan penampilan laki-laki yang saat ini sedang berdiri di depan kamarnya itu.

“Okeh. Bakal gue samperin.” Ucap Bright Final.

Satu tarikan nafas, sebelum akhirnya Bright berjalan ke arah kamarnya sendiri.

Serius amat dah, ucap Bright di dalam hati saat melihat jika laki-laki ini sejak tadi tidak lepas sedikitpun dari layar ponselnya.

Padahal Bright langkah yang Bright ambil cukup besar. Dan suara yang timbul terdengar nyaring.

Tapi si laki-laki yang Bright duga adalah Metawin itu sama sekali tidak bergeming.

Maka akhirnya, Bright pun memutuskan untuk langsung menghampirinya saja.

Mau memanggil juga bakal sia-sia nantinya. Iya kalau dia benar Metawin. Kalau bukan, malu dong nantinya.

Beberapa saat kemudian, Bright sudah berhenti tepat di belakang laki-laki itu.

Dan dengan segenap keyakinan yang ada dalam hati si berandalan itu, ia pun memutuskan untuk memanggilnya saat ini juga.

Perlahan, Bright angkat tangan kanannya.

Lalu, ia arahkan menuju bahu milik si laki-laki itu. Hendak menepuk bahunya.

Tak perlu waktu lama bagi tangan Bright untuk bisa menggapai bahu milik laki-laki itu.

Hingga kemudian. . . .

Tap. Tap.

“HUAH! ASTAGA!”

“Lo Metaw—”

CPLAKKKK!!!!

“ADUH—ANJINGGG!!!”

Satu tamparan ekstra keras mendarat dengan begitu epik di wajah tampan milik Bright.

Rasa ngilu bercampur kebas dan sensasi panas yang menyengat langsung datang berkunjung di wajah milik Bright.

Sang Berandalan itu langsung meringis, “brengseeeeek, beraninya lo nampar guee!” Ucapnya geram.

Sedangkan si Pelaku penamparan itu terlihat begitu kaget.

Kedua matanya membola. Laki-laki itu langsung membekap mulutnya sendiri. Kemudian menundukkan kepalanya, seakan berusaha menghindari tatapan Bright.

Sedangkan si korban, langsung naik pitam. Emosi sekali.

“BRENGSEK! BERANI BERANINYA LO NAMPAR GUE!” Cecarnya pada lelaki yang kini sudah menunduk di hadapannya itu.

“HEH! JAWAB! SIAPA LO?! KURANG AJAR BANGET LO NAMPAR GUE?!” Pekiknya penuh amarah.

Bagaimana tidak marah? Sang Berandalan itu merasa dibuat malu.

Sebab selama ini, belum pernah ada orang yang menampar wajahnya seperti ini.

Merasa jika emosinya tidak tertahankan, Bright pun maju satu langkah.

Dengan amarah yang sudah siap meledak bagai gunung api purba, Bright pun langsung menarik kerah baju milik laki-laki itu.

“Angkat wajah lo, brengsek!” Titahnya penuh amarah. “Jangan kurang ajar lo! Habis nampar gue malah nunduk! Mau ngehina gue lo?!” Teriaknya.

“WOY, ANJING ANGKAT MUKA LO SEKAR—”

“M-Maaf, Kak. . . .”

Anjir. . . .

Cengkeraman Bright pada kerah baju lelaki itu seketika mengendur.

Seiring dengan kedua mata Bright yang tak mampu berkedip, tepat setelah ia beradu tatap dengan sepasang mata indah milik laki-laki yang sudah menamparnya ini.

“M-Maaf, Kak. . . S-saya nggak sengaja. . .”

Suara laki-laki di hadapan Bright itu mengalun dengan lembut.

Selembut sorot matanya yang telah sukses membuat Bright terpaku. Tidak sanggup melanjutkan aksinya.

Buset... Cakep banget, Anjir..

Ditatap dengan sorot mata seperti itu membuat Bright reflek melepas cengkeramannya.

Pemuda itu mundur selangkah. Dan pada detik ini, Bright seolah abai pada sensasi menyengat di pipi kirinya. Sekaligus amarah yang tadi menguasai dirinya.

Laki-laki yang akhirnya Bright ketahui sebagai Metawin itu buru-buru maju.

Ia pandangi wajah Bright dengan panik. “Kakak nggak apa-apa? Sakit yah pipinya?..” Tanyanya dengan wakah cemas nan khawatir.

Bagai disihir oleh mantra paling kuat se jagad raya, dengan polosnya Bright mengangguk.

Kedua matanya masih tidak bisa lepas dari memandangi Metawin sedikitpun.

Metawin, si pelaku tamparan kejut kepada Bright itu semakin terlihat khawatir.

“Aduh, maaf banget ya Kak.. saya kira tadi orang jahat.. makanya saya reflek nampar.. maaf..” Ucapnya sambil mengusap-usap pipi Bright.

Dan sekali lagi, Bright menurut.

Saat ini, Bright benar-benar merasa jika dirinya sedang aneh.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Bright tidak jadi menghajar orang yang sudah berani menampar wajahnya.

Amarah yang tadi meledak-ledak seketika lenyap entah kemana.

Dengan entengnya, Bright menerima begitu saja permintaan maaf yang disampaikan sang pelaku penamparan yang ternyata memang adalah Metawin.

Orang yang sama dengan orang yang telah menghubunginya lewat imess tadi.

Kini keduanya saling terdiam.

Mereka sama-sama berdiri di ambang pintu kamar 215.

Dengan Bright yang terus mengusap-usap pipinya yang masih terasa panas, serta Metawin yang masih terlihat sangat menyesal atas apa yang sudah ia perbuat.

“Kakak, beneran nggak apa-apa?” Tanya Metawin lagi sambil menggigit bibir bawahnya sendiri.

Bright menghela nafas. Bukannya menjawab, si berandalan itu justru balik bertanya pada Metawin.

“Bener lo bakal tinggal di sini?”

Metawin mengangguk cepat. “Bener Kak..” sahutnya.

“Bohong gak lo?”

Metawin menggeleng, “nggak kok Kak, aku nggak bohong,” jawabnya. “Aku punya buktinya kok. . .” Imbuh lelaki manis itu.

“Bukti? Bukti apaan?”

Metawin buru-buru merogoh saku celananya. Sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah benda dari dalam sana.

“Ini Kak buktinya...” Jawabnya sambil menyerahkan sebuah kunci kepada Bright.

Bright menerima kunci itu dengan tatapan curiga.

Namun kecurigaan dalam hati berandalan itu seketika sirna.

Setelah ia melihat dengan jelas sebaris angka yang tercetak di gantungan kunci milik Metawin itu.

  1. Angka yang persis sama dengan nomor yang tertulis di pintu kamar Bright.

Anjir beneran dia sekamar sama gue, gerutu Bright dalam hati.

“Bener kan Kak, aku nggak bohong?” Tanya Metawin yang dibalas tatapan jengah oleh Bright.

“Gue masih gak percaya,” sahut Bright. “Gue mau ngetes lo.”

Metawin terlihat kaget, “hah? Mau ngetes apa, Kak?” Sahutnya.

“Coba lo jawab. Siapa nama Ibu Asramanya?”

“Ibu Hesti Purwa Dinaga, S.Hum”

Anjrit bener.

“Ada berapa fakultas di sini?”

“9 Kak. 1 Fakultas Baru hasil pemekaran dari Fakultas Hukum.”

Aanjritt bener lagi dong

“Bentar masih ada lagi.” Ucap Bright yang merasa belum puas.

“Iya Kak. Apa?” Sahut Metawin yang justru terlihat antusias.

“Asrama ini ada berapa lantai?”

“Ada 5 Kak. Masing-masing lantai ada 100 kamar. Nah tiap 25 Kamar itu dibag—”

“Dah Dah, Cukup.” Potong Bright. Sebab akhirnya Pemuda itu sadar bahwa Metawin ini memang tidak bohong.

“Ayo masuk. Kita ngobrol di dalem aja.” Ajaknya pada Metawin.

“Gue Bright. Musik 2018.” Ucap Bright memperkenalkan diri setelah keduanya duduk berhadapan di dalam kamar asrama itu.

Metawin tampak sedikit kagum, “waaah berarti Kak Bright bisa main musik, dong?” Tebaknya.

“Gak bisa. Bisanya main dakon,” sahut Bright sambil memutar bola matanya malas. “Ya bisa lah! Lo nih gimana sih gitu aja pake tanya?!”

Metawin hanya bisa membalas dengan cengiran lebar sambil garuk-garuk kepala.

Padahal kan Metawin ini tanya betulan. Kenapa harus begitu sih menjawabnya, sebel.

“Oh iya, berarti lo fix bakal tinggal di sini, kan?”

“Iya Kak, betul. . .” Jawab Metawin.

“Mm.. Oke.” Sahut Bright. “Sebenernya sih, selama ini gue GAK PERNAH MAU nerima orang lain buat tinggal sekamar sama gue,” ucapnya.

Pemuda itu terdiam sejenak, sebelum kembali berbicara, “tapi karena lo udah terlanjur di sini, mau gimana lagi.”

“Gue bakal terima lo di sini.”

“WAH! BENERAN KAN?! YEEE—”

“Dengan satu syarat!”

“Syarat apa, Kak??” Sahut Metawin penasaran.

Bright menghela nafas. “Lo jangan pernah ikut campur urusan gue, dan jangan pernah bikin ribut di kamar ini.” Jawabnya.

“Oke Kak! Pasti bakal aku penuhin kok syaratnya!!” Timpal Metawin begitu antusias. “Yeeeyy!! Terima kasih Kak Bright!!”

Pemuda manis itu lantas mengarahkan tangannya kepada Bright. Yang langsung disambut tatapan bingung olehnya.

“Mau ngapain lo?”

“Mau salaman Kak, biar resmi..”

“Hadeeeh, ada-ada aja sih kelakuan lo,” sahut Bright sambil geleng-geleng kepala.

“Ayooo Kak, kita salaman, Ih! Biar resmi gitu penyambutannya.”

Mau tak mau, Bright pun mengiyakan permintaan Metawin.

Ketika kedua tangan itu bersambut, Bright mengambil segelas air yang tadi sudah ia siapkan di atas meja. Sedangkan Metawin berucap dengan begitu lantang.

“Terima kasih Kak udah mau nerima aku. Semoga kita jadi teman sekamar yang akur, ya. Aamiin..” Ucapnya sambil tersenyum dengan begitu lebarnya.

Awalnya mereka pikir jika momen jabat tangan itu akan berlangsung dengan khidmat. Sampai akhirnya. .

BBRRRPPPPTTT!!!!

“IHHH KAK BRIGHT KOK AKU DISEMBUR SIH?!!!!”

UHUK UHUK!—Salah sendiri Lo pake senyum—UHUK!

Sambil mengusap wajahnya yang basah karena semburan air dari mulut Bright, Metawin menimpali, “IH KAK BRIGHT APAAN SIH ORANG SENYUM KOK GA BOLEH!”

Metawin tidak tahu saja. Sambil terus terbatuk, Bright sejak tadi bergumam tak percaya di dalam hatu. . .

Buset senyumnya.. parah...

Rasanya Bright ingin melempar sebungkus Lele dan Terong penyet yang ia bawa dengan susah payah ke arah Metawin.

Bisa-bisanya ya, anak itu, sudah bikin repot Bright untuk bolak-balik ke warung, giliran sudah dibelikan, malah ketiduran.

Bright menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menahan emosinya yang siap meledak kapan saja.

Bright pun meltakkan sebungkus nasi yang ia belikan untuk Metawin di atas nakas. Lalu berjalan dengan kesal ke sisi tempat Metawin tidur.

“Enak banget ya lo malah tidur. Gue udah repot balik ke warungnya lagi. Sialan!” Gerutu Bright sambil mendelik kepada Metawin.

Demi Tuhan. Bright ingin sekali menyentil, memukul, atau menjawil anak itu agar ia bangun.

Tapi tidak tahu kenapa, Bright merasa tidak tega jika harus melakukannya. Aneh.

Akhirnya, Bright pun hanya berjongkok di samping Metawin sambil menatap wajah penghuni baru kamarnya itu lekat-lekat.

Awalnya Bright hanya ingin melihat sekilas wajah penghuni baru kamarnya itu.

Tapi lama kelamaan, Bright justru menikmati momen memandangi wajah Metawin itu.

Tanpa sadar, Bright sampai mendudukkan diri di samping tubuh Metawin.

Pemuda itu bahkan mendekatkan wajahnya. Seolah ingin melihat wajah Metawin lebih dekat.

Mukanya bersih banget ya, batin Bright dalam hati.

Jujur, Bright belum pernah melihat wajah seorang laki-laki seputih dan sebersih Metawin.

Wajah Metawin ini, bagi Bright, terlihat sungguh sangat sempurna.

Guratnya manis, hidungnya bangir, bibirnya sintal merona.. Oh, sungguh proporsi wajah yang sangat memikat perhatian.

Sekali lagi, sepertinya Bright hilang kesadaran.

Sebab tiba-tiba ia mengarahkan tangannya ke rambut Metawin dan mengusapnya perlahan-lahan.

Sungguh, sepertinya niat awal Bright untuk memaki Metawin telah lenyap entah kemana.

Pemuda itu justru menikmati momen untuk menatap sekaligus menyentuh rambut Metawin yang terasa lembut.

“Hngg. . .” Metawin tiba-tiba merengek dalam tidurnya.

Bukannya menjauh, Bright justu mengusap-usap rambut Metawin sambil berbisik lirih padanya.

Seolah menenangkan Metawin agar bisa kembali terlelap.

Merasa cukup untuk memandangi anak itu, Bright pun beranjak.

Pemuda itu kembali berjongkok, hendak berdiri untuk memakan nasi lele yang ia beli tadi.

Sedetik kemudian, Bright akhirnya berdiri.

Pria itu berjalan selangkah sambil terus menatap wajah Metawin yang masih dibuai mimpi.

Sayangnya, karena hal itu Bright jadi awas diri. Ia tidak sadar kalau di depannya ada tas Metawin yang teronggok di atas lantai.

Bright masih terus saja berjalan dengan kedua matanya yang tidak lepas sedikitpun dari Metawin.

Sampai akhirnya. . .

JDUG!

“ANJ—EH! EH!! EEEHH!!!”

BUGH

Deg! Deg! Deg!

Yap. Karena kecerobohannya sendiri, Bright akhirnya jatuh bebas dan mendarat dengan tepat di atas tubuh Metawin.

Dengan wajahnya yang berhadapan langsung begitu dekat dengannya.

A.. Anj.. jir. . . .