strangers into lovers, travelling, romance, fluff 1000% with happy ending.
Kita memang tidak pernah tau apa yang kita rindukan sampai sesuatu itu tiba di depan mata. Kita tak pernah menyadari ketidaklengkapan hingga bersua dengan kepingan diri yang sempat terjebak dalam distorsi ruang dan waktu.
Dan kini, Metawin mempercayai hal itu.
Baginya, pertemuan tak ubahnya sebuah sanksi yang terpaksa kita lalui tanpa tahu kesalahan apa yang telah kita perbuat. Manis, indah, namun membawa luka di setiap akhirnya. Namun bagaimana jika pertemuan itu justru membawa jawaban atas pencariannya
Orang bilang, bepergian menjadi salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk melepas penat yang melanda. Atau sekadar menghibur akal yang mungkin kalut tidak karuan.
Tapi bagaimana jika pergi menjadi sebuah cara untuk mengasingkan diri?
Mungkin itulah prinsip yang dipegang teguh oleh Metawin.
Seorang pelancong, tidak, lebih tepatnya seorang backpacker yang rela terbang jauh ke sisi lain bumi ini hanya untuk mencari tempat dimana ia bisa mengasingkan diri dari segala hal yang menjadi beban di bahunya.
Bagi Metawin, hidup adalah perjalanan.
Dan karena itu, backpacker menjadi jalan keluar yang akhirnya menjadi pilihannya.
Berbekal insting yang ia sendiri rasa tidak terlalu kuat, peta digital yang terpasang di ponselnya, serta sejumlah uang yang ia kumpulkan hasil kerja kerasnya sendiri, Metawin memutuskan pergi.
Meninggalkan rumahnya untuk mencari sebuah jawaban atas resah yang belakangan kerap mengusiknya.
Apa semua itu mudah? Tentu tidak.
Menjadi backpacker tak ubahnya mempertaruhkan diri sendiri pada dunia.
Tak ada jaminan pasti yang bisa menyelamatkan kita, kecuali diri sendiri pada akhirnya.
Dan Metawin berani mengambil langkah itu.
Lewat internet dan jejaring sosial, Metawin mengurus segala keperluan yang ia butuhkan seorang diri.
Hingga akhirnya setelah melalui berbagai proses yang memuakkan, Metawin mampu menggenggam visa dan paspor sebagai syarat utama agar rencana pelariannya mampu berjalan dengan lancar.
Ada banyak hal baru yang Metawin dapat dari perjalanan kesendiriannya itu. Berbagai hal menakjubkan ia temui seiring kakinya melangkah.
Ada yang membuatnya terpana kagum, ada yang membuat nyalinya menciut, ada yang membuat air matanya luruh tak terbendung, bahkan ada yang membuatnya terheran-heran.
Walau demikian, Metawin justru merasa bahagia. Sebab dengan memilih pergi seperti ini, ia jadi belajar dari hal-hal baru yang ditemuinya sepanjang perjalanan.
Menjadi seorang backpacker ternyata juga sukses memperbaiki kualitas dirinya.
Dari berbagai tempat yang telah ia kunjungi, Metawin mengamati banyak hal. Pandangannya tentang sesuatu pun turut berubah.
Metawin kini menyadari, tak semua hal bisa sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Dan Melalui perjalanan panjang ini pula, Metawin bertemu dengan sesuatu yang menjadi hal yang paling berkesan dalam hidupnya.
Semua bermula dari keputusannya untuk mengunjungi Istanbul pada bulan November tahun lalu.
Di sana, saat sedang asyik menyantap kestanye ditemani aroma khas kacang bakar serta hembus angin musim dingin, Metawin bertemu dengan seseorang yang sukses merubah hidupnya.
Di bawah sorot lampu jalanan, tepat saat ia bersandar pada pagar pembatas, menatap ke arah selat Bosporus yang penuh dengan lalu-lalang kapal ferry, seorang pria datang menghampirinya.
Pria yang ternyata pernah singgah dalam hidupnya, walau hanya satu detik saja, yang tidak begitu Metawin sadari.
Saat itu, pertemuan mereka dihiasi rasa canggung dan bingung yang luar biasa. Namun setelah pria itu mengenalkan diri, kilas balik dari memori masa lalu yang tersimpan dalam ingatannya kembali.
Membawa secercah pandangan tentang siapa pria itu. Yang ternyata adalah orang yang sama dengan orang yang pernah mengunjungi Bioluminescent Bay, La Parguera, Amerika Selatan, lima tahun silam.
Seorang Pria yang dulu maupun sekarang sukses mencuri perhatiannya. Seorang Pria tampan dengan kamera analog yang selalu menggantung di lehernya. Seorang Fotografer alam, yang kini merupakan kekasihnya, Bright Vachirawit.
Tak terhitung berapa banyak roll film yang ia habiskan dalam tur vakansi yang ia buat seorang diri.
Mengunjungi berbagai tempat asing yang tak banyak didatangi orang, hanya untuk mengambil berbagai lanskap unik sebagai koleksinya sendiri.
Mulai dari memotret gerombolan serigala gunung sambil mempertaruhkan nyawanya dengan bersembunyi di balik gundukan es di Islandia, membenamkan diri ke dalam kubangan lumpur demi mendapat potret terbaik seekor singa jantan di Uganda, atau bahkan berkamuflase dengan ranting pohon demi memperoleh suasana terbaik saat sepasang Burung Rangkong berparuh emas yang begitu langka duduk bersisian di ujung dahan pohon di pedalaman hutan Chiang Rai, Thailand.
Bagi kebanyakan orang, apa yang dilakukan oleh Bright itu tak ada artinya.
Terlebih jika harus melakukan segala hal berat seperti itu tanpa ada kompensasi dan jaminan dari pihak manapun.
Namun bagi Bright, memotret menjadi panggilan alam yang harus ia penuhi.
Siapa sangka, lewat hobi fotografinya ini, Bright dibawa oleh semesta untuk menempuh perjalanan panjang dengan hadiah nyata di garis finishnya.
Lima tahun lalu, saat ia sedang menikmati indahnya malam di Bioluminescent Bay, La Parguera, kota kecil di bagian barat Puerto Rico, ia dipertemukan secara tak sengaja oleh seorang Pria, yang berhasil mencuri tempat di dalam roll filmnya.
Menggeser posisi flora dan fauna yang selama ini menjadi daftar utama pengisi bingkai potret miliknya.
Saat itu, Bright tak sengaja membidik ke sembarang arah, hendak mengambil sirkus plankton di tepian pantai yang menghasilkan nyala biru neon yang begitu indah. Namun tak disangka, sosok seorang pria turut terambil ke dalam jepretan kamera analognya.
Bright yang awalnya acuh, seketika terpana setelah melihat hasil foto yang ia ambil malam itu.
Ia pun memutuskan kembali menuju bibir pantai pada malam berikutnya, berharap agar bisa bertemu pria itu lagi.
Dan benar saja, pria itu ada di sana.
Sedang asik bermain riak air yang menyala-nyala. Yang rupanya membuat Bright jatuh semakin dalam pada pesonanya.
Namun pada saat itu, Bright tak berani berbuat lebih. Terlebih ia tahu bahwa pria itu berasal dari grup pelancong yang sama dengannya. Yang ternyata membuka fakta bahwa ia pun berasal dari tempat yang sama dengan Bright.
Barulah, lima tahun berikutnya, Bright berani melangkah.
Di tengah deru angin musim dingin yang merengkuh kota Istanbul, Bright dipertemukan kembali dengan pria itu.
Segalanya masih sama. Parasnya yang rupawan, senyumnya yang menawan, serta kilatan matanya yang berkilauan, masih sukses mencuri perhatiannya.
Dan pada saat itu, setelah mengamati sosok itu dalam diam selama lima tahun, Bright memberanikan diri untuk membuka percakapan. Yang ternyata membawa mereka berdua dalam sebuah jalinan cinta yang tak pernah mereka duga sebelumnya.
Sosok pria bernama Win Metawin itu akhirnya jatuh ke dalam hati Bright. Begitupun sebaliknya.
Mereka berdua tidak menyangkal, tidak pula menolak. Sebab rasa yang tumbuh dalam hati masing-masing pun sudah sama besarnya.
Berawal dari percakapan singkat di samping kedai kastanye, rasa itu akhirnya terungkap.
“Aku kok merasa kalo Kak Bright sering ngikutin aku ya?” tanya Metawin sambil melahap sedikit demi sedikit kastanye hangat di tangannya.
“Ngikutin gimana maksudnya?”
“Ya.. ngikutin aja. Waktu aku jalan-jalan di Beatles Story, kak Bright kayak ada di sana. Terus waktu aku main di Arc de Triomphe, aku lihat orang main musik yang kelihatan mirip banget sama kakak,”
Bright pun membalas ucapan Metawin dengan sebuah gelak tawa.
“Kok malah ketawa?” sahut Metawin tidak terima.
Dengan seulas senyum, Bright menjawab, “kalo ternyata itu emang aku, gimana?”
“Hah? Maksudnya?!”
Bright pun berpaling menghadap Metawin. Pria itu melipat kedua tangannya di depan dada. Dan sambil menyuguhkan senyum tampan miliknya itu, ia pun menjawab, “iya, selama ini kakak ngikutin kamu, dan yang kamu lihat itu emang aku.”
Dari percakapan itulah, benih kasih sayang yang memang sudah bersemai dalam hati keduanya, akhirnya merekah.
Menjadikan keduanya bersatu dalam sebuah jalinan cinta. Mereka pun menyatukan visi. Sama-sama berbagi kisah satu sama lain, hingga akhirnya memutuskan untuk bertualang bersama. Menjelajah bagian lain dunia ini demi menemukan jawaban atas pencarian masing-masing.
Kyle of Lochalsh – Skotlandia
Bertemu dan menjalin kasih dengan Bright ternyata membuat Metawin seolah bertemu dengan apa yang ia cari.
Perjalanan panjang yang ia lalui seorang diri, rupanya bermuara pada seorang Bright Vachirawit.
Dan setelah pertemuan itu, Metawin memutuskan untuk menghentikan pencariannya. Ia telah merangkai cita-cita baru bersama sang kekasih, menikmati waktu bersama, menjelajah tempat baru bersama.
Begitupun dengan Bright. Pria itu memilih mengikuti langkah Metawin, sambil terus membiarkan alam untuk memberinya potret-potret indah sebagai koleksinya.
Usai melepas penat setelah perjalanan panjang dari Austria ke Edinburgh, kini keduanya sudah berada dalam sebuah mini bus, bergabung dengan sekelompok pelancong yang kebetulan sedang menuju ke tempat yang sama dengan mereka.
Berawal dari transaksi identitas singkat yang terjadi di pintu keluar bandara, Bright dan Metawin mendapat teman baru dalam perjalanan itu. Dan sekarang, kendaraan yang mereka naiki sedang meniti jalan.
Menembus batas-batas kota untuk menuju Kyle of Lochalsh.
Mendatangi pertemuan tiga danau besar, tempat di mana harta karun yang mereka cari berada.
Perjalanan yang mereka lalui, tidaklah singkat.
Sudah hampir dua jam mereka duduk manis di kursi penumpang. Saling berbagi obrolan sambil sesekali melirik keluar jendela. Melihat pemandangan yang ada di luar sana.
Untuk paruh pertama perjalanan mereka, apa yang terlihat masih sama seperti sebelumnya. Deretan gedung-gedung tinggi, jajaran rumah penduduk, serta orang-orang yang hilir-mudik menuju tujuannya masing-masing.
Namun, di waktu-waktu berikutnya, semuanya berubah menjadi menakjubkan.
“Kak! Kak! Lihat deh!” Seru Metawin antusias.
Bright yang sedang sibuk mengecek ponselnya, langsung menoleh ke arah Metawin, “kenapa hmm?”
“Tuh, lihat, bagus banget!”
Bright lantas mengikuti telunjuk Metawin.
Oh Tuhan.. Bright seketika dibuat terperangah oleh apa yang tersaji di hadapannya.
Jajaran gedung pencakar langit telah berubah menjadi barisan pepohonan kering dengan daun yang telah gugur di sepanjang jalan. Diterbangkan kesana-kemari oleh hembus angin akibat laju mobil di jalanan.
Barisan pohon itu tampak sempurna, bak pagar yang dibuat alam sebagai pembatas wilayah yang tak seharusnya dijamah oleh Manusia.
Kemudian, barisan pagar alami itu lenyap, digantikan lahan polos berisi rumput berwarna jingga kecoklatan yang menari dengan eloknya karena tiupan angin. Indah dan tak tersentuh.
Tak ada rekam jejak manusia selain partisipasi Bright, Metawin, dan para pelancong di dalam mini bus itu.
“Kak..”
“Apa sayang?”
“Kalau seandainya kita tinggal di sini, gimana rasanya ya?” Metawin melontarkan tanya kepada Bright sambil memandang keluar jendela.
“Hmm..” Bright tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab, “mungkin rasanya bakal sepi. Tapi.. kalau kita bisa nikmatin apa yang ada, mungkin kita bisa bahagia juga.”
Metawin menyahuti jawaban Bright dengan anggukan singkat. Ia lantas kembali tenggelam menikmati pemandangan yang ada.
Di beberapa detik berikutnya, padang savana yang sejak tadi membentang luas berubah menjadi gugusan bukit kecil yang menyembul di sepanjang jalan.
Bukit-bukit itu berdiri dengan indahnya, seolah siap untuk didaki.
Andai saja mereka punya kesempatan untuk berhenti, mungkin waktu mereka akan habis untuk berhenti di sepanjang jalan. Bagaimana tidak? Banyak sekali pemandangan indah yang tak ingin mereka lewatkan.
Mereka kira, bukit-bukit itu menjadi hal paling menakjubkan yang mereka temui di perjalanan kali ini.
Namun ternyata mereka salah.
Tak berselang lama, di balik bebukitan itu, tampak siluet gunung-gunung tinggi yang begitu gagah berhias selimut salju di pucuk-pucuknya. Sungguh pemandangan yang berhasil membuat mereka tak mengedipkan mata barang sedikitpun.
Jalanan yang mereka lalui kini berkelok. Mengikuti lengkung bagai sabuk yang mengikat sebuah danau di tengah-tengahnya.
Danau dengan riak air yang bergerak seirama angin, berpagarkan gunung berselimut salju yang menjulang tinggi sejauh mata memandang.
Melihat betapa agung ciptaan sang pemangku alam membuat Bright dan Metawin tak hentinya menyuguhkan senyum. Mereka kini tak menyesali sama sekali keputusan untuk menjelajahi Skotlandia jika hadiah dari alam rupanya seindah ini.
***
Ada alasan konyol yang membuat Bright dan Metawin memutuskan pergi ke Skotlandia.
Ingin melihat monster LochNess secara langsung. Konyol sekali bukan?
Tapi siapa sangka, lewat alasan konyol itu, justru keduanya berhasil tiba di sini. Menjejakkan kaki tepat di tepian danau besar sambil memandangi Eilean Donan Castle, kastil kuno yang masih berdiri kokoh di ujung Kyle of Lochalsh, Skotlandia.
Cekrek!
Bright menurunkan kamera analog yang baru saja ia gunakan untuk memotret sang kekasih. Ia lantas tersenyum saat melihat Metawin yang sedang berdiri dengan wajah yang berseri-seri disana.
“Sini kak, gantian aku fotoin,” ujar Metawin sambil berlari kecil ke arahnya.
“Emang bisa pake analog?”
“Ih bisa tau, aku pernah belajar,” sahut Metawin dengan bangga.
Melihat kepercayaan diri yang muncul dari diri Metawin, Bright tak kuasa mengusak surai hitam milik pria manis itu.
Ia lantas menyerahkan kamera analog kesayangannya itu pada Metawin. Membiarkan kekasihnya mencoba mengambil gambar.
Setelah mencoba beberapa kali, Metawin pun akhirnya menyerah.
Rasa percaya diri yang ia miliki tak sebanding dengan kemampuannya menggunakan kamera analog.
Bright pun tak kuasa menahan tawa saat melihat kekasihnya itu manyun-manyun sendiri karena ketidakmampuannya.
“Udah sayang, gapapa. Kita selfie aja ya?” ujar Bright yang mencoba menenangkannya.
Setelah mendapat persetujuan dari Metawin, mereka berdua lantas berdiri bersama membelakangi Eilean Donan Castle.
Beruntung, saat mereka hendak mengambil gambar, senja datang menikam cakrawala. Menghadirkan gradasi warna paling indah sebagai latar belakang potret mereka berdua.
***
“Gimana sayang, abis ini mau kemana lagi?” Bright bertanya kepada Metawin setelah keduanya puas menikmati momen sunset yang menakjubkan di tepi danau LochNess.
“Terserah, aku ikut kemana aja.”
Bright terdiam sejenak. Ia tampak menimbang sesuatu, sebelum akhirnya ia tersenyum, seolah menemukan destinasi berikutnya yang harus mereka kunjungi.
“Gimana kalo kita pulang?”
“Pulang?” dahi Metawin mengernyit.
“Iya, pulang. Kita udah terlalu lama pergi dari rumah. Kayaknya ini momen yang pas deh buat kita pulang.”
“Tapi.. kenapa pulang?”
“Ya karena itu rumah kita sayang. Siapa tau ada kejutan besar yang lagi nungguin kita,” jawab Bright, “gimana? Kamu mau?”
Metawin terdiam.
Bright bisa melihat, ada gurat tak setuju yang menghiasi wajah kekasihnya itu. Sebenarnya Bright tak memaksa keinginannya. Ia hanya merasa, sudah waktunya bagi mereka untuk pulang.
“Iya deh, aku mau.”
Bright langsung menoleh pada Metawin, “beneran, sayang?”
“Iya, beneran kak.”
Senyum bahagia tak dapat Bright sembunyikan dari wajahnya. Ia begitu bahagia saat sang kekasih menyetujui keinginannya.
“Emangnya kita mau kemana sih kak di Indonesia?”
“Kemana yaaa..? Nanti juga kamu tau,” jawab Bright sambil mencubit pipi gemas milik sang kekasih.
“Awas ya kalo nggak spesial,”
“Iya, tenang aja. Yang satu ini pasti spesial banget kok,” jawab Bright.
Setelah sama-sama sepakat, Bright dan Metawin kembali menikmati momen yang tersisa di danau LochNess.
Duduk bersisian, berbagi kasih dan sayang sambil memandangi sang surya yang bergulir di ufuk barat, bertukar tempat dengan gelap yang tak lama lagi mengungkung langit Skotlandia.
Gunung Ijen – Banyuwangi
Udara di pagi buta itu terasa menyesakkan.
Keduanya saling berpegangan tangan seerat mungkin. Saling menjaga kesadaran satu sama lain yang kian melemah seiring oksigen yang semakin menipis. Ditambah aroma belerang yang begitu pekat menusuk pernafasan, menambah beratnya perjalanan yang mereka tempuh.
Metawin tak tau, jika kejutan semacam ini yang disiapkan oleh Bright di Indonesia.
Ia bahkan baru tahu jika mereka hendak melihat api biru di gunung Ijen setelah keduanya mendarat di Soekarno-Hatta, tepat saat berada di dalam taksi menuju rumah Metawin.
Pemuda itu langsung terkejut manakala Bright menceritakan kemana tujuan mereka selanjutnya.
Padahal Metawin kira, ia akan berpetualang menyusuri gugusan pulau indah di Raja Ampat, atau menyelam bersama ribuan jenis ikan yang indah di Bunaken.
Namun ternyata, Bright membawanya mendarat di Jawa Timur untuk menyaksikan lava biru, fenomena super langka yang hanya bisa mereka saksikan di dua tempat di bumi ini. Dan salah satunya adalah Taman Wisata Alam Kawah Ijen di Banyuwangi Jawa Timur.
“Sayang, kamu gapapa?” Bright bertanya pada Metawin yang sedang menggenggam tangannya erat-erat.
“Gapapa kak, lanjut aja,” sahutnya.
“Oke, bilang ya kalau nggak kuat.”
Mereka pun meneruskan langkah walau tubuh sudah terasa sangat lelah.
Waktu masih menunjukkan pukul dua pagi. Dan mereka berdua sudah menantang semesta, berjalan melewati pekatnya malam, berteman dinginnya angin yang begitu menusuk, hanya untuk menyaksikan api biru yang langka.
Sebenarnya Metawin masih sanggup melewati semua ini. Hanya saja, ia selalu kalah dengan hawa dingin yang menusuk seperti ini.
Seingatnya, terakhir kali ia merasa sedingin ini adalah saat ia terjebak hujan salju di kompleks kuil kuno di wilayah Kyoto, Jepang.
Saat itu, tak ada yang bisa ia lakukan selain memeluk dirinya erat-erat. Mengais rasa hangat seorang diri.
Tapi sekarang ini, semuanya sudah berubah.
Ia tidak perlu takut. Sebab sudah ada Bright yang setia menemani dan melindunginya setiap saat.
***
Perjalanan sejauh kurang lebih tiga kilometer itu ditempuh hampir dua setengah jam.
Sebenarnya bisa lebih cepat, hanya saja banyak sekali halang rintang yang menghadang. Mulai dari gelapnya jalanan, kabut yang mengganggu pandangan, hingga asap belerang yang menyesakkan dada.
Namun semua itu terbayar lunas tatkala mereka tiba di bibir kawah gunung Ijen.
Mereka pikir ada jalanan berat yang harus ditempuh lagi untuk melihat api biru yang terkenal itu. Tapi ternyata tidak.
Tepat setelah mereka tiba di puncak, api biru yang menyala terang begitu indah itu menampakkan wujudnya.
Nyalanya begitu terang, dengan warna biru yang sangat amat indah.
Bright pun tak ingin melewatkan kesempatan untuk mengabadikan momen luar biasa itu dalam roll filmnya.
Tanpa sadar, Metawin menitikkan air mata.
Bukan. Bukan karena rasa lelah yang melanda, namun lebih karena rasa bahagia yang memenuhi hatinya.
Dulu, keinginannya untuk melancong, melarikan diri dari negeri ini membawanya bertemu banyak hal menakjubkan. Namun semua itu membuatnya lupa bahwa ada hal-hal yang tak kalah luar biasa di tempat asalnya.
Dan Metawin bersyukur, ia masih diberi kesempatan untuk melihat berbagai keajaiban itu, bersama Bright tentunya.
Bright dan Metawin memandang satu sama lain. Mengeratkan genggaman, lantas menikmati api biru yang nyalanya menjilat gelap malam, sebagai hadiah dari semesta atas perjalanan panjang yang mereka tempuh.
***
Hari itu, Metawin telah menemukan jawaban atas pencariannya.
Semua yang telah ia lakukan membawa Metawin bermuara pada satu hal, yakni kasih sayang. Ia tak pernah menduga bahwa pertemuannya dengan Bright menjadi jembatan menuju jawaban yang ia cari.
Kepergiannya saat itu, pelariannya dari segala beban yang menyesakkan dada, telah mengajarkannya banyak hal, termasuk perihal menerima dan mengikhlaskan.
Berteman sang Mentari yang mulai merangkak di ufuk timur, Metawin menyandarkan kepalanya pada bahu Bright.
Menambatkan hatinya pada pelabuhan paling nyaman yang ia miliki, saling berpegang tangan, sambil menikmati suguhan nan apik dari sang pemangku alam.
“Terima kasih ya kak..” ucap Metawin.
Bright menoleh pada sang kekasih, “terima kasih karena?”
“Karena udah nemuin aku,” jawabnya sambil tersenyum.
Bright tak kuasa menahan senyumannya manakal wajah manis sang kekasih berkilauan ditimpa sinar mentari pagi. Indah nan memabukkan.
Ia usap wajah sang kekasih dengan lembut, seiring ia bubuhkan sebuah kecupan singkat di dahinya.
“Makasih juga udah mau bagi ceritanya sama kakak ya, Awin sayang...”
Metawin tertawa geli. Ia eratkan pelukannya pada pinggang Bright, seolah tak ingin lepas dari dermaga cintanya itu.
“Sayang, kalo diingat-ingat, perjalanan apa yang paling berkesan buat kamu?”
“Mm.. apa ya?” tanya Metawin, “Oh, itu.. waktu kita di Lhasa!” jawabnya penuh semangat.
“Oh.. hahaha, yang kita nyobain susu Yak itu ya?”
“Iyaaa bener banget. Ih aku masih inget rasanya kaya mentega busuk.”
“Iya, nggak enak emang rasanya,” sahut Bright. “Tapi kamu abis duluan gitu minumnya,” imbuhnya.
“Abisnya di sana dingin banget, aku kan butuh yang anget-anget,” jawab Metawin. “Kalo kakak, perjalanan mana yang paling berkesan?”
Bright tersenyum singkat, wajahnya tampak mengingat sesuatu, sebelum akhirnya menjawab, “awalnya aku paling suka waktu kita rebutan tempat di Agra, waktu mau lihat Taj Mahal. Abisnya itu rame banget, jadi ngerasa tertantang, hehe. Tapi kalo sekarang.. udah ada jawaban lain,” tandasnya.
“Jawaban lain? Apa emangnya?”
“Buat sekarang, aku paling suka sama perjalanan pagi ini,” jawabnya sambil tersenyum pada Metawin. “Karena perjalanan pagi ini tuh lengkap. Ada suka ada duka. Ada perjuangan yang harus ditempuh buat lihat hadiah indah dari alam. Dan yang terpenting, karena ada kamu di sini. Itu yang bikin perjalanan kita ini kerasa indah,” pungkasnya diselingi cubitan di hidung Metawin.
Metawin tak sanggup menahan senyumannya.
“Hehe, aku juga seneng sama perjalanan hari ini. Berkesan banget buat aku,” jawab Metawin. “Dan sekarang aku udah tau, apa yang aku cari..”
“Oh iya? Apa emangnya?”
“Kedamaian.”
“Kedamaian? Maksudnya?”
“Selama ini aku lari dari masalah hidupku kak. Berjalan jauh kemana-mana, sibuk nyari sesuatu yang kurang. Padahal ternyata aku Cuma butuh kedamaian. Damai sama masalahku, damai sama diriku sendiri, damai sama keputusanku, dan damai sama apa yang Tuhan kasih buat aku. Itu aja.”
“Berarti sekarang udah damai dong sama diri sendiri?”
“Udah. Makanya aku sekarang udah bahagia banget rasanya. Mungkin karena ada kakak juga kayaknya ya..”
Bright mencubit pipi kekasihnya itu, “bisa aja kamu ya, pagi-pagi udah ngegombal. Nggak malu sama matahari, hm?”
“Ih ngapain malu, kan aku ngegombal sama pacarku sendiri,” sahut Metawin.
“Hahaha, yaudah deh, terserah kamu,” ujar Bright, “nggak kerasa ya, udah hampir enam tahun kita barengan..” lanjutnya.
Metawin mengangguk, “iya, nggak kerasa banget kak. Soalnya kita jalan-jalan mulu sih,” sahutnya.
“Iya juga,” ujar Bright. Pria itu lantas memandang ke arah sang kekasih, menatapnya dengan teduh sebelum berkata, “semoga kita selalu bersama ya sayang..”
Di tengah momen terindah di gunung Ijen, saat fajar menyingsing, menyinari lembut gunung itu, Bright dan Metawin sekali lagi bertukar rasa. Berbagai kasih sayang yang mereka miliki satu sama lain.
Bright mengecup dahi Metawin dengan penuh kasih sayang sambil berbisik, “I Love You.. Metawin.”
“I Love You too, Kak,” jawab Metawin sambil memejamkan mata.
Tak ada yang menyangka, keputusan Metawin untuk melarikan diri dari kenyataan, justru membawanya pada kebahagiaan terbesar yang pernah ia dapatkan.
Begitupun dengan Bright. Hobi yang ia tekuni beberapa tahun belakangan ini rupanya menjanjikan sebuah kado istimewa yang tak terbayangkan olehnya. Win Metawin. Seorang backpacker yang telah mencuri hatinya sejak lima tahun yang lalu.
Benar kata pepatah, hujan emas dinegri orang, hujan batu di negeri sendiri. Seberat apapun masalah yang kita hadapi, sejauh manapun kita melangkah, rumah masih menjadi tempat terbaik untuk kita pulang. Melepas penat, mengisi kembali energi yang terkuras habis.
Dan Metawin kini menyadari hal itu.
Bahwa pelariannya selama ini hanyalah sebuah cara yang ia tempuh untuk akhirnya kembali pulang.
Dan kini, rumah tempatnya berlabuh terasa semakin lengkap dengan hadirnya Bright Vachirawit, seorang fotografer yang ia temui secara tidak sengaja, yang kini menjadi dermaga untuknya menepi dari segala beban dunia.
Begitupun dengan Bright. Ia kini telah menemukan potret terbaik dalam hidupnya. Seorang lelaki yang ia temui lewat sebuah perjalanan. Seorang lelaki yang kini mengisi roll filmnya. Seorang Lelaki manis bernama Win Metawin.
“Kak Bright?” Panggil Metawin sambil mengintip ke arah sang kekasih yang sedang sibuk membuat omelet untuk sarapan mereka pagi ini.
Bright pun langsung menoleh. Tidak mengurangi sedikitpun fokusnya dari telur yang sedang menari diatas teflon itu. “Iya sayang, kenapa?” Sahutnya.
“Eum. . . Tujuan next trip kita, mau kemana ya kira-kira?”
“Kemana ya enaknya?” Sahut Bright bingung, “Kakak juga bingung nih mau kemana. Kok perasaan udah pernah semua dikunjungin,” imbuhnya sambil tertawa.
“Sebenernya, aku punya ide loh, hehe,” timpal Metawin sambil tertawa.
“Ide apa tuh?”
“Tunggu bentar,” ucap Metawin sambil melangkah pergi.
Pemuda manis itu terlihat berjalan menuju rak buku yang ada di ruang tamu. Mengambil selembar kertas yang terlihat seperti booklet, lalu kemudian membawa benda itu ke arah Bright yang baru saja mematikan kompor di dalam dapur.
Sambil tersenyum lebar, Metawin pun menunjukkan booklet itu kepada Bright. “Tadaa!” Ucapnya antusias.
Bright memandangi informasi serta gambar yang tertera di dalam booklet itu. “Bukchon Hanok?” Tebak Bright sambil tersenyum. “Seoul?”
Metawin mengangguk antusias, “he’eum! Seoul. Aku pengen banget ke sana. Pengen foto pakai hanbok, hehe.” Jawabnya.
Melihat tingkah kekasihnya itu membuat Bright tidak sanggup menyembunyikan senyumannya. Maka ia pun maju selangkah, lantas menghadiahi pipi gembil milik sang kekasih itu dengan sebuah kecupan hangat. “Oke, Sayang. Tujuan berikutnya, Seoul. Sama kamu, sama cinta kita.”
Fin.
bwuniverr, 2022