“H-hah . . Mas Genta j-juga bisa..?” Ulang Erwin.
Fokusnya kini teralihkan, tidak lagi terpaku kepada sosok hantu remaja laki-laki yang kini terlihat sama terkejutnya.
Melihat ekspresi Erwin yang begitu kaget membuat Genta bingung, “iya, saya bisa lihat dia, Win.” Ulang lelaki itu. “Kenapa sih kok kamu kayaknya kaget banget?”
Hah? Jangan-jangan Mas Genta nggak tau soal itu, ucap Erwin dalam hati.
“Win? Ada apa?” Tanya Genta yang mulai panik melihat air muka Erwin. “Kamu nggak apa-apa, kan?”
Erwin menggeleng lirih.
Jadi benar. Dari apa yang Erwin lihat, sepertinya hanya dirinya yang tau soal kabar itu. Tidak dengan Genta.
“M-mas bisa lihat mereka sejak kapan?” Tanya Erwin lagi yang masih penasaran.
Genta terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “sejak.. kecil, sih. Iya. Kayaknya dari kecil saya udah bisa lihat.”
“Ya Tuhan. . .” monolog Erwin. “Jangan-jangan emang bener…” gumamnya lirih.
“Kapan Mas genta sadar kal—”
“Kakak. . . Tolong. . .” Belum usai Erwin berbicara, hantu anak laki-laki itu sudah lebih dulu memanggilnya.
Sosok hantu itu kembali menangis. Dan kini, ia sudah mendekat kepada Erwin. Seakan berharap agar Erwin melihat keberadaannya.
Genta yang sepertinya mulai paham dengan situasi, lantas menghela nafas. “Win, nanti saya bisa jelasin. Sekarang, kamu tanggepin dulu dia,” ujar Genta sambil melirik ke arah hantu laki-laki itu.
Erwin pun mengalihkan pandangannya ke arah hantu laki-laki yang kini sudah ada di dekatnya.
Pemuda manis itu kembali menoleh ke arah Genta. Mencari afirmasi dari sana. Dan setelah mendapat sebuah anggukan dari si pemilik cafe, Erwin pun kembali meletakkan atensinya pada hantu laki-laki itu.
“Kamu mau minta tolong apa, hm? Kenapa sih kok sedih banget kayaknya?” Erwin mulai bertanya kepada hantu laki-laki itu dengan suaranya yang lembut.
Hantu laki-laki itu menatap Erwin sejenak, sebelum kembali menundukkan wajah sambil memilin ujung kemejanya sendiri.
“Hey. . .” panggil Erwin lagi. “Nggak apa-apa. Cerita aja sama kakak. Nggak usah takut,” ujar Erwin menenangkan.
Masih dengan posisi yang sama, sosok hantu remaja itu pun akhirnya buka suara, “aku takut kak. . .” ucapnya lirih.
“Takut?” Sahut Erwin dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Takut kenapa?”
Sosok itu akhirnya mengangkat wajah. Menunjukkan sekali lagi kepada Erwin rautnya yang sarat akan rasa sedih yang mendalam. “Aku takut di sini kak. . . aku mau pulang. . .” pintanya putus asa.
Hati Erwin bagai teriris mendengar permintaan hantu remaja laki-laki itu.
Pulang. Satu kata yang selalu Erwin dengar dari mulut para hantu yang pernah ia temui.
Mereka selalu ingin pulang. Sebab kebanyakan dari mereka belum bisa menerima kenyataan bahwa kematian telah datang menghampiri.
Maka seperti biasa, Erwin membalas permintaan sosok itu dengan sebuah senyuman. Berharap hal itu bisa menjadi setitik pelipur hati bagi mereka.
“Kamu mau pulang? Emang rumah kamu dimana, hm?” Tanya Erwin lagi. “Kalo kakak boleh tau, kenapa kamu bisa ada di sini?”
Sosok itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menggeleng singkat, “nggak tau kak. . . aku nggak ingat. . .” Jawabnya.
Ah, iya. Erwin lupa. Mana mungkin arwah seperti ini ingat bagaimana proses kematiannya.
“Mmm… kalo gitu, kakak boleh tau nggak nama kamu siapa?”
Sosok itu menatap wajah Erwin lekat-lekat. “Namaku. . . Elang, Kak. . .” Jawab sosok hantu remaja laki-laki itu yang ternyata bernama Elang.
“Oh, Elang…” balas Erwin. “Bagus banget ya namanya. . .”
Di belakang mereka berdua, Genta mengamati percakapan di antara kedua makhluk berbeda dunia itu lamat-lamat.
Genta tidak habis pikir. Rupanya Erwin bisa berkomunikasi sebegini lancarnya dengan mereka. Dan jujur, hal itu membuat Genta takjub.
Sebab selama ini, selama Genta melihat mereka, tidak ada satupun dari mereka yang mau berbicara dengannya. Termasuk Elang ini.
Genta sudah melihat sosok Elang sejak ia membuka Blue Moon Cafe. Dan sejak saat itu juga, Genta mencari seribu satu cara untuk berbicara dengannya. Tapi sayangnya semua rencana Genta selalu gagal.
Setiap kali melihat Elang, Genta selalu merasa sedih. Nuraninya selalu berkata agar ia mengajaknya berbicara, atau sekedar memberitahu kepadanya bahwa masih ada Genta di sini.
Namun sampai saat ini, hal itu tidak pernah terwujud. Sebab keduanya terhalang oleh komunikasi.
Dan baru sekarang ini, Genta akhirnya bisa mendengar suara Elang. Yang tentunya lewat perantara Erwin.
“Berarti Elang nggak tau ya kenapa bisa ke sini? Bener?” Tanya Erwin memastikan.
Elang mengangguk lirih.
Erwin menghela nafas. Situasinya cukup sulit. Erwin ingin menolong Elang. Tapi, keterbatasan informasi yang Erwin dapatkan membuatnya bingung harus bertindak seperti apa.
“Emm, Elang di sini dulu sebentar, ya?” Pinta Erwin. “Bentar aja kok, kakak nggak kemana-mana, janji,” imbuhnya setelah wajah Elang terlihat panik.
“Kakak mau ngobrol bentar sama kakak yang itu,” ujar Erwin pada Elang sambil menunjuk Genta. “Elang duduk di kursinya kakak, sebentaaar aja. Habis itu Kakak balik ke sini, oke?”
Elang menatap ke arah Genta ragu-ragu. Namun setelah melihat senyuman Erwin yang begitu teduh, anak itu pun menurut.
Ia langsung berjalan menuju meja yang tadinya dipakai oleh Genta dan Erwin, kemudian duduk di sana.
“Sip, anak pinter,” puji Erwin sambil tersenyum kepada Elang. “Kakak tinggal sebentar, yah? Janji sebentar doang, habis itu kakak balik. Oke?” Tanya Erwin yang dibalas anggukan oleh Elang.
Dan setelahnya, Erwin pun berbalik menatap Genta.
Genta yang sudah paham akan keinginan Erwin pun mengangguk. Lalu kemudian, ia bawa Erwin menuju dapur untuk berbincang di sana.
***
Setibanya di belakang dapur, Erwin langsung menodong Genta dengan sebuah pertanyaan. “Beneran Mas Genta bisa lihat dia?”
Genta mengangguk, “bisa. Namanya Elang, kan?” Tanyanya balik. “Saya juga bisa denger kok obrolan kalian tadi.” Imbuhnya.
“Saya nggak nyangka lho. . .” sahut Erwin sambil geleng-geleng kepala, “saya kira Mas Genta nggak punya kemampuan itu. . .” ucapnya.
Genta tersenyum, “saya bisa ngelihat mereka tuh dari kecil sih kayaknya. Tapi sadarnya kalo yang saya lihat bukan manusia itu waktu SD.” Jelas Genta.
“Berarti, Mas Genta udah lihat Elang sejak lama dong?”
Genta mengangguk, “sejak saya buka cafe ini, Elang udah ada di sini.”
“Ya Tuhan. . .” sahut Erwin tidak percaya, “terus.. kalo hantu-hantu yang di sin—”
“Saya tau, Win. Saya bisa lihat mereka semua.” Jawab Genta yang membuat Erwin semakin menganga.
“Tapi selama ini saya cuma bisa diem, nggak bisa berbuat apapun. Ngajak ngobrol aja nggak pernah bisa,” imbuh Genta.
“Berarti, Elang itu baru ngobrol sama saya, setelah sekian lama?” Tanya Erwin lagi.
Genta mengangguk. “Kamu itu, orang pertama yang diajak ngobrol sama Elang. Selama ini belum pernah ada,” jawab Genta. “Pantesan waktu pertama kali kamu ke sini, Elang tuh ngelihatin kamu terus..”
“Hah? Iya kah? Kok malah saya yang nggak sadar ya mas…” Balas Erwin sambil menggaruk kepalanya sendiri.
Genta mengedikkan bahu. “Mungkin kamu pas nggak lihat ke dia aja Win. . .”
“Iya juga ya,” ucap Erwin. “Oh iya.. kalo soal mitos itu, Mas Genta tau nggak?”
“Mitos? Mitos apa?”
“Ituloh Mas.. yang katanya, kalau ada dua orang dengan kemampuan spesial bertemu, terus berbagi kasih sayang, cinta, terus kemampuan spesialnya bisa dihilangkan?”
Dahi Genta mengernyit, “enggak. . . nggak pernah saya denger ada hal kayak gitu..” jawabnya sambil geleng-geleng kepala. “Emang mitos itu beneran ada?” Tanyanya balik.
Wah, berarti benar kalau Genta tidak tahu soal ini.
“Nggak tau sih, Mas..” jawab Erwin ragu. “Saya cuma pernah dengar aja. . .”
Genta manggut-manggut. “Oh iya, kamu beneran mau nolong si Elang itu?”
“Iya. Saya mau nolong dia Mas. Kenapa emangnya?”
“Nggak apa-apa sih,” sahut Genta. “Saya cuma belum pernah aja lihat orang nolongin hantu..”
Erwin tertawa lirih. “Saya pernah sih Mas. Beberapa kali,” timpalnya. “Saya juga punya temen hantu, ada di rumah. Sahabatan sejak SMP malah. . .”
“Wih, keren ya? Bisa sahabatan lintas dunia gitu?”
Keduanya sama-sama tertawa. “Iya dong. Biar nggak mainstream gitu Mas sahabatan sama manusia mulu..” sahut Erwin sambil tertawa.
“Terus, Elang mau kamu tolong kayak gimana?” Tanya Genta.
Erwin terdiam sejenak. Sebelum akhirnya menjawab, “mau saya bawa pulang aja anaknya.”
“Hah? Kamu serius bawa pulang hantu?”
Erwin mengangguk santai, “serius Mas. Lagian dia bilang kalo dia takut di sini.. mending saya bawa pulang dulu sambil cari informasi soal dia..”
“Bener juga,” sahut Genta. “Yaudah deh kalo gitu, saya rasa kamu lebih berpengalaman soal nolong hantu.. jadi gapapa deh. Saya percaya sama kamu.”
Erwin tersenyum, “iya, Mas Genta tenang aja.” Sahutnya. “Tapi kayaknya, malam ini belum bisa saya bawa pulang anaknya.. mungkin besok. Soalnya harus ada yang saya siapin dulu..”
“Iya. Nggak masalah. Terserah kamu aja,” sahut Genta. “Oh iya, kamu pulangnya gimana?”
Erwin melirik jam yang tertera di layar ponselnya. Benar juga ya, tidak terasa sudah hampir jam sepuluh saja. “Kayaknya naik ojek online deh Mas.. soalnya bis jam segini udah gaad—”
“Saya anter aja.” Potong Genta.
“Eh, jangan Mas.. tadi Mas Genta udah jemput saya lho.. masa iya mau nganter lagi? Nggak usah ya Mas?”
“Saya maksa ini. Saya maunya nganter kamu, gimana dong?” Tanya Genta balik sambil tersenyum jahil. “Udah ya, mau ya. Pokoknya malem ini saya anter pulangnya.” Tandas Genta.
Diberi ultimatum seperti itu membuat Erwin tidak bisa mengelak. Ia pun akhirnya hanya mengangguk pasrah. Membiarkan Genta teguh dengan pendiriannya.
“Nah begitu dong,” sahut Genta sambil tersenyum puas. “Kalo gitu, kamu samperin Elang dulu ya? Saya panggilin temen-temen.”
“Oke Mas,” jawab Erwin sambil mengangguk.
Dan setelahnya, Erwin pun berjalan keluar dari dapur untuk kembali kepada Elang. Meninggalkan Genta yang kemudian juga pergi untuk mendatangi teman-temannya.
***
Sudah hampir jam sepuluh malam, tapi Blue Moon Cafe masih saja dipenuhi pengunjung. Pengunjung manusia, serta pengunjung dari dunia lain.
Dari arah dapur, Erwin bisa melihat Elang yang masih duduk manis sambil menatap ke sekeliling dengan raut wajahnya yang masih saja terlihat sendu.
Entah kenapa, setiap menatap wajah hantu itu, Erwin merasakan sensasi aneh dalam hatinya. Yang Erwin sendiri tidak ketahui apa penyebabnya.
Dan karena itulah, Erwin bisa langsung mengambil keputusan untuk menolongnya.
“Elang. . .” Panggil Erwin.
Elang seketika mengangkat wajah, “Kakak. . .” sapanya balik pada Erwin sambil tersenyum.
Andai saja Elang ini bukan hantu, pasti dia sudah menjadi anak yang manis dan sangat menggemaskan.
Dengan wujudnya yang seperti ini saja, Erwin sudah merasa gemas. Apalagi jika Elang ada di wujud manusianya.
“Bener kan kakak nggak lama perginya?” Tanya Erwin yang disambut anggukan oleh Elang.
“Elang. . .” Panggil Erwin sambil menatap lekat ke arah sosok itu. Ia berikan senyuman hangat kepadanya, sebelum akhirnya berkata, “kakak bakal bantu kamu. Tapi ada syaratnya,” ucapnya.
“Syarat? Syarat apa kak?” Sahut anak itu.
“Ikut kakak pulang ya? Kamu tinggal sama kakak dulu, sambil kita cari informasi soal kamu pelan-pelan. Mau?”
Wajah Elang langsung terlihat begitu bahagia. Anak itu mengangguk dengan penuh semangat, “Mau Kak!” Jawabnya antusias.
Melihat hal itu, Erwin pun tak kuasa menahan senyumannya. “Oke. Kalo gitu, besok kamu ikut kakak pulang ya? Tapi malam ini, Elang di sini dulu, oke?”
Elang mengangguk. Seiring senyuman di wajah anak itu merekah semakin lebar.
Erwin lantas mengambil barang-barang bawaannya, “oke sip. Malam ini istirahat di sini dulu yah. Besok malem kakak ke sini lag—”
Bugh.
Erwin berjengit saat tiba-tiba Elang memeluknya.
“Terima kasih kakak… kakak baik banget…” Bisik anak itu diiringi sebuah senyuman sambil merengkuh tubuh Erwin erat-erat.
Berbeda dengan Erwin yang terlihat kaget. Sebab baru kali ini dalam hidupnya, ada hantu yang bisa menyentuh tubuhnya.
Bahkan selama ini, Khao belum pernah melakukannya. Harus ada serangkaian ritual khusus yang Erwin buat jika ia ingin bisa bersentuhan dengan hantu.
Tapi mengapa Elang bisa melakukannya?
Walau demikian, Erwin pun membalas pelukan sosok itu. Ia melingkarkan tangannya pada tubuh mungil milik Elang.
Dan pada detik itulah, Erwin bisa merasakan bagaimana tubuh Elang terasa begitu nyata. Seperti tubuh manusia pada umumnya.
“Sekali lagi terima kasih banyak ya kak..” ucap Elang lagi. Anak itu melepas rengkuhannya pada tubuh Erwin, “Elang bakal nunggu Kakak,” imbuhnya sambil tersenyum.
Erwin pun mengedipkan mata, sebelum akhirnya mengangguk. “Sama-sama, sampai ketemu besok ya..” balasnya.
Dan sedetik kemudian, Elang pun langsung berlari menuju sudut cafe. Menuju meja paling ujung di dalam cafe ini untuk kemudian bersembunyi di bawah kolongnya.
***
“Oh.. jadi ini yang namanya Erwin?”
Erwin seketika berdiri saat mendengar seseorang menyebutkan namanya.
Dan benar saja, di belakang sana, sudah berdiri Genta beserta tiga orang lainnya yang sepertinya adalah teman-temannya.
Erwin buru-buru mengangguk, “iya.. saya Erwin, Mas. Salam kenal. . .” ucap Erwin memperkenalkan diri.
“Salam kenal, Erwin. Gue Gunsmile. Panggil Bang Guns aja, oke? Biar akrab.” Ujar sosok lelaki dengan topi.
“Halo Mas Erwin, saya Anan. Adik tingkatnya Bang Genta waktu kuliah dulu, salam kenal ya?” Ucap seorang lelaki muda yang terlihat memiliki darah keturunan tionghoa.
Tersisa pria di samping Genta yang sepertinya sudah Erwin jumpai saat pertama kali dirinya datang di cafe ini.
Pria itu mengangkat alisnya, “salam kenal, Erwin. Gue Mike. Kita udah pernah ketemu kan kemaren?”
“Oh.. iya Bang, yang kemarin sama Mas Genta, kan?” Sahut Erwin yang dibalas oleh pria bernama Mike itu.
“Nah. Udah ya. Udah pada kenal sama Erwin, kan? Sekarang gue udah ga punya utang ya?” Ucap Genta pada ketiga temannya.
Sedetik kemudian, Genta terlihat melepas apron yang sejak tadi ia gunakan, “oh iya, habis ini gue mau nganterin Erwin pulang dulu ya? Titip cafenya.” Pamitnya pada ketiga temannya.
“Ciyeeeee, bang Genta udah nganter pulang aja nih, gercep amat,” goda Anan sambil menatap jahil ke arah Genta dan Erwin.
“Apaan sih gercep-gercep,” sahut Genta sambil tertawa. “Cuma nganter doang kok.” Ucapnya berkilah.
“Kalo nanti si Genta macem-macem, laporin ke kita aja ya Win, biar kita rujak tuh anak,” ucap Guns pada Erwin.
Erwin tertawa lirih, “siap Bang Guns, nanti saya bilang kalo ada tanda-tanda mencurigakan,” balas Erwin yang langsung dihadiahi tatapan sebal oleh Genta.
“Dah, dah, makin ngaco nih. Ayo Win, kita jalan, keburu malem,” Ajak Genta sambil berjalan mendahului Erwin.
Erwin mengangguk. Ia lantas menatap ketiga teman Genta bergantian, “Bang Mike, Bang Guns, Anan, saya pamit dulu ya? Terima kasih banyak..” pamitnya.
“Sama-sama Win, hati-hati yak.” Balas Mike sambil melambaikan tangan ke arah Erwin yang sudah berjalan mengikuti Genta.
“Pantesan Bang Genta semangat banget bikin partnershipnya.. orang Mas Erwin secakep itu..” ucap Anan yang disambut gelak tawa oleh mereka bertiga.
Dengan hati-hati, Erwin melangkah turun dari motor milik Genta setelah mereka berdua sampai di depan rumah Erwin.
Genta memandang ke arah rumah Erwin dengan seksama sebelum akhirnya bertanya, “kok sepi banget Win? Kamu tinggal sendirian?”
“Iya Mas. Saya sendirian. Dulu sih sama Tante saya, terus pas udah lulus SMA, Tante beli rumah sendiri,” jawab Erwin.
Genta mengangguk paham. Dari perbincangan singkat ini, Genta bisa memahami kondisi rekan kerjanya itu.
“Mas Genta mau mampir?” Tawar Erwin.
Genta menggeleng, “enggak deh, lain kali aja ya? Udah malem, kamu perlu istirahat. Lagian saya masih harus balik ke cafe. . .” jawabnya sambil tersenyum.
“Oh.. yaudah kalo begitu, terima kasih banyak ya Mas udah dijemput sama dianterin.. ngerepotin banget jadinya..” balas Erwin.
“Nggak repot, Win…” sahut Genta sambil tertawa. “Kan udah saya bilang, saya yang mau sendiri. . . nggak usah mikir begitu ya?”
Erwin mengangguk pasrah. Dan sepertinya, untuk selanjutnya Erwin harus menyiapkan sesuatu sebagai ucapan terima kasihnya kepada Genta.
“Kalo gitu… saya izin masuk dulu ya Mas?” Pamit Erwin kepada Genta. Ia pun melepas helm milik Genta lalu kemudian menyerahkan kepada pemiliknya. “Terima kasih juga buat helmnya mas..”
Genta tersenyum. Ia terima helm itu dari tangan Erwin.
Namun sedetik kemudian, keduanya saling menatap satu sama lain saat Genta tidak sengaja menggenggam tangan Erwin dengan lembut.
Mereka saling bergandeng tangan. Seperti enggan melepaskan satu sama lain.
Barulah, sedetik kemudian, Genta lebih dulu melepas genggaman tangan yang tidak mereka sengaja itu.
Menyisakan Genta dan Erwin yang wajahnya sama-sama tersipu malu, sambil salah tingkah setelah menyadari apa yang telah mereka alami.
“S-saya masuk dulu ya, Mas..” pamit Erwin pada Genta. “Mas Genta hati-hati di jalan ya? Jangan ngebut!”
Genta tertawa. “Iya.. nggak bakal ngebut.” Sahut Genta yang juga masih tersipu malu. “Selamat istirahat ya?”
Erwin mengangguk. Dengan pipinya yang bersemu merah, pemuda itu menahan senyumannya.
Dengan langkah perlahan, Erwin pun berjalan meninggalkan Genta. Namun kedua matanya masih terus melirik ke arah si pemilik cafe itu. Seolah tidak rela jika harus meninggalkannya.
Sedangkan Genta hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah Erwin seperti itu. Ia khawatir jika nanti Erwin bisa tersandung atau terbent—
“Aduh!”
Tuhkan. Belum usai Genta membatin, Erwin sudah lebih dulu tersandung lantai terasnya sendiri.
“Kamu gapapa Win?” Tanya Genta panik.
Di dalam teras itu, Erwin mengangguk, “Nggak apa-apa kok Mas..” sahutnya sambil merasa malu bukan main. “Saya masuk dulu ya, good night Mas Genta, hati-hati!” Ucapnya sambil buru-buru masuk ke dalam rumah.
Menyisakan Genta yang masih tersenyum geli mengingat tingkah Erwin barusan ini.
Genta tidak pernah mengira, jika ia hanya memerlukan dua hari.
Dua hari untuk dirinya jatuh cinta sedalam-dalamnya dengan sosok patissier manis bernama Erwin.
Dua hari untuk membuat dirinya sadar, bahwa bagaimanapun kedepannya, Genta akan memenangkan hati Erwin. Sepenuhnya, seutuhnya.
Roda besi yang menjadi penopang troli itu tak lagi menggelincir dengan yakin di atas lantai supermarket.
Gerakannya melambat, seiring dengan mulai ragunya langkah si pendorong, Erwin.
Entah kenapa, Erwin tiba-tiba merasakan hal yang sama dengan Genta setelah mereka saling bertukar kabar lewat whatsapp.
Hati Erwin mendadak gusar. Tiba-tiba ia merasa tidak nyaman berada di tempat ini.
Dan biasanya, Erwin merasakan hal seperti ini, saat ia sedang berada di dekat energi jahat yang sering merugikan manusia.
“Ah, nggak apa-apa Win, cuma firasat,” monolog Erwin meyakinkan diri.
Dan setelah satu buah tarikan nafas panjang, Erwin mempererat genggamannya pada handle bar troli, lalu membawa benda yang sudah terisi oleh beberapa kebutuhannya itu untuk melaju menyusuri lorong supermarket.
Setelah melawan keraguannya sendiri, Erwin pun berhasil melengkapi kebutuhan yang ia cari di supermarket ini.
Pemuda itu memasukkan choco chips, benda terakhir yang dibutuhkan ke dalam troli sambil tersenyum simpul.
“Tuhkan bener, nggak ada apa-apa,” gumam Erwin lega.
Sebab ternyata benar. Ketakutan yang muncul dalam benak Erwin berasal dari firasatnya saja.
Dan setelah memeriksa kembali daftar belanjaannya yang kini sudah lengkap, Erwin pun memutuskan untuk segera pulang ke rumah.
Walau tidak terjadi apa-apa, sejujurnya Erwin masih merasa tidak nyaman jika harus berlama-lama di tempat ini.
Sambil bersenandung di dalam hati, Erwin dorong troli itu untuk keluar menuju kasir. Pemberhentian terakhirnya di supermarket ini.
Masih tidak ada hal aneh yang Erwin rasakan selain pengunjung supermarket yang terasa tidak seramai biasanya.
Namun sejak tadi, Erwin beranggapan jika memang supermarket ini sedang sepi. Dan tidak mengaitkan hal tersebut dengan firasatnya.
Tapi ternyata, anggapan Erwin salah besar.
Saat tiba di lorong barang pecah belah, lorong terakhir yang harus dilewati untuk bisa sampai di kasir, lampu-lampu di atas sana tiba-tiba berubah redup.
Deg.
Troli itu berhenti. Seiring dengan Erwin yang langsung memasang posisi siaga setelah merasakan hal ini.
Erwin menajamkan pendengarannya. Sepasang obsidian hitamnya mengedar ke sekeliling. Berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Pemuda itu paham betul. Situasi seperti ini selalu terjadi, apabila ada energi dalam skala besar yang muncul di sekitarnya.
Belum sempat Erwin mendapat informasi, lampu yang ada di depan dan belakang tubuhnya seketika padam.
Menyisakan hanya satu lampu yang menyala di atas tubuhnya.
Membuat suasana menjadi sangat mencekam.
Gawat. Berarti benar, ada energi jahat dengan skala yang besar sedang berusaha untuk berkomunikasi dengannya.
Erwin mulai merasa takut. Sebab saat ini, ia benar-benar seorang diri.
Tidak ada orang lain di sini yang bisa Erwin mintai pertolongan, dan tidak ada Khao yang bisa Erwin gunakan sebagai perlindungan.
Merasa kondisinya terancam, Erwin buru-buru meraih ponselnya di dalam tas.
“Anjir.. kok gabisa..” gerutu Erwin saat ponsel itu kini justru tidak mau menyala.
Padahal barusan Erwin masih memakainya untuk memeriksa daftar belanjaannya. Tapi kenapa sekarang malah tidak bisa?
Ponsel itu kembali dimasukkan ke dalam tas. Sepertinya, yang bisa Erwin lakukan hanya satu hal.
Lari. Ya, Erwin harus lari dari tempat ini. Agar tidak terus terjebak dalam energi jahat yang semakin terasa kelam ini.
Erwin gigit bibir bawahnya sendiri, Ia tarik nafas dalam-dalam, berusaha menghalau rasa takut yang sejak tadi kian membuncah.
Pemuda itu memasang kuda-kuda, siap berlari sambil mendorong troli itu sebagai perlindungan untuk tubuhnya.
“Oh God.. please save me..” rapal Erwin di dalam hati.
Erwin lantas membuka mata. Lalu dengan segenap keyakinan yang masih ada dalam benaknya, Erwin pun mulai melangkah. Namun kemudian. . .
“Hai, Satya. Akhirnya kita ketemu juga.”
Deg.
Baru sejengkal Erwin menapak, tubuhnya seketika terdiam. Tepat setelah suara dingin dan mengerikan itu terdengar di telinganya.
Erwin sama sekali tak bisa bergerak. Kaki dan tangannya seakan dipaku pada gagang troli dan lantai.
Kepalanya bagai ditahan oleh sebilah kayu hingga membuatnya tak sanggup menengok kemanapun.
Mulutnya seolah disumbat. Hingga membuatnya tak sanggup mengeluarkan suara apapun.
Yang tersisa hanyalah nafas dan pandangan matanya. Membuatnya terpaksa melihat siluet seseorang yang muncul di balik kegelapan di depan sana.
Siluet itu tampak semakin nyata. Derap langkahnya menggema di seluruh lorong.
Perlahan, figur siluet itu mulai menampakkan wujud aslinya.
Seorang pria dengan pakaian serba hitam, bukan kain lusuh seperti hantu-hantu pada umumnya, melainkan setelan baju formal yang cenderung terlihat menawan.
Sosok itu mengenakan jubah hitam, serta sebuah topi yang menutupi sebagian wajahnya.
Barulah saat sosok itu keluar dari kegelapan, topi yang sejak tadi menghalau wajahnya itu terangkat.
Dan saat itulah, Erwin merasakan rasa takut yang luar biasa hebat.
Sorot mata pria itu begitu menakutkan. Sepasang matanya menyala, kelam, dan tatapannya begitu tajam. Sehingga sukses membuat Erwin ketakutan seperti ini.
Sosok laki-laki itu menghentikan langkahnya tepat di depan troli yang Erwin dorong.
Menyisakan keheningan setelah tadi ruangan ini dipenuhi oleh derap langkah kakinya.
Sosok itu tersenyum. Senyum paling licik dan menakutkan yang baru pertama kali ini Erwin lihat seumur hidupnya.
“Halo, Satya. . .” Sapa sosok itu kepada Erwin sambil menyeringai.
Satya. Dari mana ia tahu nama tengah Erwin?
“Tidak lama lagi, Satya.” Ucap lelaki menyeramkan itu.
Ia tatap wajah Erwin dengan sepasang matanya yang mengerikan, lalu melanjutkan perkataannya, “tidak lama lagi, kamu akan menuntaskan tugasmu sebagai sang pembebas.”
Sang Pembebas? Sang Pembebas apa lagi sih?
Sosok itu tertawa lirih. Seolah bisa mendengar apa yang sedang Erwin bicarakan di dalam hati.
Sedetik kemudian, lelaki itu kembali melangkah. Berjalan melewati troli itu perlahan-lahan sebelum akhirnya sampai tepat di hadapan Erwin.
“Sampai saat itu tiba, kamu harus berhati-hati dengan apa yang terlihat.” Ucap Lelaki itu sambil memandang wajah Erwin lekat-lekat.
“Karena tidak semua yang terlihat itu sesuai dengan apa yang kamu bayangkan, Satya.”
Jantung Erwin berdebar sangat kencang. Seolah berpacu dengan detik waktu yang bergulir begitu lambat di siang hari itu.
Jantung pemuda semakin berdebar kencang setelah sosok itu tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke telinga Erwin.
Di antara segenap rasa takut yang Erwin rasakan, sosok itu berbisik kepadanya, “nggak lama lagi, Satya. Nggak lama lagi. . .”
Hingga sesaat kemudian, sosok itu lenyap. Seiring dengan lampu-lampu di lorong itu yang mulai menyala kembali.
Barulah saat semua lampu itu sudah menyala, Erwin bisa menggerakan tubuhnya lagi.
Pemuda itu langsung menarik nafas dalam-dalam, seraya memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri.
Sosok itu.. siapa? Kenapa sosok itu bisa mengenalinya? Dan apa maksudnya dengan sang pembebas?
Ada sejuta pertanyaan yang muncul dalam benak Erwin. Namun pemuda itu tidak punya tenaga. Energinya seolah terkuras habis setelah bertemu dengan sosok itu.
“Win! Erwin!”
Erwin mengangkat wajahnya saat ia mendengar suara Khao dari kejauhan.
“Di sini.. Khao..” balas Erwin lirih.
“Win?! Erwin? Kamu diman—Astaga Erwin!” Seru Khao panik setelah melihat sang sahabat yang sudah terkulai lemas, dan hampir saja jatuh jika tidak ada troli yang menyangga tubuhnya.
“Win, astaga.. kamu kenapa? Kenapa kok pucet banget gini?” Tanya Khao sambil berusaha membantu Erwin bangkit.
Pemuda itu menggeleng lirih. “Aku nggak tau Khao.. aku tadi ketemu, sama orang.. serem..” ucap Erwin susah payah.
“Orang? Serem? Hantu kah?” Tebak Khao.
Namun lagi-lagi Erwin menggeleng. Erwin ingat betul jika ia melihat bayang-bayang tubuh sosok itu saat ia sedang berdiri di hadapannya.
Jadi, Erwin bisa yakin jika sosok yang tadi bukanlah hantu.
Tapi di satu sisi, Erwin pun merasa ragu. Sebab tidak ada manusia di dunia ini yang bisa melakukan hal-hal gila seperti tadi.
“Aku dari tadi tuh udah ngikutin kamu loh.. tapi setiap kali aku mau deketin kamu, aku gak bisa.. kayak ada kekuatan yang nahan aku..” jelas Khao sambil memberikan sedikit energinya kepada Erwin.
Erwin tidak bisa merespon. Terlalu banyak hal aneh yang menimpa dirinya saat ini.
Melihat hal itu, Khao pun berusaha memperbanyak energi yang ia berikan kepada Erwin. “Yaudah yuk, kita pulang dulu, nanti aja di bahas di rumah. Kamu kuat jalan?”
Erwin mengangguk. Rasanya masih ada sedikit tenaga di tubuh Erwin. Setidaknya masih bisa membawanya hingga sampai ke rumah.
“Yaudah kalo gitu kita pulang,” ajak Khao sambil terus menempelkan tangannya di punggung Erwin yang sudah mulai berjalan menuju kasir.
Sang Surya mulai menggelincir ke ufuk barat, pulang ke peraduannya saat Erwin terbangun dari tidurnya.
Kini tubuhnya terasa lebih baik, lebih segar. Kepalanya pun tidak lagi merasakan pusing seperti tadi siang.
“Eh, Erwin udah bangun. . .” Sapa Khao saat ia melihat sang sahabat yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.
Sambil mengucek matanya, Erwin menatap ke arah Khao yang sedang duduk di sofa sambil melihat ke luar jendela. “Tumben Khao di sini?”
“Iya, aku nggak tega ninggalin kamu. Tadi kamu lemes banget soalnya. Takut malah kenapa-napa,” jawab Khao sambil menggeser tubuhnya.
Erwin mengambil posisi di samping Khao, “aku udah gapapa kok. Udah nggak pusing, udah nggak lemes lagi..” sahutnya sambil menguap.
“Syukur deh kalo emang udah mendingan. . .” balas Khao. “Emang tadi kamu ketemu siapa sih Win di supermarket, kok sampe kamu lemes begitu?”
Erwin terdiam sejenak. Benaknya memutar kembali kilas memori tentang sosok lelaki menyeramkan yang tadi ia temui.
Erwin menggeleng lirih, “aku nggak tau dia siapa..” jawabnya sambil memandang wajah sahabatnya. “Yang pasti, dia serem banget.. auranya gelap, gelap banget..”
“Gelap gimana? Kayak hantu jahat gitu kah?”
Erwin menggeleng lagi, “aku nggak tau dia hantu atau bukan..”
“Loh? Berarti? Manusia?” Sahut Khao bingung.
“Bukan manusia juga, Khao..”
Nah loh. Sekarang dua orang beda alam itu sama-sama dibuat bingung dengan apa yang Erwin sampaikan.
“Lah? Kalau bukan hantu? Bukan manusia juga? Terus dia apa dong?” Tanya Khao lagi. “Emang wujudnya kayak gimana sih?”
Erwin lagi-lagi terdiam. Otaknya kembali menunjukkan sosok lelaki itu yang masih terekam jelas dalam ingatannya.
“Dia itu.. cowok, Khao. Aku nggak bisa ngira umurnya berapa. Yang pasti, dia tuh pake kemeja hitam, celana hitam, sepatu hitam, pake topi, pake jubah juga.. semuanya serba hitam..” jelas Erwin.
Dahi Khao mengernyit, “semuanya serba hitam?..” sahutnya ragu. “Terus habis itu?”
“Yang paling serem itu.. matanya..” jawab Erwin. “Matanya itu hitam pekat, Khao.. gelap, segelap malam..”
Wajah Khao seketika berubah panik. Erwin yang sadar akan perubahan raut muka sahabatnya itu pun langsung bertanya, “kenapa Khao? Kok kamu kayak panik gitu?”
“Nggak.. nggak apa-apa..” sahut Khao. “Aku tiba-tiba inget sama seseorang waktu kamu jelasin ciri-cirinya tadi. . .”
“Iya? Apa jangan-jangan kamu pernah ketemu sama dia?”
Khao menggeleng, “aku nggak yakin. Tapi.. kayaknya.. aku tau itu siapa..”
“Siapa Khao? Kamu kenal?” Tanya Erwin penasaran.
Sahabatnya itu menggeleng lagi, “aku nggak yakin, Win.. aku nggak bisa sebut dia siapa.” Jawabnya.
Khao lantas membalik badan. Ia tatap wajah Erwin lekat-lekat, “dengerin ya Win.. pokoknya, kalo kamu ketemu sama dia, coba untuk nutup mata. Jangan lihat wajahnya, jangan dengerin apapun yang dia omongin. . .”
“Kenapa kok gitu?”
“Turutin aja ya? Aku pun selalu dapet pesan kayak begitu. . .” Pinta Khao pada Erwin.
Sebenarnya Erwin masih penasaran dengan apa yang Khao sampaikan kepadanya.
Tapi, jika Khao sudah berpesan seperti ini, itu artinya situasi yang tadi Erwin hadapi tidak main-main.
Dan sudah semestinya Erwin menuruti apa yang Khao ucapkan, demi keselamatannya sendiri.
“Oke, aku bakal turutin.” Sahut Erwin. “Tapi janji ya, kalo kamu udah yakin dia siapa, kamu kasih tau aku. Oke?”
Khao mengangguk, “aku janji bakal kasih tau kamu kok. Tenang aja..” sahut Khao sambil tersenyum.
“Oh iya Khao.. aku lupa bilang..”
“Bilang apa Win?”
Erwin menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, “aku tuh habis ketemu sama hantu lagi.. di Cafenya Mas Genta.. dan rencananya aku mau ngajak pulang ke sini, gimana menurut kamu?”
“Mau kamu ajak pulang? Berarti dia hantu biasa?” Tanya Khao balik.
Erwin mengangguk, “kalo hantu yang nyeremin juga aku nggak bakal mau ngajak ke sini Khao..” sahutnya.
“Kalo aku gapapa sih.. lagian juga kan selama ini aku sendirian hehe, kalo ada satu lagi, berarti aku bakal punya temen,” ucap Khao sambil tersenyum. “Namanya siapa Win?”
“Namanya Elang. Dia lebih muda dari kita kok, lebih muda dari kamu juga.. masih anak SMP gitu kayaknya..”
“Ya ampun kasian banget masih umur segitu udah harus hidup di dunia mati..” sahut Khao dengan wajahnya yang terlihat sedih.
Erwin mengangguk lirih, “iya, kasihan.. tapi takdir orang kita nggak pernah tau, kan..” ucapnya.
“Nah, rencananya nanti malem aku mau ke cafenya Mas Genta lagi buat jemput dia. Kamu mau ikut nggak? Katanya pengen ikut ke cafe?” Tawar Erwin pada Khao.
Khao mengangguk dengan antusias, “iya aku mau! Aku juga pengen nemenin dia pulang ke sini,” sahutnya.
“Oke deh. Kalo gitu kita berangkat jam setengah tujuh aja ya? Biar sampe sana nggak malem-malem.”
“Iya siap Win!” Balas Khao bersemangat.
“Yaudah kalo gitu, aku mau mandi dulu ya? Udah sore juga nih. Biar nanti nggak gupuh..” pamit Erwin sambil langsung berjalan menuju kamar mandi.
Hembus angin di malam itu sama sekali tidak mengurangi semangat Erwin dan Khao untuk berjalan menuju Blue Moon Cafe.
Setelah tadi turun dari Bus yang Erwin naiki, kini mereka tinggal berjalan beberapa ratus meter untuk bisa tiba di Blue Moon Cafe.
Sejak turun dari dalam bus, Erwin tidak bisa berhenti tersenyum karena melihat Khao yang sangat antusias.
Sahabatnya itu berkali-kali tersenyum kegirangan sambil terus mengatakan jika ia tidak sabar untuk segera tiba di Cafe itu.
Kalau saja Erwin bisa terbang seperti Khao, mungkin ia sudah diajak melesat cepat agar tidak perlu repot-repot berjalan seperti ini.
Tapi kalau hal itu dilakukan, maka mereka berdua tidak akan merasakan sensasi tidak sabar yang seperti ini.
“Nah, itu cafenya,” ujar Erwin sambil menunjuk sebuah kafe dengan plakat bertuliskan Blue Moon.
Khao langsung mengikuti arah yang Erwin tunjukkan. Dan wajahnya langsung terlihat semakin antusias saat menangkap adanya cafe yang sejak tadi tidak sabar ia datangi.
Cafe bernuansa retro dengan cat berwarna dongker yang sudah tiga kali ini Erwin datangi.
“Yuk,” ajak Erwin untuk segera ke sana yang tentunya disambut anggukan super antusias oleh Khao.
Mereka berdua pun melanjutkan langkahnya kembali. Menyusuri sisa jalanan yang ada agar lekas tiba di cafe itu.
Semangat Khao masih sama besarnya. Sepertinya, Khao menyimpan banyak energinya untuk ia bawa menuju cafe.
Dan jujur, Erwin merasa sangat bahagia bisa melihat sahabatnya sesenang itu.
“Ayo Win, cepetan jalannya!” Ucap Khao yang sudah berjalan mendahului Erwin.
Erwin tertawa lirih, “sabar.. ngapain buru-buru sih, bentar lagi sampe kok,” sahutnya.
“Ih, justru ayo cepetan, tuh udah deket, biar kita cepet masuk ke san—”
Duagh! Brak!!
“Ah!!!”
“Astaga! KHAO!”
Kedua mata Erwin membola, seiring dengan tubuhnya yang langsung melesat menghampiri sang sahabat yang tiba-tiba terpental hingga jatuh tersungkur di atas tanah.
Erwin kaget bukan main. Sebab tiba-tiba, Khao seolah menghantam sesuatu yang tidak terlihat, hingga tubuhnya melayang jatuh lalu terhempas ke tanah.
“Astaga Khao, hey, kamu kenapa?” Tanya Khao sambil berusaha membantu sahabatnya itu untuk bangun.
Khao mengangkat wajahnya. Dan hal itu lagi-lagi berhasil membuat Erwin terkejut.
Sebab kini, Khao tampak sangat pucat. Tidak, wajah Khao terlihat seperti mayat hidup. Persis saat Erwin pertama kali bertemu dengannya dulu.
“Astaga…” gumam Erwin, “kamu kenapa Khao? Kenapa kok bisa jatuh?” Tanya Erwin khawatir.
Khao menggeleng lemah. Energi yang seharian ini sudah ia simpan rasanya menguap begitu saja. Lenyap entah kemana.
Di tengah kesadarannya yang begitu tipis, Khao memandang ke arah cafe itu.
Dan saat inilah, Khao baru bisa melihat bahwa ada sebuah penghalang yang menyelubungi cafe itu.
Penghalang itu serupa jaring laba-laba. Berwarna emas dengan sinar yang menyala begitu terang.
Pantas saja Khao sampai terpental dan hampir menghilang seperti ini. Sebab energi yang melindungi cafe itu bukan energi sembarangan.
“Aku.. aku nggak bisa ke sana Win. . .” ucap Khao lemah.
“Kenapa?” Sahut Erwin panik.
Dengan sisa tenaga yang Khao miliki, ia tunjuk Blue Moon Cafe yang masih berada cukup jauh di depan sana.
Ia lantas beralih menatap sang sahabat yang berada di sampingnya, lalu kemudian menjawab, “Cafe ini bukan cafe biasa Win. . .”
“Cafe ini. . . cafe dari dunia mati, Win. . .”
bwuniverr