bwuniverr

BYUUUUR!!!!

“ANJING! BRENGSEK LO BRIGHT! PANAS GOBLOK SELANGKANGAN GUE!!!”

Gunsmile, salah satu sababat Bright langsung berteriak heboh setelah selangkangannya tersiram oleh kopi hitam yang masih panas dari mulut Bright.

“Aduh, sori-sori, gue gak sengaja,” sahut Bright sambil terbatuk.

“Lu kenapa sih Bri? Tiba-tiba nyembur begitu? Habis baca berita apa lo?” Mike, sahabat Bright yang lain ikut bertanya pada si pelaku penyemprotan kopi yang menimpa Gunsmile itu.


Kamar milik sang berandalan itu dikuasai keheningan. Kendati ada dua orang manusia di dalamnya.

Kedua orang itu, si pemilik kamar dan tamu yang tak diundang, saling beradu tatap.

Namun sampai detik ini, mereka masih diam seribu bahasa.

Bright duduk di atas ranjang. Menatap penuh selidik ke arah Metawin.

Sedangkan si mahasiswa baru sejak tadi masih berdiri di sudut kamar, sambil mencuri-curi pandang dengan tatapan matanya yang masih terlihat takut.

Mereka sama-sama bergelut dengan pikiran masing-masing.

Nih anak ngapain berdiri mulu sih, pikir Bright.

Kakak ini serem banget.. takut. . . pikir Metawin.

“Lo ngapain sih berdiri terus?” Bright akhirnya bersuara.

Lama-lama pemuda itu kesal juga melihat Metawin yang terus berdiri seperti ini. “Duduk sini lo,” titahnya.

Metawin menjawab dengan gelengan singkat.

Pemuda manis itu tampak memilin ujung kemejanya sendiri.

Sambil terus berusaha memandang ke arah lain agar tidak beradu tatap dengan Bright.

Nambeng banget nih anak.

“Kenapa sih lo gak mau duduk? Cepet sini duduk, capek gue lihat lo berdiri.” Ucap Bright lagi dengan intonasi suaranya yang makin tinggi.

Namun lagi-lagi Metawin kembali menggeleng.

Sepertinya, mahasiswa baru yang satu ini memiliki pendirian yang kuat. Tapi hal itu justru membuat Bright naik pitam.

“Lo mau duduk sendiri apa gue paksa?!” Ancamnya sambil berdiri.

Metawin otomatis menatap si pemilik kamar itu. Wajahnya terlihat panik sekali.

“Sekali lagi, duduk sendiri apa gue paksa?!”

“Oke, kalo gitu bakal gue paks—”

“I-iya iya, aku duduk Kak!” Sahut Metawin panik.

Secepat kilat pemuda manis itu langsung duduk di lantai kamar Bright. Mengambil posisi tepat di depan si pemilik kamar.

“Nah gitu dong. Disuruh duduk aja susah amat,” gerutu Bright. “Siapa nama lo tadi? Metawin?”

Metawin mengangguk lirih, “iya Kak.. aku Metawin..” jawabnya.

“Jurusan apa lo?”

“Sastra Inggris, Kak. . .”

“Oh, anak FIB ternyata,” sahut Bright sambil manggut-manggut.

Bright berdehem sejenak. Ia benarkan posisi duduknya sebelum kembali berbicara.

“Gue Bright. Jurusan Musik, angkatan 2018.” Ucapnya memperkenalkan diri.

Metawin balas melirik Bright, “iya.. s-salam kenal Kak Bright. . . halo. . .” Sahut pemuda itu sambil tersenyum kikuk.

Halo katanya. Dikira gue call center kali.

“Oh iya. Kok lo bisa dapet kamar ini gimana ceritanya?” Tanya Bright pada Metawin.

“Itu, Kak.. kemarin kan aku daftar asrama, nah daftarnya itu telat. Dibilangi sama pihak asramanya kalau semua kamar udah penuh.” Ucap Metawin mengawali ceritanya.

Sambil sesekali menatap sekeliling kamar, Metawin melanjutkan ceritanya.

“Eh tadi pagi, aku ditelfon sama bu Hesti, katanya ada satu kamar yang cuma diisi satu orang. . . terus langsung dimasukin ke daftar penghuni sama dikasih kunci deh..”


iki enek tweet teko bright


Bright terdiam. Si berandalan itu terlihat sedang menimbang-nimbang.

Kalau dilihat dari apa yang Metawin sampaikan, sepertinya informasi ini benar adanya. Sebab Metawin menyebut nama Bu Hesti, yang notabene menjabat sebagai pengurus asrama kampus ini.

Dan kalau Bu Hesti sudah memutuskan, maka keputusan itu bersifat final. Tidak bisa diganggu gugat.

“Berarti, lo beneran bakal tinggal sekamar sama gue nih ceritanya?”

Metawin mengangguk, “iya Kak. . . kayaknya begitu. . .”

Bright menghela nafas. Jadi sepertinya mulai saat ini si berandalan itu harus mau berbagi kamar dengan Metawin.

“Oke deh kalo emang itu keputusannya.” Ucap Bright pasrah.

Pemuda itu lantas menatap Metawin lekat-lekat, “kalau lo mau tinggal di sini dengan aman, ada hal-hal yang mesti lo pahami. Bisa?”

Metawin mengangguk.

“Sip.” Sahut Bright. “Yang pertama, itu kasur lo.” Lanjut pemuda itu sambil menunjuk kasur lain di samping ranjang Bright.

“Kasur itu masih bersih, selalu gue bersihin.” Jelasnya. “Cuman karena gak pernah ada yang nempatin, akhirnya gue pake naruh baju sama buku. Nanti bakal gue beresin.”

Metawin manggut-manggut. Pemuda manis itu memperhatikan Bright dengan khidmat sambil sesekali melirik ke arah kasur yang nantinya akan menjadi tempatnya tidur.

“Gue cuma minta satu hal sama lo,” ucap Bright. “Jangan rame dan jangan suka ikut campur urusan gue, bisa kan?”

Metawin mengangguk cepat. “Bisa, Kak.” Jawabnya tegas.

Kini giliran Bright yang mengangguk. “Yaudah kalo gitu. Gue rasa lo udah paham.” Ucapnya.

Si pemilik kamar itu lantas berdiri. Ia meraih dompet, ponsel serta jaketnya. “Gue mau keluar dulu. Cari makan.” Pamitnya sebelum melangkah keluar dari kamar.

“Kak Bright,”

Bright menghentikan langkahnya, “apa lagi?” Sahutnya malas sambil kembali menatap Metawin.

Metawin pun ikut berdiri. Pemuda manis itu mengambil ponselnya dari saku celana, lalu menyerahkannya kepada Bright. “M-mau minta nomernya Kak Bright, boleh?” Pintanya sambil menatap Bright.

Anjir kalo ngelihat gausa begitu bisa gak sih?! Gerutu Bright di dalam hati.

Bright merasa kesal sebab cara Metawin menatapnya itu selalu membuat hatinya berdebar-debar. Aneh.

“Boleh,” sahutnya sambil meraih ponsel Metawin.

Dan setelah mengetik nomor miliknya pada papan dial ponsel Metawin, ia kembalikan ponsel itu pada pemiliknya.

Tidak disangka, Metawin menerima ponsel itu dengan wajah berbinar.

Dipandanginya sejenak nomor milik Bright itu sebelum kembali menatap pemiliknya, “Hehe. . . Makasih banyak Kak Bright. . .” Ucapnya sambil tersenyum lebar.

Deg! Deg! Deg!

Brengsek, senyumnya. . . manis banget anjiiir. . .

Eh, sadar Bright, sadar!

Bright geleng-geleng kepala. Berusaha memulihkan kesadarannya kembali.

Bahaya. Bright tidak pernah menyangka jika melihat senyuman milik seseorang bisa membuat dirinya malfungsi seperti ini.

Tidak ingin terjebak terlalu lama, Bright pun buru-buru berbalik badan, “gue pergi dulu,” ucapnya.

“Iya Kak, hati-hati di jal—”

Cklek.

Yah. . . udah pergi aja. . .


Sore itu lorong asrama terlihat sepi.

Bright berjalan santai sambil menenteng tas yang sepertinya tidak berisi apa-apa sambil menikmati sebatang rokok yang sudah hampir habis setengahnya.

Bright menarik nafas dalam-dalam, sebelum menghembuskannya dengan begitu lega, diiringi kepulan asap rokok yang membumbung tinggi memenuhi lorong asrama.

Satu sedotan lagi sebelum akhirnya rokok itu ia buang ke lantai.

Dan seperti biasanya, Bright segera menginjak puntung rokok yang masih menyala itu.

Helaan nafas terdengar dari mulut mahasiswa yang sering dicap sebagai berandalan itu.

Ia merasa lelah setelah seharian menghabiskan waktu di kampus untuk kuliah.

Padahal sih, ini baru hari pertama semester barunya.

Dan Bright sejujurnya lebih banyak tidur di dalam kelas daripada mendengarkan apa yang dosennya sampaikan.

Ceklek.

Pintu kamar bertuliskan nomor 215 itu terbuka. Menyuguhkan nuansa gelap yang berasal dari kamar yang ditempati pria itu.

Ia pun melangkah masuk. Melepaskan sepatunya di balik pintu, lalu meletakkan tas miliknya di atas nakas.

Walau perangainya terkesan sangar, untuk urusan pribadi seperti kamar asramanya ini, Bright akan menjaganya tetap bersih.

Terbukti dengan interior kamarnya yang tertata rapi, tanpa ada sampah berserakan sedikitpun.

Bright melirik jam digital yang melingkar di tangan kirinya. Pukul lima sore.

Ia pun buru-buru melepas kaos dan celananya. Ia letakkan jam yang sejak pagi melingkar di tangan kirinya sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi.

Bright merasa cukup lelah. Dan sepertinya, mandi menjadi salah satu alternatif untuk bisa menghilangkan rasa lelah yang ia rasakan.


Bright paling tidak suka diganggu. Oleh apapun itu.

Pemuda itu akan marah apabila ada sesuatu yang mengusik dirinya. Baik sengaja ataupun tidak.

Termasuk saat ini.

Bright sedang asyik menikmati kegiatan mandi sorenya.

Merasakan betapa nikmat saat tubuhnya yang lelah itu diguyur oleh air hangat.

Serta menikmati wangi aromatherapy dari lilin yang ia letakkan di dalam kamar mandinya.

Namun momen khidmatnya itu harus terganggu lantaran sejak tadi ada yang mengetuk pintu kamarnya terus-menerus.

Dengan emosi yang sudah tersulut karena suara ketukan tadi, Bright pun menyambar kaos dan celananya.

Dan secepat kilat, Bright kenakan pakaiannya itu.

Pemuda itu pun melangkah keluar dari kamar mandi dengan wajahnya yang terlihat kusut. Emosi.

Bright sudah Siap menghajar siapa saja yang sudah mengusik ketenangannya di sore ini.

Langkahnya ia percepat.

Dan dengan segenap amarah yang sudah bergemuruh di dalam dada, Bright pun memutar knop pintu kamar asramanya itu.

Cklek.

“Heh, brengsek. Ngapain lo ketok-ketok kamar gue? Ganggu tau gak?! Punya otak gak sih lo?!” Sambar sang berandalan itu tidak pandang bulu.

Namun hening, tidak ada jawaban.

Padahal Bright bisa melihat dengan jelas bahwa saat ini ada seseorang yang sedang berdiri di hadapannya.

Bright menghembuskan nafasnya. Desahan dari mulut pria itu terdengar sarat akan amarah.

Ia memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.

Hendak melihat siapa orang yang sudah kurang ajar mengusik ketentramannya di sore ini.

“Lo budeg apa gimana sih?! Kalo ditanya tuh jaw—”

“M-maaf, Kak. . .”

“...ab . . . . .”

Deg!

Deg!

Deg!

Anjir. . . .

Teriakan yang hendak Bright lontarkan seolah melesat kembali ke dalam tenggorokannya saat ia disuguhi wajah sang pelaku pengetuk kamarnya di sore ini.

Bright terpaku. Seperti sedang terhipnotis.

Tepat di hadapannya, Bright bisa melihat dengan jelas.

Sepasang mata hitam dengan kerling paling jernih yang belum pernah Bright lihat dalam hidupnya.

Wajah laki-laki itu begitu manis.

Bersih, putih, belum lagi rona merah yang terpancar jelas menghiasi pipinya.

Laki-laki itu menatap Bright dengan pandangannya yang terlihat penuh harap.

Dan entah kenapa, ditatap seperti itu membuat emosi yang sejak tadi siap meledak dalam diri Bright lenyap seketika.

Bright mengedipkan mata sambil geleng-geleng kepala.

Pemuda itu berusaha memulihkan kesadarannya yang sempat hilang beberapa saat karena wajah tamu tidak diundang di hadapannya ini.

“L-lo. . . s-siapa?” Tanya Bright kikuk.

Demi Tuhan, ini adalah kali pertama dalam hidup Bright untuk merasakan sensasi gugup yang aneh seperti ini.

Laki-laki manis itu mengangkat lagi wajahnya, “a-aku.. Metawin, Kak. . . m-mahasiswa baru..” jawab lelaki bernama Metawin itu dengan tidak kalah gugupnya.

Bright berdehem. Berusaha mengusir gugup yang yang masih menguasai dirinya, sekaligus berusaha agar ia terlihat tenang di hadapan tamunya ini.

“Mau apa lo kesini?” Tanyanya dingin.

Laki-laki itu tampak memilin ujung kemejanya sendiri. Ia terlihat ragu.

Setelah menunduk beberapa saat, Metawin kembali menatap Bright dengan tatapannya yang sejak tadi sukses membuat Bright gugup.

“A-aku.. tinggal di sini, Kak.. aku dapat kamar nomor 215. . .”

“Hah?! Yang bener?! Nggak usah ngarang ya lo!” Sahut Bright tidak terima.

Udah gangguin gue mandi, pake segala bohong juga nih bocah, kurang ajar.

Metawin menggeleng ribut. “Aku nggak bohong, Kak. . .” Jawabnya panik.

Pemuda manis itu terlihat merogoh saku celananya dengan buru-buru.

Sebelum akhirnya mengeluarkan benda kecil dan langsung mengarahkannya kepada Bright.

“Ini buktinya, Kak. Kunci kamarku. Dapat dari Ibu asrama. . .” Jelasnya.

Alis Bright bertaut. Sambil menatap penuh curiga, Bright meraih benda kecil yang rupanya adalah kunci berwarna perak dengan sebuah kartu yang menjadi gantungannya.

Dan saat sederet angka yang tertulis di atas kertas itu tertangkap oleh mata Bright, barulah mahasiswa yang kerap dicap sebagai berandalan kampus itu terbelalak.

  1. Nomor yang sama persis dengan apa yang tertulis di pintu kamarnya.

Anjing! Umpatnya dalam hati.

Bright kembali menatap wajah Metawin.

Pemuda manis itu masih terlihat gugup. Air mukanya menggambarkan rasa takut dan harap-harap cemas yang begitu jelas.

Bener anjir. . dia. . sekamar sama gue. . .

Gulp.

“Berarti.. Lo, sekamar sama gue?” Tanya Bright sekali lagi.

Dengan raut wajah yang masih sama, pemuda itu mengangguk.

Dan saat itulah Bright akhirnya menyadari, bahwa mulai detik ini, ia akan berbagi kamar dengan Metawin. Si Mahasiswa Baru dengan wajah manis dan lucu, yang diam-diam sukses membuat Bright terhipnotis karena parasnya itu.


H

Erwin menarik nafas dalam-dalam. berusaha mengatur hatinya yang sejak tadi berdebar-debar tidak karuan.

Aneh. Tidak biasanya Erwin merasakan sensasi seperti ini.

Ting Tong!

Lagi. Bel rumah itu berbunyi. Untuk yang kelima kalinya.

Satu tarikan nafas dalam-dalam kembali terdengar.

Pemuda itu memejamkan mata sejenak. Sebelum akhirnya menghembuskan nafas sepanjang mungkin.

“Oke Erwin, mari kita sambut tamu malam ini.” Ucapnya dengan yakin. Sebelum akhirnya ia berjalan cepat menuju pintu rumah.

Sesampainya di sana, Erwin tidak langsung membuka daun pintu berwarna gading di hadapannya.

Ia berdiam sejenak, kembali berusaha menenangkan hatinya yang masih berdebar-debar.

Sekali lagi, setelah sebuah helaan nafas, Erwin pun melangkah maju.

Dipandanginya gagang pintu berwarna emas itu, sebelum ia raih dengan sisa keraguan yang masih bergemuruh di dalam dada.

Ceklek.

“Permisi, Selamat Malam, benar ini dengan kediaman Om Thanat?”

Anjir. . . tunggu bentar. . . kok gue kayak kenal sama suaranya?

Erwin mengangkat wajahnya perlahan-lahan. “Benar, saya anaknya sendir—Hah?!”

“M-mas Brian?”

“Erwin?”

Erwin ternganga. Super kaget dengan apa yang saat ini dilihat olehnya. Begitupun dengan salah satu tamu yang berdiri tepat di hadapan Erwin.

Erwin tidak pernah menyangka jika tamu yang sejak kemarin sang Mami sebutkan itu adalah Brian.

Dan kini, dihadapkan dengan Brian, membuat Erwin kembali mengingat momen kebodohan supernya tadi siang.

Berbanding terbalik dengan Erwin yang masih terlihat sangat kaget.

Di hadapannya, Brian justru terlihat senyum-senyum sendiri. Pria itu, tidak pernah menyangka, jika keluarga Erwin lah yang sejak kemarin disebut sebagai teman oleh sang Papa.

Sambil tersenyum jahil, Brian pun maju selangkah, “nggak nyangka, ya. Kita bisa ketemu lagi.” Ucap Lelaki itu. “Halo lagi, Erwin..” sapanya sambil tersenyum.

Menyisakan Erwin yang masih terlihat shock. Kaget dengan kebetulan yang sangat konyol seperti ini.


Setelah hampir satu jam menunggu di dalam cafe yang terasa penuh sesak oleh pengunjung, Brian akhirnya bisa bertemu dengan Bang Podd, untuk mengambil barang yang Mas Erd titipkan kepadanya.

Dan saking ramainya cafe itu, Brian hanya sempat berbincang singkat dengan Bang Podd.

Sebelum akhirnya pemilik cafe itu harus kembali ke belakang untuk melayani para pengunjung yang terasa tidak ada habisnya.

Brian berjalan keluar dari toilet. Setelah tadi berbincang dengan Bang Podd, lelaki itu memutuskan untuk mencuci muka. Menghilangkan penat sekaligus sedikit rasa kantuk yang ada di sana.

Makin rame aja ya cafenya, ucap Brian di dalam hati saat ia melihat jika pengunjung cafe itu semakin bertambah banyak.

Sepasang mata elang milik lelaki itu memicing. Menatap bingung ke arah meja tempatnya duduk sejak datang di cafe ini.

Lah? Itu siapa? Tanyanya bingung saat melihat ada seorang pria yang kini sedang duduk di tempatnya itu.

Perasaan, Brian sudah meletakkan tas dan minumannya di atas meja itu. Tapi kenapa masih ada orang yang seenaknya duduk di sana?

Merasa khawatir akan barang-barang miliknya, Brian pun kembali berjalan menuju mejanya.

“Permisi. . .” Sapa Brian pada pria yang sedang duduk di tempatnya itu.

Pria yang sedang asyik meneguk minumannya itu terlihat kaget.

Ia melepas sedotan itu dari mulutnya, menelan sisa minuman yang ada di mulutnya, sebelum akhirnya berbalik badan.

Pria itu menyibak rambutnya. Memperlihatkan sebuah paras yang kemudian sukses membuat Brian terhenyak.

“Iya, Mas. Ada apa?” Sahut pria itu sambil tersenyum.

ANJIR!

Gulp. Brian menelan salivanya susah payah.

Baru kali ini, lelaki itu melihat sebuah senyuman yang terasa begitu manis bagai kembang gula di pasar malam.

Brian mematung di tempatnya. Tubuhnya seolah membeku setelah mendapat kejutan dari pria di hadapannya ini.

“Mas? Halo? Ada yang bisa saya bantu..?”

“Eh,” Brian tersentak. Lelaki itu mengerjapkan matanya, sambil geleng-geleng kepala. Berusaha mengembalikan kesadarannya yang sempat hilang karena dicuri oleh pria manis di hadapannya ini.

“Ehm. . . anu, i-ini.. ini meja say—Loh?

Kedua mata Brian kembali memicing setelah ia melihat minuman yang sejak tadi pria itu bawa dalam genggamannya.

“Maaf, itu minuman saya bukan, ya?” Tanya Brian sambil menunjuk segelas minuman pria itu bawa.

Pria itu terlihat bingung. Ia pun ikut melirik minuman dalam genggamannya, “loh, bukan Mas. Ini punya saya. . .” Jawabnya. “Saya tadi pesan macchiato.”

“Lah, sama.. saya juga..” sahut Brian.

Brian mempertajam pandangannya. Ia amati segelas macchiato dalam genggaman pria itu lekat-lekat. Sampai akhirnya. . .

“Nah!” Serunya saat menemukan sesuatu.

Brian lantas maju selangkah. Ia genggam minuman itu, lalu membalik gelasnya hingga menunjukan sebuah tulisan bernama Brian di salah satu sisinya. “Ini minuman saya. Tuh, buktinya ada nama saya.”

Pria itu seketika mendelik saat menyadari bahwa apa yang Brian katakan memang benar adanya. “Terus minuman gue.. kemana.. anjir...” Gumam Pria itu lirih.

Brian menegakkan tubuhnya. Dan saat ia melihat ke arah meja, Brian menemukan gelas lain dengan isi yang terlihat sama persis dengan miliknya.

Pantesan salah minum.. orang pesennya sama, batinnya.

“Ini punya kamu?” Tanya Brian pada pria itu setelah ia mengambil segelas macchiato lain yang ada di atas meja. “Atas nama.. Erwin, betul?”

Pria di hadapan Brian itu semakin mendelik.

*Anjrit. . . sumpah. . . beneran gue salah minum. . .”

“Hah?! Iya kah?!” Sahut Pria itu panik. Ia sampai langsung berdiri dan menyambar gelas yang dibawa oleh Brian.

Dan saat ia melihatnya, barulah pria itu sadar jika saat ini, ia sudah melakukan kebodohan besar. Sangat Besar.

“ASTAGA!” Pekiknya panik. “Astaga Astaga.. aduh Mas, maaf.. saya salah minum..” ucapnya penuh sesal sambil menatap ke arah Brian.

Kalau biasanya Brian akan menegur atau mengingatkan orang yang bertindak ceroboh seperti ini, untuk kali ini, entah kenapa, Brian enggan melakukannya.

Lelaki itu justru senyum-senyum sendiri sambil melihat tingkah Pria bernama Erwin yang kini terlihat begitu panik.

Selama ini, Brian belum pernah melihat ada seorang laki-laki dengan tingkah lugu dan cenderung lucu seperti ini.

Diam-diam, dalam hati kecilnya, Brian menyimpan setiap tingkah Pria itu. He’s cute, somehow. . .

“Mas.. saya m-minta maaf.. aduh, saya betulan nggak sadar kalau gelasnya keliru..” ucap Erwin sambil mengatupkan kedua tangannya, “t-terus tadi, saya kira nggak ada yang duduk di sini, jadi saya asal duduk aja.. maaf Mas..”

Brian menggaruk pelipisnya sendiri. “Iya-iya. Nggak apa-apa kok. It’s okay. Namanya juga nggak tau, kan?”

Huhuhu, saya malu banget Mas, mau nangis rasanya..”

Ya Tuhan, gemes banget.. gue sampe gak bisa marah anjir...

“Gapapa, hey. Nggak usah nangis. Saya nggak masalah kok..” sahut Brian sambil tersenyum. “Lagian cuma kopi. Nggak masalah. Nggak usah dipikirin. Lain kali lebih waspada aja, oke?”

Pria bernama Erwin itu mengangguk heboh. “Iya Mas, pasti saya bakal lebih waspada lagi!” Sahutnya.

Sambil meremat ujung kemejanya, Erwin menatap sendu ke arah Brian. “S-saya.. dimaafin, kan?”

BUSET LUCU BANGET

ADUH ADUH MATANYA!

ADUH GEMES BANGET, GAK SANGGUP

“Iya, dimaafin kok, santai aja ya..” jawab Brian sambil buru-buru mengedipkan mata.

“Aihhhh… terima kasih banyak Maass..” ucap Erwin antusias. “Kalau gitu, minumannya saya ganti, ya?”

“Eh, nggak usah. Cuman minuman kok. Gak perlu repot-repot,”

Ihh, saya mau ganti rugi ini Mas.. kan punya Mas udah saya minum sampe mau habis..”

“Nggak usah. Nggak perlu. Lagian cuma minuman kok. . .”

“Ih, yaudah kalo gitu saya minta nomernya!”

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Cafe itu mendadak hening setelah Erwin berbicara kepada Brian dengan begitu lantang.

Seisi cafe itu terlihat kaget, ada yang menatap sebal, ada yang berusaha menahan tawanya, dan ada yang terlihat heran dengan apa yang baru saja Erwin sampaikan. Termasuk Brian.

“Minta.. nomer.. saya?” Tanya Brian sambil tersenyum jahil.

“EH! ADUH, BUKAN GITU MAKSUD SAYA MAS!” Sahut Erwin panik. Duh brengseek kenapa gue mempermalukan diri sendiri gini sihhh

“Bukan gitu, Mas. M-maksud saya, anu.. eh, itu, kan Mas nggak mau kalau saya ganti rugi sekarang, jadi s-saya minta nomernya biar gampang ngehubungi kalau sewaktu-waktu Masnya udah mau saya ganti rugi, gituuu.” Ucap Erwin susah payah sambil berusaha menahan rasa malunya sendiri.

Tawa yang sejak tadi Brian tahan akhirnya lepas juga.

Lelaki itu tergelak dalam tawa setelah melihat tingkah pria bernama Erwin yang begitu ajaib ini.

Merasa kasihan dengan Erwin, Brian akhirnya menjulurkan tangannya. “Oke. Sini hpnya. Saya kasih nomer saya.”

Dengan wajah yang terlihat semerah tomat, Erwin menyerahkan ponselnya kepada Brian.

“Nih, udah.” Ucap Brian sambil menyerahkan kembali ponsel itu kepada pemiliknya.

Saat Ponsel itu sudah kembali ke tangan Erwin, Brian kembali menjulurkan tangannya. “Salam kenal, Brian.”

Erwin mengerjapkan matanya, sebelum akhirnya menyambut tangan Brian dengan sedikit ragu. “Salam kenal, Mas. S-saya.. Erwin.”

Setelahnya, Erwin buru-buru melepas jabat tangan itu. “K-kalo begitu, saya permisi ya Mas..” ucapnya. “Pokoknya, lain kali kalau saya mau ganti rugi, Mas Brian harus mau, oke?”

“Iya, lain kali saya mau kok.” Sahut Brian sambil tersenyum.

Dan di detik berikutnya, Erwin langsung melangkah pergi. Terbirit-birit meninggalkan Brian sekaligus keluar dari dalam cafe tempat ia melakukan kebodohan besar dalam hidupnya.

Brian pandangi punggung pria lucu bernama Erwin itu.

Ia tidak pernah menyangka jika kedatangannya ke sini sebagai utusan dari sang sepupu, justru membawa Brian bertemu dengan sosok super ajaib yang diam-diam berhasil mengambil tempat dalam hatinya.

Walau singkat, pertemuannya dengan Erwin terasa begitu berkesan.

Brian sendiri tak mengerti, mengapa benaknya tak bisa mengusir potret wajah pria lugu dan lucu itu dari sana.

Seolah, pikirannya itu hendak menyimpan momen pertemuannya dengan Erwin sebagai salah satu memori indah di sana.

Sejak dulu, Brian tidak pernah percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Sebab baginya, hal itu terasa mustahil.

Tapi sekarang, Brian baru sadar jika hal itu memang benar adanya.

Karena saat ini, tanpa Brian sadari, dirinya telah jatuh. Jatuh ke dalam perangkap bernama Cinta. Pada seorang pria asing, pria asing dengan tingkahnya yang ajaib, pria asing yang Brian ketahui bernama Erwin.


bwuniverr, 2022


Seandainya jantung Erwin bisa bersuara, maka akan terdengar bunyi rampak bagai tetabuhan yang bergema di medan perang.

Pria itu gugup sekali. Entah apa sebabnya.

Bel rumahnya sudah berbunyi berkali-kali. Namun ia masih enggan beranjak dari tempatnya berdiri.

Sejak tadi, Erwin terus menatap ke arah pintu rumahnya, satu-satunya sekat penghalang yang tersisa sebelum ia bertemu dengan tamu di luar sana.

Ting Tong!

Lagi, bel rumah itu berbunyi.

Dan sepertinya denting nyaring dari arah pintu rumahnya itu semakin membuat nyali Erwin ciut.

Aduh gimana ini ya. . .

Masa iya sih gak gue bukain.. nunggu papi mami aja..

Aih, tapi nanti kalo tamunya tersinggung gimana?

Duh, binguuuuung!

Dalam hati Erwin, perang besar sedang berkecamuk. Dia bingung harus bertindak seperti apa. Sebab semua opsi yang saat ini muncul dalam benaknya punya konsekuensi dan akibat masing-masing.

Erwin melirik jam dinding yang menggantung di salah satu sudut ruang tamu itu.

Tujuh lima belas. Yang artinya sudah hampir sepuluh menit Erwin membiarkan tamunya itu menunggu di luar sana.

“Duh anjir kasian juga ya orangnya..” monolognya sambil menatap cemas ke arah pintu, “tapi gimana huhu gue gugup. . .”

Ting Tong!

Sekali lagi, bel rumah itu berbunyi.

Dan kini, Erwin sepertinya sudah tiba di ujung pergulatan batinnya.

Pemuda itu menarik nafas dalam-dalam, sebelum akhirnya kaki jenjangnya itu membuka langkah. Membawa tubuh tegapnya itu maju dari posisinya yang sejak tadi stagnan.

Di tengah badai rasa gugup yang masih bergemuruh dalam hati, Erwin memutuskan untuk membukakan pintu.

Pemuda itu merasa tidak enak karena telah membuat tamunya menunggu begitu lama.

Sudah semestinya Erwin menyambut mereka. Bukannya terus terjebak dalam gugup dan cemas tak beralasan seperti ini.

Sesampainya di depan pintu, Erwin tidak langsung menarik gagang pintunya itu. Ia berdiam sejenak, berusaha meredam rasa gugup yang masih bergemuruh kencang di dalam hatinya.

Dan setelah sebuah tarikan nafas panjang, Erwin pun melangkah maju.

Dipandanginya gagang pintu itu sejenak, sebelum akhirnya ia raih dengan sisa keraguan yang masih bergejolak di dalam dada.

Ceklek.

Erwin sontak menahan nafas saat pintu gading itu terbuka.

Di hadapannya, Erwin bisa melihat figur dua orang laki-laki yang berdiri bersisian.

Mereka berdua terlihat rapi dengan setelan celana formal, sekaligus sepatu dengan warna senada.

Aduh beneran tamunya nih. . .

Lantas Erwin pun memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Hendak melihat seperti apa paras sang tamu yang sukses membuatnya gugup seharian ini.

“Selamat datang, maaf menunggu lam—”

Kalimat yang sedang Erwin ucapkan itu seolah kembali masuk ke dalam tenggorokannya.

Erwin tak bisa berkata-kata. Pemuda itu ngeblank. Tak mampu menguasai dirinya sendiri.

Sebab saat ini, Erwin dihadapkan pada wajah laki-laki yang terlihat begitu tampan. Begitu menawan, hingga membuat Erwin kehilangan kesadaran.

Ganteng. . . banget. . . ini malaikat apa ya?

“Kamu anaknya Thanat?”

Lamunan Erwin langsung buyar setelah mendengar suara dari salah seorang tamunya dengan wajah yang cukup dewasa.

Pria itu berwajah tegas, cenderung kaku. Dan dari air mukanya, Erwin bisa menebak jika usia pria itu sama dengan Papinya.

“I-iya.. s-saya sendiri,” jawab Erwin gugup.

Setelah kesadaran pemuda itu pulih, ia langsung bergeser. “S-silahkan masuk, Om.. Mas…” Sambutnya pada mereka berdua.

Kedua orang tamunya itu langsung melangkah masuk. Diawali oleh pria dewasa yang tadi bertanya kepadanya, disusul oleh pria kedua. Pria tampan yang sukses membuat Erwin hilang kesadaran.

ANJIR GANTENG BANGET SIH. . .

Senyumnya. . . Ya Tuhan. . . Manis banget. . . Puji Erwin dalam hati setelah tadi sempat mencuri-curi pandang ke arah pria tampan itu.

Dan setelahnya, Erwin pun ikut masuk. Menyusul kedua tamunya, serta berusaha menyambut kehadiran mereka dengan baik. Seperti yang diintruksikan oleh sang mami.

Sambil terus mengingat-ingat senyum manis milik pria tampan itu dengan hati yang berdebar-debar.


“H-hah . . Mas Genta j-juga bisa..?” Ulang Erwin.

Fokusnya kini teralihkan, tidak lagi terpaku kepada sosok hantu remaja laki-laki yang kini terlihat sama terkejutnya.

Melihat ekspresi Erwin yang begitu kaget membuat Genta bingung, “iya, saya bisa lihat dia, Win.” Ulang lelaki itu. “Kenapa sih kok kamu kayaknya kaget banget?”

Hah? Jangan-jangan Mas Genta nggak tau soal itu, ucap Erwin dalam hati.

“Win? Ada apa?” Tanya Genta yang mulai panik melihat air muka Erwin. “Kamu nggak apa-apa, kan?”

Erwin menggeleng lirih.

Jadi benar. Dari apa yang Erwin lihat, sepertinya hanya dirinya yang tau soal kabar itu. Tidak dengan Genta.

“M-mas bisa lihat mereka sejak kapan?” Tanya Erwin lagi yang masih penasaran.

Genta terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “sejak.. kecil, sih. Iya. Kayaknya dari kecil saya udah bisa lihat.”

“Ya Tuhan. . .” monolog Erwin. “Jangan-jangan emang bener…” gumamnya lirih.

“Kapan Mas genta sadar kal—”

“Kakak. . . Tolong. . .” Belum usai Erwin berbicara, hantu anak laki-laki itu sudah lebih dulu memanggilnya.

Sosok hantu itu kembali menangis. Dan kini, ia sudah mendekat kepada Erwin. Seakan berharap agar Erwin melihat keberadaannya.

Genta yang sepertinya mulai paham dengan situasi, lantas menghela nafas. “Win, nanti saya bisa jelasin. Sekarang, kamu tanggepin dulu dia,” ujar Genta sambil melirik ke arah hantu laki-laki itu.

Erwin pun mengalihkan pandangannya ke arah hantu laki-laki yang kini sudah ada di dekatnya.

Pemuda manis itu kembali menoleh ke arah Genta. Mencari afirmasi dari sana. Dan setelah mendapat sebuah anggukan dari si pemilik cafe, Erwin pun kembali meletakkan atensinya pada hantu laki-laki itu.

“Kamu mau minta tolong apa, hm? Kenapa sih kok sedih banget kayaknya?” Erwin mulai bertanya kepada hantu laki-laki itu dengan suaranya yang lembut.

Hantu laki-laki itu menatap Erwin sejenak, sebelum kembali menundukkan wajah sambil memilin ujung kemejanya sendiri.

“Hey. . .” panggil Erwin lagi. “Nggak apa-apa. Cerita aja sama kakak. Nggak usah takut,” ujar Erwin menenangkan.

Masih dengan posisi yang sama, sosok hantu remaja itu pun akhirnya buka suara, “aku takut kak. . .” ucapnya lirih.

“Takut?” Sahut Erwin dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Takut kenapa?”

Sosok itu akhirnya mengangkat wajah. Menunjukkan sekali lagi kepada Erwin rautnya yang sarat akan rasa sedih yang mendalam. “Aku takut di sini kak. . . aku mau pulang. . .” pintanya putus asa.

Hati Erwin bagai teriris mendengar permintaan hantu remaja laki-laki itu.

Pulang. Satu kata yang selalu Erwin dengar dari mulut para hantu yang pernah ia temui.

Mereka selalu ingin pulang. Sebab kebanyakan dari mereka belum bisa menerima kenyataan bahwa kematian telah datang menghampiri.

Maka seperti biasa, Erwin membalas permintaan sosok itu dengan sebuah senyuman. Berharap hal itu bisa menjadi setitik pelipur hati bagi mereka.

“Kamu mau pulang? Emang rumah kamu dimana, hm?” Tanya Erwin lagi. “Kalo kakak boleh tau, kenapa kamu bisa ada di sini?”

Sosok itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menggeleng singkat, “nggak tau kak. . . aku nggak ingat. . .” Jawabnya.

Ah, iya. Erwin lupa. Mana mungkin arwah seperti ini ingat bagaimana proses kematiannya.

“Mmm… kalo gitu, kakak boleh tau nggak nama kamu siapa?”

Sosok itu menatap wajah Erwin lekat-lekat. “Namaku. . . Elang, Kak. . .” Jawab sosok hantu remaja laki-laki itu yang ternyata bernama Elang.

“Oh, Elang…” balas Erwin. “Bagus banget ya namanya. . .”

Di belakang mereka berdua, Genta mengamati percakapan di antara kedua makhluk berbeda dunia itu lamat-lamat.

Genta tidak habis pikir. Rupanya Erwin bisa berkomunikasi sebegini lancarnya dengan mereka. Dan jujur, hal itu membuat Genta takjub.

Sebab selama ini, selama Genta melihat mereka, tidak ada satupun dari mereka yang mau berbicara dengannya. Termasuk Elang ini.

Genta sudah melihat sosok Elang sejak ia membuka Blue Moon Cafe. Dan sejak saat itu juga, Genta mencari seribu satu cara untuk berbicara dengannya. Tapi sayangnya semua rencana Genta selalu gagal.

Setiap kali melihat Elang, Genta selalu merasa sedih. Nuraninya selalu berkata agar ia mengajaknya berbicara, atau sekedar memberitahu kepadanya bahwa masih ada Genta di sini.

Namun sampai saat ini, hal itu tidak pernah terwujud. Sebab keduanya terhalang oleh komunikasi.

Dan baru sekarang ini, Genta akhirnya bisa mendengar suara Elang. Yang tentunya lewat perantara Erwin.

“Berarti Elang nggak tau ya kenapa bisa ke sini? Bener?” Tanya Erwin memastikan.

Elang mengangguk lirih.

Erwin menghela nafas. Situasinya cukup sulit. Erwin ingin menolong Elang. Tapi, keterbatasan informasi yang Erwin dapatkan membuatnya bingung harus bertindak seperti apa.

“Emm, Elang di sini dulu sebentar, ya?” Pinta Erwin. “Bentar aja kok, kakak nggak kemana-mana, janji,” imbuhnya setelah wajah Elang terlihat panik.

“Kakak mau ngobrol bentar sama kakak yang itu,” ujar Erwin pada Elang sambil menunjuk Genta. “Elang duduk di kursinya kakak, sebentaaar aja. Habis itu Kakak balik ke sini, oke?”

Elang menatap ke arah Genta ragu-ragu. Namun setelah melihat senyuman Erwin yang begitu teduh, anak itu pun menurut.

Ia langsung berjalan menuju meja yang tadinya dipakai oleh Genta dan Erwin, kemudian duduk di sana.

“Sip, anak pinter,” puji Erwin sambil tersenyum kepada Elang. “Kakak tinggal sebentar, yah? Janji sebentar doang, habis itu kakak balik. Oke?” Tanya Erwin yang dibalas anggukan oleh Elang.

Dan setelahnya, Erwin pun berbalik menatap Genta.

Genta yang sudah paham akan keinginan Erwin pun mengangguk. Lalu kemudian, ia bawa Erwin menuju dapur untuk berbincang di sana.

***

Setibanya di belakang dapur, Erwin langsung menodong Genta dengan sebuah pertanyaan. “Beneran Mas Genta bisa lihat dia?”

Genta mengangguk, “bisa. Namanya Elang, kan?” Tanyanya balik. “Saya juga bisa denger kok obrolan kalian tadi.” Imbuhnya.

“Saya nggak nyangka lho. . .” sahut Erwin sambil geleng-geleng kepala, “saya kira Mas Genta nggak punya kemampuan itu. . .” ucapnya.

Genta tersenyum, “saya bisa ngelihat mereka tuh dari kecil sih kayaknya. Tapi sadarnya kalo yang saya lihat bukan manusia itu waktu SD.” Jelas Genta.

“Berarti, Mas Genta udah lihat Elang sejak lama dong?”

Genta mengangguk, “sejak saya buka cafe ini, Elang udah ada di sini.”

“Ya Tuhan. . .” sahut Erwin tidak percaya, “terus.. kalo hantu-hantu yang di sin—”

“Saya tau, Win. Saya bisa lihat mereka semua.” Jawab Genta yang membuat Erwin semakin menganga.

“Tapi selama ini saya cuma bisa diem, nggak bisa berbuat apapun. Ngajak ngobrol aja nggak pernah bisa,” imbuh Genta.

“Berarti, Elang itu baru ngobrol sama saya, setelah sekian lama?” Tanya Erwin lagi.

Genta mengangguk. “Kamu itu, orang pertama yang diajak ngobrol sama Elang. Selama ini belum pernah ada,” jawab Genta. “Pantesan waktu pertama kali kamu ke sini, Elang tuh ngelihatin kamu terus..”

“Hah? Iya kah? Kok malah saya yang nggak sadar ya mas…” Balas Erwin sambil menggaruk kepalanya sendiri.

Genta mengedikkan bahu. “Mungkin kamu pas nggak lihat ke dia aja Win. . .”

“Iya juga ya,” ucap Erwin. “Oh iya.. kalo soal mitos itu, Mas Genta tau nggak?”

“Mitos? Mitos apa?”

“Ituloh Mas.. yang katanya, kalau ada dua orang dengan kemampuan spesial bertemu, terus berbagi kasih sayang, cinta, terus kemampuan spesialnya bisa dihilangkan?”

Dahi Genta mengernyit, “enggak. . . nggak pernah saya denger ada hal kayak gitu..” jawabnya sambil geleng-geleng kepala. “Emang mitos itu beneran ada?” Tanyanya balik.

Wah, berarti benar kalau Genta tidak tahu soal ini.

“Nggak tau sih, Mas..” jawab Erwin ragu. “Saya cuma pernah dengar aja. . .”

Genta manggut-manggut. “Oh iya, kamu beneran mau nolong si Elang itu?”

“Iya. Saya mau nolong dia Mas. Kenapa emangnya?”

“Nggak apa-apa sih,” sahut Genta. “Saya cuma belum pernah aja lihat orang nolongin hantu..”

Erwin tertawa lirih. “Saya pernah sih Mas. Beberapa kali,” timpalnya. “Saya juga punya temen hantu, ada di rumah. Sahabatan sejak SMP malah. . .”

“Wih, keren ya? Bisa sahabatan lintas dunia gitu?”

Keduanya sama-sama tertawa. “Iya dong. Biar nggak mainstream gitu Mas sahabatan sama manusia mulu..” sahut Erwin sambil tertawa.

“Terus, Elang mau kamu tolong kayak gimana?” Tanya Genta.

Erwin terdiam sejenak. Sebelum akhirnya menjawab, “mau saya bawa pulang aja anaknya.”

“Hah? Kamu serius bawa pulang hantu?”

Erwin mengangguk santai, “serius Mas. Lagian dia bilang kalo dia takut di sini.. mending saya bawa pulang dulu sambil cari informasi soal dia..”

“Bener juga,” sahut Genta. “Yaudah deh kalo gitu, saya rasa kamu lebih berpengalaman soal nolong hantu.. jadi gapapa deh. Saya percaya sama kamu.”

Erwin tersenyum, “iya, Mas Genta tenang aja.” Sahutnya. “Tapi kayaknya, malam ini belum bisa saya bawa pulang anaknya.. mungkin besok. Soalnya harus ada yang saya siapin dulu..”

“Iya. Nggak masalah. Terserah kamu aja,” sahut Genta. “Oh iya, kamu pulangnya gimana?”

Erwin melirik jam yang tertera di layar ponselnya. Benar juga ya, tidak terasa sudah hampir jam sepuluh saja. “Kayaknya naik ojek online deh Mas.. soalnya bis jam segini udah gaad—”

“Saya anter aja.” Potong Genta.

“Eh, jangan Mas.. tadi Mas Genta udah jemput saya lho.. masa iya mau nganter lagi? Nggak usah ya Mas?”

“Saya maksa ini. Saya maunya nganter kamu, gimana dong?” Tanya Genta balik sambil tersenyum jahil. “Udah ya, mau ya. Pokoknya malem ini saya anter pulangnya.” Tandas Genta.

Diberi ultimatum seperti itu membuat Erwin tidak bisa mengelak. Ia pun akhirnya hanya mengangguk pasrah. Membiarkan Genta teguh dengan pendiriannya.

“Nah begitu dong,” sahut Genta sambil tersenyum puas. “Kalo gitu, kamu samperin Elang dulu ya? Saya panggilin temen-temen.”

“Oke Mas,” jawab Erwin sambil mengangguk.

Dan setelahnya, Erwin pun berjalan keluar dari dapur untuk kembali kepada Elang. Meninggalkan Genta yang kemudian juga pergi untuk mendatangi teman-temannya.

***

Sudah hampir jam sepuluh malam, tapi Blue Moon Cafe masih saja dipenuhi pengunjung. Pengunjung manusia, serta pengunjung dari dunia lain.

Dari arah dapur, Erwin bisa melihat Elang yang masih duduk manis sambil menatap ke sekeliling dengan raut wajahnya yang masih saja terlihat sendu.

Entah kenapa, setiap menatap wajah hantu itu, Erwin merasakan sensasi aneh dalam hatinya. Yang Erwin sendiri tidak ketahui apa penyebabnya.

Dan karena itulah, Erwin bisa langsung mengambil keputusan untuk menolongnya.

“Elang. . .” Panggil Erwin.

Elang seketika mengangkat wajah, “Kakak. . .” sapanya balik pada Erwin sambil tersenyum.

Andai saja Elang ini bukan hantu, pasti dia sudah menjadi anak yang manis dan sangat menggemaskan.

Dengan wujudnya yang seperti ini saja, Erwin sudah merasa gemas. Apalagi jika Elang ada di wujud manusianya.

“Bener kan kakak nggak lama perginya?” Tanya Erwin yang disambut anggukan oleh Elang.

“Elang. . .” Panggil Erwin sambil menatap lekat ke arah sosok itu. Ia berikan senyuman hangat kepadanya, sebelum akhirnya berkata, “kakak bakal bantu kamu. Tapi ada syaratnya,” ucapnya.

“Syarat? Syarat apa kak?” Sahut anak itu.

“Ikut kakak pulang ya? Kamu tinggal sama kakak dulu, sambil kita cari informasi soal kamu pelan-pelan. Mau?”

Wajah Elang langsung terlihat begitu bahagia. Anak itu mengangguk dengan penuh semangat, “Mau Kak!” Jawabnya antusias.

Melihat hal itu, Erwin pun tak kuasa menahan senyumannya. “Oke. Kalo gitu, besok kamu ikut kakak pulang ya? Tapi malam ini, Elang di sini dulu, oke?”

Elang mengangguk. Seiring senyuman di wajah anak itu merekah semakin lebar.

Erwin lantas mengambil barang-barang bawaannya, “oke sip. Malam ini istirahat di sini dulu yah. Besok malem kakak ke sini lag—”

Bugh.

Erwin berjengit saat tiba-tiba Elang memeluknya.

“Terima kasih kakak… kakak baik banget…” Bisik anak itu diiringi sebuah senyuman sambil merengkuh tubuh Erwin erat-erat.

Berbeda dengan Erwin yang terlihat kaget. Sebab baru kali ini dalam hidupnya, ada hantu yang bisa menyentuh tubuhnya.

Bahkan selama ini, Khao belum pernah melakukannya. Harus ada serangkaian ritual khusus yang Erwin buat jika ia ingin bisa bersentuhan dengan hantu.

Tapi mengapa Elang bisa melakukannya?

Walau demikian, Erwin pun membalas pelukan sosok itu. Ia melingkarkan tangannya pada tubuh mungil milik Elang.

Dan pada detik itulah, Erwin bisa merasakan bagaimana tubuh Elang terasa begitu nyata. Seperti tubuh manusia pada umumnya.

“Sekali lagi terima kasih banyak ya kak..” ucap Elang lagi. Anak itu melepas rengkuhannya pada tubuh Erwin, “Elang bakal nunggu Kakak,” imbuhnya sambil tersenyum.

Erwin pun mengedipkan mata, sebelum akhirnya mengangguk. “Sama-sama, sampai ketemu besok ya..” balasnya.

Dan sedetik kemudian, Elang pun langsung berlari menuju sudut cafe. Menuju meja paling ujung di dalam cafe ini untuk kemudian bersembunyi di bawah kolongnya.

***

“Oh.. jadi ini yang namanya Erwin?”

Erwin seketika berdiri saat mendengar seseorang menyebutkan namanya.

Dan benar saja, di belakang sana, sudah berdiri Genta beserta tiga orang lainnya yang sepertinya adalah teman-temannya.

Erwin buru-buru mengangguk, “iya.. saya Erwin, Mas. Salam kenal. . .” ucap Erwin memperkenalkan diri.

“Salam kenal, Erwin. Gue Gunsmile. Panggil Bang Guns aja, oke? Biar akrab.” Ujar sosok lelaki dengan topi.

“Halo Mas Erwin, saya Anan. Adik tingkatnya Bang Genta waktu kuliah dulu, salam kenal ya?” Ucap seorang lelaki muda yang terlihat memiliki darah keturunan tionghoa.

Tersisa pria di samping Genta yang sepertinya sudah Erwin jumpai saat pertama kali dirinya datang di cafe ini.

Pria itu mengangkat alisnya, “salam kenal, Erwin. Gue Mike. Kita udah pernah ketemu kan kemaren?”

“Oh.. iya Bang, yang kemarin sama Mas Genta, kan?” Sahut Erwin yang dibalas oleh pria bernama Mike itu.

“Nah. Udah ya. Udah pada kenal sama Erwin, kan? Sekarang gue udah ga punya utang ya?” Ucap Genta pada ketiga temannya.

Sedetik kemudian, Genta terlihat melepas apron yang sejak tadi ia gunakan, “oh iya, habis ini gue mau nganterin Erwin pulang dulu ya? Titip cafenya.” Pamitnya pada ketiga temannya.

“Ciyeeeee, bang Genta udah nganter pulang aja nih, gercep amat,” goda Anan sambil menatap jahil ke arah Genta dan Erwin.

“Apaan sih gercep-gercep,” sahut Genta sambil tertawa. “Cuma nganter doang kok.” Ucapnya berkilah.

“Kalo nanti si Genta macem-macem, laporin ke kita aja ya Win, biar kita rujak tuh anak,” ucap Guns pada Erwin.

Erwin tertawa lirih, “siap Bang Guns, nanti saya bilang kalo ada tanda-tanda mencurigakan,” balas Erwin yang langsung dihadiahi tatapan sebal oleh Genta.

“Dah, dah, makin ngaco nih. Ayo Win, kita jalan, keburu malem,” Ajak Genta sambil berjalan mendahului Erwin.

Erwin mengangguk. Ia lantas menatap ketiga teman Genta bergantian, “Bang Mike, Bang Guns, Anan, saya pamit dulu ya? Terima kasih banyak..” pamitnya.

“Sama-sama Win, hati-hati yak.” Balas Mike sambil melambaikan tangan ke arah Erwin yang sudah berjalan mengikuti Genta.

“Pantesan Bang Genta semangat banget bikin partnershipnya.. orang Mas Erwin secakep itu..” ucap Anan yang disambut gelak tawa oleh mereka bertiga.


Dengan hati-hati, Erwin melangkah turun dari motor milik Genta setelah mereka berdua sampai di depan rumah Erwin.

Genta memandang ke arah rumah Erwin dengan seksama sebelum akhirnya bertanya, “kok sepi banget Win? Kamu tinggal sendirian?”

“Iya Mas. Saya sendirian. Dulu sih sama Tante saya, terus pas udah lulus SMA, Tante beli rumah sendiri,” jawab Erwin.

Genta mengangguk paham. Dari perbincangan singkat ini, Genta bisa memahami kondisi rekan kerjanya itu.

“Mas Genta mau mampir?” Tawar Erwin.

Genta menggeleng, “enggak deh, lain kali aja ya? Udah malem, kamu perlu istirahat. Lagian saya masih harus balik ke cafe. . .” jawabnya sambil tersenyum.

“Oh.. yaudah kalo begitu, terima kasih banyak ya Mas udah dijemput sama dianterin.. ngerepotin banget jadinya..” balas Erwin.

“Nggak repot, Win…” sahut Genta sambil tertawa. “Kan udah saya bilang, saya yang mau sendiri. . . nggak usah mikir begitu ya?”

Erwin mengangguk pasrah. Dan sepertinya, untuk selanjutnya Erwin harus menyiapkan sesuatu sebagai ucapan terima kasihnya kepada Genta.

“Kalo gitu… saya izin masuk dulu ya Mas?” Pamit Erwin kepada Genta. Ia pun melepas helm milik Genta lalu kemudian menyerahkan kepada pemiliknya. “Terima kasih juga buat helmnya mas..”

Genta tersenyum. Ia terima helm itu dari tangan Erwin.

Namun sedetik kemudian, keduanya saling menatap satu sama lain saat Genta tidak sengaja menggenggam tangan Erwin dengan lembut.

Mereka saling bergandeng tangan. Seperti enggan melepaskan satu sama lain.

Barulah, sedetik kemudian, Genta lebih dulu melepas genggaman tangan yang tidak mereka sengaja itu.

Menyisakan Genta dan Erwin yang wajahnya sama-sama tersipu malu, sambil salah tingkah setelah menyadari apa yang telah mereka alami.

“S-saya masuk dulu ya, Mas..” pamit Erwin pada Genta. “Mas Genta hati-hati di jalan ya? Jangan ngebut!”

Genta tertawa. “Iya.. nggak bakal ngebut.” Sahut Genta yang juga masih tersipu malu. “Selamat istirahat ya?”

Erwin mengangguk. Dengan pipinya yang bersemu merah, pemuda itu menahan senyumannya.

Dengan langkah perlahan, Erwin pun berjalan meninggalkan Genta. Namun kedua matanya masih terus melirik ke arah si pemilik cafe itu. Seolah tidak rela jika harus meninggalkannya.

Sedangkan Genta hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah Erwin seperti itu. Ia khawatir jika nanti Erwin bisa tersandung atau terbent—

“Aduh!”

Tuhkan. Belum usai Genta membatin, Erwin sudah lebih dulu tersandung lantai terasnya sendiri.

“Kamu gapapa Win?” Tanya Genta panik.

Di dalam teras itu, Erwin mengangguk, “Nggak apa-apa kok Mas..” sahutnya sambil merasa malu bukan main. “Saya masuk dulu ya, good night Mas Genta, hati-hati!” Ucapnya sambil buru-buru masuk ke dalam rumah.

Menyisakan Genta yang masih tersenyum geli mengingat tingkah Erwin barusan ini.

Genta tidak pernah mengira, jika ia hanya memerlukan dua hari.

Dua hari untuk dirinya jatuh cinta sedalam-dalamnya dengan sosok patissier manis bernama Erwin.

Dua hari untuk membuat dirinya sadar, bahwa bagaimanapun kedepannya, Genta akan memenangkan hati Erwin. Sepenuhnya, seutuhnya.


Roda besi yang menjadi penopang troli itu tak lagi menggelincir dengan yakin di atas lantai supermarket.

Gerakannya melambat, seiring dengan mulai ragunya langkah si pendorong, Erwin.

Entah kenapa, Erwin tiba-tiba merasakan hal yang sama dengan Genta setelah mereka saling bertukar kabar lewat whatsapp.

Hati Erwin mendadak gusar. Tiba-tiba ia merasa tidak nyaman berada di tempat ini.

Dan biasanya, Erwin merasakan hal seperti ini, saat ia sedang berada di dekat energi jahat yang sering merugikan manusia.

“Ah, nggak apa-apa Win, cuma firasat,” monolog Erwin meyakinkan diri.

Dan setelah satu buah tarikan nafas panjang, Erwin mempererat genggamannya pada handle bar troli, lalu membawa benda yang sudah terisi oleh beberapa kebutuhannya itu untuk melaju menyusuri lorong supermarket.

Setelah melawan keraguannya sendiri, Erwin pun berhasil melengkapi kebutuhan yang ia cari di supermarket ini.

Pemuda itu memasukkan choco chips, benda terakhir yang dibutuhkan ke dalam troli sambil tersenyum simpul.

“Tuhkan bener, nggak ada apa-apa,” gumam Erwin lega.

Sebab ternyata benar. Ketakutan yang muncul dalam benak Erwin berasal dari firasatnya saja.

Dan setelah memeriksa kembali daftar belanjaannya yang kini sudah lengkap, Erwin pun memutuskan untuk segera pulang ke rumah.

Walau tidak terjadi apa-apa, sejujurnya Erwin masih merasa tidak nyaman jika harus berlama-lama di tempat ini.

Sambil bersenandung di dalam hati, Erwin dorong troli itu untuk keluar menuju kasir. Pemberhentian terakhirnya di supermarket ini.

Masih tidak ada hal aneh yang Erwin rasakan selain pengunjung supermarket yang terasa tidak seramai biasanya.

Namun sejak tadi, Erwin beranggapan jika memang supermarket ini sedang sepi. Dan tidak mengaitkan hal tersebut dengan firasatnya.

Tapi ternyata, anggapan Erwin salah besar.

Saat tiba di lorong barang pecah belah, lorong terakhir yang harus dilewati untuk bisa sampai di kasir, lampu-lampu di atas sana tiba-tiba berubah redup.

Deg.

Troli itu berhenti. Seiring dengan Erwin yang langsung memasang posisi siaga setelah merasakan hal ini.

Erwin menajamkan pendengarannya. Sepasang obsidian hitamnya mengedar ke sekeliling. Berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Pemuda itu paham betul. Situasi seperti ini selalu terjadi, apabila ada energi dalam skala besar yang muncul di sekitarnya.

Belum sempat Erwin mendapat informasi, lampu yang ada di depan dan belakang tubuhnya seketika padam.

Menyisakan hanya satu lampu yang menyala di atas tubuhnya.

Membuat suasana menjadi sangat mencekam.

Gawat. Berarti benar, ada energi jahat dengan skala yang besar sedang berusaha untuk berkomunikasi dengannya.

Erwin mulai merasa takut. Sebab saat ini, ia benar-benar seorang diri.

Tidak ada orang lain di sini yang bisa Erwin mintai pertolongan, dan tidak ada Khao yang bisa Erwin gunakan sebagai perlindungan.

Merasa kondisinya terancam, Erwin buru-buru meraih ponselnya di dalam tas.

“Anjir.. kok gabisa..” gerutu Erwin saat ponsel itu kini justru tidak mau menyala.

Padahal barusan Erwin masih memakainya untuk memeriksa daftar belanjaannya. Tapi kenapa sekarang malah tidak bisa?

Ponsel itu kembali dimasukkan ke dalam tas. Sepertinya, yang bisa Erwin lakukan hanya satu hal.

Lari. Ya, Erwin harus lari dari tempat ini. Agar tidak terus terjebak dalam energi jahat yang semakin terasa kelam ini.

Erwin gigit bibir bawahnya sendiri, Ia tarik nafas dalam-dalam, berusaha menghalau rasa takut yang sejak tadi kian membuncah.

Pemuda itu memasang kuda-kuda, siap berlari sambil mendorong troli itu sebagai perlindungan untuk tubuhnya.

“Oh God.. please save me..” rapal Erwin di dalam hati.

Erwin lantas membuka mata. Lalu dengan segenap keyakinan yang masih ada dalam benaknya, Erwin pun mulai melangkah. Namun kemudian. . .

“Hai, Satya. Akhirnya kita ketemu juga.”

Deg.

Baru sejengkal Erwin menapak, tubuhnya seketika terdiam. Tepat setelah suara dingin dan mengerikan itu terdengar di telinganya.

Erwin sama sekali tak bisa bergerak. Kaki dan tangannya seakan dipaku pada gagang troli dan lantai.

Kepalanya bagai ditahan oleh sebilah kayu hingga membuatnya tak sanggup menengok kemanapun.

Mulutnya seolah disumbat. Hingga membuatnya tak sanggup mengeluarkan suara apapun.

Yang tersisa hanyalah nafas dan pandangan matanya. Membuatnya terpaksa melihat siluet seseorang yang muncul di balik kegelapan di depan sana.

Siluet itu tampak semakin nyata. Derap langkahnya menggema di seluruh lorong.

Perlahan, figur siluet itu mulai menampakkan wujud aslinya.

Seorang pria dengan pakaian serba hitam, bukan kain lusuh seperti hantu-hantu pada umumnya, melainkan setelan baju formal yang cenderung terlihat menawan.

Sosok itu mengenakan jubah hitam, serta sebuah topi yang menutupi sebagian wajahnya.

Barulah saat sosok itu keluar dari kegelapan, topi yang sejak tadi menghalau wajahnya itu terangkat.

Dan saat itulah, Erwin merasakan rasa takut yang luar biasa hebat.

Sorot mata pria itu begitu menakutkan. Sepasang matanya menyala, kelam, dan tatapannya begitu tajam. Sehingga sukses membuat Erwin ketakutan seperti ini.

Sosok laki-laki itu menghentikan langkahnya tepat di depan troli yang Erwin dorong.

Menyisakan keheningan setelah tadi ruangan ini dipenuhi oleh derap langkah kakinya.

Sosok itu tersenyum. Senyum paling licik dan menakutkan yang baru pertama kali ini Erwin lihat seumur hidupnya.

“Halo, Satya. . .” Sapa sosok itu kepada Erwin sambil menyeringai.

Satya. Dari mana ia tahu nama tengah Erwin?

“Tidak lama lagi, Satya.” Ucap lelaki menyeramkan itu.

Ia tatap wajah Erwin dengan sepasang matanya yang mengerikan, lalu melanjutkan perkataannya, “tidak lama lagi, kamu akan menuntaskan tugasmu sebagai sang pembebas.”

Sang Pembebas? Sang Pembebas apa lagi sih?

Sosok itu tertawa lirih. Seolah bisa mendengar apa yang sedang Erwin bicarakan di dalam hati.

Sedetik kemudian, lelaki itu kembali melangkah. Berjalan melewati troli itu perlahan-lahan sebelum akhirnya sampai tepat di hadapan Erwin.

“Sampai saat itu tiba, kamu harus berhati-hati dengan apa yang terlihat.” Ucap Lelaki itu sambil memandang wajah Erwin lekat-lekat.

“Karena tidak semua yang terlihat itu sesuai dengan apa yang kamu bayangkan, Satya.”

Jantung Erwin berdebar sangat kencang. Seolah berpacu dengan detik waktu yang bergulir begitu lambat di siang hari itu.

Jantung pemuda semakin berdebar kencang setelah sosok itu tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke telinga Erwin.

Di antara segenap rasa takut yang Erwin rasakan, sosok itu berbisik kepadanya, “nggak lama lagi, Satya. Nggak lama lagi. . .”

Hingga sesaat kemudian, sosok itu lenyap. Seiring dengan lampu-lampu di lorong itu yang mulai menyala kembali.

Barulah saat semua lampu itu sudah menyala, Erwin bisa menggerakan tubuhnya lagi.

Pemuda itu langsung menarik nafas dalam-dalam, seraya memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri.

Sosok itu.. siapa? Kenapa sosok itu bisa mengenalinya? Dan apa maksudnya dengan sang pembebas?

Ada sejuta pertanyaan yang muncul dalam benak Erwin. Namun pemuda itu tidak punya tenaga. Energinya seolah terkuras habis setelah bertemu dengan sosok itu.

“Win! Erwin!”

Erwin mengangkat wajahnya saat ia mendengar suara Khao dari kejauhan.

“Di sini.. Khao..” balas Erwin lirih.

“Win?! Erwin? Kamu diman—Astaga Erwin!” Seru Khao panik setelah melihat sang sahabat yang sudah terkulai lemas, dan hampir saja jatuh jika tidak ada troli yang menyangga tubuhnya.

“Win, astaga.. kamu kenapa? Kenapa kok pucet banget gini?” Tanya Khao sambil berusaha membantu Erwin bangkit.

Pemuda itu menggeleng lirih. “Aku nggak tau Khao.. aku tadi ketemu, sama orang.. serem..” ucap Erwin susah payah.

“Orang? Serem? Hantu kah?” Tebak Khao.

Namun lagi-lagi Erwin menggeleng. Erwin ingat betul jika ia melihat bayang-bayang tubuh sosok itu saat ia sedang berdiri di hadapannya.

Jadi, Erwin bisa yakin jika sosok yang tadi bukanlah hantu.

Tapi di satu sisi, Erwin pun merasa ragu. Sebab tidak ada manusia di dunia ini yang bisa melakukan hal-hal gila seperti tadi.

“Aku dari tadi tuh udah ngikutin kamu loh.. tapi setiap kali aku mau deketin kamu, aku gak bisa.. kayak ada kekuatan yang nahan aku..” jelas Khao sambil memberikan sedikit energinya kepada Erwin.

Erwin tidak bisa merespon. Terlalu banyak hal aneh yang menimpa dirinya saat ini.

Melihat hal itu, Khao pun berusaha memperbanyak energi yang ia berikan kepada Erwin. “Yaudah yuk, kita pulang dulu, nanti aja di bahas di rumah. Kamu kuat jalan?”

Erwin mengangguk. Rasanya masih ada sedikit tenaga di tubuh Erwin. Setidaknya masih bisa membawanya hingga sampai ke rumah.

“Yaudah kalo gitu kita pulang,” ajak Khao sambil terus menempelkan tangannya di punggung Erwin yang sudah mulai berjalan menuju kasir.


Sang Surya mulai menggelincir ke ufuk barat, pulang ke peraduannya saat Erwin terbangun dari tidurnya.

Kini tubuhnya terasa lebih baik, lebih segar. Kepalanya pun tidak lagi merasakan pusing seperti tadi siang.

“Eh, Erwin udah bangun. . .” Sapa Khao saat ia melihat sang sahabat yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.

Sambil mengucek matanya, Erwin menatap ke arah Khao yang sedang duduk di sofa sambil melihat ke luar jendela. “Tumben Khao di sini?”

“Iya, aku nggak tega ninggalin kamu. Tadi kamu lemes banget soalnya. Takut malah kenapa-napa,” jawab Khao sambil menggeser tubuhnya.

Erwin mengambil posisi di samping Khao, “aku udah gapapa kok. Udah nggak pusing, udah nggak lemes lagi..” sahutnya sambil menguap.

“Syukur deh kalo emang udah mendingan. . .” balas Khao. “Emang tadi kamu ketemu siapa sih Win di supermarket, kok sampe kamu lemes begitu?”

Erwin terdiam sejenak. Benaknya memutar kembali kilas memori tentang sosok lelaki menyeramkan yang tadi ia temui.

Erwin menggeleng lirih, “aku nggak tau dia siapa..” jawabnya sambil memandang wajah sahabatnya. “Yang pasti, dia serem banget.. auranya gelap, gelap banget..”

“Gelap gimana? Kayak hantu jahat gitu kah?”

Erwin menggeleng lagi, “aku nggak tau dia hantu atau bukan..”

“Loh? Berarti? Manusia?” Sahut Khao bingung.

“Bukan manusia juga, Khao..”

Nah loh. Sekarang dua orang beda alam itu sama-sama dibuat bingung dengan apa yang Erwin sampaikan.

“Lah? Kalau bukan hantu? Bukan manusia juga? Terus dia apa dong?” Tanya Khao lagi. “Emang wujudnya kayak gimana sih?”

Erwin lagi-lagi terdiam. Otaknya kembali menunjukkan sosok lelaki itu yang masih terekam jelas dalam ingatannya.

“Dia itu.. cowok, Khao. Aku nggak bisa ngira umurnya berapa. Yang pasti, dia tuh pake kemeja hitam, celana hitam, sepatu hitam, pake topi, pake jubah juga.. semuanya serba hitam..” jelas Erwin.

Dahi Khao mengernyit, “semuanya serba hitam?..” sahutnya ragu. “Terus habis itu?”

“Yang paling serem itu.. matanya..” jawab Erwin. “Matanya itu hitam pekat, Khao.. gelap, segelap malam..”

Wajah Khao seketika berubah panik. Erwin yang sadar akan perubahan raut muka sahabatnya itu pun langsung bertanya, “kenapa Khao? Kok kamu kayak panik gitu?”

“Nggak.. nggak apa-apa..” sahut Khao. “Aku tiba-tiba inget sama seseorang waktu kamu jelasin ciri-cirinya tadi. . .”

“Iya? Apa jangan-jangan kamu pernah ketemu sama dia?”

Khao menggeleng, “aku nggak yakin. Tapi.. kayaknya.. aku tau itu siapa..”

“Siapa Khao? Kamu kenal?” Tanya Erwin penasaran.

Sahabatnya itu menggeleng lagi, “aku nggak yakin, Win.. aku nggak bisa sebut dia siapa.” Jawabnya.

Khao lantas membalik badan. Ia tatap wajah Erwin lekat-lekat, “dengerin ya Win.. pokoknya, kalo kamu ketemu sama dia, coba untuk nutup mata. Jangan lihat wajahnya, jangan dengerin apapun yang dia omongin. . .”

“Kenapa kok gitu?”

“Turutin aja ya? Aku pun selalu dapet pesan kayak begitu. . .” Pinta Khao pada Erwin.

Sebenarnya Erwin masih penasaran dengan apa yang Khao sampaikan kepadanya.

Tapi, jika Khao sudah berpesan seperti ini, itu artinya situasi yang tadi Erwin hadapi tidak main-main.

Dan sudah semestinya Erwin menuruti apa yang Khao ucapkan, demi keselamatannya sendiri.

“Oke, aku bakal turutin.” Sahut Erwin. “Tapi janji ya, kalo kamu udah yakin dia siapa, kamu kasih tau aku. Oke?”

Khao mengangguk, “aku janji bakal kasih tau kamu kok. Tenang aja..” sahut Khao sambil tersenyum.

“Oh iya Khao.. aku lupa bilang..”

“Bilang apa Win?”

Erwin menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, “aku tuh habis ketemu sama hantu lagi.. di Cafenya Mas Genta.. dan rencananya aku mau ngajak pulang ke sini, gimana menurut kamu?”

“Mau kamu ajak pulang? Berarti dia hantu biasa?” Tanya Khao balik.

Erwin mengangguk, “kalo hantu yang nyeremin juga aku nggak bakal mau ngajak ke sini Khao..” sahutnya.

“Kalo aku gapapa sih.. lagian juga kan selama ini aku sendirian hehe, kalo ada satu lagi, berarti aku bakal punya temen,” ucap Khao sambil tersenyum. “Namanya siapa Win?”

“Namanya Elang. Dia lebih muda dari kita kok, lebih muda dari kamu juga.. masih anak SMP gitu kayaknya..”

“Ya ampun kasian banget masih umur segitu udah harus hidup di dunia mati..” sahut Khao dengan wajahnya yang terlihat sedih.

Erwin mengangguk lirih, “iya, kasihan.. tapi takdir orang kita nggak pernah tau, kan..” ucapnya.

“Nah, rencananya nanti malem aku mau ke cafenya Mas Genta lagi buat jemput dia. Kamu mau ikut nggak? Katanya pengen ikut ke cafe?” Tawar Erwin pada Khao.

Khao mengangguk dengan antusias, “iya aku mau! Aku juga pengen nemenin dia pulang ke sini,” sahutnya.

“Oke deh. Kalo gitu kita berangkat jam setengah tujuh aja ya? Biar sampe sana nggak malem-malem.”

“Iya siap Win!” Balas Khao bersemangat.

“Yaudah kalo gitu, aku mau mandi dulu ya? Udah sore juga nih. Biar nanti nggak gupuh..” pamit Erwin sambil langsung berjalan menuju kamar mandi.


Hembus angin di malam itu sama sekali tidak mengurangi semangat Erwin dan Khao untuk berjalan menuju Blue Moon Cafe.

Setelah tadi turun dari Bus yang Erwin naiki, kini mereka tinggal berjalan beberapa ratus meter untuk bisa tiba di Blue Moon Cafe.

Sejak turun dari dalam bus, Erwin tidak bisa berhenti tersenyum karena melihat Khao yang sangat antusias.

Sahabatnya itu berkali-kali tersenyum kegirangan sambil terus mengatakan jika ia tidak sabar untuk segera tiba di Cafe itu.

Kalau saja Erwin bisa terbang seperti Khao, mungkin ia sudah diajak melesat cepat agar tidak perlu repot-repot berjalan seperti ini.

Tapi kalau hal itu dilakukan, maka mereka berdua tidak akan merasakan sensasi tidak sabar yang seperti ini.

“Nah, itu cafenya,” ujar Erwin sambil menunjuk sebuah kafe dengan plakat bertuliskan Blue Moon.

Khao langsung mengikuti arah yang Erwin tunjukkan. Dan wajahnya langsung terlihat semakin antusias saat menangkap adanya cafe yang sejak tadi tidak sabar ia datangi.

Cafe bernuansa retro dengan cat berwarna dongker yang sudah tiga kali ini Erwin datangi.

“Yuk,” ajak Erwin untuk segera ke sana yang tentunya disambut anggukan super antusias oleh Khao.

Mereka berdua pun melanjutkan langkahnya kembali. Menyusuri sisa jalanan yang ada agar lekas tiba di cafe itu.

Semangat Khao masih sama besarnya. Sepertinya, Khao menyimpan banyak energinya untuk ia bawa menuju cafe.

Dan jujur, Erwin merasa sangat bahagia bisa melihat sahabatnya sesenang itu.

“Ayo Win, cepetan jalannya!” Ucap Khao yang sudah berjalan mendahului Erwin.

Erwin tertawa lirih, “sabar.. ngapain buru-buru sih, bentar lagi sampe kok,” sahutnya.

“Ih, justru ayo cepetan, tuh udah deket, biar kita cepet masuk ke san—”

Duagh! Brak!!

“Ah!!!”

“Astaga! KHAO!”

Kedua mata Erwin membola, seiring dengan tubuhnya yang langsung melesat menghampiri sang sahabat yang tiba-tiba terpental hingga jatuh tersungkur di atas tanah.

Erwin kaget bukan main. Sebab tiba-tiba, Khao seolah menghantam sesuatu yang tidak terlihat, hingga tubuhnya melayang jatuh lalu terhempas ke tanah.

“Astaga Khao, hey, kamu kenapa?” Tanya Khao sambil berusaha membantu sahabatnya itu untuk bangun.

Khao mengangkat wajahnya. Dan hal itu lagi-lagi berhasil membuat Erwin terkejut.

Sebab kini, Khao tampak sangat pucat. Tidak, wajah Khao terlihat seperti mayat hidup. Persis saat Erwin pertama kali bertemu dengannya dulu.

“Astaga…” gumam Erwin, “kamu kenapa Khao? Kenapa kok bisa jatuh?” Tanya Erwin khawatir.

Khao menggeleng lemah. Energi yang seharian ini sudah ia simpan rasanya menguap begitu saja. Lenyap entah kemana.

Di tengah kesadarannya yang begitu tipis, Khao memandang ke arah cafe itu.

Dan saat inilah, Khao baru bisa melihat bahwa ada sebuah penghalang yang menyelubungi cafe itu.

Penghalang itu serupa jaring laba-laba. Berwarna emas dengan sinar yang menyala begitu terang.

Pantas saja Khao sampai terpental dan hampir menghilang seperti ini. Sebab energi yang melindungi cafe itu bukan energi sembarangan.

“Aku.. aku nggak bisa ke sana Win. . .” ucap Khao lemah.

“Kenapa?” Sahut Erwin panik.

Dengan sisa tenaga yang Khao miliki, ia tunjuk Blue Moon Cafe yang masih berada cukup jauh di depan sana.

Ia lantas beralih menatap sang sahabat yang berada di sampingnya, lalu kemudian menjawab, “Cafe ini bukan cafe biasa Win. . .”

“Cafe ini. . . cafe dari dunia mati, Win. . .”


bwuniverr


Saking asyiknya berbincang dengan Genta lewat whatsapp, Erwin sampai tidak sadar jika sahabatnya, Khao, sudah berdiri di belakangnya.

Khao menatap curiga kepada Erwin yang sejak tadi senyum-senyum sendiri saat melihat ke layar ponsel miliknya.

“Hayo!”

“ASTAGA KAGET! Ish.. Khao.. kenapa ngagetin sih?” Sahut Erwin sambil mengusap-usap dadanya setelah kaget mendengar suara Khao.

Sambil tertawa, Khao lantas berjalan ke arah Erwin lalu ikut duduk di samping sahabatnya itu. “Abisnya aku lihat kamu asik banget main hpnya. Lagi chatting sama siapa sih? Erwin punya pacar yaaa?” Goda Khao.

“Pacar apaan sih? Enggak kok,” sahut Erwin dengan wajahnya yang tiba-tiba berubah kemerahan.

Melihat wajah sang sahabat membuat tawa Khao semakin kencang saja.

“Kalo bukan pacar, kenapa mukanya merah banget coba? Pasti pacarnya ini.. yakin aku deh.. soalnya dari tadi senyum-senyum terus,” goda Khao pada Erwin.

“Astaga enggak Khao.. ini bukan pacarku..” jawab Erwin.

“Terus, lagi chat sama siapa coba?”

“Sama Mas Genta. Ituloh, pemilik cafe yang kemarin ngajak aku buat kerja sama. Yang aku ceritain kemarin..”

“Oalah.. yang kamu mau datengin itu ya? Berarti kamu udah ketemu dong sama orangnya?”

Erwin mengangguk. “Udah. Kemaren malem langsung ketemu sama orangnya. Terus barusan tuh aku di chat, diingetin lagi buat nanti malem. Padahal tadi pagi udah chat loh,” tutur Erwin sambil senyum-senyum sendiri.

“Tuh-tuh, senyum-senyum lagi kan.” Ucap Khao.

“Kalo nyeritain Mas Genta nih pasti kamu senyum-senyum sendiri. Kamu suka ya sama dia??”

Erwin mendelik, “apasih, engga kok.” Balasnya panik.

“Aku sama Mas Genta itu cuma klien, Khao. Rekan kerja. Nggak lebih kok.”

“Tapi ganteng nggak Mas Genta?”

Nah loh. Wajah Erwin langsung memerah kembali.

“Iya sih.. ganteng banget orangnya..” jawab Erwin sambil mengalihkan pandangannya.

Tawa sahabat Erwin itu terdengar semakin kencang. “Erwin.. erwin.. lucu banget sih. Kelihatan banget tau kalo kamu lagi suka sama Mas Genta. . .”

“Ish apasih Khao, diem deh,” sahut Erwin sebal.

Erwin lantas mengunci ponselnya. Lalu ia letakkan benda pipih itu di atas sofa.

Beberapa saat kemudian, Erwin teringat akan dua hal yang ia alami tadi malam.

Yang pertama, tentang apa yang sudah ia lihat sendiri di Blue Moon Cafe. Dan yang kedua, tentang apa yang ia lihat dalam mimpinya.

“Eh Khao, waktu kemarin aku ke Blue Moon Cafe, ke cafe Punya Mas Genta, aku tuh ngelihat ada banyak banget hantu di sana.” Ujar Erwin sambil menghadap ke arah Khao.

Dahi Khao tampak mengernyit, “hah? Banyak hantu? Masa sih?” Balasnya tak percaya.

“Iya, sumpah. Ada banyak banget hantu di sana. Tapi mereka tuh nggak kelihatan serem. Kelihatan kayak manusia biasa gitu. Dan mereka tuh duduknya rapi, sopan, nggak bikin heboh, persis kayak pelanggan cafe juga..” jelas Erwin. “Kok bisa ya mereka begitu?”

Khao terdiam sejenak. Hantu remaja laki-laki itu tampak sedang mengawang jauh. Memikirkan sesuatu. “Apa mungkin ya. . .” gumamnya.

“Mungkin apa nih maksudnya?” Sahut Erwin penasaran.

Khao melipat kedua tangannya di depan dada, “apa mungkin cafe itu cafe bulan. . .”

“Hah? Cafe Bulan?”

Khao mengangguk, “Iya. Cafe Bulan, Win.” Jawabnya.

“Jadi, aku pernah dengar cerita. Katanya, ada sebuah cafe yang sering dipake hantu-hantu buat tempat persinggahan. Tapi aku nggak tau cafe itu kayak apa dan tempatnya dimana.” Jelas Khao. “Cuman. . .”

“Cuman apa?”

“Cuma, setau aku lagi nih ya, Cafe Bulan itu adanya di dunia batas. Di perbatasan dunia hidup dan dunia mati. Jadi kayaknya itu bukan Cafe Bulan deh..” ujar Khao.

“Oh, apa karena namanya Blue Moon ya aku jadi mikir kesana. . .”

“Aku baru denger soal hal ini,” timpal Erwin. “Berarti nggak cuma di dunia manusia aja ya yang ada cafenya?”

Khao mengangguk. “Di dunia mati juga ada. Tapi biasanya tempat-tempat kayak begitu punya tujuan khusus, Win. Bukan buat sekedar nongkrong.” Balasnya.

“Oh.. begitu..” sahut Erwin sambil manggut-manggut. “Berarti yang aku lihat kemarin tuh, bisa jadi cuma hantu-hantu penunggu tempat itu yah?”

Khao mengangguk lagi. “Bisa banget kayak begitu.”

“Oke-oke.. paham,” Sahut Erwin. “Oh iya, ada satu lagi Khao. . .”

“Iyah. Kenapa lagi tuh?”

“Semalem, aku mimpi aneh.” Jawab Erwin.

“Aku ngerasa denger suara orang gitu, masih muda sih dari suaranya, dia kayak lagi teriak minta tolong ke aku, Khao.. kira-kira itu siapa yah? Kamu bisa lihat nggak?”

“Teriak minta tolong?” Tanya Khao yang dibalas anggukan oleh Erwin. “Bentar aku coba lihat dulu yah.”

Khao lantas mendekatkan dirinya ke arah Erwin. Hantu remaja laki-laki itu memejamkan mata.

Sebelum kemudian ia gunakan telunjuknya untuk menyentuh pelipis Erwin.

Biasanya, jika Erwin mengalami mimpi buruk atau gangguan dari mahluk halus, Khao selalu melakukan cara ini untuk menemukan pelaku sekaligus menghentikannya.

Untuk beberapa saat, Khao masih belum menemukan apapun.

Dahi sahabat Erwin itu tampak mengernyit kuat. Tidak biasanya Khao kesulitan mencari sesuatu di dalam pikiran sahabatnya ini. Tapi untuk kali ini, rasanya Khao tidak bisa menemukan apapun.

“Aku nggak lihat apapun Win..” ucap Khao sambil melepas telunjuknya dari sana, “nggak ada apa-apa disana..”

“Masa sih?” Sahut Erwin. “Apa jangan-jangan cuma mimpi biasa ya?”

Sahabatnya itu mengangguk, “bisa jadi Win. Lagipula kamu kan kemaren sempet ke cafe tuh, mungkin juga karena kecapekan..”

Erwin manggut-manggut, “bener juga ya. . . mungkin kecapekan doang.”

“Eh ngomong-ngomong soal cafe, aku boleh ikut nggak kalo kamu ke sana lagi? Nggak nanti malem tapi, soalnya aku nanti mau jalan-jalan dulu.. boleh nggak?” Tanya Khao.

Erwin mengangguk, “boleh dong. Kalo aku kesana lagi, aku ajak ya. Kamu mau mastiin ya, apa itu beneran cafe bulan atau bukan?”

“Iya. Siapa tau itu beneran cafe bulan. Kalau pun enggak ya gapapa, hehe. Biar jalan-jalan,” sahut Khao sambil tersenyum.

Ting!

“Eh, kuenya udah mateng, yuk Khao ikut aku ngangkat,” Ajak Erwin pada Khao.

“Ayok, aku bantuin,” sahut Khao penuh semangat sambil langsung mengikuti Erwin yang sudah berjalan cepat menuju dapur.

Yang tidak Erwin sadari adalah ada sepasang mata yang terus mengawasi percakapannya dengan Khao sejak awal.

Dan sepeninggal mereka berdua, sepasang mata itu pun lenyap.

Menyisakan sebuah kelopak bunga berwarna hitam yang jatuh tepat di bawah meja ruang tamu Erwin.


Erwin rasa, ia sudah tidak punya muka untuk bertemu dengan Genta.

Si patissier itu merasa malu, malu sekali.

Sebab karena kecerobohannya sendiri, ia harus membuat Genta repot-repot menjemputnya dari Cafe. Padahal jaraknya masih cukup jauh dari sana.

Sambil menggenggam erat goodie bag yang ia bawa, Erwin menatap sekelilingnya dengan cemas.

Seharusnya ia tidak lupa mengisi saldo dompet digitalnya.

Atau setidaknya, menyempatkan waktu untuk menarik tunai di atm agar ia tidak terjebak dalam situasi yang membingungkan seperti ini.

Tapi ya sudahlah. Erwin sudah terlanjur malu, lanjutkan saja sekalian.

Kalau kata orang, sudah terlanjur basah, mending berenang saja sekalian.

Untungnya Erwin sedikit banyak paham jika sosok Genta ini adalah orang yang baik dan tulus, kelihatannya.

Jadi sepertinya, jika dimintai tolong seperti ini, mungkin Genta tidak akan merasa keberatan.

Angin yang berhembus di malam itu terasa cukup dingin. Membuat Erwin merapatkan jaket yang membalut tubuhnya.

“Sepi banget ya. . .” gumam Erwin seorang diri, “coba tadi ngajak Khao.. pasti lebih asik. Ada yang bisa diajak ngobrol. . .”

Tin! Tin!

Erwin menoleh seketika. Sepasang mata gelapnya mengedarkan pandangan. Mencari di mana suara klakson itu berasal.

“Erwin!”

Nah, dari sana. Di tepi jalan, Erwin bisa melihat seorang pria sedang melambaikan tangan ke arahnya.

Dan pria itu adalah Genta. Orang yang sudah Erwin repotkan untuk menjemput dirinya di tempat ini.

“Erwin, sini!” Panggil Genta lagi dengan sebuah senyuman di wajah tampannya.

Duh, rasanya Erwin semakin malu saja. Padahal, ia sudah membuat Genta repot, tapi kenapa pemilik cafe itu masih bisa tersenyum dengan begitu tampannya?

Tidak ingin berlama-lama di sana seorang diri, Erwin langsung berlari menghampiri Genta yang terus memandangi dirinya dari atas motor.

“Mas Genta, maaf ya. . . saya jadi ngerepotin banget. . .” Ucap Erwin setibanya ia di hadapan Genta.

Genta balas ucapan Erwin dengan sebuah senyum teduh, “nggak apa-apa kok Win.. santai aja,” balasnya.

“Hey, beneran nggak apa-apa, jangan sedih gitu dong mukanya. . .” ujarnya lagi saat menatap wajah Erwin yang terlihat sedih.

“Saya nggak enak Mas.. jadi ngerepotin Mas Genta.. padahal kan saya kliennya Mas..” ucap Erwin sambil menundukkan wajah.

Melihat tingkah Erwin membuat Genta semakin sulit menyembunyikan senyumannya, “nggak apa-apa Erwin.. justru karena kamu Klien saya, saya harus bertanggung jawab sama kamu..” ucap Genta menenangkan.

“Lagian, saya kan yang ngundang kamu ke cafe? Jadi saya harus memastikan kamu sampe di sana dengan selamat.”

Erwin akhirnya mengangkat wajah. Mendengar jawaban Genta membuat Erwin merasa semakin tidak enak saja. “Terima kasih ya Mas.. padahal kerjasamanya belum mulai, tapi saya udah bikin repot aja. . .”

Di saat ini, Genta ingin sekali mencubit pipi kliennya itu. Sebab dia terlihat begitu menggemaskan saat cemberut seperti ini.

Kali ini, Genta tidak membalas ucapan Erwin. Pemilik Cafe itu justru turun dari motornya.

Genta mengambil sebuah helm yang memang dibawanya untuk Erwin.

Dengan cekatan, ia melepas klip pengaman helm itu, lalu berjalan mendekati Erwin.

Tanpa Erwin duga, Genta langsung memakaikan helm itu di kepala Erwin.

Dengan lembut dan hati-hati, Genta benarkan posisi helm yang sudah melekat di kepala kliennya itu. Memasangkan klip pengaman, lalu membenahi rambut Erwin yang tertimpa oleh helm itu.

Hingga tanpa mereka sadari, kini keduanya saling beradu tatap.

Dua pasang mata itu saling mengunci satu sama lain. Membuat mereka terdiam untuk beberapa saat.

Sebelum akhirnya, Erwin dulu yang melepas kontak mata itu. Lantaran hatinya yang tiba-tiba berdebar sangat kencang.

“M-makasih Mas udah dipakein Helmnya..” ucap Erwin kikuk sambil berusaha mengalihkan pandangan matanya dari Genta.

Genta mengedipkan mata, “oh, iya.. hehe. Sama-sama,” sahutnya tidak kalah kikuk setelah sadar akan apa yang baru saja terjadi.

“Ayo naik, kita ke cafe sekarang ya. Dingin disini, keburu makin malem juga,” ajak Genta yang dibalas anggukan canggung oleh Erwin.

Genta dan Erwin pun sama-sama naik ke motor itu.

Genta yang sudah siap di jok depan menunggu Erwin yang masih naik perlahan-lahan ke atas motor.

“Udah siap?” Tanya Genta sambil menyalakan mesin motor itu.

Di belakangnya Erwin mengangguk, “udah, Mas. Ayo berang—EH ASTAGA!” Erwin memekik kaget saat Genta tiba-tiba menarik tangan kirinya untuk dibawa memeluk perut Genta.

“Pegangan yang kenceng ya. Jangan dilepas,” bisik Genta kepada Erwin yang masih setengah kaget sambil tersenyum jahil.

Sedangkan Erwin hanya bisa manggut-manggut. Ia masih kaget sekaligus bingung atas apa yang baru saja terjadi kepadanya.


Setelah melewati drama antar jemput yang cukup menyita waktu, akhirnya mereka berdua sampai di Blue Moon Cafe.

Sesampainya di sana, Genta langsung membawa Erwin untuk duduk di salah satu meja yang memang sejak sore sudah Genta siapkan untuk diskusi malam ini.

Erwin yang merasa sedikit lelah akibat menaiki motor Genta hanya bisa menurut. Ia ikuti langkah Genta lalu akhirnya duduk di kursi yang sudah Genta siapkan.

“Makasih banyak ya Mas. . . maaf saya ngerepotin banget,” ujar Erwin setelah pemuda itu duduk di sana.

Genta kembali tertawa, “kamu udah bilang begitu lima kali loh. Saya sampe hapal,” balas pemilik cafe itu.

Ia lantas melepas jaket yang tadi digunakan untuk menjemput Erwin, lalu ikut duduk di sana untuk membahas proyek malam ini.

Setelah Genta duduk, Erwin langsung mengeluarkan beberapa sampel kue yang dibawanya di dalam goodie bag.

“Ini ada empat sampel kue Mas, yang kemarin Mas Genta suruh bawa.” Ujarnya sambil menyerahkan kotak berisi sampel kue itu kepada Genta.

“Oh iya, kuenya apa aja ini Win?” Genta bertanya sambil menerima kotak itu.

Erwin melirik ke dalam kotak itu, memastikan urutannya, “itu.. yang paling kanan itu cookies rasa coklat, terus di sampingnya ada macaron rasa mocca, terus sampingnya ada fudge brownies, sama yang ujung itu ada banana milk crispy.”

“Wah, macem-macem banget ya? Dan nggak cuma fokus di pastrynya aja ini kayaknya..” Sahut Genta sambil memperhatikan setiap kue itu lekat-lekat.

Erwin mengangguk, “Iya Mas, lebih macam-macam sih. Soalnya waktu awal bikin, saya nggak fokus ke pastry. Based on request aja. Kadang ada yang minta fudge brownies, ada yang minta cookies, macem-macem..” jelas lelaki manis itu.

“Wah. . . Kalo lihat dari bentuknya aja saya yakin udah enak ini. . .” Puji Genta sambil tersenyum.

“Mas Genta bisa aja..” sahut Erwin malu-malu. “Biar lebih percaya, bisa dicoba Mas. Saya rekomendasikan macaronnya. Soalnya nggak terlalu manis.”

“Oke, saya coba ya kalo gitu,” ucap Genta yang dibalas anggukan oleh Erwin.

Genta lantas mengambil satu buah macaron dari dalam kotak itu.

Ia perhatikan sejenak kue kecil dengan bentuk yang mirip seperti burger itu. Lalu kemudian ia gigit untuk mencicipi bagaimana rasa kue tersebut.

Baru gigitan pertama, Genta sudah bisa merasakan sensasi unik dari macaron ini.

Bagian luarnya yang crispy berpadu sempurna dengan krim mocca yang begitu lembut di dalamnya.

Teksturnya terasa sangat pas, tidak terlalu manis, dan menurut Genta, macaron ini sangat cocok dipilih sebagai teman minum kopi.

“Ini enak banget Win macaronnya. . .” Puji Genta sambil membuka mata setelah tadi berusaha menikmati rasa macaron buatan Erwin ini. “Beneran, ini enak banget. Rasanya pas, saya suka. . .” Pujinya lagi.

Erwin tidak bisa menyembunyikan rona bahagia dari wajahnya. “Ah. . . syukurlah kalo Mas Genta suka. . . saya khawatir tadi rasanya kemanisan,” sahut pria itu.

“Enggak. Manisnya pas kok. Apalagi rasa moccanya, nendang banget. Cocok sama saya yang suka kopi.” Jawab Genta.

“Kalo begitu, saya bawa ke belakang ya sampelnya, sekalian biar dicoba sama yang lain,” ucap Genta sambil beranjak dari kursinya.

“Eh-eh Mas Genta, tunggu bentar!” Panggil Erwin pada Genta.

Pemuda itu buru-buru mengambil kotak lain yang masih ada di dalam goodie bagnya, lalu membawanya kepada Genta yang kini sedang menatap bingung ke arahnya.

“Ini, khusus buat Mas Genta sama teman-teman. Bukan sampel, tapi emang saya pengen kasih hehe,” ujar Erwin sambil menyerahkan kotak itu kepada Genta.

Genta tersenyum teduh, “ya ampun.. terima kasih banyak ya Erwin. Pakai repot-repot segala,” ucapnya.

“Nggak repot kok Mas.. kan tadi sekalian bikin.”

“Oke deh. Kalo gitu, terima kasih ya, saya bawa ke belakang dulu. Kamu tunggu di sini sebentar, oke?”

Erwin mengangguk, “oke Mas!” sahutnya bersemangat.

Genta pun berlalu menuju ruang pegawai dimana teman-temannya berada.

Sedangkan Erwin pun kembali duduk di kursinya. Menunggu Genta sambil memandangi sekeliling cafe.

Saat Genta tidak ada, Erwin bisa memperhatikan cafe ini lebih detail.

Ternyata benar. Cafe ini masih sama ramainya seperti kemarin. Ramai karena manusia, serta ramai karena adanya mereka, para hantu.

Erwin bisa melihat jika hantu-hantu yang ada di tempat ini bertingkah selayaknya pengunjung cafe pada umumnya.

Ada yang duduk seorang diri, ada yang duduk berpasang-pasang, ada pula yang sedang bercengkrama dalam satu kelompok kecil. Hingga membuat suasananya tidak jauh berbeda dengan pengunjung manusia.

“Apa bener ini cafe bulan ya. . ?” Gumam Erwin sambil menatap setiap sudut cafe lekat-lekat.

Saat hendak mengambil ponsel di dalam tasnya, Erwin merasakan ada aura kesedihan yang begitu dalam sedang mendekatinya.

Erwin paham betul. Jika tubuhnya merespon sinyal seperti ini, itu artinya, ada makhluk halus yang sedang berusaha berkomunikasi dengannya.

Erwin menarik nafas dalam-dalam. Sekaligus menyiapkan diri dan hatinya, apabila ternyata yang muncul di hadapannya adalah sosok yang menyeramkan.

Aura kesedihan itu terasa semakin kuat, dan berasal dari belakang tempat duduk Erwin.

Sedetik kemudian, pria itu pun membalik badan.

Namun, Erwin tidak terlihat kaget. Patissier itu justru terlihat bingung saat melihat sosok yang kini berdiri di hadapannya.

“Hey. . .” panggil Erwin pada sosok anak laki-laki yang tampak sedang berusaha menahan air mata yang sudah siap jatuh membasahi wajahnya.

Anak itu terlihat memakai seragam sekolah, tingkat menengah pertama sepertinya, tubuhnya masih lengkap. Utuh tidak kurang sedikitpun.

Wajahnya terlihat menggemaskan kendati kini telah berubah tak kasat mata dan lebih mirip dengan hologram.

Anak itu tampak mengepalkan tangannya kuat-kuat. Nafasnya tidak teratur.

Kedua matanya merah, sorotnya tampak putus asa berhiaskan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya.

“Halo? Kamu bisa denger saya kan?” Panggil Erwin lagi pada sosok anak laki-laki itu.

Bukannya menjawab, sosok anak laki-laki itu justru menangis.

Air mata yang sejak tadi ia tahan mati-matian kini telah jatuh membasahi wajahnya.

Erwin pun buru-buru membalikkan badan, “hey hey.. kenapa kok nangis?” Tanya Erwin pada sosok itu. “Kamu bisa denger suara kakak, kan? Iya?”

Sosok itupun akhirnya menangguk.

Ia gunakan tangan kanannya untuk menghalau air mata agar tidak lagi keluar dari matanya.

Di sela tangisannya yang tampak memilukan, ia tatap wajah Erwin lekat-lekat, “Kakak. . .” panggilnya dengan suaranya yang terdengar sangat putus asa.

Hati Erwin bagai disayat sembilu manakala ia mendengar suara anak itu, “iya.. kakak di sini, kakak percaya kamu baik.” Sahut Erwin sambil tersenyum, “Kamu kenapa, hm? Kamu kenapa nangis?”

Tangisan sosok itu semakin kencang setelah mendengar pertanyaan dari Erwin.

Erwin duga, kesedihan yang dialami oleh sosok ini begitu besar. Hingga membuatnya sampai menangis tersedu-sedu seperti ini.

“Kakak. . .” ucap sosok itu lagi, “Tolong. . . aku minta tolong. . .”

Deg!

Suara itu.. Erwin kenal dengan suara itu..

Ya. Tidak salah lagi.. suara ini, suara anak ini yang kemarin Erwin dengar di dalam mimpinya.

Erwin buru-buru menggeser kursinya untuk mendekat ke arah sosok itu.

“Kakak. . . Tolong. . .” Ucap sosok itu lagi sambil terus berderai air mata.

Tidak salah lagi. Memang suara anak inilah yang kemarin sempat berkomunikasi dengan Erwin lewat mimpinya.

Tapi kenapa tadi Khao tidak bisa melihatnya? Padahal sosok ini ada di sini. Bukan berasal dari dunia mati, atau berasal dari arwah jahat yang bergentayangan di sekitar sini.

Kalau sudah seperti ini, insting naluriah Erwin mendorong hatinya untuk membantu sosok ini.

Erwin pun menatap sosok ini lekat-lekat, sebelum berkata kepadanya, “kamu kemarin yang minta tolong ke kakak lewat mim—”

“Loh, Win. Kamu bisa ngomong sama dia?”

Erwin seketika terhenyak. Kali ini bukan sosok anak laki-laki itu penyebabnya. Melainkan si pemilik Blue Moon Cafe. Orang yang mengajaknya bekerja sama, Genta.

“loh? M-mas Genta juga..?”

“Iya, saya juga bisa lihat.”

Anjir. . .


“Wih. . . baunya harum banget. . .”

Erwin langsung mematikan ponselnya setelah mendengar suara yang sudah sangat familiar di telinganya.

Ponsel itu ia letakkan di atas counter lantas ia pun membalikkan badan. “Enak ya baunya? Khao mau?” Tawar Erwin kepada Khao, sahabatnya dari dunia lain yang sudah ia kenal sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Khao tersenyum lebar. Ia bawa tubuhnya yang tampak seperti hologram itu untuk mendekat ke arah pie susu yang baru saja Erwin keluarkan dari dalam oven.

“Mau banget Win.. baunya enak..” ucap Khao. “Tapi aku mana bisa makan yah. . .” Lanjut Khao dengan wajahnya yang kelihatan sedih.

Erwin tersenyum simpul, “hayo gak boleh sedih. Tenang aja, kamu bisa makan kok. Bentar ya,” ucapnya sebelum berjalan menuju laci dapur.

Erwin tampak membuka laci itu. Mengambil beberapa barang dari dalamnya, lalu bergegas kembali mendekat kepada Khao.

Dengan sigap, Erwin mengambil salah satu pie susu buatannya. Ia letakkan pie susu itu di atas meja. Lalu memasang sebatang dupa lalu menyalakannya tepat di samping pie susu itu.

Khao yang sudah hafal dengan apa yang sedang Erwin lakukan tampak begitu antusias. Senyuman lebar tak henti hiasi wajahnya.

Setelah merapal beberapa doa, Erwin membuka matanya. Ia tiup dupa yang ada di hadapannya itu, hingga sedetik kemudian,

Zip!

Pie susu di atas itu otomatis berlipat ganda.

Dan seperti biasanya, Erwin pun kembali menatap sang sahabat dengan senyum lebar di wajahnya. “Tuh, udah. Ambil gih, katanya kamu pengen coba,” ujar Erwin.

Tanpa perlu menunggu lama, Khao langsung meraih salah satu pie susu yang baru saja muncul berkat apa yang Erwin lakukan.

“Asik! Aku coba ya? Makasih banyak Win!” Ujar Khao antusias.

Hap. Satu gigitan pie susu buatan Erwin langsung melesat masuk ke dalam mulut Khao. Disusul wajahnya yang terlihat sangat amat bahagia.

“Hmmmm.. enak banget Win.. enak banget rasanyaa!” Puji Khao setelah merasakan betapa lezat pie susu yang sahabatnya ini buat.

Erwin tak bisa berhenti tersenyum. Melihat betapa bahagianya Khao saat mencicipi kue buatannya saja sudah membuat hatinya terasa begitu bahagia.

“Sama-sama, Khao. Seneng deh kalo kamu suka sama rasanya,” balas Erwin sambil melipat tangannya di depan dada. “Mau lagi nggak?” Tawarnya lagi pada Khao.

Dengan mulutnya yang penuh, Khao menggeleng, “udah hehe, aku udah seneng soalnya bisa nyobain..” sahutnya kemudian.

“Sekali lagi makasih banyak ya Win.. kamu tuh bener-bener baik. Aku jadi bisa nyobain pie susu hehe. Soalnya dulu belom pernah makan. . .” Tutur Khao.

“Iyaa.. sama-sama. Kalo soal makanan, gausah khawatir. Aku pasti ajak kamu cobain,” sahut Erwin sambil tersenyum. “Oh iya Khao, aku mau diajak kerja sama lho sama orang. . .”

“Kerja sama? Sama siapa Win? Kerja sama dalam bentuk apa?”

“Tadi aku dikasih tau Siwi, katanya ada owner cafe gitu di deket-deket sini yang lagi cari partner pastry buat diajak kerja sama. Nah aku direkomendasiin sama Siwi ke owner cafe itu. Terus yaudah, aku sekarang lagi nunggu chat dari pihak cafenya. . .”

“Waaahh. . . Keren banget! Ih, kan emang rasa kue buatan kamu tuh super enak! Apalagi cookies sama macaroonnya. Pantesan Siwi ngerekomendasiin kamu. Hebat ih, keren banget nih sahabat aku!” Puji Khao yang juga terlihat sangat antusias setelah mendengar informasi dari Erwin.

Erwin tersenyum malu-malu, “hehe, makasih loh buat pujiannya..” sahutnya. “Tapi Khao, aku tuh malah jadi minder gitu. . . nggak percaya diri..”

“Ih minder kenapa sih? Kue kamu loh enak, pasti nanti cocok deh dipasangin sama menu-menu di cafe itu.”

“Iya sih. . .” sahut Erwin ragu. “Masalahnya tuh, aku belum pernah kerja sama kayak begini.. takutnya nanti malah keteteran, atau malah ngerugiin cafe dan diriku sendiri..”

“Hush gak boleh bilang gitu!” Potong Khao cepat. “Justru itu Win, dengan kamu coba ikut kerja sama ini, aku yakin deh kamu bisa dapet pengalaman soal kerja sama kayak begini. Ambil positifnya ajaa. Sekalian promosi buat menu-menu kamu, iya kan?”

Erwin manggut-manggut. “Bener juga sih. . .”

“Udah, gak perlu khawatir Win..” ucap Khao sambil mendekat ke arah sahabatnya itu. “Mau gimanapun keadaannya, mau kayak gimana sulitnya nanti, aku yakin, Erwin pasti bisa lewatin itu. Aku aja yakin sama kamu kok. Masa kamu enggak yakin sama dirimu sendiri?”

Erwin menghela nafas. Benar juga apa yang baru saja Khao katakan.

Sepertinya untuk saat ini, Erwin perlu membuang jauh-jauh rasa mindernya itu. Ia harus yakin pada dirinya sendiri. Seperti dulu, saat ia yakin jika dirinya bisa membuka usaha kue sendiri.

“Iya deh. Aku bakal percaya sama diriku sendiri,” ucap Win sambil mengangkat wajahnya dengan yakin.

“Harus dong! Harus percaya diri, okey? Ada aku di sini hehe. Aku pasti dukung Erwin,” timpal Khao sambil tersenyum.

Erwin otomatis ikut tersenyum, “makasih ya Khao udah support. Nggak tau lagi deh kalo nggak ada kamu gimana jadinya.. pasti aku bakal bingung terus. . .” sahut Erwin.

“Sama-sama Win, tenang aja.”

Drrt. Drrt.

“Eh, Win, hp kamu nyala tuh. . .” ujar Khao sambil menunjuk ke arah ponsel milik Erwin yang ada di atas counter.

“Eh, iya dong. Bentar yah, aku cek dulu,” sahut Erwin.

“Kalo gitu, aku ke depan dulu ya Win, mau lihat anak-anak main bola.”

“Oh, iya deh. Tapi jangan digangguin ya mereka, kasihan nanti takut.”

“Hehehe, enggak kok. Tenang aja. Dadah Erwin, makasih pie susunyaa!” Pamit Khao sebelum akhirnya sosok itu hilang menembus tembok dapur.

Menyisakan Erwin yang tersenyum sambil geleng-geleng kepala, lalu mengalihkan atensinya ke arah layar ponselnya yang sudah menyala.


Malam itu, Genta seperti orang linglung. Bingung sendiri, tidak tahu apa yang sedang ia bingungkan.

Sejak tadi, Genta sibuk mencuri-curi pandang ke arah pintu cafe. Padahal, malam ini pelanggan sedang ramai. Tapi tetap saja, Genta terus mencuri pandang ke arah sana.

Owner Blue Moon Cafe itu tampak sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang ke cafenya ini.

“Woy, Ta.”

“Eh buset! Aduh.. kaget banget gue bang,” sahut Genta setelah mengetahui jika barusan Mike lah yang mengagetkan dirinya. “Kenapa bang?”

Bukannya menjawab, Mike justru menatap tajam ke arah pemilik cafe sekaligus sahabat dekatnya itu. “Elu yang kenapa,” ucapnya.

Sebelah alis Genta terangkat, bingung. “Lah. . . kok balik nanya bang? Emang gue kenapa? Perasaan gak kenapa-napa deh. . .” Sahut Genta sambil menggaruk pelipisnya.

“Hadeh Genta. . . Genta. . . Elu tuh dari tadi ya, gue lihat kayak orang bingung tau gak. Nerima orderan nggak fokus, ngeracik kopi salah-salah mulu. Sibuk ngeliat pintu mulu dari tadi. Nungguin siapa sih lu?” Tanya Mike sambil melipat tangannya di depan dada.

“Oh. . .” Sahut Genta sambil cengar-cengir setelah sadar akan apa yang terjadi kepadanya. “Itu bang, gue lagi nunggu si Erwin. Orang pastry yang lo rekomendasiin..”

“Lah, emang dia mau kesini sekarang?”

Genta mengangguk. “Tadi gue udah whatsapp dia. Gue tanya bisa kesini gak malem ini, terus katanya sih bisa,” jawab Genta.

Pria itu lantas melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjuk ke angka delapan. “Tapi sampe sekarang kok belum dateng.. makanya gue tungguin dari tadi.”

“Ya sabar dulu, kali aja orangnya masih di jalan,” sahut Mike. “Tapi tetep aneh tau gak. Lo tuh bingungnya gak kayak biasanya. Ini kelihatan bingung, cemas, khawatir gitu. Kenapa sih sampe kayak gitu? Gue aja yang lihat lo ikut bingung.”

Genta tertawa, “gue juga gatau bang. Tapi ya, jujur, dari tadi waktu gue chat si Erwin ini tuh, rasanya tiba-tiba excited gitu. Heboh sendiri bawaannya. Gatau kenapa.”

“Yeee. Elu. Dikasih partner cewek biasa aja. Giliran ama partner cowok jadi begini,” ledek Mike sambil tertawa.

Genta kembali menggaruk pelipisnya sendiri. Sebab ia sendiri pun sebenarnya tidak mengerti, kenapa ia bisa jadi seperti ini.

Ting! Ting!

“Nah, ada tamu tuh,” ucap Mike sambil melongok ke arah pintu, “itu bukan si Erwin?” Tanyanya pada Genta.

“Masa sih udah dateng,” sahut Genta. Pemuda itu lantas meletakkan sendok yang baru saja ia gunakan untuk mengaduk gula, lalu berbalik badan.

Tepat saat sepasang mata elang milik Genta memandang ke arah pintu, owner Blue Moon Cafe itu seketika terpaku.

Bagaimana tidak? Saat ini, tepat di depan matanya, sedang berjalan seorang pria dengan paras yang begitu menawan.

Genta berani sumpah. Ia belum pernah melihat sosok laki-laki dengan proporsi tubuh dan wajah yang sedemikian sempurna seperti ini.

Tubuhnya yang tinggi semampai, wajahnya yang manis, putih bersih serupa kain satin dengan kualitas terbaik di dunia.

Belum lagi sorot matanya. Sepasang mata berwarna hitam kelam yang seolah mampu memenjara setiap hal yang masuk dalam pandangannya.

Dan karena itulah, kini Genta terdiam. Tidak bisa berkutik.

Sang Owner Cafe itu terhipnotis. Terhipnotis oleh paras tampan milik seorang tamu yang tidak pernah ia duga.

“Permisi, saya mau ketemu sama Mas Genta, ada janji dengan beliau. . .” Ujar Sang Tamu berparas rupawan itu setibanya ia di depan meja tempat Genta dan Mike berdiri.

“Oh, ini Erwin ya?” Sahut Mike yang juga terlihat antusias.

Sosok itu, yang tak lain adalah Erwin, mengangguk sopan. “Iya, saya sendiri..” jawabnya. “Mas Gentanya ada?”

“Ada, ini orangnya,” jawab Mike sambil menunjuk Genta yang masih mematung sambil terus memandang ke arah Erwin.

“Ta, Genta, itu tuh si Erwin udah dateng,” bisik Mike pada Genta. Namun si pemilik cafe itu tidak merespon. Ia masih terdiam. Masih terus menatap ke arah Erwin, tidak berkedip sedikitpun.

Sadar jika sahabatnya ini sedang berada dalam mode error, Mike pun langsung mencubit pinggang sahabatnya itu.

“Aduh! Apaan sih bang? Kenapa nyubit-nyubit?” Protes Genta saat ia merasakan sensasi nyeri di pinggangnya.

Mike langsung melotot ke arah Genta, “apaan-apaan, itu, si Erwin udah dateng, dia nyariin lo tuh!” Bisik Mike setengah emosi.

Baru setelah itu, Genta sadar akan apa yang terjadi.

Ia buru-buru menoleh ke arah Erwin yang tampak sedang menatap bingung ke arah dua orang pria di hadapannya ini.

Ya Tuhan cakep banget, batin Genta dalam hati.

“Eh, ini Erwin ya? Aduh maaf ya, saya tadi ngelamun bentar,” ujar Genta pada Erwin.

“Salam kenal ya Erwin, saya Genta. Owner cafe ini, yang tadi siang hubungi kamu lewat whatsapp,” ujar Genta memperkenalkan diri sambil mengajak Erwin untuk berjabat tangan.

Erwin langsung menyambut tangan Genta, “Salam kenal juga, Mas Genta, saya Erwin. . . maaf ya terlambat datang soalnya tadi sempet ketinggalan bis,” jawab Erwin sambil tersenyum.

Genta menelan salivanya susah payah. Kacau. Erwin ini benar-benar sukses membuat hati Genta kelabakan.

Tidak ingin hanyut semakin dalam pada pesona Erwin, Genta buru-buru melepas jabat tangan itu. “Ehm, k-kalo gitu, silahkan duduk dulu ya,” ucapnya. “Bang, tolong anterin Erwin duduk ya, gue mau siapin minum,” pintanya kepada Mike.

Mike yang sejak tadi bisa membaca ekspresi Genta hanya bisa geleng-geleng kepala. “Oke. Ayo Erwin, saya anter ke tempat duduk,” ajak pria itu kepada Erwin.

Dan setelahnya, Erwin pun mengangguk sejenak kepada Genta. Kemudian melangkah pergi mengikuti Mike yang sedang mengajaknya menuju tempat duduk.

Menyisakan Genta yang berkali-kali mengedipkan mata. Masih tidak percaya akan apa yang baru saja ia lihat.

Genta sering mendengar tentang istilah cinta pada pandangan pertama.

Selama ini, Genta tidak mempercayai hal itu. Sebab baginya, tidak mungkin seseorang merasakan cinta hanya dengan sekali pandang saja.

Namun sepertinya Genta akan membantah prinsipnya sendiri.

Sebab saat ini, Genta telah merasakan. Bahwa ia bisa merasakan cinta lewat sebuah pandangan pertama.

Ya. Malam itu, Genta menyadari. Bahwa ia, jatuh hati kepada Erwin. Pada pandangan pertama.


Hiruk pikuk yang memenuhi Blue Moon Cafe di malam itu tidak mampu meredam debaran dalam hati kedua insan yang sedang duduk berhadapan di salah satu meja di ujung cafe ini.

Setelah tadi menyiapkan minum dan snack untuk teman diskusi mereka, Genta langsung datang menghampiri Erwin, lalu duduk di hadapannya.

Sudah hampir sepuluh menit berlalu tetapi keduanya masih dikuasai keheningan. Tidak ada percakapan lagi setelah tadi mereka bertukar identitas.

Mereka sama-sama merasa gugup. Rasa gugup aneh yang mereka sendiri tidak tahu apa penyebabnya.

Yang pasti, rasanya jantung mereka berdebar-debar setiap kali mereka tidak sengaja beradu tatap.

“Ehm. . . jadi.. Erwin ini jalanin bisnis sourinya sendirian, ya?” Tanya Genta pada akhirnya. Setelah ia menghabiskan sembilan menit untuk mengontrol hatinya sendiri.

Di hadapannya, Erwin mengangguk, “Iya, Mas. Saya jalanin sendiri.” Jawabnya.

“Awalnya iseng sih, coba-coba bikin kue terus saya kirim ke temen-temen kuliah. Eh, feedbacknya bagus. Terus sama mereka disuruh coba open order. Dan akhirnya, jadi berkembang seperti sekarang ini. . .” Jelas Erwin sambil tersenyum.

Genta manggut-manggut. “Berarti bisa dibilang souri ini brand bisnis pribadi ya?”

“Iya, Mas. Bisa dibilang begitu sih kayaknya. . .”

Genta terlihat takjub, “Wah, keren ini. Masih muda udah punya brand bisnis pribadi kayak begini. Mana bisnisnya pastry lagi, hebat banget.”

“Hehe, Mas Genta bisa aja,” sahut Erwin dengan wajahnya yang tampak tersipu malu. “Mas Genta juga keren loh. Bisa punya cafe sebesar ini, terkenal juga,” puji Erwin balik.

Kini giliran Genta yang tersipu malu. “Kalo saya sih dibantu bang Mike.. makanya bisa jadi kayak begini. Kalo Erwin kan bener-bener berdikari. Lebih keren Erwin lah,” pujinya lagi.

Duh, rasanya wajah Erwin bisa meledak saking panasnya jika terus dipuji seperti ini.

“Hmm.. soal tawaran partnership sama cafe ini, gimana menurut Erwin?”

Erwin tampak menimbang-nimbang, “sejujurnya ya Mas, saya tuh belum pernah sama sekali bikin kerja sama atau kolaborasi seperti ini. Jadi, waktu saya dikasih tau teman saya kalau ada tawaran partnership sama Blue Moon, saya malah minder. . .” jawab Erwin sambil cengar-cengir.

“Loh, kenapa minder? Erwin tuh keren loh punya bisnis pribadi, apanya yang bikin minder?”

“Ya.. karena saya nggak punya pengalaman apapun soal partnership itu sih Mas.” Jawab Erwin. “Kan selama ini saya tuh jalanin apa-apa sendiri, jadi rasanya khawatir gitu kalau harus berbagi tanggung jawab sama orang lain.. takut malah merugikan. . .”

“Ah, saya rasa nggak akan seperti itu,” sahut Genta yakin. “Buktinya, Erwin aja bisa bertanggung jawab sama bisnisnya sendiri. Saya yakin, nggak sulit kok buat kamu jalin kerja sama dengan orang lain,” imbuh Genta meyakinkan Erwin.

Erwin tersenyum simpul, “iya sih Mas.. tapi namanya orang kan, pasti ada aja takutnya. Apalagi ini kerja sama bareng cafe besar.. jadi makin takut deh,” timpalnya.

“Nggak perlu takut hey. Nanti kita belajar bareng-bareng kok,” sahut Genta sambil tertawa.

“Kalo gitu, gimana. Kira-kira Erwin mau nggak ambil projek partnership antara Souri & Blue Moon Cafe?”

Erwin terdiam sejenak.

Ia sudah jauh-jauh menempuh jarak sampai ke sini. Seharian ini, Erwin pun sudah berusaha meyakinkan diri. Terlebih, ia teringat apa yang Khao sampaikan padanya.

Erwin harus percaya diri.

Lagipula, sepertinya Genta ini adalah orang yang suportif dan sangat mengayomi. Sedikit banyak, Erwin tidak merasa khawatir jika harus bekerja sama dengan Genta.

Merasa jika dirinya sudah yakin, Erwin pun mengangguk mantap. “Oke, Mas Genta. Saya ambil proyek partnershipnya.” Tandasnya.

Wajah Genta langsung dipenuhi kebahagiaan. “Oke, mantap. Kalo gitu, Erwin bisa tanda tangan di sini, sebagai bukti awal perjanjian kita, oke?”

“Oke, Mas. Siap.” Sahut Erwin tak kalah semangatnya.

Genta lantas menyerahkan sebuah map berisi kertas perjanjian kerja sama antara dirinya dan Erwin yang nantinya bisa digunakan sebagai bukti proyek partnership mereka.

Genta merasa sangat senang. Selain akhirnya ia bisa mendapat rekan untuk proyeknya ini, ia juga merasa senang karena dengan kerja sama ini Genta bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Erwin.

Sosok yang sudah mencuri hatinya pada pandangan yang pertama.

“Sudah, Mas. . .” Ucap Erwin setelah usai menandatangani surat itu sambil tersenyum begitu manis.

“Oke, makasih ya. Duh, manis banget senyumnya. . .”

“Hah? Gimana Mas?” Sahut Erwin kaget.

Anjir Genta goblok banget!

“Eh! Aduh, salah! Aduh.. itu.. ehm.. anu, m-maksudnya, bagus banget tanda tangannya Erwin,” jawab Genta panik setelah menyadari kecerobohannya. “Aduh, maaf ya Erwin, s-saya tadi salah ngomong, kurang fokus. . .”

Erwin rasanya ingin tertawa saja melihat tingkah Genta yang panik seperti ini. “Iya Mas, nggak apa-apa kok.. minum dulu biar fokus..”

“Iya ya minum dulu ya,” sahut Genta sambil menggaruk pelipisnya.

Si Pemilik cafe itu lantas mengambil segelas ice coffee yang ada di hadapannya, lalu buru-buru meminumnya.

Wajah Genta terlihat bingung saat ia tidak bisa merasakan ice coffee itu masuk ke dalam tenggorokannya. “Ini sedotan buntu apa gimana sih,” gerutunya.

Sedangkan di hadapannya, Erwin tengah tertawa terbahak-bahak.

“Mas Genta. . .” Panggil Erwin sambil tertawa.

“Iya, kenapa?”

“Pantes nggak bisa keluar itu es kopinya, orang Mas Genta nyedot sendok, bukan sedotan. . .” Jawab Erwin sambil kembali tertawa.

Genta langsung melirik ke arah gelasnya.

Oh Tuhan. . . benar apa yang Erwin katakan. Pantas saja, Genta sudah menyedot dengan sekuat tenaga tapi es kopi itu sama sekali tidak keluar.

Duh, rasanya Genta ingin mengubur diri saja. Malu banget, woy!

“Oalah.. iya ya.. pantesan nggak keluar esnya, hehe,” sahut Genta sambil cengar-cengir, berusaha menahan malu sih lebih tepatnya.

“Mas Genta lucu banget sih,” puji Erwin sambil menghapus air mata yang keluar karena terlalu asik menertawakan Genta.

Aduh, Erwin, plis jangan muji gue atau lo gue sayang!

Genta lantas menelan seteguk es kopi itu dengan nikmat. Pria itu menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengatur dirinya agar tidak dikuasai gugup dan berakhir konyol seperti barusan.

“Oke, kalo gitu, besok Erwin bisa dateng lagi kesini nggak sama bawa sample produk souri?”

“Bisa, Mas. Tapi saya bisanya malem sih, kayak tadi. Soalnya kalau pagi sampe sore, saya nyiapin orderan..” jawab Erwin.

“Oh, iya nggak masalah. Yang penting ada waktu buat dateng ke sini,” sahut Genta. “Berarti besok bisa, ya?”

“Siap, bisa Mas.”

“Oke deh.. kalo gitu, terima kasih banyak ya Erwin udah mau repot-repot dateng ke sini, mana malem-malem juga. Saya nggak enak jadi ganggu waktu istirahatnya,” ujar Genta.

Erwin tersenyum, “nggak masalah kok Mas. Lagipula saya juga nggak ada kerjaan lain, jadi bisa ke sini deh, hehe.” Ucapnya. “Kalo gitu, saya pamit pulang ya Mas?” Ucap Erwin sambil berdiri.

“Oh, iya-iya,” sahut Genta yang turut berdiri. “Eh, Erwin tunggu sini sebentar ya,” ucap Genta sebelum langsung berlari meninggalkan Erwin.

Sepeninggal Genta, Erwin pun menatap ke sekeliling cafe.

Blue Moon Cafe ini terasa begitu nyaman, walaupun sejak awal Erwin menginjakkan kaki di tempat ini, ia bisa melihat bahwa banyak sekali dari mereka yang juga sedang menikmati momen di cafe ini.

Rame juga ya cafe ini, batin Erwin dalam hati.

“Nih, oleh-oleh buat Erwin,” ucap Genta sambil menyerahkan sebuah bingkisan untuk Erwin.

“Aduh, Mas Genta, saya jadi ngerepotin gini..” balas Erwin tidak enak.

“Nggak ngerepotin kok. Orang cuma minuman. Caramel Macchiato sama Strawberry Frappe. Buat nemenin malem ini, hehe.”

Erwin pun menerima pemberian Genta dengan senyuman lebar. “Terima kasih banyak buat jamuannya ya Mas Genta.. berkesan banget buat saya,” ucapnya.

“Sama-sama Erwin. Semoga suka sama minumannya,” balas Genta. “Yuk, saya antar keluar?” Ajak Genta kepada Erwin.

Dan setelahnya, mereka berdua pun berjalan beriringan menuju pintu cafe. Menutup lembar awal perjalanan bisnis mereka berdua, serta menutup malam yang indah dimana hati Genta telah tercuri oleh seorang pemilik pastry dengan parasnya yang rupawan, Erwin.


bwuniverr


Sehari setelah ulang tahunnya yang ketiga, ia dihadiahi kegelapan.

Hari itu, kedua matanya yang indah, mulai bisa menembus dalam pekat malam. Melihat segala hal yang tampak begitu asing, aneh, dan cenderung menyeramkan. Serta mulai melihat mereka. Mereka yang berjalan di antara hidup dan mati. Mereka, yang akhirnya dikenal dengan sebutan para hantu.

Bagi sebagian orang, kemampuan yang ia miliki ini terasa bagai kutukan. Tapi tidak untuknya.

Walau awalnya memang terasa berat, lambat laun, ia bisa berdamai dengan kekuatan spesialnya itu.

Selain itu, dengan kemampuannya, ia bisa melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, dari sudut pandang yang lebih luas. Dan ia pun bisa mendapat teman yang tidak bisa orang lain dapatkan.

Erwin namanya.

Seorang pria, dua puluh lima tahun. Lulusan terbaik jurusan komunikasi yang kini sedang menjalankan usaha pastry miliknya yang sudah banyak dikenal oleh orang-orang.

Bagi Erwin, kekuatan spesial itu bukanlah halangan.

Justru, dengan kekuatannya itu, Erwin sering membantu mereka untuk mencari jawaban atas segala hal yang belum tuntas dalam hidupnya.

Awalnya, Erwin sudah mulai berdamai dengan kemampuan spesialnya ini. Bagi Erwin, ia tidak masalah jika harus berteman dengan kekuatan ini sampai akhir hayatnya.

Namun kemudian, setitik harapan untuk lepas dari kekuatan spesial ini hadir setelah ia mendengar kabar yang menyatakan bahwa kekuatan ini bisa hilang jika kita bertemu dengan belahan jiwa serta berbagi kasih sayang dengannya.

Sejak saat itu, Erwin jadi mulai berharap agar suatu hari nanti, ia bisa dipertemukan dengan belahan jiwanya, lalu menghilangkan kemampuan spesial yang selama ini sudah menemaninya.

Sayangnya, Erwin tidak mengetahui, jika ada harga mahal yang harus Erwin korbankan apabila ia ingin melenyapkan kemampuannya itu.

Sebuah harga mahal yang mungkin bisa menghancurkan hidupnya menjadi berkeping-keping.

Lalu, apakah Erwin sanggup membayar semua itu hanya agar bisa lepas dari kemampuan spesialnya ini?


bwuniverr 2022