bwuniverr

Rasanya ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama Win bisa berbelanja banyak hal di supermarket seperti ini.

Dan semua itu berkat uang yang ditemukannya di dalam tote bag pemberian Mbak Jan tadi pagi.

Setelah memasukkan beberapa stok makanan ke dalam troli, Win kini sedang berjalan di lorong minuman.

Hendak membeli beberapa kaleng minuman rasa untuk stok sekaligus untuk temannya menikmati malam ini.

“Kamu udah pernah minum cola belum?” Tanya Win kepada Khao setibanya mereka berdua di lorong minuman kaleng.

Khao menggeleng. “Dulu, waktu aku sekolah, kayak begini tuh belum ada. Palingan yang ada tuh es jeruk, sama es teh.” Jawabnya.

“Yah.. kalo es jeruk sama es teh di warung juga ada,” timpal Win sambil tertawa. “Enaknya beli yang mana ya?” Ucap Win sambil melihat-lihat berbagai jenis minuman cola yang tersedia di sana.

“Beli yang soda biru kayaknya enak ya Kha—Loh, Khao? Khao? Kok tiba-tiba ilang sih..” gerutu Win saat menyadari jika Khao sudah tidak ada di sampingnya.

Win lantas melanjutkan kegiatan pilih-pilihnya. Tidak terlalu peduli dengan Khao yang tiba-tiba hilang.

Sebab Win paham jika sahabatnya itu tiba-tiba pergi, artinya ia sedang merasa tidak nyaman di sini.

Ah! ini aja deh, kayaknya enak.. ucap Win dalam hati saat matanya menangkap sebuah minuman kaleng dengan gambar jeruk pada bagian kalengnya.

“Yah.. tinggal satu,” gumamnya saat menyadari jika hanya tersisa satu minuman kaleng yang ia inginkan di sana. “Yaudah deh gapapa, daripada nggak sama sek—Eh?”

Win seketika menghentikan gerakannya saat sebuah telapak tangan menindih miliknya. Sama-sama hendak mengambil minuman kaleng yang tersisa satu saja di dalam rak itu.

Saat Win menolehkan wajah, ia dibuat kaget bukan main.

Sebab, di belakangnya, dengan jarak yang sudah begitu dekat, telah berdiri seorang pria yang familiar di matanya.

Sosok pria itu adalah pria tampan yang tadi pagi ditemuinya di dalam lift ketika Win akan mengumpulkan berkas lamaran kerja.

“Eh, aduh, maaf..” ucap Win sambil buru-buru mundur agar tidak terjebak dalam posisi yang terasa sangat canggung itu.

Si Pria tampan itu, yang tampak mengenakan setelan jas seperti tadi pagi, masih terus terdiam. Kedua matanya tak lekat sedikitpun memandangi Win.

“Kamu yang tadi di kantor?” Tanya Pria itu pada akhirnya.

Sambil menahan rasa gugup yang mendera hatinya, Win mengangguk. “I-iya Pak.. s-saya yang tadi di lift..” jawabnya.

Pria itu beralih menatap sekaleng minuman yang tersisa di sana lalu kembali menghadap Win. “Kamu mau ambil itu?”

Win mengangguk. “Iya.. saya mau beli itu..”

Pria itu terdengar menghela nafas. Sebelum akhirnya berbicara, “yaudah. Buat kamu aja. Ambil.”

“Eh, nggak apa-apa Pak, buat bapak aj—”

“Buat kamu aja. Ambil. Saya permisi.” Ujar Pria tampan itu sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Win yang tampak masih ingin berbicara kepadanya.

Sepeninggal pria tampan itu, Win justru merutuki dirinya sendiri.

Duh, kenapa sih gue malah manggil Pak.. orangnya kan nggak tua-tua amat. Harusnya gue panggil Mas aja.. rutuknya dalam hati sambil meraih minuman kaleng yang disisakan pria tampan itu untuknya.


Seharusnya pagi itu dihiasi oleh senyum serta semangat. Tapi nyatanya, Win justru berjalan sempoyongan, loyo. Pemuda itu kehabisan tenaga setelah harus mengejar bis terakhir yang meninggalkannya pagi ini.

Padahal, Win harus sudah datang di kantor tempat Mix bekerja sebelum pukul sepuluh pagi untuk mengumpulkan surat lamaran yang ditawarkan oleh sahabat karibnya itu kemarin malam.

Namun apa daya. Nasi sudah jadi bubur. Bis terakhir itu sudah melesat pergi. Dan setidaknya Win harus menunggu sampai pukul sebelas siang jika ia ingin naik bis untuk menuju kantor Mix. Yang artinya, ia bakal terlambat datang di sana. Dan jujur, Win tidak mau jika hal itu itu sampai terjadi.

Akhirnya, Win memutuskan untuk berjalan kaki. Menempuh trotoar jalanan mengikuti navigasi yang diberikan oleh maps sesuai lokasi yang dibagikan oleh Mix.

Dengan tenaga yang sudah terkuras habis, langkah Win terasa semakin berat saja. Belum lagi, rasa lapar dan haus yang terasa semakin menyiksa dirinya. Membuat Win mau tak mau harus berdamai dengan kondisinya saat ini agar ia bisa sampai di kantor Mix tepat waktu.

Semakin tungkai jenjangnya itu melangkah, semakin habis saja rasanya energi yang ada di tubuh Win. Biasanya Win bisa berkompromi dengan lelah dan lapar, tapi saat ini, rasanya Win ingin menyerah saja.

Kruuuuuuk. . .

Win memegangi perutnya erat-erat. Rasanya lapar. Lapar sekali. Kalau saja tadi pagi Win sempat sarapan, setidaknya sepotong roti atau satu telur dadar, Win pasti masih punya tenaga untuk mengejar bis terakhir itu.

Tapi sayangnya, Win tidak memiliki kesempatan itu.

Semalam Win lupa untuk membeli stok makanan lebih. Ia terlalu lelah dengan kegiatannya mencari kerja yang tidak kunjung membuahkan hasil. Dan berujung membuat dirinya tidak punya stok makanan untuk sarapan pagi tadi.

Halte keempat sudah Win lewati. Langkah pemuda itu semakin terlihat sempoyongan. Loyo. Tubuhnya yang jenjang itu kini tampak seperti pohon layu yang tidak mendapat cukup asupan air.

Win ingin sekali minum. Tenggorokannya haus bukan main. Tapi Win tidak mau mengulur waktu dengan pergi ke minimarket atau sekedar mencari toko untuk membeli air mineral.

Ketika tenaganya sudah berada di ujung batas, Win melihat ada sebuah bangku di dalam kompleks taman kecil di pinggir jalan. Di sana, ada seorang wanita yang sedang duduk seorang diri. Menyisakan ruang yang sepertinya bisa Win manfaatkan untuk beristirahat sejenak.

Ke sana kali ya.. capek banget rasanya.. Gumam Pemuda itu dalam hati sebelum akhirnya ia melangkah menuju ke bangku itu.

“Permisi, boleh saya duduk di sini?” Ujar Win meminta izin kepada si Wanita yang lebih dulu sudah duduk di sana.

Wanita dengan setelan gaun berwarna merah itu mengangkat wajahnya. Menyuguhkan parasnya yang begitu rupawan.

Cantik banget. . . Ucap Win di dalam hati ketika dirinya terpukau dengan kecantikan wanita itu.

Wanita dengan gaun merah itu tersenyum. Membuat kedua sudut bibirnya yang merah merona terangkat. “Boleh, silahkan,” jawabnya sambil menggeser tubuhnya sendiri. Memberi ruang lebih kepada Win.

“Terima kasih,” sahut Win sambil tersenyum.

Dan setelahnya, Win langsung duduk di sebelah wanita itu. Ia lepaskan ransel yang sejak tadi terasa menambah beban tubuhnya, kemudian melonggarkan ikatan dasi di lehernya.

“Hahhhh…” Win berusaha meraup nafas dalam-dalam. Berharap limpahan oksigen itu mampu mengganti sebagian besar tenaganya yang sudah menguap entah kemana.

Win menelan ludahnya berkali-kali. Membasahi kerongkongan kecilnya yang terasa sudah sekering gurun sahara.

Saat Win sedang menikmati momen istirahatnya itu, tiba-tiba si Wanita bergaun merah yang ada di sampingnya beranjak pergi.

Wanita itu tampak sedang tergesa. Sebab barusan, Win bisa mendengar dering ponsel yang diikuti sebuah percakapan singkat.

Hingga akhirnya, Wanita itu pun pergi. Berjalan cepat, meninggalkan Win yang masih mengais tenaga dari alam di sekitarnya, serta sebuah tote bag milik wanita itu yang masih tergeletak di kursi yang tadi ia duduki.

Win otomatis memasang mode siaga. Waduh tasnya ketinggalan, ucapnya dalam hati.

Win langsung menyambar tote bag milik wanita itu. Lalu berlari sekuat tenaga mengejar wanita bergaun merah yang sudah berada jauh di depan sana.

“Mbak! Mbak! Tas nya ketinggalan!” Teriak Win kepada Wanita itu sambil terus berusaha mengejar langkahnya yang terasa begitu cepat.

Anjir ini cewek jalannya cepet banget dah.

“Mbak! Mbak! Berhenti!”

Wanita bergaun merah itu melepas ponsel yang melekat di telinga kirinya sebelum akhirnya menoleh ke arah Win,

Wajah Win langsung terlihat lega setelah menyadari jika Wanita itu mendengar panggilannya. Dan akhirnya, Win pun mempercepat langkahnya. Berusaha menggapai sang wanita yang kini sedang berdiri sambil menatap penuh tanya ke arahnya.

“Mbak.. hahh.. hahh.. i-ini.. tasnya ketinggalan.. hahh.. hahh..” Ucap Win susah payah di sela rongga dadanya yang terasa kian sesak sambil menyerahkan tote bag itu kepada pemiliknya.

Wajah Wanita itu tampak terkejut dengan apa yang saat ini Win bawa. “Wah.. iya, aduh maaf ya, saya lupa. Jadi ngerepotin kamu gini..” sahut Wanita itu.

Win hanya tersenyum sambil menggeleng singkat, “nggak apa-apa kok, Mbak..” jawabnya sambil masih berusaha mengatur nafasnya.

“Kamu baik banget deh.. sampe capek-capek ngejar saya. Padahal lagi capek banget kan ya?” Ucap Wanita itu. “Pasti kamu belum sarapan, kan?” Tebaknya lagi sambil merogoh tas yang menggantung di bahunya.

Kok dia tau.. kelihatan banget ya kalo gue kayak musafir.. gumam Win di dalam hati.

Pemuda itu lantas tersenyum pahit, “hehehe, belum Mbak.. nggak sempat tadi,” sahut Win. “Kalau gitu, saya permis——”

“Eh tunggu bentar,” potong Wanita itu cepat.

Ia tampak memasukkan sesuatu ke dalam tote bag yang tadi dikembalikan oleh Win kepadanya. Kemudian ia serahkan tote bag itu kepada Win. “Nih, buat kamu.”

Sebelah alis Win terangkat naik, bingung. “Eh, nggak usah Mbak.. saya ikhlas bantuin kok. Kan itu tas punya Mbak..” sahut Win.

“Aduh tapi saya maksa loh ini,” jawab Wanita itu. “Lagipula nolak rejeki itu nggak baik, kan?” Imbuhnya diiringi sebuah senyum lebar di wajahnya yang cantik jelita. “Ayo, ambil. Gapapa kok. Anggap aja sebagai ucapan terima kasih saya. Oke?”

Setelah terdiam sejenak, Win akhirnya mengangguk. Lagi pula benar juga kata wanita itu. Tidak baik untuk menolak rejeki, apapun bentuknya.

“Terima kasih banyak, Mbak..” ujar Win sambil menerima tote bag pemberian wanita itu.

“Sama-sama,” sahutnya sambil tersenyum. “Nama kamu siapa?”

Win mengangkat wajah tampannya. “Win. Metawin Arkan Nagara,” jawabnya sambil tersenyum.

Wanita bergaun merah itu turut tersenyum setelah mendengar Win memperkenalkan diri. “Namanya bagus. Cakep, kayak orangnya.” ujarnya sambil tersenyum balik.

“Nama saya Jan. Jannita.” Tuturnya memperkenalkan diri.

“Oh iya.. terima kasih banyak Mbak Jan. . .” sahut Win.

“Sama-sama Win. Dimakan ya itu yang di dalam tote bag. Saya permisi dulu ya?” Pamit Wanita itu kepada Win.

“Iya Mbak, silahkan.. sekali lagi terima kasih bany———”

Belum usai Win menjawab, Jan lebih dulu melangkah. Wanita bergaun merah itu menepuk lembut bahu Win. Yang otomatis membuat Win terdiam.

Dan setelahnya, Jan mengarahkan kepalanya tepat di belakang wajah Win. Lalu membisikkan sesuatu di sana.

“Semoga lamaran kerja kamu kali ini diterima ya. Semangat anak baik. Terima kasih udah bertahan sampai sekarang. Sampai ketemu lagi ya. . .”

Belum sempat Win mencerna situasi, Jan lebih dulu tersenyum simpul sebelum akhirnya wanita itu melenggang pergi. Meninggalkan Win yang masih kaget sekali atas apa yang baru saja ia dengarkan tadi.

“Kok.. dia tau gue mau ngelamar kerja..” monolog Win sambil menatap sosok Jan yang kemudian menghilang pada belokan di ujung sana.

Setelah kepergian Jan, Win pun membuka tote bag pemberian wanita itu. Wajah lelahnya langsung tampak berseri-seri setelah melihat isi di dalamnya. “Astaga.. nasi kotak.. sandwich.. susu.. jus.. banyak banget..” gumamnya seorang diri.

“Emang rejeki tuh gak bakal kemana ya..” ucap Win yang kemudian berjalan kembali ke arah bangku untuk mengambil ransel serta menikmati sarapan pemberian Jan.

Setelah tadi mengkonfirmasi kehadirannya di kantor ini pada resepsionis, Win diberi arahan untuk langsung menuju lantai 8 untuk menemui Pak Mike, selaku penanggung jawab lowongan kerja.

Maka Win pun bergegas mencari lift untuk menuju lantai 8.

Tepat di ujung lorong di belakang resepsionis, ada dua buah lift yang siap digunakan. Dengan salah satu lift yang sedang terbuka dan dalam keadaan sepi.

Tak menunggu waktu lama, Win pun bergegas menuju ke lift itu, lalu masuk ke dalamnya. Agar ia bisa segera menyerahkan berkas lamarannya itu di lantai 8.

Setibanya di dalam lift, Win langsung menekan tombol bertuliskan angka delapan. Tujuannya kali ini.

Beberapa detik kemudian, bunyi bising terdengar lirih di telinga Win. Seiring kemudian pintu lift itu mulai tertutup perlahan-lahan.

Saat jarak yang tersisa dari kedua belah besi itu tinggal sedikit, sebuah telapak tangan tiba-tiba masuk dan seolah menahan agar pintu besi itu tidak tertutup.

Kedua mata Win terbelalak. Pemuda itu buru-buru menekan tombol agar pintu lift itu kembali terbuka. Ia khawatir jika orang itu sampai terjepit pintu lift ini.

Setelah pintu lift itu terbuka kembali, Win berjalan. Ia ingin tahu siapa orang yang hampir menjepitkan tangannya sendiri di pintu lift ini.

“Permisi, anda baik-baik aj—”

Woah. . . .

Win mematung di tempatnya. Pemuda itu tertegun.

Dihadapannya, di balik pintu besi lift yang tadi hampir menyebabkan insiden itu, sedang berdiri seorang pria.

Seorang pria yang terlihat sangat bersahaja di dalam balutan jas berwarna dongker.

Tatapan pria itu tajam bak belati yang baru selesai diasah. Garis wajahnya tegas, serupa tebing karang yang tak gentar walau diterjang kerasnya ombak.

Sosok pria itu terlihat tampan. Tampan sekali. Hingga membuat Win tak sanggup bergerak walau sedikitpun.

Saat ini, Win sadar betul jika dirinya sedang terhipnotis. Terhipnotis oleh ketampanan pria di hadapannya itu.

Ganteng banget. . . . gumamnya dalam hati.

“Boleh saya masuk?”

Win terperanjat. Tersadar dari lamunannya setelah suara barito milik pria tampan di hadapannya itu tertangkap oleh indera pendengarnya.

Win buru-buru menggeser tubuhnya, “b-boleh.. s-silahkan. . .” jawabnya gugup.

Dan setelahnya, pria tampan itu langsung melangkah masuk ke dalam lift. Ia tekan salah satu tombol bertuliskan angka lima belas, sebelum akhirnya berdiri di samping Win. Menunggu lift itu sampai membawa mereka ke tujuan masing-masing.

Ruangan besi berukuran dua kali dua meter itu dikuasai keheningan.

Kedua orang yang sedang berada di dalamnya saling terdiam. Membiarkan hening menguasai mereka. Tak ada percakapan. Sama sekali.

Sejak pintu lift itu tertutup, Win sudah membuang wajahnya. Berusaha agar tidak melakukan kontak mata dengan pria tampan yang sempat menghipnotisnya itu.

Sambil terus berusaha mengendalikan hatinya yang berdebar begitu kencang bagai genderang perang.

Aduh sumpah gue deg-degan banget.. udah ganteng, wangi pula.. oceh Win dalam hati sambil mencuri-curi pandang ke arah pria di sampingnya itu.

Yang Win tidak ketahui adalah, sejak tadi, sejak pertama kali kedua mata mereka beradu tatap, pria itu, pria yang wajah tampannya mampu menghipnotis Win, telah meletakkan atensinya secara penuh kepada Win.

Sejak tadi, Pria itu merasakan sensasi aneh setiap kali ia memandang ke arah Win.

Ada sekelebat bayangan yang muncul dalam benaknya setiap kali ia melihat wajah Win. Bayang-bayang samar yang tampak seperti kilas kejadian yang terasa belum pernah ia alami.

Jangan. . .

Tolong. . .

Pria itu bisa mendengar rintihan seseorang dalam benaknya setiap kali matanya menatap ke arah Win.

Sedikit banyak, wajah Win itu terasa familiar baginya. Entah apa sebabnya.

Dan karena itulah, pria itu tidak menoleh sedikitpun. Sepasang mata elangnya sejak tadi mengunci pandang ke arah lempeng besi yang berada di hadapannya. Ia tidak ingin kilas-kilas itu mengganggu pikirannya.

Ting!

Alarm penanda lift itu telah berbunyi. Kedua pintu besi itu terbuka. Menyuguhkan pemandangan lantai delapan gedung ini yang penuh dengan lalu lalang pekerja kantor.

Win sudah tiba di tujuannya. Namun kakinya terasa berat sekali untuk diajak pergi. Seolah ada sesuatu yang menahan agar ia tidak keluar dari dalam lift itu.

Namun Win tidak bisa terus seperti ini. Ia harus keluar. Berkas lamarannya itu harus ia serahkan kepada Pak Mike jika ia ingin mendapat pekerjaan di kantor ini.

Maka akhirnya, Win pun melangkah. Keluar dari dalam lift ini. “S-saya duluan, permisi,” pamit Win kepada pria itu yang dibalas anggukan lirih olehnya.

Dan setelahnya, Win langsung keluar dari dalam lift itu.

Ia hentikan sejenak langkahnya lalu membalik badan. Dengan segenap rasa yang baru saja Win rasakan, ia suguhkan sebuah senyuman kepada pria tampan yang masih berdiri di dalam lift itu.

Dan tepat saat senyuman manis di wajah Win merekah, si pria tampan di dalam lift itu terbelalak.

Dari sana, dari simpul senyum serupa sabit muda di langit malam, serta dari binar sepasang obsidian milik lelaki di luar lift itu, si pria tampan melihat sesuatu. Sesuatu yang sukses mengguncang sanubarinya.

Di sana, di dalam pupil kelam milik Win, si pria tampan melihat refleksi dirinya sendiri yang sedang menangis sambil menatap penuh sesal. Entah menangisi sesuatu.

Sejujurnya ia ingin ikut keluar, hendak memeriksa apakah yang baru saja ia lihat ini benar atau tidak.

Tapi sayangnya, pintu lift itu lebih dulu tertutup. Membuat dirinya harus terpisah dengan pria manis yang sudah membukakan pintu lift itu untuknya.

Win rasa, hari itu menjadi sangat kelabu untuknya. Bagaimana tidak? Sejak pagi saja Win sudah ditimpa kesialan ganda. Dan sekarang, Win harus dihadapkan pada kenyataan yang selama ini menghantuinya.

Pemuda itu merasa sedih. Sedih akan hidupnya sendiri. Hidupnya yang sampai saat ini masih dipenuhi beragam tanda tanya serta usaha yang tak kunjung membawanya pada muara.

Ah, kalau sudah overthinking seperti ini, Win jadi tidak semangat menjalankan apapun. Rasanya ia hanya ingin diam, meratapi semuanya. Atau kabur, pergi sejauh mungkin dari semua beban ini, kalau ia bisa.

Tapi sepertinya, kabur pun tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada, Win justru bakal dihadapkan pada berbagai persoalan baru yang timbul dari masalah-masalah yang belum sempat dituntaskan.

Win tidak pernah mengira, kesulitannya untuk mendapat kerja bisa membuat pikirannya melayang jauh seperti ini. Membuat Win semakin lelah saja.

“Awiiiiinnnnnn!!!”

Win seketika mengangkat wajah saat suara itu, suara yang begitu ia kenali, suara sahabat karibnya terdengar oleh telinganya.

“Khao? Lo dimana?” Sahut Win sambil menatap sekeliling. Mencari keberadaan sang sahabat karib yang belum juga muncul di hadapannya.

Tap. Win langsung menoleh saat merasakan sentuhan super lembut di bahu sebelah kirinya.

Dan wajah pemuda manis itu langsung tampak sumringah setelah sepasang matanya menangkap figur sang sahabat karib yang kini sudah berdiri di hadapannya.

“Aku di sini, hehe,” ucap Khao, sahabat Win yang sudah dikenalnya sejak lima tahun lalu, lewat sebuah pertemuan yang tak pernah Win sangka dalam hidupnya.

“Kangen banget ih, kemana aja gapernah kelihatan?” Tanya Win sambil menggeser tubuhnya. Memberi tempat agar Khao bisa duduk di sana.

Khao lantas bergerak. Tubuhnya yang tampak serupa hologram itu melayang lembut di udara sebelum akhirnya menapak tepat di samping tubuh Win.

Pada detik berikutnya, bagian bawah tubuh Khao yang tampak tidak berbentuk itu perlahan menampakkan sepasang kaki lengkap dengan sepatu berwarna coklat muda, sepatu yang masih sama seperti pertama kali Win melihatnya.

Dan setelah perubahan itu usai, Khao langsung duduk di samping Win. “Hehe, maaf aku kemaren lagi sering jalan-jalan..” jawab Khao sambil tersenyum. “Kamu lagi ngapain? Kenapa kok mukanya sedih gitu?”

Diingatkan soal kesedihan yang sedang ia rasakan membuat wajah Win kembali murung. “Lagi kepikiran aja Khao.. biasa lah..” jawabnya.

“Lagi susah ya keadaannya?” Tebak hantu remaja laki-laki yang ditemui Win di sebuah sekolah terbengkalai saat ia tersesat dulu.

Win mengangguk. Kemudian sebuah tawa yang terdengar getir menguar dari mulut pemuda itu. “Kapan sih hidupku nggak susah, Khao.. perasaan susah terus deh..” jawabnya.

“Ih Awin gaboleh gitu ih!” Sahut Khao dengan wajahnya yang terlihat ikut sedih. “Kan aku udah bilang.. Awin tuh harus banyak bersyukur.. soalnya Awin tuh masih dikasih kesempatan hidup. Banyak tau temen-temenku yang pengen ngerasain hidup tapi udah nggak bisa..” tutur Khao pada Win.

Kali ini, Win tidak lagi menjawab. Pemuda itu berusaha mencerna apa yang baru saja dinasihatkan Khao kepadanya.

Win sering merasa malu jika sedang bersama Khao. Sebab justru Khao lah yang lebih sering memberinya petuah dan nasihat tentang hidup. Padahal, Khao sudah tidak lagi menyandang gelar sebagai mahluk hidup.

“Tuhkan malah ngelamun kan,” ucap Khao kecewa. “Awin nggak asik, ih. Aku dateng ke sini jauh-jauh masa didiemin doang..”

Win tertawa singkat, “iya-iya maaf. Aku tadi masih mikir omongan kamu. Banyak benernya ternyata,” ujar Win.

“Emang lagi mikirin apa sih Win kok kayaknya beban banget kamunya?” Tanya Khao.

“Aku lagi cari kerja. Tapi capek rasanya. Sampe hari ini nggak ada yang lolos. Semuanya gagal.” Jawab Win sambil tersenyum.

“Semuanya? Masa sih?”

“Ya nggak semua sih.. tapi kebanyakan gagal. Ini ada satu lowongan yang cukup aku harapin. Semoga aja diterima ya?”

“Aamiin..” Sahut Khao antusias. “Kamu yang sabar ya Win. Aku yakin kok kamu pasti bakal diterima. Tapi kamu harus sabar dulu, oke?”

“Iya.. aku bakal sabar kok. Tapi semoga batas sabarku nggak habis, hehe.” Sahut Win sambil mengusahakan senyuman terbaiknya. Senyum yang ia wujudkan dengan sisa-sisa harapan yang ada dalam hatinya.

Khao pun manggut-manggut. Sejujurnya ia ingin sekali memeluk sahabat karibnya yang sedang dirundung sedih saat ini. Tapi Khao sadar. Sampai kapanpun, ia tidak bisa menembus dinding kaca yang sudah membelenggunya sampai di akhir masa.

Maka yang bisa Khao lakukan hanya memberi Win semangat seperti ini. Berharap dengan kalimat penyemangat yang ia berikan, Win akan terus bertahan untuk hadapi dunia yang penuh rintangan ini.

“Eh, Win, ini apa?” Tanya Khao saat perhatiannya tertuju pada sebuah tali yang keluar dari dalam ransel milik Win.

Win ikut menolehkan wajah. “Eh, iya apa ya ini?” Sahut Win sambil melepaskan ransel di punggungnya.

“Ooh.. ini tuh talinya tote bag. Tadi pagi aku dikasih sama mbak-mbak. Namanya Jan. Baik banget deh Khao orangnya..” ujar Win.

“Emang apa isinya?”

“Tadi tuh ada nasi kotak, ada minuman, ada susu, ada kue, pokoknya makanan semua,” jawab Win sambil mengambil tote bag itu dari dalam tasnya.

“Terus sekarang masih ada isinya nggak?” Tanya Khao lagi.

“Enggak ada. Tadi udah aku makan semuanya..”

“Masa sih? Coba cek lagi, siapa tau masih ada isinya?”

Win menghela nafas. Soal urusan penasaran, sahabatnya ini juaranya. Dan rasa penasarannya itu tidak akan berhenti sampai Win menuruti permintaannya.

Maka akhirnya, Win pun mengeluarkan tote bag itu sepenuhnya. Sambil menghela nafas, Win pun merogoh ke dalam tote bag yang sejak tadi belum sempat ia periksa.

Dan ketika tangannya sampai di dalam sana, kedua mata Win terbelalak.

Win buru-buru menunduk. Membuka lebar-lebar tote bag itu lalu mengarahkannya tepat di hadapan wajahnya. “ASTAGA!!” Teriaknya yang membuat Khao ikut terperanjat.

“Kenapa Win? Apa isinya??”

Dengan tubuhnya yang tampak bergetar, Win ambil sesuatu yang ia temukan di dalam tote bag itu. Sejumlah uang kertas yang total nominalnya cukup banyak. Cukup untuk Win gunakan sebagai cadangan hidup selama satu minggu ke depan.

“Ada uangnya Khao. . .” ujar Win dengan suaranya yang bergetar sambil mengangkat uang itu di depan wajahnya.

“Loh? Uang? Uang dari mana?”

“Gatau. . .” jawab Win sambil geleng-geleng kepala. “Apa jangan-jangan dari Mbak Jan ya?” Tebak Win. “Ih, bener nih, jangan-jangan dari Mbak Jan.. soalnya tadi aku lihat Mbak Jan tuh kayak ngambil sesuatu gitu dari tasnya. . .”

Masih dengan wajahnya yang tampak tidak mengerti, Khao menimpali, “mungkin.. bisa jadi.. yang pasti itu rejeki kamu, Win..”

“Iya.. ini rejeki banget..” sahut Win. “Ah.. aku bisa makan sama nyiapin sesuatu malam ini..” ujarnya setelah teringat akan momen penting yang akan terjadi malam ini.

Pemuda itu lantas berbalik menatap Khao. “Kamu mau ikut aku ke supermarket?” Tawarnya.

“Mau!” Jawab Khao dengan antusias.

Wajah yang sejak tadi terlihat murung itu kini dipenuhi oleh senyum bahagia, “oke! Kalo gitu, kita ke supermarket yah habis ini. Terus baru kita pulang. Yuk?!” Ajaknya pada Khao.

Sosok serupa hologram itu mengangguk penuh semangat. Lantas ia pun mengikuti Win yang lebih dulu melangkah pergi ke supermarket. Setelah mendapat rejeki nomplok yang Win sendiri tidak yakin dari mana asalnya.

Rasanya ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama Win bisa berbelanja banyak hal di supermarket seperti ini. Dan semua itu berkat uang yang ditemukannya di dalam tote bag pemberian Mbak Jan tadi pagi.

Setelah memasukkan beberapa stok makanan ke dalam troli, Win kini sedang berjalan di lorong minuman. Hendak membeli beberapa kaleng minuman rasa untuk stok sekaligus untuk temannya menikmati malam ini.

“Kamu udah pernah minum cola belum?” Tanya Win kepada Khao setibanya mereka berdua di lorong minuman kaleng.

Khao menggeleng. “Dulu, waktu aku sekolah, kayak begini tuh belum ada. Palingan yang ada tuh es jeruk, sama es teh.” Jawabnya.

“Yah.. kalo es jeruk sama es teh di warung juga ada,” timpal Win sambil tertawa. “Enaknya beli yang mana ya?” Ucap Win sambil melihat-lihat berbagai jenis minuman cola yang tersedia di sana.

“Beli yang soda biru kayaknya enak ya Kha—Loh, Khao? Khao? Kok tiba-tiba ilang sih..” gerutu Win saat menyadari jika Khao sudah tidak ada di sampingnya.

Win lantas melanjutkan kegiatan pilih-pilihnya. Tidak terlalu peduli dengan Khao yang tiba-tiba hilang. Sebab Win paham jika sahabatnya itu tiba-tiba pergi, artinya ia sedang merasa tidak nyaman di sini.

Ah! ini aja deh, kayaknya enak.. ucap Win dalam hati saat matanya menangkap sebuah minuman kaleng dengan gambar jeruk pada bagian kalengnya.

“Yah.. tinggal satu,” gumamnya saat menyadari jika hanya tersisa satu minuman kaleng yang ia inginkan di sana. “Yaudah deh gapapa, daripada nggak sama sek—Eh?”

Win seketika menghentikan gerakannya saat sebuah telapak tangan menindih miliknya. Sama-sama hendak mengambil minuman kaleng yang tersisa satu saja di dalam rak itu.

Saat Win menolehkan wajah, ia dibuat kaget bukan main.

Sebab, di belakangnya, dengan jarak yang sudah begitu dekat, telah berdiri seorang pria yang familiar di matanya. Sosok pria itu adalah pria tampan yang tadi pagi ditemuinya di dalam lift ketika Win akan mengumpulkan berkas lamaran kerja.

“Eh, aduh, maaf..” ucap Win sambil buru-buru mundur agar tidak terjebak dalam posisi yang terasa sangat canggung itu.

Si Pria tampan itu, yang tampak mengenakan setelan jas seperti tadi pagi, masih terus terdiam. Kedua matanya tak lekat sedikitpun memandangi Win.

“Kamu yang tadi di kantor?” Tanya Pria itu pada akhirnya.

Sambil menahan rasa gugup yang mendera hatinya, Win mengangguk. “I-iya Pak.. s-saya yang tadi di lift..” jawabnya.

Pria itu beralih menatap sekaleng minuman yang tersisa di sana lalu kembali menghadap Win. “Kamu mau ambil itu?”

Win mengangguk. “Iya.. saya mau beli itu..”

Pria itu terdengar menghela nafas. Sebelum akhirnya berbicara, “yaudah. Buat kamu aja. Ambil.”

“Eh, nggak apa-apa Pak, buat bapak aj—”

“Buat kamu aja. Ambil. Saya permisi.” Ujar Pria tampan itu sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Win yang tampak masih ingin berbicara kepadanya.

Sepeninggal pria tampan itu, Win justru merutuki dirinya sendiri. Duh, kenapa sih gue malah manggil Pak.. orangnya kan nggak tua-tua amat. Harusnya gue panggil Mas aja.. rutuknya dalam hati sambil meraih minuman kaleng yang disisakan pria tampan itu untuknya.

#NEXT


Seharusnya pagi hari itu dipenuhi oleh senyum serta semangat. Tapi nyatanya, Win justru berjalan sempoyongan, loyo. Pemuda itu kehabisan tenaga setelah harus mengejar bis terakhir yang meninggalkannya pagi ini.

Padahal, Win harus sudah datang di kantor tempat Mix bekerja sebelum pukul sepuluh pagi untuk mengumpulkan surat lamaran yang ditawarkan oleh sahabat karibnya itu kemarin malam.

Namun apa daya. Nasi sudah jadi bubur. Bis terakhir itu sudah melesat pergi. Dan setidaknya Win harus menunggu sampai pukul sebelas siang jika ia ingin naik bis untuk menuju kantor Mix. Yang artinya, ia bakal terlambat datang di sana. Dan jujur, Win tidak mau jika hal itu itu sampai terjadi.

Akhirnya, Win memutuskan untuk berjalan kaki. Menempuh trotoar jalanan mengikuti navigasi yang diberikan oleh maps sesuai lokasi yang dibagikan oleh Mix.

Dengan tenaga yang sudah terkuras habis, langkah Win terasa semakin berat saja. Belum lagi, rasa lapar dan haus yang terasa semakin menyiksa dirinya. Membuat Win mau tak mau harus berdamai dengan kondisinya saat ini agar ia bisa sampai di kantor Mix tepat waktu.

Semakin tungkai jenjangnya itu melangkah, semakin habis saja rasanya energi yang ada di tubuh Win. Biasanya Win bisa berkompromi dengan lelah dan lapar, tapi saat ini, rasanya Win ingin menyerah saja.

Kruuuuuuk. . .

Win memegangi perutnya erat-erat. Rasanya lapar. Lapar sekali. Kalau saja tadi pagi Win sempat menikmati sarapan, setidaknya sepotong roti atau satu telur dadar, Win pasti masih punya tenaga untuk mengejar bis terakhir itu.

Tapi sayangnya, Win tidak memiliki kesempatan itu.

Semalam Win lupa untuk membeli stok makanan lebih. Ia terlalu lelah dengan kegiatannya mencari kerja yang tidak kunjung membuahkan hasil. Dan berujung membuat dirinya tidak punya stok makanan untuk sarapan pagi tadi.

Halte keempat sudah Win lewati. Langkah pemuda itu semakin terlihat sempoyongan. Loyo. Tubuhnya yang jenjang itu kini tampak seperti pohon layu yang tidak mendapat cukup asupan air.

Win ingin sekali minum. Tenggorokannya haus bukan main. Tapi Win tidak mau mengulur waktu dengan pergi ke minimarket atau sekedar mencari toko untuk membeli air mineral.

Ketika tenaganya sudah berada di ujung batas, Win melihat ada sebuah bangku di dalam kompleks taman kecil di pinggir jalan. Di sana, ada seorang wanita yang sedang duduk seorang diri. Menyisakan ruang yang sepertinya bisa Win manfaatkan untuk beristirahat sejenak.

Ke sana kali ya.. capek banget rasanya.. Gumam Pemuda itu dalam hati sebelum akhirnya ia melangkah menuju ke bangku itu.

“Permisi, boleh saya duduk di sini?” Ujar Win meminta izin kepada si Wanita yang lebih dulu sudah duduk di sana.

Wanita dengan setelan gaun berwarna merah itu mengangkat wajahnya. Menyuguhkan parasnya yang begitu rupawan.

Cantik banget. . . Ucap Win di dalam hati ketika dirinya terpukau dengan kecantikan wanita itu.

Wanita dengan gaun merah itu tersenyum. Membuat kedua sudut bibirnya yang merah merona terangkat. “Boleh, silahkan,” jawabnya sambil menggeser tubuhnya sendiri. Memberi ruang lebih kepada Win.

“Terima kasih,” sahut Win sambil tersenyum.

Dan setelahnya, Win langsung duduk di sebelah wanita itu. Ia lepaskan ransel yang sejak tadi terasa menambah beban tubuhnya, kemudian melonggarkan ikatan dasi di lehernya.

Hahhhh…” Win berusaha meraup nafas dalam-dalam. Berharap limpahan oksigen itu mampu mengganti sebagian besar tenaganya yang sudah menguap entah kemana.

Win menelan ludahnya berkali-kali. Membasahi kerongkongan kecilnya yang terasa sudah sekering gurun sahara.

Saat Win sedang menikmati momen istirahatnya itu, tiba-tiba si Wanita bergaun merah yang ada di sampingnya beranjak pergi.

Wanita itu tampak sedang tergesa. Sebab barusan, Win bisa mendengar dering ponsel yang diikuti sebuah percakapan singkat.

Hingga akhirnya, Wanita itu pun pergi. Berjalan cepat, meninggalkan Win yang masih mengais tenaga dari alam di sekitarnya, serta sebuah tote bag milik wanita itu yang masih tergeletak di kursi yang tadi ia duduki.

Win otomatis memasang mode siaga. Waduh tasnya ketinggalan, ucapnya dalam hati.

Win langsung menyambar tote bag milik wanita itu. Lalu berlari sekuat tenaga mengejar wanita bergaun merah yang sudah berada jauh di depan sana.

“Mbak! Mbak! Tas nya ketinggalan!” Teriak Win kepada Wanita itu sambil terus berusaha mengejar langkahnya yang terasa begitu cepat.

Anjir ini cewek jalannya cepet banget dah.

“Mbak! Mbak! Berhenti!”

Wanita bergaun merah itu melepas ponsel yang melekat di telinga kirinya sebelum akhirnya menoleh ke arah Win,

Wajah Win langsung terlihat lega setelah menyadari jika Wanita itu mendengar panggilannya. Dan akhirnya, Win pun mempercepat langkahnya. Berusaha menggapai sang wanita yang kini sedang berdiri sambil menatap penuh tanya ke arahnya.

“Mbak.. huh.. huh.. i-ini.. tasnya ketinggalan.. huh.. huh..” Ucap Win susah payah di sela rongga dadanya yang terasa kian sesak sambil menyerahkan tote bag itu kepada pemiliknya.

Wajah Wanita itu tampak terkejut dengan apa yang saat ini Win bawa. “Wah.. iya, aduh maaf ya, saya lupa. Jadi ngerepotin kamu gini..” sahut Wanita itu.

Win hanya tersenyum sambil menggeleng singkat, “nggak apa-apa kok, Mbak..” jawabnya sambil masih berusaha mengatur nafasnya.

“Kamu baik banget deh.. sampe capek-capek ngejar saya. Padahal lagi capek banget kan ya?” Ucap Wanita itu. “Pasti kamu belum sarapan, ya?” Tebaknya lagi sambil merogoh tas yang menggantung di bahunya.

Kok dia tau.. kelihatan banget ya kalo gue kayak musafir.. gumam Win di dalam hati.

Pemuda itu lantas tersenyum pahit, “hehehe, belum Mbak.. nggak sempat tadi,” sahut Win. “Kalau gitu, saya permis—”

“Eh tunggu bentar,” potong Wanita itu cepat.

Ia tampak memasukkan sesuatu ke dalam tote bag yang tadi dikembalikan oleh Win kepadanya. Kemudian ia serahkan tote bag itu kepada Win. “Nih, buat kamu.”

Sebelah alis Win terangkat naik, bingung. “Eh, nggak usah Mbak.. saya ikhlas bantuin kok. Kan itu tas punya Mbak..” sahut Win.

“Aduh tapi saya maksa loh ini,” jawab Wanita itu. “Lagipula nolak rejeki itu nggak baik, kan?” Imbuhnya diiringi sebuah senyum lebar di wajahnya yang cantik jelita. “Ayo, ambil. Gapapa kok. Anggap aja sebagai ucapan terima kasih saya. Oke?”

Setelah terdiam sejenak, Win akhirnya mengangguk. Lagi pula benar juga kata wanita itu. Tidak baik untuk menolak rejeki, apapun bentuknya.

“Terima kasih banyak, Mbak..” ujar Win sambil menerima tote bag pemberian wanita itu.

“Sama-sama,” sahutnya sambil tersenyum. “Nama kamu siapa?”

Win mengangkat wajah tampannya. “Win. Metawin Arkan Nagara,” jawabnya sambil tersenyum.

Wanita bergaun merah itu turut tersenyum setelah mendengar Win memperkenalkan diri. “Namanya bagus. Cakep, kayak orangnya.” ujarnya sambil tersenyum.

“Nama saya Jan. Jannita.” Tuturnya memperkenalkan diri.

“Oh iya.. terima kasih banyak Mbak Jan. . .” sahut Win.

“Sama-sama Win. Dimakan ya itu yang di dalam tote bag. Saya permisi dulu ya?” Pamit Wanita itu kepada Win.

“Iya Mbak, silahkan.. sekali lagi terima kasih bany—”

Belum usai Win menjawab, Jan lebih dulu melangkah. Wanita bergaun merah itu menepuk lembut bahu Win. Yang otomatis membuat Win terdiam.

Dan setelahnya, Jan mengarahkan kepalanya tepat di belakang wajah Win. Lalu membisikkan sesuatu di sana.

“Semoga lamaran kerja kamu kali ini diterima ya. Semangat anak baik. Terima kasih udah bertahan sampai sekarang. Sampai ketemu lagi.”

Belum sempat Win mencerna situasi, Jan lebih dulu tersenyum simpul sebelum akhirnya wanita itu melenggang pergi. Meninggalkan Win yang masih kaget sekali atas apa yang baru saja ia dengarkan tadi.

“Kok.. dia tau gue mau ngelamar kerja..” monolog Win sambil menatap sosok Jan yang kemudian menghilang pada belokan di ujung sana.

Setelah kepergian Jan, Win pun membuka tote bag pemberian wanita itu. Wajah lelahnya langsung tampak berseri-seri setelah melihat isi di dalamnya. “Astaga.. nasi kotak.. sandwich.. susu.. jus.. banyak banget..” gumamnya seorang diri.

“Emang rejeki tuh gak bakal kemana ya..” ucap Win yang kemudian berjalan kembali ke arah bangku untuk mengambil ransel serta menikmati sarapan pemberian Jan.

Setelah tadi mengkonfirmasi kehadirannya di kantor ini pada resepsionis, Win diberi arahan untuk langsung menuju lantai 8 untuk menemui Pak Mike, selaku penanggung jawab lowongan kerja.

Maka Win pun bergegas mencari lift untuk menuju lantai 8.

Tepat di ujung lorong di belakang resepsionis, ada dua buah lift yang siap digunakan. Dengan salah satu lift yang sedang terbuka dan dalam keadaan sepi.

Tak menunggu waktu lama, Win pun bergegas menuju ke lift itu, lalu masuk ke dalamnya. Agar ia bisa segera menyerahkan berkas lamarannya itu di lantai 8.

Setibanya di dalam lift, Win langsung menekan tombol bertuliskan angka delapan. Tujuannya kali ini.

Beberapa detik kemudian, bunyi bising terdengar lirih di telinga Win. Seiring kemudian pintu lift itu mulai tertutup perlahan-lahan.

Saat jarak yang tersisa dari kedua belah besi itu tinggal sedikit, sebuah telapak tangan tiba-tiba masuk dan seolah menahan agar pintu besi itu tidak tertutup.

Kedua mata Win terbelalak. Pemuda itu buru-buru menekan tombol agar pintu lift itu kembali terbuka. Ia khawatir jika orang itu sampai terjepit pintu lift ini.

Setelah pintu lift itu terbuka kembali, Win berjalan. Ia ingin tahu siapa orang yang hampir menjepitkan tangannya sendiri di pintu lift ini.

“Permisi, anda baik-baik aj—”

Woah. . . .

Win mematung di tempatnya. Pemuda itu tertegun.

Dihadapannya, di balik pintu besi lift yang tadi hampir menyebabkan insiden itu, berdiri seorang pria.

Seorang pria yang terlihat sangat bersahaja di dalam balutan jas berwarna dongker.

Tatapan pria itu tajam bak belati yang baru selesai diasah. Garis wajahnya tegas, serupa tebing karang yang tak gentar walau diterjang kerasnya ombak.

Sosok pria itu terlihat tampan. Tampan sekali. Hingga membuat Win tak sanggup bergerak walau sedikitpun.

Saat ini, Win sadar betul jika dirinya sedang terhipnotis. Terhipnotis oleh ketampanan pria di hadapannya itu.

Ganteng banget. . . . gumamnya dalam hati.

“Boleh saya masuk?”

Win terperanjat. Tersadar dari lamunannya setelah suara barito milik pria tampan di hadapannya itu tertangkap oleh indera pendengarnya.

Win buru-buru menggeser tubuhnya, “b-boleh.. s-silahkan. . .” jawabnya gugup.

Dan setelahnya, pria tampan itu langsung melangkah masuk ke dalam lift. Ia tekan salah satu tombol bertuliskan angka lima belas, sebelum akhirnya berdiri di samping Win. Menunggu lift itu sampai membawa mereka ke tujuan masing-masing.

Ruangan besi berukuran dua kali dua meter itu dikuasai keheningan.

Kedua orang yang sedang berada di dalamnya saling terdiam. Membiarkan hening menguasai mereka. Tak ada percakapan. Sama sekali.

Sejak pintu lift itu tertutup, Win sudah membuang wajahnya. Berusaha agar tidak melakukan kontak mata dengan pria tampan yang sempat menghipnotisnya itu.

Sambil terus berusaha mengendalikan hatinya yang berdebar begitu kencang bagai genderang perang.

Aduh sumpah gue deg-degan banget.. udah ganteng, wangi pula.. oceh Win dalam hati sambil mencuri-curi pandang ke arah pria di sampingnya itu.

Yang Win tidak ketahui adalah, sejak tadi, sejak pertama kali kedua mata mereka beradu tatap, pria itu, pria yang wajah tampannya mampu menghipnotis Win, telah meletakkan atensinya secara penuh kepada Win.

Sejak tadi, Pria itu merasakan sensasi aneh setiap kali ia memandang ke arah Win.

Ada sekelebat bayangan yang muncul dalam benaknya setiap kali ia melihat wajah Win. Bayang-bayang samar yang tampak seperti kilas kejadian yang terasa belum pernah ia alami.

Jangan. . .

Tolong. . .

Pria itu bisa mendengar rintihan seseorang dalam benaknya setiap kali matanya menatap ke arah Win.

Sedikit banyak, wajah Win itu terasa familiar baginya. Entah apa sebabnya.

Dan karena itulah, pria itu tidak menoleh sedikitpun. Sepasang mata elangnya sejak tadi mengunci pandang ke arah lempeng besi yang berada di hadapannya. Ia tidak ingin kilas-kilas itu mengganggu pikirannya.

Ting!

Alarm penanda lift itu telah berbunyi. Kedua pintu besi itu terbuka. Menyuguhkan pemandangan lantai delapan gedung ini yang penuh dengan lalu lalang pekerja kantor.

Win sudah tiba di tujuannya. Namun kakinya terasa berat sekali untuk diajak pergi. Seolah ada sesuatu yang menahan agar ia tidak keluar dari dalam lift itu.

Namun Win tidak bisa terus seperti ini. Ia harus keluar. Berkas lamarannya itu harus ia serahkan kepada Pak Mike jika ia ingin mendapat pekerjaan di kantor ini.

Maka akhirnya, Win pun melangkah. Keluar dari dalam lift ini. “S-saya duluan, permisi,” pamit Win kepada pria itu yang dibalas anggukan lirih olehnya.

Dan setelahnya, Win langsung keluar dari dalam lift itu.

Ia hentikan sejenak langkahnya lalu membalik badan. Dengan segenap rasa yang baru saja Win rasakan, ia suguhkan sebuah senyuman kepada pria tampan yang masih berdiri di dalam lift itu.

Dan tepat saat senyuman manis di wajah Win merekah, si pria tampan di dalam lift itu terbelalak.

Dari sana, dari simpul senyum serupa sabit muda di langit malam, serta dari binar sepasang obsidian milik lelaki di luar lift itu, si pria tampan melihat sesuatu. Sesuatu yang sukses mengguncang sanubarinya.

Di sana, di dalam pupil kelam milik Win, si pria tampan melihat refleksi dirinya sendiri yang sedang menangis sambil menatap penuh sesal. Entah menangisi sesuatu.

Sejujurnya ia ingin ikut keluar, hendak memeriksa apakah yang baru saja ia lihat ini benar atau tidak.

Tapi sayangnya, pintu lift itu lebih dulu tertutup. Membuat dirinya harus terpisah dengan pria manis yang sudah membukakan pintu lift itu untuknya.

Win rasa, hari itu menjadi sangat kelabu untuknya. Bagaimana tidak? Sejak pagi saja Win sudah ditimpa kesialan ganda. Dan sekarang, Win harus dihadapkan pada kenyataan yang selama ini menghantuinya.

Pemuda itu merasa sedih. Sedih akan hidupnya sendiri. Hidupnya yang sampai saat ini masih dipenuhi beragam tanda tanya serta usaha yang tak kunjung membawanya pada muara.

Ah, kalau sudah overthinking seperti ini, Win jadi tidak semangat menjalankan apapun. Rasanya ia hanya ingin diam, meratapi semuanya. Atau kabur, pergi sejauh mungkin dari semua beban ini, kalau ia bisa.

Tapi sepertinya, kabur pun tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada, Win justru bakal dihadapkan pada berbagai persoalan baru yang timbul dari masalah-masalah yang belum sempat dituntaskan.

Win tidak pernah mengira, kesulitannya untuk mendapat kerja bisa membuat pikirannya melayang jauh seperti ini. Membuat Win semakin lelah saja.

“Awiiiiinnnnnn!!!”

Win seketika mengangkat wajah saat suara itu, suara yang begitu ia kenali, suara sahabat karibnya terdengar oleh telinganya.

“Khao? Lo dimana?” Sahut Win sambil menatap sekeliling. Mencari keberadaan sang sahabat karib yang belum juga muncul di hadapannya.

Tap. Win langsung menoleh saat merasakan sentuhan super lembut di bahu sebelah kirinya.

Dan wajah pemuda manis itu langsung tampak sumringah setelah sepasang matanya menangkap figur sang sahabat karib yang kini berdiri di hadapannya.

“Aku di sini, hehe,” ucap Khao, sahabat Win yang sudah dikenalnya sejak lima tahun lalu, lewat sebuah pertemuan yang tak pernah Win sangka dalam hidupnya.

“Kangen banget ih, kemana aja gapernah kelihatan?” Tanya Win sambil menggeser tubuhnya. Memberi tempat agar Khao bisa duduk di sana.

Khao lantas bergerak. Tubuhnya yang tampak serupa hologram itu melayang lembut di udara sebelum akhirnya menapak tepat di samping tubuh Win.

Pada detik berikutnya, bagian bawah tubuh Khao yang tampak tidak berbentuk itu perlahan menampakkan sepasang kaki lengkap dengan sepatu berwarna coklat muda, sepatu yang masih sama seperti pertama kali Win melihatnya.

Dan setelah perubahan itu usai, Khao langsung duduk di samping Win. “Hehe, maaf aku kemaren lagi sering jalan-jalan..” jawab Khao sambil tersenyum. “Kamu lagi ngapain? Kenapa kok mukanya sedih gitu?”

Diingatkan soal kesedihan yang sedang ia rasakan membuat wajah Win kembali murung. “Lagi kepikiran aja Khao.. biasa lah..” jawabnya.

“Lagi susah ya keadaannya?” Tebak hantu remaja laki-laki yang ditemui Win di sebuah sekolah terbengkalai saat ia tersesat dulu.

Win mengangguk. Kemudian sebuah tawa yang terdengar getir menguar dari mulut pemuda itu. “Kapan sih hidupku nggak susah, Khao.. perasaan susah terus deh..” jawabnya.

“Ih Awin gaboleh gitu ih!” Sahut Khao dengan wajahnya yang terlihat ikut sedih. “Kan aku udah bilang.. Awin tuh harus banyak bersyukur.. soalnya Awin tuh masih dikasih kesempatan hidup. Banyak tau temen-temenku yang pengen ngerasain hidup tapi udah nggak bisa..” tutur Khao pada Win.

Kali ini, Win tidak lagi menjawab. Pemuda itu berusaha mencerna apa yang baru saja dinasihatkan Khao kepadanya.

Win sering merasa malu jika sedang bersama Khao. Sebab justru Khao lah yang lebih sering memberinya petuah dan nasihat tentang hidup. Padahal, Khao sudah tidak lagi menyandang gelar sebagai mahluk hidup.

“Tuhkan malah ngelamun kan,” ucap Khao kecewa. “Awin nggak asik, ih. Aku dateng ke sini jauh-jauh masa didiemin doang..”

Win tertawa singkat, “iya-iya maaf. Aku tadi masih mikir omongan kamu. Banyak benernya ternyata,” ujar Win.

“Emang lagi mikirin apa sih Win kok kayaknya beban banget kamunya?” Tanya Khao.

“Aku lagi cari kerja. Tapi capek rasanya. Sampe hari ini nggak ada yang lolos. Semuanya gagal.” Jawab Win sambil tersenyum.

“Semuanya? Masa sih?”

“Ya nggak semua sih.. tapi kebanyakan gagal. Ini ada satu lowongan yang cukup aku harapin. Semoga aja diterima ya?”

“Aamiin..” Sahut Khao antusias. “Kamu yang sabar ya Win. Aku yakin kok kamu pasti bakal diterima. Tapi kamu harus sabar dulu, oke?”

“Iya.. aku bakal sabar kok. Tapi semoga batas sabarku nggak habis, hehe.” Sahut Win sambil mengusahakan senyuman terbaiknya. Senyum yang ia wujudkan dengan sisa-sisa harapan yang ada dalam hatinya.

Khao pun manggut-manggut. Sejujurnya ia ingin sekali memeluk sahabat karibnya yang sedang dirundung sedih saat ini. Tapi Khao sadar. Sampai kapanpun, ia tidak bisa menembus dinding kaca yang sudah membelenggunya sampai di akhir masa.

Maka yang bisa Khao lakukan hanya memberi Win semangat seperti ini. Berharap dengan kalimat penyemangat yang ia berikan, Win akan terus bertahan untuk hadapi dunia yang penuh rintangan ini.

“Eh, Win, ini apa?” Tanya Khao saat perhatiannya tertuju pada sebuah tali yang keluar dari dalam ransel milik Win.

Win ikut menolehkan wajah. “Eh, iya apa ya ini?” Sahut Win sambil melepaskan ransel di punggungnya.

“Ooh.. ini tuh talinya tote bag. Tadi pagi aku dikasih sama mbak-mbak. Namanya Jan. Baik banget deh Khao orangnya..” ujar Win.

“Emang apa isinya?”

“Tadi tuh ada nasi kotak, ada minuman, ada susu, ada kue, pokoknya makanan semua,” jawab Win sambil mengambil tote bag itu dari dalam tasnya.

“Terus sekarang masih ada isinya nggak?” Tanya Khao lagi.

“Enggak ada. Tadi udah aku makan semuanya..”

“Masa sih? Coba cek lagi, siapa tau masih ada isinya?”

Win menghela nafas. Soal urusan penasaran, sahabatnya ini juaranya. Dan rasa penasarannya itu tidak akan berhenti sampai Win menuruti permintaannya.

Maka akhirnya, Win pun mengeluarkan tote bag itu sepenuhnya. Sambil menghela nafas, Win pun merogoh ke dalam tote bag yang sejak tadi belum sempat ia periksa.

Dan ketika tangannya sampai di dalam sana, kedua mata Win terbelalak.

Win buru-buru menunduk. Membuka lebar-lebar tote bag itu lalu mengarahkannya tepat di hadapan wajahnya. “ASTAGA!!” Teriaknya yang membuat Khao ikut terperanjat.

“Kenapa Win? Apa isinya??”

Dengan tubuhnya yang tampak bergetar, Win ambil sesuatu yang ia temukan di dalam tote bag itu. Sejumlah uang kertas yang total nominalnya cukup banyak. Cukup untuk Win gunakan sebagai cadangan hidup selama satu minggu ke depan.

“Ada uangnya Khao. . .” ujar Win dengan suaranya yang bergetar sambil mengangkat uang itu di depan wajahnya.

“Loh? Uang? Uang dari mana?”

“Gatau. . .” jawab Win sambil geleng-geleng kepala. “Apa jangan-jangan dari Mbak Jan ya?” Tebak Win. “Ih, bener nih, jangan-jangan dari Mbak Jan.. soalnya tadi aku lihat Mbak Jan tuh kayak ngambil sesuatu gitu dari tasnya. . .”

Masih dengan wajahnya yang tampak tidak mengerti, Khao menimpali, “mungkin.. bisa jadi.. yang pasti itu rejeki kamu, Win..”

“Iya.. ini rejeki banget..” sahut Win. “Ah.. aku bisa makan sama nyiapin sesuatu malam ini..” ujarnya setelah teringat akan momen penting yang akan terjadi malam ini.

Pemuda itu lantas berbalik menatap Khao. “Kamu mau ikut aku ke supermarket?” Tawarnya.

“Mau!” Jawab Khao dengan antusias.

Wajah yang sejak tadi terlihat murung itu kini dipenuhi oleh senyum bahagia, “oke! Kalo gitu, kita ke supermarket yah habis ini. Terus baru kita pulang. Yuk?!” Ajaknya pada Khao.

Sosok serupa hologram itu mengangguk penuh semangat. Lantas ia pun mengikuti Win yang lebih dulu melangkah pergi ke supermarket. Setelah mendapat rejeki nomplok yang Win sendiri tidak yakin dari mana asalnya.

Rasanya ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama Win bisa berbelanja banyak hal di supermarket seperti ini. Dan semua itu berkat uang yang ditemukannya di dalam tote bag pemberian Mbak Jan tadi pagi.

Setelah memasukkan beberapa stok makanan ke dalam troli, Win kini sedang berjalan di lorong minuman. Hendak membeli beberapa kaleng minuman rasa untuk stok sekaligus untuk temannya menikmati malam ini.

“Kamu udah pernah minum cola belum?” Tanya Win kepada Khao setibanya mereka berdua di lorong minuman kaleng.

Khao menggeleng. “Dulu, waktu aku sekolah, kayak begini tuh belum ada. Palingan yang ada tuh es jeruk, sama es teh.” Jawabnya.

“Yah.. kalo es jeruk sama es teh di warung juga ada,” timpal Win sambil tertawa. “Enaknya beli yang mana ya?” Ucap Win sambil melihat-lihat berbagai jenis minuman cola yang tersedia di sana.

“Beli yang soda biru kayaknya enak ya Kha—Loh, Khao? Khao? Kok tiba-tiba ilang sih..” gerutu Win saat menyadari jika Khao sudah tidak ada di sampingnya.

Win lantas melanjutkan kegiatan pilih-pilihnya. Tidak terlalu peduli dengan Khao yang tiba-tiba hilang. Sebab Win paham jika sahabatnya itu tiba-tiba pergi, artinya ia sedang merasa tidak nyaman di sini.

Ah! ini aja deh, kayaknya enak.. ucap Win dalam hati saat matanya menangkap sebuah minuman kaleng dengan gambar jeruk pada bagian kalengnya.

“Yah.. tinggal satu,” gumamnya saat menyadari jika hanya tersisa satu minuman kaleng yang ia inginkan di sana. “Yaudah deh gapapa, daripada nggak sama sek—Eh?”

Win seketika menghentikan gerakannya saat sebuah telapak tangan menindih miliknya. Sama-sama hendak mengambil minuman kaleng yang tersisa satu saja di dalam rak itu.

Saat Win menolehkan wajah, ia dibuat kaget bukan main.

Sebab, di belakangnya, dengan jarak yang sudah begitu dekat, telah berdiri seorang pria yang familiar di matanya. Sosok pria itu adalah pria tampan yang tadi pagi ditemuinya di dalam lift ketika Win akan mengumpulkan berkas lamaran kerja.

“Eh, aduh, maaf..” ucap Win sambil buru-buru mundur agar tidak terjebak dalam posisi yang terasa sangat canggung itu.

Si Pria tampan itu, yang tampak mengenakan setelan jas seperti tadi pagi, masih terus terdiam. Kedua matanya tak lekat sedikitpun memandangi Win.

“Kamu yang tadi di kantor?” Tanya Pria itu pada akhirnya.

Sambil menahan rasa gugup yang mendera hatinya, Win mengangguk. “I-iya Pak.. s-saya yang tadi di lift..” jawabnya.

Pria itu beralih menatap sekaleng minuman yang tersisa di sana lalu kembali menghadap Win. “Kamu mau ambil itu?”

Win mengangguk. “Iya.. saya mau beli itu..”

Pria itu terdengar menghela nafas. Sebelum akhirnya berbicara, “yaudah. Buat kamu aja. Ambil.”

“Eh, nggak apa-apa Pak, buat bapak aj—”

“Buat kamu aja. Ambil. Saya permisi.” Ujar Pria tampan itu sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Win yang tampak masih ingin berbicara kepadanya.

Sepeninggal pria tampan itu, Win justru merutuki dirinya sendiri. Duh, kenapa sih gue malah manggil Pak.. orangnya kan nggak tua-tua amat. Harusnya gue panggil Mas aja.. rutuknya dalam hati sambil meraih minuman kaleng yang disisakan pria tampan itu untuknya.

Kak B & Sky.


Tidak ada yang pernah menyangka jika ada benang merah yang mengikat hati keduanya, bahkan sejak dulu, sejak mereka masih remaja.

Semua ini berawal di SMA Bakti Negeri. Sebuah sekolah menengah atas di sudut kota Malang. Tempat Metawin menimba ilmu.

Selama ini, tidak ada yang spesial dari hidup Metawin sebagai siswa di sana.

Semuanya standar. Biasa-biasa saja. Bahkan kadang cenderung monoton alias membosankan bagi beberapa orang.

Metawin hanya remaja laki-laki biasa yang berusaha menjalani hari-harinya dengan suka cita.

Namun semua itu terasa berat lantaran sifat pemalu serta penakut yang dimiliki oleh Metawin. Yang akhirnya membuat Metawin sulit berinteraksi dan membaur dengan teman-temannya.

Bagi mereka yang sudah mengenal Metawin, pemuda manis itu dianggap sulit untuk mengungkapkan isi hatinya, sekaligus tampak sebagai orang yang sangat penakut, dalam segala hal. Dan hal itu juga lah yang memperburuk keadaan.

Pada akhirnya, Metawin menjalani hari-harinya di SMA seorang diri. Tapi tidak sepenuhnya sendirian juga sih.

Masih ada orang yang mau berteman akrab dengan Metawin di sana. Seorang siswa laki-laki yang dikenalnya pada masa orientasi sekolah. Mix namanya.

Dan dengan Mix lah, Metawin berusaha melewati hari-harinya di Bakti Negeri.

Untuk seseorang seperti Metawin, tidak ada hal spesial dalam hidupnya. Termasuk saat berada di SMAnya.

Kalau kata orang sih, Metawin ini seperti tidak punya harapan dalam hidupnya. Alias hopeless.

Tapi ternyata, memang seperti itu kenyataannya.

Tidak ada hal-hal khusus yang Metawin damba atau cita-citakan dalam kesehariannya. Sebab baginya, bisa menjalani setiap hari tanpa hambatan saja sudah cukup.

Namun semua itu berubah, pasca datangnya seorang siswa baru di Bakti Negeri.

Seorang siswa yang terpaksa untuk pindah ke Sekolah itu karena alasan pekerjaan orang tuanya.

Seorang siswa yang momen kedatangannya mampu membuat heboh seisi Bakti Negeri, termasuk Metawin juga.

Di hari itu, di hari pertama sang siswa baru di Bakti Negeri, Metawin tak sengaja beradu tatap dengannya.

Dan pada saat itu juga, Metawin menemukan sebuah harapan, sebuah angan, sebuah cita-cita dalam hidupnya.

Metawin, have a crush on him.

Cowok manis itu jatuh cinta pada pandangan pertama dengan sang siswa baru itu. Yang kemudian Metawin kenal sebagai Kak B.

Namun lagi-lagi, sifat penakutnya membuat Metawin tidak bisa berbuat banyak, selain menyimpan rasa itu dalam-dalam, seraya menjadi pengagum Kak B dari kejauhan.

Metawin takut, tidak punya nyali untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan.

Tapi suatu hari, setelah berbincang dengan Mix soal isi hatinya, muncul sebuah ide untuk bisa lebih dekat dengan Kak B.

Ada satu cara agar apa yang Metawin rasakan bisa sampai kepada Kak B. Yakni menjadi secret admirer alias pemuja rahasia.

Tanpa banyak basa-basi, ide dari Mix itu Metawin terima dengan sepenuh hati.

Dan sejak saat itulah, Metawin mulai menjalankan misinya.

Menggunakan identitas anonim, meminjam kata Sky sebagai nama samarannya, Metawin membuat fortune cookies. Kue sederhana yang ia isi dengan kalimat-kalimat penyemangat di dalamnya, lalu ia serahkan sebagai sebuah kado secara diam-diam di Loker milik Kak B.

Sebenarnya Metawin tau, ada potensi jika hadiahnya itu bakal dibuang oleh Kak B. Tapi Metawin menepis pikirannya itu.

Sebab Metawin melakukan hal ini dengan ikhlas. Tanpa mengharap imbalan apapun dari sang pujaan hati.

Bagi Metawin, melihat Kak B tersenyum, menikmati hari-harinya dengan bahagia, berbagi tawa dengan orang-orang sekitarnya saja sudah cukup. Tidak lebih.

Menatap senyuman manis serta gelak tawa yang terpancar dari wajah Kak B, sudah menjadi hadiah terbesar yang Metawin terima sepanjang hidupnya ini.


Bagi Bright, tidak ada yang lebih menyebalkan dari hidupnya selain harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain hanya karena tuntutan kerja dari kedua orang tuanya.

SMA Bakti Negeri menjadi sekolah kelima yang harus Bright masuki. Sebab saat ini, Papah dan Mamahnya kebetulan mendapat tugas untuk bekerja di kota Malang.

Baru seminggu Bright menjalani masa sebagai siswa baru di sana, ia sudah mendapat kejutan tak terduga.

Di hari keenam, saat Bright mengambil barang-barangnya di loker, hendak pulang ke rumah, ia menemukan sebuah kotak di sana.

Kotak beewarna biru dengan pita kuning keemasan yang menjadi pengikatnya. Bertuliskan from : Sky, to : Kak B di bagian belakang kotaknya.

Bukan sekali dua kali Bright mendapat hadiah seperti ini.

Parasnya yang tampan menjadi alasan utama mengapa semua itu terjadi. Dimanapun Bright berada, dia pasti menjadi sorotan. Dan karena itulah, banyak sekali hadiah yang Bright dapatkan dari para pengagumnya.

Tapi, tak pernah sekalipun Bright menerima hadiah itu. Ia pasti memberikannya pada orang lain, atau membuangnya apabila tidak tau harus membawa hadiah itu kemana.

Termasuk hadiah yang ia dapat dari orang bernama Sky ini.

Awalnya, Bright merasa risih dengan Sky. Sebab setiap sore, saat waktu pulang tiba, pasti hadiah pemberian Sky sudah ada dalam lokernya. Tidak pernah absen seharipun.

Dan seperti biasanya, Bright akan membuang hadiah-hadiah itu. Tanpa peduli dengan apa yang menjadi isinya.

Pada suatu sore, Bright tidak sengaja membuka kotak hadiah itu. Yang akhirnya membuat Bright tahu apa isi di dalamya.

Fortune Cookies. Kue kering berukuran kecil dengan bentuk yang unik.

Saat itu tidak ada niat dalam hati Bright untuk memakan kue-kue itu. Tapi karena Bright merasa lapar setelah seharian belum makan sekalipun, maka Bright pun reflek memakan hadiah itu.

Baru gigitan pertama, Bright sudah dikejutkan dengan sebuah kertas kecil yang sengaja dimasukkan di dalam kue itu.

Bright pikir, Sky ini hanya ingin mengerjainya. Tapi ternyata, ia salah sangka.

Atas dorongan rasa penasaran, Bright pun membuka kertas kecil yang ia temukan di dalam fortune cookies itu.

Dan di detik itulah, Bright menyesali perbuatannya.

Setelah membaca pesan yang ada di dalam kertas itu, Bright pun membuka sisa fortune cookies yang masih ada di sana. Dan benar saja, Bright menemukan pesan-pesan lain di sana. Pesan yang mengingatkan Bright untuk tetap tersenyum, pesan agar ia selalu semangat, serta pesan-pesan lain bernada positif dan memotivasi yang ditujukan untuknya seorang.

Jujur, Bright merasa terharu. Karena selama pria tampan itu belum pernah mendapat hadiah semacam ini sebelumnya.

Maka sejak saat itulah, Bright tidak lagi membuang hadiah dari Sky.

Bright justru menanti hadiah-hadiah itu. Berharap di setiap sore Sky tidak lupa meletakkan fortune cookies itu di dalam lokernya.

Dan sejak saat itu juga, Bright menanti waktu agar ia bisa berjumpa dengan Sky. Untuk sekedar mengucap terima kasih, atau bertukar percakapan dengannya.

Bright akan menanti Sky. Setiap sore, setiap hari, berharap agar sang waktu mempertemukan ia dengannya.


Terkadang, kenyataan tidak berjalan sesuai dengan harapan kita.

Sama halnya dengan apa yang Bright alami.

Sudah hampir satu semester Bright lalui. Namun ia masih belum juga bertemu dengan Sky.

Keinginannya untuk bisa bertemu dengan Sku membuat Bright melakukan segala cara.

Mulai dari meletakkan surat-surat kecil di lokernya yang berisi permintaan untuk bertemu dengan Sky, mendatangi kantor sekolah untuk mencari siswa bernama Sky, sampai meminta bantuan teman-temannya untuk memata-matai area loker setiap sore.

Nyatanya, tidak ada satupun dari rencana itu yang membuahkan hasil. Bright tidak bisa menemukan siapa dan dimana Sky berada.

Keinginannya untuk bisa bertemu dengan Sky semakin besar lantaran Bright diharuskan untuk kembali pindah sekolah.

Yap. Tuntutan Pekerjaan kedua orang tuanya membuat Bright lagi-lagi harus berpindah ke tempat yang baru.

Kekhawatiran yang Bright rasakan pun semakin bertambah besar saat Sky mulai jarang mengirimkan hadiah-hadiah itu kepadanya.

Pesan yang Bright dapatkan di dalam fortune cookies itupun ikut berubah.

Tidak ada lagi pesan penyemangat yang Bright terima.

Kini, semua pesan yang Bright dapatkan terkesan bagai pesan perpisahan. Yang membuat Bright selalu enggan untuk membacanya.

Walau sudah dihadapkan pada kenyataan seperti itu, harapan Bright untuk bisa bertemu dengan Sky masih sama besarnya.

Namun, hingga hari terakhir Bright bersekolah di Bakti Negeri, Sky tidak pernah datang kepadanya.

Bright tak pernah menyangka jika ia tidak bisa bertemu dengan Sky hingga waktu yang dimilikinya habis.

Sore itu, di sore terakhir yang Bright bisa nikmati di kota Malang, ia menunggu.

Menunggu sambil berdoa sepenuh hati, agar ada keajaiban yang membawa Sky untuk datang kepadanya.

Kemarin, Bright sudah meletakkan sebuah surat berisi ungkapan terima kasih, isi hatinya, serta permintaan agar Sky mau datang dan menemuinya.

Surat itu hilang dari loker. Yang artinya, Sky sudah mengambilnya.

Dan karena itulah, Bright memutuskan untuk menunggu lagi.

Tetapi, sampai sang surya menggelincir di ufuk barat, meninggalkan gelap yang mulai datang menikam cakrawala, Sky tidak datang.

Dalam penantian penuh sesak itu, Bright di hadapkan pada kenyataan bahwa Sky mungkin tidak ingin menemuinya.

Hingga akhirnya, Bright pun memutuskan untuk pergi. Meninggalkan sisa harapan itu di Bakti Negeri beserta seluruh kenangan manis tentang Sky dan hadiah-hadiah spesial yang diberikan kepadanya.

Sambil meniti jalan meninggalkan SMA itu, Bright terus merapal doa di dalam hati, agar suatu saat nanti ada keajaiban yang diberikan oleh sang pemangku alam untuk bisa mempertemukannya dengan Sky. Dalam situasi yang lebih baik, dalam kondisi yang lebih baik tentunya.

“Selamat tinggal, Sky. Semoga suatu hari nanti kita bener-bener bisa ketemu. . .” ucap Bright seorang diri sambil memandang Bakti Negeri dari balik jendela mobilnya.

Ada satu hal yang tidak Bright ketahui.

Di sudut lain gerbang sekolah itu, ada seorang siswa yang menatap kepergian Bright dengan hati remuk redam.

Sky. Dialah yang dengan setia menatap kepergian Bright dari sekolahnya ini, walau sejujurnya hatinya hancur lebur.

Sky tidak bisa berbuat apa-apa.

Ia hanya bisa terus berdoa agar suatu hari, Sky dan Kak B, bisa kembali bertemu dalam keadaan yang jauh lebih indah.

Dimana Sky sudah tidak ragu akan dirinya sendiri, dimana Sky sudah tidak lagi takut akan segala hal, dimana Sky sudah berani untuk mengungkapkan isi hatinya.

“Sampai jumpa lagi. . . Kak B. . .” Monolognya sambil menatap mobil milik Kak B yang berjalan meninggalkan sekolah ditemani lelehan bening air mata dari kedua mata indahnya.


bwuniverr. 2022

#Kak B & Sky.


Tidak ada yang pernah menyangka jika ada benang merah yang mengikat hati keduanya, bahkan sejak dulu, sejak mereka masih remaja.


Semua ini berawal di SMA Bakti Negeri. Sebuah sekolah menengah atas di sudut kota Malang. Tempat Metawin menimba ilmu.

Selama ini, tidak ada yang spesial dari hidup Metawin sebagai siswa di sana.

Semuanya standar. Biasa-biasa saja. Bahkan kadang cenderung monoton alias membosankan bagi beberapa orang.

Metawin hanya remaja laki-laki biasa yang berusaha menjalani hari-harinya dengan suka cita.

Namun semua itu terasa berat lantaran sifat pemalu serta penakut yang dimiliki oleh Metawin. Yang akhirnya membuat Metawin sulit berinteraksi dan membaur dengan teman-temannya.

Bagi mereka yang sudah mengenal Metawin, pemuda manis itu dianggap sulit untuk mengungkapkan isi hatinya, sekaligus tampak sebagai orang yang sangat penakut, dalam segala hal. Dan hal itu juga lah yang memperburuk keadaan.

Pada akhirnya, Metawin menjalani hari-harinya di SMA seorang diri. Tapi tidak sepenuhnya sendirian juga sih.

Masih ada orang yang mau berteman akrab dengan Metawin di sana. Seorang siswa laki-laki yang dikenalnya pada masa orientasi sekolah. Mix namanya.

Dan dengan Mix lah, Metawin berusaha melewati hari-harinya di Bakti Negeri.

Untuk seseorang seperti Metawin, tidak ada hal spesial dalam hidupnya. Termasuk saat berada di SMAnya.

Kalau kata orang sih, Metawin ini seperti tidak punya harapan dalam hidupnya. Alias hopeless.

Tapi ternyata, memang seperti itu kenyataannya.

Tidak ada hal-hal khusus yang Metawin damba atau cita-citakan dalam kesehariannya. Sebab baginya, bisa menjalani setiap hari tanpa hambatan saja sudah cukup.

Namun semua itu berubah, pasca datangnya seorang siswa baru di Bakti Negeri.

Seorang siswa yang terpaksa untuk pindah ke Sekolah itu karena alasan pekerjaan orang tuanya.

Seorang siswa yang momen kedatangannya mampu membuat heboh seisi Bakti Negeri, termasuk Metawin juga.

Di hari itu, di hari pertama sang siswa baru di Bakti Negeri, Metawin tak sengaja beradu tatap dengannya.

Dan pada saat itu juga, Metawin menemukan sebuah harapan, sebuah angan, sebuah cita-cita dalam hidupnya.

Metawin, have a crush on him.

Cowok manis itu jatuh cinta pada pandangan pertama dengan sang siswa baru itu. Yang kemudian Metawin kenal sebagai Kak B.

Namun lagi-lagi, sifat penakutnya membuat Metawin tidak bisa berbuat banyak, selain menyimpan rasa itu dalam-dalam, seraya menjadi pengagum Kak B dari kejauhan.

Metawin takut, tidak punya nyali untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan.

Tapi suatu hari, setelah berbincang dengan Mix soal isi hatinya, muncul sebuah ide untuk bisa lebih dekat dengan Kak B.

Ada satu cara agar apa yang Metawin rasakan bisa sampai kepada Kak B. Yakni menjadi secret admirer alias pemuja rahasia.

Tanpa banyak basa-basi, ide dari Mix itu Metawin terima dengan sepenuh hati.

Dan sejak saat itulah, Metawin mulai menjalankan misinya.

Menggunakan identitas anonim, meminjam kata Sky sebagai nama samarannya, Metawin membuat fortune cookies. Kue sederhana yang ia isi dengan kalimat-kalimat penyemangat di dalamnya, lalu ia serahkan sebagai sebuah kado secara diam-diam di Loker milik Kak B.

Sebenarnya Metawin tau, ada potensi jika hadiahnya itu bakal dibuang oleh Kak B. Tapi Metawin menepis pikirannya itu.

Sebab Metawin melakukan hal ini dengan ikhlas. Tanpa mengharap imbalan apapun dari sang pujaan hati.

Bagi Metawin, melihat Kak B tersenyum, menikmati hari-harinya dengan bahagia, berbagi tawa dengan orang-orang sekitarnya saja sudah cukup. Tidak lebih.

Menatap senyuman manis serta gelak tawa yang terpancar dari wajah Kak B, sudah menjadi hadiah terbesar yang Metawin terima sepanjang hidupnya ini.


Bagi Bright, tidak ada yang lebih menyebalkan dari hidupnya selain harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain hanya karena tuntutan kerja dari kedua orang tuanya.

SMA Bakti Negeri menjadi sekolah kelima yang harus Bright masuki. Sebab saat ini, Papah dan Mamahnya kebetulan mendapat tugas untuk bekerja di kota Malang.

Baru seminggu Bright menjalani masa sebagai siswa baru di sana, ia sudah mendapat kejutan tak terduga.

Di hari keenam, saat Bright mengambil barang-barangnya di loker, hendak pulang ke rumah, ia menemukan sebuah kotak di sana.

Kotak beewarna biru dengan pita kuning keemasan yang menjadi pengikatnya. Bertuliskan from : Sky, to : Kak B di bagian belakang kotaknya.

Bukan sekali dua kali Bright mendapat hadiah seperti ini.

Parasnya yang tampan menjadi alasan utama mengapa semua itu terjadi. Dimanapun Bright berada, dia pasti menjadi sorotan. Dan karena itulah, banyak sekali hadiah yang Bright dapatkan dari para pengagumnya.

Tapi, tak pernah sekalipun Bright menerima hadiah itu. Ia pasti memberikannya pada orang lain, atau membuangnya apabila tidak tau harus membawa hadiah itu kemana.

Termasuk hadiah yang ia dapat dari orang bernama Sky ini.

Awalnya, Bright merasa risih dengan Sky. Sebab setiap sore, saat waktu pulang tiba, pasti hadiah pemberian Sky sudah ada dalam lokernya. Tidak pernah absen seharipun.

Dan seperti biasanya, Bright akan membuang hadiah-hadiah itu. Tanpa peduli dengan apa yang menjadi isinya.

Pada suatu sore, Bright tidak sengaja membuka kotak hadiah itu. Yang akhirnya membuat Bright tahu apa isi di dalamya.

Fortune Cookies. Kue kering berukuran kecil dengan bentuk yang unik.

Saat itu tidak ada niat dalam hati Bright untuk memakan kue-kue itu. Tapi karena Bright merasa lapar setelah seharian belum makan sekalipun, maka Bright pun reflek memakan hadiah itu.

Baru gigitan pertama, Bright sudah dikejutkan dengan sebuah kertas kecil yang sengaja dimasukkan di dalam kue itu.

Bright pikir, Sky ini hanya ingin mengerjainya. Tapi ternyata, ia salah sangka.

Atas dorongan rasa penasaran, Bright pun membuka kertas kecil yang ia temukan di dalam fortune cookies itu.

Dan di detik itulah, Bright menyesali perbuatannya.

Setelah membaca pesan yang ada di dalam kertas itu, Bright pun membuka sisa fortune cookies yang masih ada di sana. Dan benar saja, Bright menemukan pesan-pesan lain di sana. Pesan yang mengingatkan Bright untuk tetap tersenyum, pesan agar ia selalu semangat, serta pesan-pesan lain bernada positif dan memotivasi yang ditujukan untuknya seorang.

Jujur, Bright merasa terharu. Karena selama pria tampan itu belum pernah mendapat hadiah semacam ini sebelumnya.

Maka sejak saat itulah, Bright tidak lagi membuang hadiah dari Sky.

Bright justru menanti hadiah-hadiah itu. Berharap di setiap sore Sky tidak lupa meletakkan fortune cookies itu di dalam lokernya.

Dan sejak saat itu juga, Bright menanti waktu agar ia bisa berjumpa dengan Sky. Untuk sekedar mengucap terima kasih, atau bertukar percakapan dengannya.

Bright akan menanti Sky. Setiap sore, setiap hari, berharap agar sang waktu mempertemukan ia dengannya.


Terkadang, kenyataan tidak berjalan sesuai dengan harapan kita.

Sama halnya dengan apa yang Bright alami.

Sudah hampir satu semester Bright lalui. Namun ia masih belum juga bertemu dengan Sky.

Keinginannya untuk bisa bertemu dengan Sku membuat Bright melakukan segala cara.

Mulai dari meletakkan surat-surat kecil di lokernya yang berisi permintaan untuk bertemu dengan Sky, mendatangi kantor sekolah untuk mencari siswa bernama Sky, sampai meminta bantuan teman-temannya untuk memata-matai area loker setiap sore.

Nyatanya, tidak ada satupun dari rencana itu yang membuahkan hasil. Bright tidak bisa menemukan siapa dan dimana Sky berada.

Keinginannya untuk bisa bertemu dengan Sky semakin besar lantaran Bright diharuskan untuk kembali pindah sekolah.

Yap. Tuntutan Pekerjaan kedua orang tuanya membuat Bright lagi-lagi harus berpindah ke tempat yang baru.

Kekhawatiran yang Bright rasakan pun semakin bertambah besar saat Sky mulai jarang mengirimkan hadiah-hadiah itu kepadanya.

Pesan yang Bright dapatkan di dalam fortune cookies itupun ikut berubah.

Tidak ada lagi pesan penyemangat yang Bright terima.

Kini, semua pesan yang Bright dapatkan terkesan bagai pesan perpisahan. Yang membuat Bright selalu enggan untuk membacanya.

Walau sudah dihadapkan pada kenyataan seperti itu, harapan Bright untuk bisa bertemu dengan Sky masih sama besarnya.

Namun, hingga hari terakhir Bright bersekolah di Bakti Negeri, Sky tidak pernah datang kepadanya.

Bright tak pernah menyangka jika ia tidak bisa bertemu dengan Sky hingga waktu yang dimilikinya habis.

Sore itu, di sore terakhir yang Bright bisa nikmati di kota Malang, ia menunggu.

Menunggu sambil berdoa sepenuh hati, agar ada keajaiban yang membawa Sky untuk datang kepadanya.

Kemarin, Bright sudah meletakkan sebuah surat berisi ungkapan terima kasih, isi hatinya, serta permintaan agar Sky mau datang dan menemuinya.

Surat itu hilang dari loker. Yang artinya, Sky sudah mengambilnya.

Dan karena itulah, Bright memutuskan untuk menunggu lagi.

Tetapi, sampai sang surya menggelincir di ufuk barat, meninggalkan gelap yang mulai datang menikam cakrawala, Sky tidak datang.

Dalam penantian penuh sesak itu, Bright di hadapkan pada kenyataan bahwa Sky mungkin tidak ingin menemuinya.

Hingga akhirnya, Bright pun memutuskan untuk pergi. Meninggalkan sisa harapan itu di Bakti Negeri beserta seluruh kenangan manis tentang Sky dan hadiah-hadiah spesial yang diberikan kepadanya.

Sambil meniti jalan meninggalkan SMA itu, Bright terus merapal doa di dalam hati, agar suatu saat nanti ada keajaiban yang diberikan oleh sang pemangku alam untuk bisa mempertemukannya dengan Sky. Dalam situasi yang lebih baik, dalam kondisi yang lebih baik tentunya.

“Selamat tinggal, Sky. Semoga suatu hari nanti kita bener-bener bisa ketemu. . .” ucap Bright seorang diri sambil memandang Bakti Negeri dari balik jendela mobilnya.

Ada satu hal yang tidak Bright ketahui.

Di sudut lain gerbang sekolah itu, ada seorang siswa yang menatap kepergian Bright dengan hati remuk redam.

Sky. Dialah yang dengan setia menatap kepergian Bright dari sekolahnya ini, walau sejujurnya hatinya hancur lebur.

Sky tidak bisa berbuat apa-apa.

Ia hanya bisa terus berdoa agar suatu hari, Sky dan Kak B, bisa kembali bertemu dalam keadaan yang jauh lebih indah.

Dimana Sky sudah tidak ragu akan dirinya sendiri, dimana Sky sudah tidak lagi takut akan segala hal, dimana Sky sudah berani untuk mengungkapkan isi hatinya.

“Sampai jumpa lagi. . . Kak B. . .” Monolognya sambil menatap mobil milik Kak B yang berjalan meninggalkan sekolah ditemani lelehan bening air mata dari kedua mata indahnya.


bwuniverr. 2022

HUJAN.

content warning : blood.


Menyesal.

Itulah yang Metawin rasakan saat ini. Cowok itu menyesali keputusannya untuk melanjutkan membaca buku materi yang membuatnya lupa waktu dan berakhir kejebak hujan di kampus saat ini. Udah dingin, gelap, sendirian pula. Lengkap sudah penyesalan Metawin.

Cowok itu selalu bingung setiap kali hujan turun. Karena sejak kecil, Metawin tidak bisa sedikitpun berurusan dengan yang namanya hujan. Kayak kemusuhan gitu deh pokoknya.

Kalau Metawin terpaksa berurusan dengan air hujan, pasti ada aja deh sesuatu yang menimpa dia. Ada aja pokoknya.

Karena itu Metawin selalu bingung kalau udah kejebak hujan kayak begini.

Payung nggak bawa, jas hujan apalagi. Karena Metawin selalu berpikir kalau kampus dan tempat kostnya itu masih relatif dekat. Padahal mah kalau jalan rasanya capek juga.

Mau menghubungi teman juga nggak enak rasanya. Jam segini Khao pasti sudah sampai rumahnya. Jadi nggak mungkin kan kalau Metawin minta dijemput sama dia?

“Gimana ya. . . Masa diterobos hujannya?” Monolog Metawin sambil menatap hujan dari balik pintu kaca fakultasnya.

Metawin berjalan keluar. Cowok itu merentangkan tangan. Diarahkan tangannya itu ke arah air hujan yang sedang turun dengan deras. “Waduh, hujannya deres banget.. nggak bisa ini kalo nerobos.. sampe gang lima aja pasti udah basah..” ucapnya setelah menyadari kalau hujan masih sedang deras-derasnya.

Cowok itu menghela nafas. Akhirnya ia kembali ke balik pintu kaca. Berdiri di sana sambil berharap agar hujan cepat reda. Sebab Metawin capek. Dia ingin segera beristirahat di kosannya.


Kayaknya bukan cuma Metawin yang musuhan sama hujan di sore itu. Di tempat lain, Bright lagi ngomel sendirian karena terpaksa hujan-hujanan dari gor futsal ke parkiran.

Jaraknya lumayan dekat sih. Tapi saking derasnya hujan itu, Bright pun berakhir basah kuyup. Untung saja si ice cold prince itu bawa mobil. Jadi nggak perlu basah-basahan lebih lama lagi.

“Deres banget, tumben,” omel cowok itu sambil mengganti baju olahraganya yang sudah basah dengan kemeja dan celana baru.

Setelah semuanya beres, Bright langsung menyalakan mobilnya.

Tidak perlu menunggu lama untuk akhirnya cowok tampan itu menginjak pedal gas dan membawa mobilnya menyusuri jalanan kampus untuk pulang ke rumah. Menerobos hujan deras yang kayaknya sih masih belum ada tanda bakal reda.

Sambil memandangi beberapa mahasiswa yang sedang lari-larian atau yang sedang sibuk memakai mantel, diam-diam Bright jadi bersyukur. Bersyukur karena dia bisa mendapat fasilitas mobil yang membuatnya lebih sedikit aman dari teman-temannya yang lain.

Coba kalau nggak pakai mobil, pasti Bright bakal lebih ngomel lagi. Karena berurusan sama hujan tuh agak susah rasanya.

Saat mobil Bright berjalan melewati fakultas ilmu budaya, ia dibuat kaget dengan seekor kucing yang tiba-tiba berlari menyeberangi jalan.

“Aduh kucing nih, untung nggak ketabrak,” ucap Bright sambil mengikuti kemana kucing itu pergi.

Sesaat setelah bayang-bayang kucing itu hilang, kedua mata Bright beralih fokus kepada sesuatu yang lain di sana. Di gedung utama FIB.

Bright memicingkan mata. Dari balik kaca mobilnya, Bright bisa melihat seseorang yang sedang berdiri di sana. Di balik pintu kaca, di lobby fakultas itu. Dia berdiri sendirian, sepi, nggak ada teman, kayak orang bingung.

Dari gelagatnya sih Bright seperti kenal ya siapa orang itu. Tapi karena tersamar oleh air hujan yang cukup deras, jadinya Bright sedikit ragu.

Tapi saat orang itu menolehkan wajah, kedua mata Bright terbuka lebar,

“Loh? Metawin?” Ucap Bright spontan setelah melihat dengan jelas wajah orang itu. “Ngapain masih di sini? Udah gelap juga,” gumamnya seorang diri sambil melihat sekeliling, siapa tau Metawin sedang menunggu seseorang.

Tapi untuk beberapa saat kemudian, Bright tidak melihat jika ada orang lain di sekitar fakultas ini. Jadi, Bright menyimpulkan bahwa Metawin ini sedang berteduh, menunggu hujan reda.

Menyadari hal itu, Bright langsung ambil tindakan. Ia jalankan mobilnya untuk mendekat ke arah lobby fakultas. Lalu kemudian cowok itu langsung keluar dari dalam mobil. Bergegas mendatangi Metawin yang masih berteduh di dalam sana.


“Metawin?”

“HUAH! HANTU!” Pekik Metawin sambil terlonjak. Cowok manis itu terlihat kaget sekali saat mendengar suara Bright yang menggema di lobby fakultasnya yang sudah sangat sepi itu.

Bright mendengus, “hantu apaan sih, ini gue,” ucapnya.

Metawin menghembuskan nafas panjang. “Ya ampun kak.. aku kaget banget huhu, aku kira ada hantu..” ucapnya sambil mengusap-usap dada.

“Cih, mana ada hantu ganteng kayak gue,” gerutu Bright.

“Hah? Gimana kak? Aku nggak denger. . .”

Bright mengalihkan pandangannya. “Dah lupain aja,” sahut cowok ganteng itu. Ia lantas melirik ke sekeliling fakultas ilmu budaya yang ternyata sudah sangat sepi. Lalu kembali menatap Metawin yang masih berdiri di sampingnya. “Kenapa belom pulang?”

“Hujan, kak…” sahut Metawin.

“Ya iya. Semua orang juga tau kalo lagi hujan,” timpal Bright. “Gak bawa payung?”

Metawin menggeleng.

“Mantel? Jaket?”

Metawin menggeleng lagi.

Bright menghela nafas. “Lo nih gimana sih, udah jalan dari kosan, gak bawa motor, gak bawa payung, gak bawa mantel. Kalo ternyata besok hujannya baru reda, mau nginep di sini?” Cecar Bright.

“Nggak gitu, Kak. . .” sahut Metawin dengan wajahnya yang sedih. Gimana nggak sedih, udah nunggu hujan dari sore, sekarang ketemu Kak Bright malah diomelin.

“Terus gimana?”

“Ya.. aku kira nggak bakal hujan tadi tuh.. makanya aku nggak inisiatif bawa payung.. eh ternyata malah hujan deras. . .” jelas Metawin.

Bright geleng-geleng kepala. “Emangnya lo tuh BMKG? Pake ngira-ngira nggak bakal hujan,” sahutnya ketus. “Dah, ayo bareng gue.”

“Eh? Engg———”

“Ini perintah, Metawin.” Potong Bright sambil berjalan maju. Membuat Metawin terhimpit di antara tubuh Bright dan dinding kaca lobby fakultasnya itu.

Dalam posisi yang menegangkan itu, Bright memajukan wajahnya. Membuat Metawin menahan nafas, takut. “Sekarang, lo pulang sama gue. Nggak ada penolakan. Ngerti?” Bisik Bright pada Metawin yang dibalas anggukan oleh cowok manis itu.

Bright lantas mengangguk. Pria itu lalu berjalan menuju halaman fakultas. Disusul Metawin di belakangnya.

Metawin memandangi Bright yang sedang memperhatikan rintik air hujan. Keduanya sama-sama tidak membawa payung. Jadi bakal sama saja, kan? Akhirnya Metawin juga bakal hujan-hujanan kalau begini ceritanya.

“Kak Bright pulang duluan aja gapapa. Aku nunggu hujannya reda dulu,” ucap Metawin yang merasa kalau pulang bersama Bright itu hanyalah sia-sia.

Bright menoleh ke arah Metawin, “nggak. Lo pulang sama gue pokoknya, titik.” Sahut Bright sambil mendelik.

“Tapi kan kak Bright nggak bawa payung.. sama aja dong nanti kita kehujanan?” Tanya Metawin balik.

Bukannya menjawab, Bright justru melepaskan jaket denim yang tadi diambilnya dari dalam mobil. Dengan satu gerakan cepat, Bright membentangkan jaket itu di atas tubuhnya, lalu menarik Metawin hingga cowok manis itu masuk ke dalam dekapannya.

Metawin mendelik, kaget dengan apa yang baru saja Bright lakukan.

Belum sempat rasa kaget anak itu hilang, Bright lebih dulu melingkarkan tangannya pada pinggang Metawin yang sukses membuat cowok manis itu terlihat semakin kaget.

“Kak?!”

“Diem. Jangan banyak nanya,” sahut Bright cepat sambil menatap tajam ke arah Metawin.

Merasa tak punya pilihan, Metawin pun akhirnya diam. Membiarkan sosok yang dijuluki sebagai ice cold prince itu mengambil kendali.

Setelah menatap sekeliling, Bright kemudian menarik tubuh Metawin untuk ia bawa lari bersama-sama.

Mereka berdua lantas berlari bersama, menerobos rintik hujan di sore itu, sambil merangkul tubuh satu sama lain. Persis seperti scene film-film Bollywood.

Di sela momen lari-larian bareng itu, diam-diam Metawin mencuri pandang ke arah Bright. Cowok itu, entah bagaimana caranya, bisa tetap terlihat sangat tampan dan bersahaja walau di bawah guyuran hujan seperti ini. Membuat Metawin tak henti mengagumi indah karya tuhan itu.

Tanpa Metawin sadari, Bright pun melakukan hal yang sama. Cowok ganteng itu sesekali melirik lewat ekor matanya. Menangkap bias wajah Metawin yang sejak tadi ia ketahui sedang memperhatikannya lekat-lekat.

Kalau hati seorang manusia bisa tersenyum, maka Bright sudah melakukannya sejak tadi. Ia bahagia. Bahagia sebab bisa berlari bersama Metawin di tengah hujan seperti ini. Sederhana sekali memang, tapi bagi Bright rasanya luar biasa.

Dan dari lirikannya itu, Bright bisa melihat wajah Metawin yang pelan-pelan berubah merah, seperti arbanat yang dijual di pekan raya setiap kali ia memandangi wajahnya.

Lucu banget, untung lagi hujan, gumam Bright dalam hati.

Tak butuh waktu lama, mereka berdua akhirnya sampai di sedan putih yang sehari-hari Bright gunakan untuk berangkat kuliah.

Bright antarkan Metawin untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil, baru kemudian dirinya beranjak masuk. Menyisakan bekas air hujan yang cukup banyak di dalam mobilnya.

“Metawin, aman?” Tanya Bright sambil melempar jaket yang tadi digunakan sebagai payung ke kursi belakang.

Metawin mengangguk, “aman kok, Kak. Kemejaku basah dikit, tapi celananya lumayan basah..” sahutnya sambil melepas tas yang menggantung di punggungnya.

“Oh yaudah kalo git—Loh? Kok muka lo pucet banget?” Sahut Bright setelah melihat wajah Metawin yang terlihat sangat pucat.

Metawin balas menatap Bright, “masa sih kak? Tapi aku nggak apa-apa kok..” sahutnya sambil meraba wajahnya sendiri.

Wajah Bright langsung terlihat panik. Pria itu menengok ke belakang, mencari baju, kain, atau apapun yang bisa dipakai sebagai handuk sementara.

Beruntung masih ada kaos basket miliknya yang belum terpakai di kursi belakang. Maka Bright pun bergegas mengambil kaos itu, kemudian kembali menatap Metawin.

“Nih pake ini dul—ASTAGA METAWIN, LO MIMISAN!” Pekik Bright sambil menunjuk darah segar yang baru saja mengalir dari lubang hidung Metawin.

Metawin terlihat kaget dengan informasi yang baru saja Bright sampaikan. Ia lantas meraba hidungnya sendiri. Dan benar saja, ia mendapati bercak darah di jari-jarinya.

“Ya ampun kok bisa mimisan gini sih?” Tanya Bright yang kini sedang sibuk mengambil tissue, “pusing gak kepala lo? Atau ada yang sakit?”

Metawin menggeleng. Entah bagaimana, Metawin merasa kalau tubuhnya lemas sekali, hingga membuatnya tidak mampu menjawab pertanyaan Bright.

Perlahan, Metawin merasakan jika pandangannya memburam. Tidak fokus, seperti lensa kamera yang tidak bisa menemukan titik fokusnya.

Kepalanya pun mulai terasa pening. Seperti ada tangan tak kasat mata yang meremasnya perlahan-lahan.

“Kak Bright. . .” panggil Metawin lirih.

Namun Bright tak menghiraukannya. Pria itu masih sibuk mencari tissue dalam dashboard mobilnya hingga abai pada Metawin yang terlihat mulai hilang kesadaran.

“Nah ini nih tissuenya!” Sahut Bright saat menemukan tissue yang sejak tadi ia cari.

Dan tepat saat Bright mengangkat wajah, Metawin terpejam.

“Win?! METAWIN, ASTAGA!”

Bugh.

Di hadapan mata Bright, di dalam sedan putih miliknya itu, Metawin terhuyung. Jatuh tidak sadarkan diri ke dalam pelukan Bright dengan darah yang terus mengalir dari dalam hidungnya.

330 – Perjalanan


Every journey I take, I know I’ll have you watching from afar. Be it good or bad, if I fall, I'll stand up again and continue going. Even though sometimes I might be lonely, I'm never alone. Just looking at your picture is enough to make me happy


Setelah memindahkan kembali barang-barang miliknya dan Dimas ke rumah ini, Bright kini sedang duduk bersisian dengan Kala di sofa ruang tamu. Mulai menceritakan kisah tiga tahun belakangan ini. Tentang perjalanan yang Bright tempuh untuk membawa Kala kembali.

“Jadi.. awalnya tuh karena aku kecelakaan?” Tanya Kala pada Bright setelah pria itu mendengar informasi pertama dari suaminya.

Bright mengangguk. “Waktu itu hari terakhir Dimas ujian di sekolahnya. Kebetulan kamu ada rapat kerjaan, jadi telat jemput Dimas di sekolah.” Ujar Bright. “Hari itu hujan. Deres banget. Bahkan Mas masih inget segelap apa langit waktu itu,” imbuhnya.

Sekilas bayang-bayang langit dengan mega yang bergantungan bagai kandi terlintas di benak Kala. Mendung. Hujan. Kala mulai mengingatnya.

“Waktu itu kamu cuma bilang sama Mas kalau mau jemput Dimas. Mau ngebut soalnya udah telat banget. Dan mas udah punya feeling yang nggak enak banget..” ujar Bright melanjutkan ceritanya. “Tapi Mas pikir ya nggak bakal terjadi apa-apa. Soalnya emang cuaca lagi sering hujan waktu itu. . .”

“. . .tapi ternyata, Mas salah.”

Kala menelan salivanya pahit. “Habis itu. . .?”

“Habis itu, sorenya, Mas dapet telfon dari rumah sakit. Mereka kasih kabar kalau kamu mengalami kecelakaan tunggal di jalan menuju sekolahnya Dimas.”

Deg.

Ciiit—Brakk!!

Kala memejamkan mata. Suara itu. . . bayangan mobil itu. . . jadi dari sana mimpi buruknya itu berasal. Pantas saja Kala merasa tidak asing dengannya.

“Mas boleh lanjutin? Kalo kamu nggak kuat nggak apa-apa sayang, kita lanjutin lain waktu..” ujar Bright yang mulai panik melihat raut wajah Kala.

Sedetik kemudian, Kala membuka mata. Pria itu mengulas senyum kepada Bright, “nggak apa-apa kok, Mas. Dilanjutin aja. . .”

“Kamu yakin?”

“Iya, aku yakin,” jawab Kala mantap. “Aku udah siap dengerin semuanya.”

Bright manggut-manggut. “Setelah itu, Mas langsung ke rumah sakit. Nyamperin kamu sama Dimas yang udah ada di sana duluan. . .” ujarnya melanjutkan cerita.

“Firasat Mas udah makin nggak enak aja waktu itu. Dan ternyata bener. Begitu sampe di sana, Mas langsung dipanggil ke UGD dan dapat kabar bahwa kamu kritis. . .”

Ngiiiing!

Sayang, tolong bertahan, ya? Mas tau kamu kuat. . .

Papi, jangan tinggalin akui!

Suara itu. . . Jadi suara-suara yang Kala dengar selama ini bukanlah bunga tidur semata. Suara itu memang nyata. Suara-suara yang masih sempat ia dengar sebelum ia melupakan semuanya.

“Mas sama Dimas nungguin di rumah sakit hampir satu minggu. Sampe akhirnya di hari ketujuh, kamu sadar. Awalnya mas kira semuanya bakal baik-baik aja, karena nggak ada diagnosa serius ataupun fatal soal badan kamu. Tapi setelah itu, Mas dihadapkan pada kenyataan paling pahit yang pernah Mas terima sepanjang hidup.”

Kala menahan nafasnya. Begitupun dengan Bright. Hati pria itu terasa sesak untuk melanjutkan ceritanya.

Dan setelah satu helaan nafas panjang, Bright kembali berkata. “Malam itu, kamu divonis amnesia. Dan yang lebih buruk lagi, Mas sama Dimas, menjadi bagian dari hal-hal yang hilang dari memori kamu. . .”

Jadi bener. . . ada banyak hal yang gue lupain selama ini. . .

“Berarti mulai saat itu, Mas udah coba buat balikin ingatanku?” Tanya Kala.

“Iya. Setelah kamu sadar, kamu sama sekali nggak inget sama Mas dan Dimas. Juga temen-temennya Mas. Mbak Namtan, Mas Mike, sama yang lain. Pokoknya yang berhubungan sama Mas itu kamu pasti nggak inget semua.”

“Ah! Pantesan kok aku ngerasa nggak asing sama mereka ya waktu dateng ke Pentas Seninya Dimas. . .” Sahut Kala sambil manggut-manggut. “Terus Mas, kenapa kok perlu waktu lama banget buat balikin ingatanku? Apa kondisinya sesulit itu?”

Bright tersenyum getir, “iya. Kondisinya selalu sulit buat kita semua,” jawabnya. “Kata Dokter, kamu nggak bisa dipaksa untuk ingat soal hal-hal yang hilang dari memori kamu. Karena akibatnya kamu bisa semakin lupa.”

“Tiga tahun belakangan ini tuh Mas dibantu temen-temennya Mas, temen-temennya kamu, selalu bikin rencana buat bantu kamu inget lagi. Mas tuh berkali-kali nyamar loh supaya bisa deket sama kamu dan kasih clue biar kamu mulai inget lagi.” Ujar Bright.

“Iya? Tuh kan, pantes aja aku tuh ngerasa nggak asing gitulo sama Mas Bright dan Dimas. . .” Balas Kala. “Emang Mas pernah nyamar jadi apa aja?”

Bright terdiam sejenak. Tampak mengingat-ingat. “Tahun 2018, Mas pernah nyamar jadi pegawai baru di tempat kerja kamu. Awalnya kamu tuh kayak curiga gitu, tapi lama-kelamaan kita jadi akrab lagi. Kita sering makan bareng, naik mobil keliling kota, sampe renang buat ngelepas penat pun juga pernah. Tapi waktu Mas mau ungkapin pelan-pelan, kondisi kamu drop dan ingatan mundur semakin jauh. . .” Jelas lelaki itu.

Kala terdiam. Memberikan waktu sebanyak-banyaknya kepada Bright untuk melanjutkan ceritanya.

“Setelah itu. . . Oh iya, Mas pernah juga nyamar jadi tetangga kamu. Rumah sebelah ini. Mas sampe nyewa rumah itu biar bisa deket terus sama kamu,” lanjut Bright dengan gelak tawa. “Awalnya sama. Semuanya lancar, kita bahkan ngulangi lagi kegiatan-kegiatan yang pernah kita lakuin bareng. Tapi akhirnya, gagal lagi. . .” imbuhnya dengan suara yang sarat akan kesedihan.

“Karena. . . aku drop lagi?” Tebak Kala.

Bright mengangguk. “Waktu itu padahal Mas udah bisa ngungkapin kalo kita pernah ketemu, kita punya hubungan. Kamu bahkan udah mulai inget siapa Dimas. Tapi takdir berkata lain. Kamu drop dan ingatan kamu hilang lagi. Kayak direset gitu. Kembali ke posisi semula..” tuturnya.

Bright menghela nafas. Ia pandangi sang suami yang kini juga sedang menatapnya lekat-lekat. “Kemarin, waktu Dimas bilang kamu pingsan, Mas udah takut. Takut banget.” Ucap Pria itu dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.

“Mas takut kalau semuanya gagal lagi...” lanjut Bright dengan suaranya yang bergetar.

Sedetik kemudian, Bright justru tersenyum, “tapi ternyata, kali ini Mas nggak gagal,” ucapnya dengan Bangga. “Mas malah nggak nyangka kalau akhirnya, setelah tiga tahun ini, kamu bisa inget sama Mas lagi, sama Dimas. Sama keluarga kita. . .”

Kala dibuat terenyuh dengan apa yang baru saja Bright ceritakan kepadanya. Ia tak menyangka jika Bright telah melewati usaha yang begitu panjang demi bisa kembali ke saat-saat seperti ini.

Maka pria itu pun meraih tangan Bright. Ia genggam erat-erat tangan sang suami tercinta, seraya berucap kepadanya, “maaf ya Mas. . . Maaf karena Mas Bii harus lewatin perjuangan yang berat banget kayak gini..”

“Gapapa, sayang. Udah kewajiban Mas buat bawa kamu pulang,” sahut Bright dengan senyum tampannya. “Yang penting sekarang kamu kan udah di sini, udah balik lagi sama Mas. . .”

Kala turut merekahkan senyumannya saat melihat wajah Bright yang tampak begitu bahagia seperti ini.

“Eh, Mas, bentar deh,” ucap Kala saat tiba-tiba ia teringat sesuatu, “Makan nasi goreng.. naik mobil.. renang.. kita udah sering ngelakuin itu, ya? Kok aku juga ngerasa familiar banget..”

Bright mengangguk. “Iya. Setiap kali Mas nyamar atau ngejalanin rencana, Mas selalu ngajak kamu ngelakuin itu. Makan nasi goreng bareng, naik mobil, renang. Soalnya itu hal-hal kesukaan kamu dari dulu. Dan kata dokter itu bisa jadi stimulus buat memicu ingatan kamu.” Jelasnya pada Kala.

“Pantesan...” sahut Kala.

“Pantesan apa sayang?”

“Pantesan kok aku selalu seneng gitu rasanya kalo ngelakuin itu semua.. ternyata karena emang dulu jadi hal kesukaanku,” jawab Kala. “Terus juga karena ngelakuinnya sama Mas Bii, hehe

Bright dibuat tertawa mendengar ucapan Kala, “kamu nih bisa aja deh ngalusnya,” balas Bright sambil mengusak rambut Kala.

“Oh iya Mas, satu lagi. . .”

“Apa tuh?”

“Aku udah inget kalo Dimas tuh anak aku.. tapi aku belum terlalu inget asalnya Dimas darimana. . .”

Bright mengangguk lagi. “Dimas itu salah satu anak di panti asuhan tempat Mas sering ngadain bakti sosial di sana. Mas sering banget ketemu sama dia, udah akrab banget. Terus pas kita udah nikah, kita sepakat buat adopsi dia jadi anak kita..”

Berarti aku boleh panggil Papi?

Bayang-bayang itu... Jadi seperti itu kisahnya. . .

“Kenapa sayang? Kok diem?” Tanya Bright khawatir.

Kala menggeleng, “gapapa kok, Mas. Aku cuma inget salah satu mimpiku aja..”

“Mimpi?”

“Iya. Mimpi. Di mimpi itu, aku ngelihat anak cowok yang minta izin buat manggil aku Papi. Dan sekarang aku baru sadar kalo itu Dimas..” jelas Kala kepada Bright. “Berarti itu bukan mimpi ya. . .”

“Bukan.. itu bagian dari memori kamu, sayang..” ucap Bright sambil mengusap sisi kepala Kala. “Dah, gausah dipikirin lagi ya. Pelan-pelan aja ngingetnya, biar kepalanya nggak sakit. Yang penting, kamu udah mulai inget, itu udah lebih dari cukup. Oke?”

Kala mengangguk sambil tersenyum.

Bright melirik ke arah jam dinding, “kita jemput Dimas bareng-bareng yuk? Habis itu kita jalan-jalan, mau?”

“Mauuuuuuu!” Sahut Kala antusias. “Mau banget, Mas!”

Bright tak sanggup mengulum senyumannya, “oke. Kalo gitu kita siap-siap sekarang..”

“Eh Tunggu dulu, Mas!” Ucap Kala menahan Bright.

“Kenapa, hm? Ada apa?”

Kala mengangkat tubuhnya. Ia dekatkan wajahnya ke arah telinga Bright, “aku belum di kasih sun, hehe,” bisiknya.

Bright seketika menoleh ke arah Kala. Hingga sedetik kemudian. . .

CUP!

Bright menghadiahi Kala sebuah ciuman singkat. “Udah tuh. Yuk kita siap-siap sekarang,” ajak Bright kepada Kala yang kini senyum-senyum sendiri. Sumringah, setelah mendapat ciuman spesial dari sang suami tercinta.


bwuniverr 2021

297 – Cermin.


lupakanlah segalanya, karena aku akan datang kepadamu saat nafasmu memanggilku lagi


Dalam sunyi yang mengungkung semesta itu, Kala terus berjalan. Hingga membuatnya tak tau sudah berapa lama ia meniti jalanan itu. Kala tak lagi bisa membedakan siang dan malam.

Setapak yang ia lewati ini bagai permadani yang dibentangkan di seluruh permukaan bumi. Begitu panjang tanpa bisa terlihat dimana ujungnya berada.

Setapak itu berpagarkan dinding batu yang menjulang tinggi. Membatasi cahaya, membaurkan semuanya dalam satu warna, abu-abu.

Kala merogoh saku celananya. Sekali lagi mencari siapa tau ada benda yang bisa digunakan untuk meminta pertolongan, namun nihil. Tak ada satupun benda yang tersisa di sana. Padahal Kala berharap setidaknya ada selembar kertas yang bisa dipakai untuk melempar ke sembarang arah.

Sepertinya tidak ada gunanya berharap pada saku celana itu lagi. Maka dengan sisa tenaga yang ada, Kala pun kembali berjalan. Menyusuri setapak ini, melewati belokan demi belokan, serta dinding batu yang masih sama.

Namun semakin lama, bukan ujung jalan yang Kala dapatkan. Semuanya masih sama. Setapak yang ia lewati seolah tak ada habisnya. Hingga akhirnya membuat Kala putus asa.

Kala merasa sudah melewati jauh, bahkan mungkin sudah berputar, namun sepertinya tak ada jalan keluar.

Di ujung harapan itu, Kala akhirnya jatuh. Pria itu memeluk lututnya sendiri sambil terus menatap tempat ini dengan sisa harapannya. Kala ingin menangis. Ia ingin berteriak sekencang mungkin. Dadanya terasa sesak menahan semua ini seorang diri. Dan dalam hatinya, Kala ingin semua ini berakhir.

Tolong. . . Gue nggak kuat. . .

Kala pun menyandarkan tubuhnya pada dinding batu itu sambil menengadah. Menerawang jauh ke atas sana.

Dahi Kala mengernyit saat melihat sesuatu yang cukup mencolok di atas sana. Sesuatu yang bersinar terang walau tampak kecil seperti kilau lampu tidur. Sebuah cahaya.

Saat atensi Kala terfokus ke atas sana, cahaya putih itu melebar. Kala dibuat tertegun menyaksikan cahaya itu melahap seluruh gelap yang sejak tadi mengungkungnya. Tembok batu yang memagari setapak itu perlahan luruh, tergantikan oleh terang cahaya dari atas sana.

Dan sebelum tarikan nafas Kala berikutnya, tembok di sekeliling Kala, setapak yang sejak tadi ia lewati, lenyap ditelan cahaya itu.

Cahaya itu lantas mulai membungkus tubuh Kala. Menyelimutinya bagai tilam sutra kualitas terbaik dari China. Dan di detik berikutnya, Kala merasakan tubuhnya melayang. Terbang dibawa cahaya itu menuju tempat dengan sinar putih di sekelilingnya.

Apa gue udah. . . mati?

Begitu batin Kala bersuara, cahaya yang membungkus tubuhnya itu terlepas. Lalu terbang untuk mensejajarkan diri dengan tubuh Kala. Pada saat bersamaan, cahaya itu bersinar terang. Terang sekali. Membuat Kala harus menutup mata karena sinarnya yang begitu terang.

Dan tepat saat kedua matanya kembali terbuka, Kala dibuat terkejut, kaget bukan main. Sebab cahaya putih itu telah berubah menjadi sosok manusia. Yang lebih mengherankan lagi, sosok itu memiliki wajah yang sama persis dengannya. Membuat Kala serasa sedang bercermin, menghadap dirinya sendiri.

Terima kasih karena sudah bertahan sampai hari ini.” Ucap sosok itu sambil tersenyum lebar kepada Kala.

Terima kasih? Untuk apa?” Sahut Kala dalam hati.

Bukannya menjawab, sosok itu justru kembali tersenyum dengan begitu lebarnya. Kemudian sosok itu melayang mendekat kepada Kala.

Kamu hebat, Kala,” ucap sosok itu lagi sambil mengusap kepala Kala.

Tapi, jalan-jalannya udah cukup ya? Sekarang waktunya Kala pulang. Banyak yang udah nungguin Kala,” tutur sosok itu lagi sambil mengusap lembut kepala Kala.

Ada desir menenangkan yang Kala rasakan setiap kali sosok ini berbicara. Dan entah mengapa, Kala merasa bahwa sosok ini adalah refleksi dari dirinya, entah dimasa yang mana.

Setelah ini, apapun yang Kala lihat, apapun yang Kala rasain, Kala nggak boleh ngelawan, oke? Kala yang ikhlas, supaya semuanya bisa balik lagi. . .” bisik sosok itu lagi.

Kala nggak boleh pergi lagi ya. Kala harus menikmati hidup sama mereka. Sama orang-orang yang sayang sama Kala. Oke?” Pinta Sosok itu sambil menatap Kala dengan lembut.

Tapi. . kamu. .?

Aku bakal terus di sini,” sahut sosok itu sambil menunjuk dada Kala. Seolah ia bisa memahami apa yang hendak Kala sampaikan.

Aku bakal terus nemenin Kala di sini. Karena Kala itu aku, dan aku adalah Kala. Kita ini satu, dan akan saling menguatkan satu sama lain. Jadi Kala nggak perlu takut, ya?

Di Detik berikutnya, sosok itu kembali maju. Tangannya terulur, lalu menarik Kala untuk masuk ke dalam pelukannya.

Kala merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pelukan sosok itu terasa sangat nyaman. Membuatnya seketika memejamkan mata.

Dalam detik waktu yang tak terhitung, sosok itu berbisik lembut kepada Kala, “Aku sayang sama Kala. . .

Tepat setelah kalimat itu terucap, tubuh Kala seolah dibanting. Jatuh dengan kecepatan tinggi hingga membuat dadanya terbakar karena kesulitan meraih nafas. Di detik-detik terakhir, tubuh Kala bagai menghantam tanah.

Matanya terbuka. Nafasnya tersengal. Dan pemandangan pertama yang ditangkap oleh kedua matanya adalah sosok Bright dan Dimas yang sedang menatapnya dengan wajah panik.

Itu artinya, Kala berada di rumah.

Ia sudah pulang.


bwuniverr 2021

256 – Nyanyian Aksa.

i liked it so much. watching over you and my heart fluttering. even when I ridiculously jealous to all of those ordinary moments. in the dark eternity, in that long waiting, like sunshine, you fell down to me.


Riuh tepuk tangan menjadi penanda beralihnya satu penampilan ke penampilan yang lain.

Keenam orang itu tampak sangat antusias menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan dari para pelajar di sekolah ini. Sebab penampilan mereka sangatlah memukau.

“Penampilan selanjutnya, sebuah nyanyian istimewa oleh Dimas Aksa Prawira dari kelas 9F”

“Bri, Dimas tampil, Bri!” Suara antusias itu berasal dari Mike yang sedang duduk di samping Bright.

Sedangkan Bright hanya bisa menarik nafas panjang saat nama anak semata wayangnya dipersembangkan dengan begitu membanggakan.

Pria itu mengangguk kepada Mike. Lantas kemudian beralih untuk menatap Kala yang duduk di sampingnya. “Kala.. Dimas tampil..” ucapnya dengan suara yang terdengar bergetar karena rasa gugup dalam hatinya.

Kala menyunggingkan sebuah senyuman. Pria itu bisa melihat dengan jelas bagaimana gugupnya Bright saat ini. “Iya, Mas... akhirnya tampil juga ya” sahutnya sambil terus memberikan senyuman kepada Bright. Berharap bisa membuat perasaan Bright menjadi lebih baik.

“Bri, anaknya naik tuh, lihat deh,” ucap Namtan sambil menunjuk ke arah panggung dimana Dimas sedang berjalan naik ke atasnya.

Bright lantas mengedarkan pandangan ke arah sana.

Dan tepat saat sepasang mata elang miliknya itu menangkap presensi sang buah hati, Bright merasakan pedih yang semakin tak tertahankan.

Melihat jagoannya itu berdiri dengan gagahnya, berbalut pakaian serba indah yang sukses menambah pesonanya, membuat Bright ingin sekali menangis.

Bukan. Bukan tangis sedih yang ingin Bright tunjukan. Namun tangis haru serta kebanggaan untuk Dimas. Karena sampai detik ini, Dimas masih bersedia untuk menahan semuanya, berjuang bersama-sama untuk mengembalikan Kala ke dalam pelukan mereka. Walau Bright tau, semuanya tak pernah mudah bagi Dimas.

Bright tau. Bright tau semua itu.

Bright selalu tau racauan Dimas dalam lelapnya. Bagaimana suara Dimas yang terdengar putus asa saat memanggil sang Papi. Serta bagaimana tangisan anak itu saat menceritakan kepadanya betapa besar rasa rindu yang ia simpan di dalam dada.

Saat Dimas telah berdiri dengan begitu kerennya di atas sana, air mata yang sejak tadi Bright tahan mati-matian akhirnya jatuh juga.

Pria itu lantas menatap lekat wajah sang anak, lalu berucap lewat gestur bibirnya,

“Anak Ayah keren, Ayah bangga sama Dimas” Ucapnya.

Tak perlu waktu lama untuk Dimas menyadari kode dari sang Ayah itu. Anak itu lantas tersenyum seraya membalas ucapan Bright dengan cara yang sama,

“Dimas juga bangga sama Ayah!” Balasnya dengan senyum paling manis yang pernah Bright lihat selama ini.

“Hadirin yang berbahagia, mari kita sambut, penampilan dari Dimas Aksa Prawira!'

Satu helaan nafas panjang terdengar dari mulut Bright saat pembawa acara mempersembahkan penampilan Dimas untuk yang kedua kalinya.

Gemuruh tepuk tangan di seisi aula itu tak sanggup meredam perasaan membuncah dalam hati Bright. Hingga akhirnya, Pria itu hanya bisa membiarkan gugup menguasai dirinya.

“Kala. . .” Panggil Bright.

“Iya, Mas. Kenapa?”

Bright menarik nafas dalam-dalam. Ia lantas menatap wajah Kala yang juga sedang menghadap ke arahnya. “Boleh Mas pegang tangan kamu?” Pintanya, “Mas gugup banget lihat Dimas. . .” ujarnya lagi.

Bright harap-harap cemas. Khawatir jika Kala menganggap permintaan Bright ini berlebihan.

“Tapi kalo Kala nggak mau gapap—”

Bright terhenyak saat Kala menarik sebelah tangannya dengan tiba-tiba.

“Aku mau kok,” sahut Kala sambil tersenyum. “Mas Bright tenang aja, ya? Everything will be okay. Percaya sama Dimas, ya?”

Sebuah senyum penuh kelegaan akhirnya terbit di wajah Bright setelah mendapat afeksi dari Kala. “Terima kasih, Kala..” sahutnya.

Denting piano menjadi dawai pembuka dari pertunjukan Dimas.

Seisi aula seketika senyap ketika tuts pertama itu berdenting. Seolah ada sihir yang memaksa mereka untuk khidmat, untuk menikmati suguhan yang hendak Dimas tampilkan.

Ketika melodi pertama itu mengalun indah di seisi aula, Bright tercekat. Pria itu terkejut lantaran tidak menduga jika Dimas akan menyanyikan lagu ini.

Lagu ini, lagu yang sejak dulu Bright simpan rapat-rapat seorang diri. Lagu yang merepresentasikan doa serta harapannya untuk Kala, semenjak sang belahan hatinya itu melupakan segala hal dalam hidupnya, termasuk Bright.

Lagu yang setiap malam Bright lantunkan layaknya doa. Dengan sejuta harap agar apa yang ia panjatkan dikabulkan oleh sang pemangku alam.

Dan kini Bright dibuat semakin terkejut lantaran tak mengetahui jika selama ini Dimas juga mendengarnya.

Embun di pagi buta, Menebarkan bau asa, Detik demi detik kuhitung, Inikah saat ku pergi?

Suara Dimas mengalun merdu. Menyapa setiap pasang telinga dengan eloknya. Serupa harmoni yang tercipta saat senja menikam langit cakrawala.

Senada dengan nyanyian Dimas, tangis Bright kembali luruh. Basahi wajah tampannya itu, tanpa bisa ia tahan lagi.

Oh Tuhan ku cinta dia, Berikanlah aku hidup, Takkan ku sakiti dia, Hukum aku bila terjadi. . .

Sesak dalam hati Bright semakin tak tertahankan. Pria itu sampai melepas genggaman tangannya dari Kala, untuk membekap mulutnya sendiri. Menahan isak tangis yang tak bisa ia keluarkan saat ini.

Kala seketika menatap Bright. Dan pria itu dibuat tertegun saat melihat Bright yang sudah menangis tersedu-sedu di sampingnya.

Aku tak mudah, untuk mencintai, Aku tak mudah, mengaku ku cinta, Aku tak mudah, mengatakan aku jatuh cinta. . .

Senandungku hanya untuk cinta, Tirakatku hanya untuk cinta, Tiada dusta, Sumpah kucinta, Sampai ku menutup mata, Cintaku, sampai ku menutup mata. . .

Bright kalah.

Pertahanan yang sudah ia bangun dengan kokohnya runtuh seketika. Isak pria itu akhirnya keluar dengan bebasnya. Membuat Kala dan keempat sahabatnya langsung menoleh ke arahnya.

Hati Bright bagai tersayat belati tajam. Pedih nan menyakitkan. Namun tak ada yang bisa mengobatinya. Untuk saat ini.

Tak ingin merusak suasana, Bright lantas beranjak dari kursinya. Lalu melenggang pergi meninggalkan Dimas yang masih bersenandung dengan merdunya di atas sana.

“Mas Bright?” Panggil Kala. Ia khawatir melihat kondisi Bright seperti itu.

Baru saja Kala hendak mengejarnya, ia lebih dulu ditahan oleh Mike. “Udah, gapapa. Biarin dulu ya. Bright gapapa kok. Biar gue sama Mbak Namtan yang ngejar. Kala di sini dulu, ngelihat penampilannya Dimas, oke?” Pinta Mike kepada Kala.

Walau hatinya masih diselimuti kebingungan, Kala akhirnya mengangguk. Pria itu lantas kembali duduk di tempatnya. Membiarkan Mike dan Namtan berlalu pergi mengejar Bright.

Di tempat duduknya itu, Kala memperhatikan lekat-lekat persembahan Dimas.

Oh Tuhan ku cinta dia, Berikanlah aku hidup, Takkan ku sakiti dia, Hukum aku bila terjadi. . .

Kala bisa melihat betapa Dimas menghayati setiap kata yang menguar dari dalam mulutnya.

Seisi aula ini seolah terhipnotis dengan nyanyian Dimas yang membuai setiap hati yang ada di dalam sana. Termasuk Kala.

Kala yakin jika ini pertama kalinya ia mendengar lagu ini. Tapi entah bagaimana sebabnya, Kala merasa jika lagu ini terasa tidak asing di telinganya. Seolah Kala sering mendengar seseorang menyanyikan lagu ini untuknya.

Aku tak mudah, untuk mencintai, Aku tak mudah, mengaku ku cinta, Aku tak mudah, mengatakan aku jatuh cinta. . .

Senandungku hanya untuk cinta, Tirakatku hanya untuk cinta, Tiada dusta, Sumpah kucinta, Sampai ku menutup mata, Cintaku, sampai ku menutup mata. . .

Saat denting terakhir piano itu berbunyi, Dimas langsung disambut dengan gemuruh tepuk tangan dari semua orang yang ada di dalam aula itu.

Kala pun melakukan hal yang sama. Pria itu bangkit dari tempat duduknya, lantas memberikan tepuk tangan dengan segenap rasa bangga dalam hatinya untuk Dimas.

Di atas sana, Dimas menyuguhkan sebuah senyuman kepada Kala. Membuat Kala turut melakukan hal yang sama.

Namun saat pandangan anak itu bergerak ke samping Kala, ada sorot kesedihan yang terlihat jelas di sana. Dan Kala tau, tatap mata itu ditujukan Dimas untuk Bright yang saat ini tidak ada di sana untuk memberi apresiasi terbesar kepadanya.

Kala lantas melirik ke belakang. Mengedarkan pandangan ke belakang sana. Sambil bertanya dalam hati,

Mas Bright kemana ya?


aku tidak akan pernah lupa, saat hatiku berdebar kencang kala menatap wajahmu. bahkan disaat aku sangat cemburu pada semua kenangan yang kau berikan kepadaku. suatu saat kita kan bertemu kembali. dan hari itu akan menjadi hari paling bahagia untuk kita. pada hari itu aku akan datang padamu bagai salju pertama yang turun di musim dingin. . .


Di balik hingar bingar pentas seni itu, ada seorang insan yang sedang menangis tersedu-sedu. Menangisi takdir, Menangisi garis hidupnya sendiri, menangisi kegagalannya untuk bisa menyatukan keluarga kecilnya seperti sedia kala.

Bright merasa gagal. Gagal sekali.

Terlebih saat melihat Dimas menyanyi dengan sepenuh harap yang tampak dari sorot matanya.

Bright yakin, Dimas ingin mengungkapkan kerinduannya kepada Kala lewat lagu ini. Dan kenyataan itu semakin membuat hati Bright hancur lebur.

“Ayah minta maaf, Nak. . . Ayah gagal. . .”

Hanya itu kalimat yang bisa Bright ucapkan sejak tadi di sela isak tangisnya yang terdengar memilukan.

“Bright?”

Bright seketika mengalihkan pandangannya. Memunggungi sumber suara yang sangat ia kenali itu.

“Bright? Hey.. mbak di sini..”

Tangis Bright rasanya ingin semakin meledak saja saat suara Namtan terasa semakin dekat. Maka sebelum ia jatuh dalam jurang tangis tak terbendung, Bright lebih dulu membalikkan badan.

Namtan dan Mike dibuat tertegun dengan penampilan Bright yang kacau balau.

Wajah tegas milik adik kesayangan Namtan itu basah, bermandikan air mata. Serupa dengan sorot matanya yang mengisyaratkan keputusasaan yang begitu dalam. Dan tanpa perlu Bright ceritakan, Namtan dan Mike tau betul apa yang Bright rasakan.

“Mbak, gue gagal lagi, ya?” Pertanyaan yang terlontar dari mulut Bright itu membuat Namtan dan Mike semakin tertegun.

“Bri. . . Enggak gitu,” sahut Namtan. “Kamu nggak gagal, Bri. Sama sekali enggak, jangan mikir gitu dong.. Mbak jadi sedih juga. . .” ujar Namtan lagi.

Namun sepertinya Bright tak mengindahkan ucapan Namtan. Sebab dalam hatinya hanya ada kata gagal sebagai cerminan dirinya sampai detik ini.

“Mbak sama Bang Mike masuk aja. Gue mau nenangin diri dulu. Titip Dimas, ya?” Pintanya pada mereka berdua.

Dan setelahnya, Bright membalikan tubuhnya dari Namtan dan Mike, hendak pergi meninggalkan mereka.

Bright hendak memberontak saat tubuhnya ditarik ke dalam sebuah pelukan. “Nggak apa-apa, Bri. Nangis bukan sebuah kesalahan kok. Lo nggak gagal, sama sekali.”

Bright hafal suara ini. Ini suara Mike.

“Gue tau lo kangen sama Kala. Nggak apa-apa. Lo nggak gagal, jagoan. Sama sekali enggak. Dimas bangga banget sama lo, bangga banget.” Lanjut Mike.

“Gak apa-apa, Bright. Nangis aja. Ada Mbak, ada Mike juga di sini. Nggak apa-apa, jagoan. You did great” bisik Namtan di telinga Bright.

Dan Bright lagi-lagi kalah.

Ia balas pelukan Mike. Lantas menumpahkan seluruh rasa sakit yang selama ini ia pendam rapat-rapat. Ia menangis sejadi-jadinya, Berharap rasa sakitnya memudar lewat tangisannya itu.

Melihat tangisan dari sosok adik yang selama ini terlihat tangguh membuat Namtan turut menitikkan air mata. Wanita itu lantas maju selangkah, menepuk-nepuk punggung Bright yang bergetar hebat. Sembari berharap agar apa yang adiknya itu impikan lekas terkabul.

Yang tanpa mereka sadari, ada sepasang telinga yang sejak tadi menangkap percakapan mereka bertiga. Dan di sana, di balik tembok itu, ia turut menitikkan air mata setelah mendengar semua itu. Ia menangis dalam diam, ia menangis dalam ketidak tahuannya seorang diri.


bwuniverr, 2021

All of our lives, we seem to be searching for something only to find it was there all along.

Bagi sebagian orang, mendatangi pentas seni di sekolah adalah hal biasa yang tidak ada artinya sama sekali. Namun bagi Bright, kesempatan itu menjadi sebuah anugerah yang sudah ia damba sedari dulu.

Dengan senyuman lebar yang tercetak jelas di wajah tampannya itu, Bright melangkah menuju aula sekolah. Hendak melihat Dimas yang sebentar lagi akan tampil untuk membacakan puisi. Diiringi langkah Kala yang juga sedang berjalan di sampingnya.

“Mas Bright seneng banget kayaknya,” ucap Kala sambil menatap Bright yang berjalan mantap di sampingnya itu.

Dengan senyum yang masih sama, Bright balik menatap Kala. Sebuah anggukan diberikan oleh Bright sebagai jawaban. “Iya. Seneng banget. Soalnya lihat Dimas tampil,” ucapnya dengan wajah yang tampak berseri-seri.

Melihat raut wajah bahagia dari Bright itu membuat Kala turut menyunggingkan senyuman. Sejak pertama kali Bright menginjakkan kaki di rumahnya sebagai housemate, baru kali ini Kala melihat kebahagiaan terpancar begitu besar dari wajah pria yang lebih tua darinya itu.

“Disini ya tempatnya?” Gumam Bright sambil melongok ke dalam gedung besar dengan pintu kaca di hadapannya itu.

“Kayaknya iya sih, Mas. Itu banyak anak pake kostum masuk,” sahut Kala sambil menunjuk ke arah segerombol anak dengan berbagai macam kostum unik dan lucu yang sedang mengantri masuk ke dalam gedung tersebut.

Bright manggut-manggut, “oke berarti bener,” ucapnya. “Yuk, kita masuk,” ajak Bright pada Kala yang dibalas anggukan oleh yang lebih muda.

“Oy, Bright!”

Bright dan Kala otomatis menghentikan langkahnya setelah mendengar panggilan yang cukup kencang dari belakang sana.

“Eh, Bang Mike,” sahut Bright setelah melihat bahwa Mike lah yang memanggilnya. Di belakang sana sana, Mike sedang berjalan menghampirinya bersama Namtan, Gunsmile, serta Harit.

“Maaf ya Bri, kita telat. Tadi nungguin si Gunsmile tuh lelet banget jadi orang,” adu Namtan kepada Bright sambil menatap sebal ke arah Gunsmile.

Sedangkan Gunsmile hanya bisa nyengir menanggapi ucapan Namtan, “yaelah, Mbak. Buktinya juga udah nyampe sini, kan?” Sahutnya.

“Yaudah gapapa kok. Acaranya juga belum mulai,” ujar Bright sambil geleng-geleng kepala. “Oh, iya. Kenalin nih, yang punya rumah tempat gue tinggal. Kala namanya,” ujar Bright memperkenalkan Kala kepada para sahabatnya.

Kala tampak sedikit terkejut dengan apa yang Bright lakukan. Namun pria itu lantas menyunggingkan senyuman pada keempat sahabat Bright yang sedang berdiri di hadapannya.

“Halo.. salam kenal, Metawin Kala Satrianda. Bisa dipanggil Kala,” ujar Kala memperkenalkan diri.

Ketiga orang itu menyambut salam Kala dengan senyuman. “Salam kenal juga, Kala. Saya Namtan. Ini Mike, ini Guns, dan ini Harit. Kita sahabatnya Bright dari jaman kuliah dulu.” Balas Namtan sambil memperkenalkan mereka satu persatu.

Kala menatap lekat wajah keempat orang di hadapannya itu. Dan saat memandangi mereka, Kala bisa merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya. Kala merasa bahwa wajah keempat orang itu terasa familiar sekali. Dan samar-samar, Kala juga merasa kalau ia sudah pernah bertemu dengan mereka berempat sebelumnya.

Tapi kapan?

“Oke, karena dah dateng semua, kita masuk aja, yuk?” Ajak Bright pada mereka semua yang juga sukses membuyarkan lamunan Kala.

“Oke, ayok dah!” Gunsmile yang tampak penuh semangat langsung berjalan mendahului mereka semua. Meninggalkan Bright, Namtan, Mike, dan Harit yang geleng-geleng kepala, serta Kala yang masih menatap penuh kebingungan pada mereka semua.